Bab XV : Barata


Barata = laku tapa

Cyuta

Apa itu Battara? Battara sejatinya adalah sebentuk kehidupan dari alam yang lain. Mereka berada di atas alam manusia. Dianugerahi kuasa atas setidaknya satu unsur dari semesta – seperti api, angin, guntur, perang, wabah, penyakit, kematian, dan kehidupan – Battara atau Battari sebutannya bagi yang berjenis kelamin perempuan, sejatinya tidak sejak semula dilahirkan sebagai seorang Battara atau Battari. Mereka pada awalnya adalah manusia atau bahkan hewan yang melalui proses tumimbal lahir selama berkalpa-kalpa dan mengumpulkan cukup banyak karma baik untuk ditukar dengan kehidupan sebagai seorang Battara.

======
1 kalpa di Sampradaya yang dianut Cyuta = 16 juta tahun

1 kalpa di Sampradaya yang dianut Ratna = 4,32 milyar tahun

tumimbal lahir = reinkarnasi
======

Meski berada di alam yang lebih tinggi daripada manusia, sejatinya Battara bisa ikut campur dalam kehidupan sehari-hari para manusia. Meski begitu, demi keseimbangan semesta, para Battara hanya akan ikut campur apabila seorang manusia yang memohon bantuan mereka memiliki niat yang sesuai jalannya karmapala – hukum karma. Karmapala adalah hukum yang paling adil di seluruh semesta namun kejam jika dilihat oleh mata awam terkadang sangat kejam. Mengapa kejam? Karena karmapala tak pandang bulu, apakah engkau seorang yang kaya atau miskin, seorang terpelajar atau orang bodoh yang tak paham apa itu karmapala, atau bahkan sesosok Battara sekalipun, takkan bisa lari dari yang namanya karmapala.

Rata-rata seorang Battara bisa hidup sampai satu atau dua kalpa lamanya, setelah itu mereka mati dan karmapala berlaku baginya. Jika seorang Battara selama masa tugasnya sebagai Battara bertindak sesuka hati bukan kejutan lagi jika di kehidupan selanjutnya ia malah jadi seekor seranggga. Sebaliknya pernah terjadi seekor monyet yang dianggap kebanyakan manusia sebagai hewan yang tak memiliki daya pikir sesempurna manusia namun kemudian menyelamatkan sesosok bayi manusia dari pemukiman dalam hutan yang terbakar diangkat menjadi sesosok Battara di kehidupan selanjutnya.

Tapi jika para Battara selalu hati-hati dalam bertindak dan mengambil keputusan, ada satu jenis makhluk yang sejatinya sama kuat atau terkadang lebih kuat daripada para Battara. Mereka memberikan bantuan kepada manusia manapun yang mau meminta bantuan pada mereka namun mereka selalu meminta harga mahal atas bantuan mereka. Makhluk-makhluk ini adalah Asura, yang artinya mereka yang tidak lagi bercahaya. Disebut demikian karena mereka sejatinya adalah bagian daripada Battara Swargaloka beberapa ribu tahun yang lampau.

Pada masa itu kala Asura dan Battara hidup berdampingan, Sakra, raja para Battara yang baru saja diangkat sebagai Raja Swargaloka oleh para Battara Mahabrahma mengadakan pesta dan mengundang segenap Battara datang ke perjamuannya. Para Asura pun datang dan mereka pun turut makan dan minum di sana. Namun mereka melanggar pantangan dalam pesta tersebut yakni mereka meminum bergentong-gentong minuman bernama Dandapana yang setetes saja sudah membuat seorang Battara Swargaloka mabuk selama berjam-jam. Asura yang terkapar dan dianggap merusak kesakralan pesta, membuat Sakra dan para Battara lain memutuskan membawa mereka keluar dari arena pesta dan meletakkan mereka di kaki Gunung Meru.

Namun ketika Asura-Asura terbangun dan mendapati diri mereka tak lagi ada di tempat pesta, mereka langsung tersinggung dan merasa tindakan Sakra dan Battara yang lain merupakan sebuah penghinaan. Bergegas mereka menaiki Gunung Meru menuju Swargaloka dan di sana percekcokan berlanjut menjadi baku-hantam dan kemudian menjadi perang yang berlangsung selama ribuan tahun. Sejak saat itu Asura yang terusir dari Swargaloka bersumpah untuk membalas tindakan para Battara dalam setiap kesempatan. Mereka juga bersedia memenuhi permintaan manusia yang memohon kepada mereka namun seperti yang kukatakan tadi : harganya mahal. Permintaan mereka bisa berkisar dari darah bayi, darah remaja yang belum kawin, atau bisa jadi darah orangtua manusia itu sendiri. Dan celakanya para Siddhimantra yang mempraktekkan Dhitthigataviprayuta dari Sadeng biasanya meminta bantuan dari makhluk semacam itu.

"Kalian berdua akan belajar bagaimana caranya mengatasi para praktisi Dhitthigataviprayuta semacam itu," kata Sang Citralekha pagi ini.

Aku dan Ratna hanya bisa menghaturkan sembah sembari menunggu instruksi beliau selanjutnya. Sudah sekitar dua pekan kami berada di sini, dan selama dua pekan itu Sang Citralekha lebih berfokus menempa fisikku semata adapun Ratna sepertinya tidak dapat pengajaran apa-apa dari Sang Citralekha.

"Kalian akan belajar sebuah cara rahasia yang bisa kita pakai membunuh Asura. Atau Battara sekalipun jika diperlukan!" ucap Sang Citralekha.

Aku terhenyak! Jika kita membunuh dan melebur bhutakala itu sudah merupakan hal biasa! Tapi jika membunuh Asura bahkan ... Battara? Itu ... agak berlebihan!

=======
bhutakala = kekuatan ruang dan waktu / makhluk halus / penunggu / memedi
=======

"Mohon maaf Rama Citralekha!" akhirnya aku memberanikan diri bertanya, "Tapi bukankah Rama sendiri kerepotan melawan Yamabala dan Sang Suratma dalam peristiwa di Mandala Kasogatan beberapa waktu yang lampau?"

Sang Citralekha mengembangkan senyum tipis, "Pertanyaan bagus, kelemahan dari cara ini adalah kita tidak bisa membunuh Battara yang termasuk Aditya dan golongan yang lebih tinggi daripada Aditya."

"Mohon maaf jika saya bertanya, tapi siapa itu Aditya?" Ratna bertanya.

"Cyuta?" Sang Citralekha memintaku menjelaskan.

"Aditya adalah 8 Battara yang pertama terlahir di Swargaloka. Mereka adalah Sakra – penguasa petir dan hujan, Bayu – penguasa angin, Agni – penguasa api dan pandita para Battara, Yama – penguasa alam orang mati, Surya – penguasa matahari, Baruna – penguasa lautan, Kubera – bendahara Swargaloka dan .... ," aku ragu menyebutkan Aditya terakhir karena reputasi buruknya, konon siapa saja menyebut namanya akan mengalami nasib buruk dan celakanya aku sejatinya sudah kena nasib buruk dengan membuat Sang Suratma marah padaku.

"Niruti Sedah," jawab Sang Citralekha enteng, "Yang berkuasa atas wabah dan kutuk serta nasib-nasib buruk bagi pelanggar persumpahan."

Benar saja! Begitu nama itu disebut baik aku dan Ratna merasakan nyeri di jantung kami, seperti ada pisau yang dihujamkan ke jantung kami tapi tak segera membunuh kami.

"Kalian yang ditandai oleh Yama dan Aditya Kedelapan sebaiknya segera saja melakukan Barata. Mandi dan sucikanlah diri di sungai pagi ini lalu mendakilah dan carilah gua kecil yang cukup hanya untuk diri kalian seorang. Bersilalah dan lakukan samadhi, jangan bangkit berdiri sebelum aku suruh!"

******

Ratna

Barata dalam deskripsi yang diberikan oleh Cyuta artinya kita duduk diam, tak makan, tak minum selama seharian kecuali sedikit air dan makanan apapun yang kami temukan. Kita juga harus berusaha sebisa mungkin mengosongkan pikiran dengan cara memusatkan pikiran terhadap kondisi di sekitar kita. Sedikit bantuan dari mantra akan cukup membantu, tapi Sang Citralekha menyuruhku tidak mengucapkan mantra apapun selama Barata ini. Entah kenapa, padahal Cyuta aku yakin punya segudang koleksi mantra dalam kepalanya yang bisa ia ajarkan kepadaku.

Tapi Sang Citralekha bersikukuh menolak gagasan itu, "Mantra yang Cyuta hafal di dalam kepalanya takkan membawa manfaat apa-apa untuk kamu. Duduk diam sajalah, cobalah kosongkan pikiran sebisa mungkin, jika ada ingatan-ingatan masa lampau yang muncul biarkan! Jika ada godaan untuk selayaknya hendak membujukmu meninggalkan laku barata, lawan sekuat tenagamu!"

Karena guruku sudah berkata demikian, maka kupatuhi saja apa kata beliau. Sedari pagi aku sudah mencari liang gua yang cocok aku jadikan tempat lelaku. Begitu aku menemukannya, aku pun duduk bersila di atas sebuah batu yang panjang dan datar. Kupejamkan mata, kuluruskan punggungku, serta kutarik dan kubuang nafasku panjang-panjang dalam tempo lambat-lambat. Sehari semalam, kulakukan hal yang serupa itu. Tak ada hal yang aneh. Kala malam telah turun dan kudapati sinar bulan bersinar cukup terang bagiku untuk turun ke sungai guna sekedar minum sedikit air, aku pun turun ke sungai dan mendapati suamiku juga melakukan hal serupa.

Kami hanya saling sapa dengan gerakan tangan, karena selama barata kami juga melakukan tapa bisu, yang artinya kami tak boleh bersuara sedikit pun. Setelah minum sedikit air dan mandi sejenak, Cyuta pun kembali ke liang guanya. Aku tinggal di sungai agak lebih lama sebelum akhirnya kembali ke gua yang aku diami.

Kami melakukan hal ini selama berhari-hari bahkan lewat berminggu-minggu. Untuk makan, kami akan memetik buah apapun yang kami dapati ada di dekat kami. Apapun akan kami makan, meski itu hanya sebuah terung atau beberapa butir ranti. Tapi hanya sekali sehari kami memakannya, biasanya ketika malam telah larut dan kami turun ke sungai untuk mencari air minum.

=====
Ranti = buah leunca
=====

Setelah beberapa minggu, aku mendapati sebuah keanehan. Aku tiba-tiba sudah berada di luar gua meski hari masih terang. Lebih tepatnya aku melayang-layang di antara hutan rimba. Dari kejauhan aku melihat pula Cyuta yang tengah melayang-layang pula di antara pepohonan namun ia tampak tengah berbicara serius dengan Sang Citralekha.

Aku perlu beberapa saat membiasakan diri dengan kondisi seperti ini. Berpijak di udara memang tidak membuatku jatuh terperosok ke dasar hutan namun tetap saja situasi yang tak biasa ini membuatku khawatir akan hal yang tidak-tidak, meski setelah beberapa saat akhirnya aku mulai bisa melangkah kecil di seputar tempatku berpijak sebelum mulai berjalan menyusuri sisi-sisi hutan yang lain. Setelah beberapa lama, aku pun mulai bisa menurunkan ketinggian pijakanku, sehingga akhirnya aku bisa memijak tanah kembali.

Aku berkeliling sendirian, meninggalkan Cyuta dan Sang Citralekha yang masih sibuk berbincang di atas sana. Namun karena Sang Citralekha tampaknya 'tidak keberatan' jika aku berjalan-jalan sendiri, akhirnya aku masuk makin dalam ke dalam hutan hingga akhirnya aku mendapati seorang wanita cantik, duduk sendirian di tengah hutan sembari memegang khadga yang tertancap pada tanah. Adapun tangan kiri wanita itu tampak mengelus-elus sebuah perisai tembaga yang ia letakkan dalam pangkuannya.

=====
khadga = pedang pendek dengan bilah kurang dari 100 cm

Catatan penulis : pusaka milik Ratna saya ganti menjadi khadga karena setelah berkonsultasi dengan pakar keris, keris yang kita kenal sekarang baru muncul di abad 13-14. Bukan abad ke 5-11 seperti setting Citralekha.
=====

"Om Swastyastu!" sapaku sembari mengatupkan tangan pada wanita cantik yang bagian bawah tubuhnya tertutup kain jingga itu. Ada pesona yang tak dapat kulukiskan kala aku bertemu dengan wanita itu. Sesuatu yang tidak kusadari akan mengubah hidupku selamanya.

"Om Swastyastu Ratna!" sapa wanita itu sembari tersenyum ke arahku. Duhai! Haruskah kusebut bahwa senyumannya sangat mengingatkan diriku pada ibu kandungku yang kutinggalkan di Danten, meski wajah beliau jelas-jelas amat berbeda.

Aku bahkan tak heran apabila ia mengetahui namaku. Dalam bayanganku ia mungkin salah satu dari Tujuh Rsi yang mendiami Lemahtulis ini. Pasti di antara banyak Rsi laki-laki ada Rsi perempuan kan? Apalagi aku sudah banyak mendengar dari Cyuta bahwa para Rsi, Sanyasin, Pandita, Siddhimantra, dan Citralekha ada yang punya kemampuan membaca pikiran kita. Sang Citralekha juga menegaskan padaku bahwa tak ada bedanya laki-laki dan perempuan dalam urusan ilmu kerohanian. Dua-duanya bisa mencapai tingkat kerohanian setinggi apapun yang mereka mau.

"Kenapa kamu sendirian Ratna? Ke mana guru dan suamimu?" tanya wanita cantik itu lembut, suaranya membuat seluruh tubuhku merinding dan menggigil tapi di satu sisi membuatku sangat nyaman dan merasa aman.

"Mereka sedang berbincang-bincang di tempat lain, Biyang," jawabku sembari menjaga jarak tapi wanita itu mengajakku untuk duduk di dekatnya.

Aku tak kuasa menolak namun alangkah kagetnya aku ketika aku hendak duduk tiba-tiba seekor gogor muncul dari balik pepohonan dan menggeram kepadaku. Aku lekas bereaksi dengan menempatkan tanganku di pinggang namun sialnya aku lupa kali ini aku sama sekali tidak membawa parangku ataupun khadga yang aku dapat dari Sang Citralekha.

"Dawon! Tenang! Anak ini bukan musuh kita!"

Gogor itu menggeram sesaat sebelum akhirnya mendekat ke arah wanita cantik itu dan aku sama sekali tak percaya akan apa yang aku lihat. Macan hutan itu membiarkan kepalanya dielus-elus oleh sang wanita cantik itu. Sama sekali tak tampak binatang itu ganas pada sang wanita cantik tersebut.

"Kamu mencari apa di sini Ratna?" tanya wanita itu kepadaku kala aku duduk di hamparan rumput liar yang terbentang di sekitar tempat beliau duduk.

"Saya melakukan Barata bersama guru dan suami saya."

"Untuk apa kamu lakukan barata?"

"Guru saya yang memerintahkan."

"Kenapa kamu mematuhinya?"

"Karena dia guru saya?" aku mulai bingung menjawab pertanyaan wanita itu.

"Kenapa kamu memilih Citralekha Ananta sebagai gurumu?"

Kenangan saat aku diusir dari Danten itu kembali memenuhi benakku dan akhirnya aku menjawab, "Karena saya tak punya tujuan apapun saat saya diusir dari desa saya di Danten. Saya mengikuti Sang Citralekha karena beliau memberi saya tujuan, yakni mengawal beliau hingga Suwarnabhumi."

"Dan setelah tiba di Suwarnabhumi? Apa yang hendak kamu lakukan Ratna?"

"Saya tidak tahu Biyang. Ratna ini cuma gadis desa yang polos dan bodoh. Tapi sekarang Ratna punya kewajiban baru yakni mengabdi pada suami Ratna. Jika Sang Citralekha sudah tiba di Suwarnabhumi saya akan mengikuti ke manapun Cyuta pergi selama ia masih mengizinkan saya mengikutinya."

Wanita itu tersenyum tipis, "Tapi aku hendak bertanya Ratna, apabila suamimu kelak harus pergi lama, ke kamu akan memutuskan menetap? Apa saja yang harus kamu lakukan untuk menjaga kehormatanmu sebagai istri dari serangan orang-orang jahat yang punya niat tidak baik? Bagaimana juga seorang wanita yang ditinggal sendirian di rumah harus menjaga anak-anak mereka dari segala bahaya?"

"Saya tidak tahu, Biyang. Tapi jika saya renungkan baik-baik, Biyang tampaknya adalah orang yang berpengalaman menghadapi situasi-situasi seperti itu, perkenankanlah saya belajar dari Biyang terkait hal-hal tersebut."

"Aku mau saja mengajarimu Ratna, tapi sebelum itu pergilah kepada gurumu dan tanyakan padanya, apakah ia bersedia berbagi tugas mengajarimu dengan diriku? Sebab tak semua guru berkenan muridnya memiliki dua guru!" jawabnya sembari melemparkan senyum yang sangat manis dan menenangkan yang membuat diriku tiba-tiba tersadar dan mendapati diriku masih bersila di gua tempatku melakukan samadhi. Seluruh tubuhku banjir keringat dan kala berdiri aku merasa sangat pusing, tapi hari sudah malam, aku memaksa diri turun ke sungai dan di sana kudapati Sang Citralekha lagi-lagi berbincang dengan Cyuta. Aku hendak bertanya terkait wanita cantik tersebut pada Sang Citralekha namun aku ragu apakah aku sudah diperbolehkan bicara bebas seperti Cyuta.

"Apa yang hendak kamu tanyakan Ratna?" tanya Sang Citralekha, "Cyuta sudah selesai menceritakan pengalamannya selama barata, sekarang giliranmu!"

Aku bernamaskara di hadapan Sang Citralekha, "Mohon maaf Rama Guru. Dalam samadhi barusan, saya bertemu dengan seorang wanita cantik di tengah hutan. Beliau membawa khadga dan perisai tembaga dan beliau menawarkan pada saya untuk belajar sesuatu pada beliau namun Rama Guru Citralekha haruslah memberi izin terlebih dahulu pada saya untuk belajar pada dua guru.

=======
Namaskara = membungkuk hormat sambal mengatupkan kedua belah tangan.
=======

Cyuta tampak bingung tidak mengerti sementara Sang Citralekha hanya tersenyum lebar, "Aku mengizinkanmu Ratna! Aku merestuimu untuk belajar pada beliau! Tapi satu pesanku! Jika bertemu dengan sesuatu yang ganjil di dalam hutan sana, janganlah takut, posisikan saja tanganmu seperti ini," Sang Citralekha memberi contoh dengan memosisikan tangan kanan beliau dengan posisi telapak tangan kanan diangkat sebatas dada dan telapak tangan menghadap lawan bicaranya.

******

Kala hari berganti hari esok kudapati kembali aku berada di dalam hutan kala tengah hari, bukan di dalam gua seperti seharusnya. Karena aku merasa sudah mengenali jalan ini dengan baik langsung saja aku berlari-lari ke tengah hutan dan di sana kudapati wanita cantik misterius itu masih ada di sana bersama Dawon, gogor peliharaannya.

"Om Swastyastu Biyang!" kukatupkan tanganku dan kuberi sembah hormat pada wanita itu, "Rama Guru saya sudah memberi restu saya untuk belajar pada Biyang!"

Wanita itu tersenyum kemudian mulai menyuruhku duduk mendekat dan mengajariku tentang berbagai macam hal. Mula-mula wanita itu mengajariku hal-hal yang serupa dengan yang diajarkan Sang Citralekha, namun kali ini ia mengajarkan padaku pula mantra. Mulanya satu mantra, kemudian ia minta aku mengulang-ulangnya sampai benar-benar kuhafal, lalu barulah mantra kedua, dan akhirnya mantra ketiga. Ia mengajarkanku tentang sesosok Battari yang bernama Adi Parashakti, Battari yang bahkan ditakuti oleh Delapan Aditya sekalipun. Ia mengajariku cara menggunakan khadga dan perisai miliknya, ia mengajariku cara menjatuhkan lawan dengan mudah. Wanita misterius itu ternyata juga seorang petarung, berkali-kali adu senjata dengan beliau tak pernah sekalipun aku menang, tapi aku sangat gembira karena selain aku akhirnya aku mendapati pula seorang estri yang lain.

Minggu demi minggu pun berlalu dan pada suatu hari, Biyang Guru – sebagaimana ia memintaku memanggilnya karena ia tak mau memberitahuku nama sebenarnya, berkata, "Sudah tiba waktunya aku untuk kembali ke rumah. Suami dan anak-anakku sudah menunggu dan besok akan menjadi hari terakhir kita bisa bertemu."

Aku hanya diam tapi merasa sedih luar biasa, sebab rasanya waktu berjalan begitu cepat dan aku masih ingin belajar lebih jauh bersama Biyang Guru.

"Tapi jika engkau lulus ujian dariku Ratna, maka aku akan selalu menjadi gurumu dan engkau dan aku akan selalu terhubung dalam batin!"

Kemudian aku kembali tersadar di gua tempatku bersamadhi. Hari telah larut malam dan bulan tengah mati. Aku turun ke sungai dengan sedikit kesulitan karena tak ada penerangan yang cukup. Oborku telah habis sejak beberapa hari yang lalu dan perjumpaan dengan Biyang Guru yang sangat menyenangkan bagiku membuat aku tak sempat memotong ranting dan mencari minyak untuk obor sebab aku bertemu beliau kala hari masih pagi buta dan ketika aku kembali ke gua hari telah malam.

=====
Bulan tengah mati = sedang ada gerhana bulan atau bulan tertutup awan mendung
======

Kali ini tak kudapati Sang Citralekha dan Cyuta di sana. Tapi aku tak lagi peduli. Besok adalah hari terakhir aku belajar bersama Biang Guru dan aku harus berusaha menenangkan batinku agar siap menghadapi ujian darinya.

******

Esok paginya kembali aku dapati di tengah hutan tempat Sang Biyang Guru biasa menungguku. Tapi kali ini selain Dawon tak kutemui Biyang Guru di sana. Dawon hari ini juga tak tampak sebagaimana biasanya. Warna matanya merah darah dan hutan di sekitar sini juga terasa seperti lebih gelap dan mencekam. Sesaat kemudian aku dapati khadga yang jadi milikku sejak di Paguhan telah berada di tanganku. Sesaat kemudian aku mendengar suara seorang wanita meraung-raung. Suaranya keras, kasar, dan terdengar penuh amarah.

"DAWON! DAWON!" suara wanita memanggil gogor yang menjadi hewan piaraan Sang Biyang Guru dan gogor itupun patuh mendekat ke arah sumber suara itu.

Tanganku bersiaga di ujung khadga itu, siap melepaskan senjata itu kapanpun dari sarungnya. Selagi Dawon mendekat ke sumber suara yang tertutup kabut putih tersebut, aku bersiap-siap menghadapi serangan seperti terkaman atau terjangan dari Si Dawon.

Benar saja! Dugaanku tepat! Dawon – yang tampak ditunggangi oleh seorang wanita berkulit hitam legam, bertelanjang dada, dan berambut merah gimbal – langsung menerjang dan hendak menerkamku. Wanita berambut gimbal itu kemudian mengayunkan tombak yang ia pegang ke arahku dan kutangkis serangan tombak itu dengan khadgaku. Aku mundur beberapa langkah dan bersiap menyerang sembari mencari-cari celah. Namun semua rencanaku buyar kala wanita berkulit hitam legam itu kembali meraung dan dari tubuhnya kini muncul tiga pasang tangan baru! Dewa Ratu! Sekarang tangan wanita itu jadi ada delapan. Masing-masing memegang sebuah senjata, ada busur panah, tombak, khadga, kila dan cambuk. Dua pasang tangannya yang memegang sebuah busur panah langsung diposisikan membidik ke arahku.

Aku lantas memutuskan berlari ke dalam hutan, menghindari bidikannya, tapi rupanya wanita itu menyuruh Dawon mengejarku dan ia pakai berdiri di atas macan itu pula! Wanita itu berteriak-teriak menyeramkan seperti orang gila dan ia kemudian melontarkan tombaknya ke arah pohon tempatku bersembunyi. Firasatku mengatakan aku harus segera menghindar dan benar saja aku mendapati pohon yang dihantam tombak itu langsung pecah berantakan. Serpihannya bahkan ada yang menancap di betisku namun tak kuhiraukan. Wanita itu kembali meraung dan kali ini kudapati mulutnya menyemburkan api. Api itu segera menjalar ke seluruh pepohonan di sekitarnya dan kini aku terjebak di tengah hutan yang tengah terbakar.

Dalam kondisi normal tentu saja kondisi ini menjadi sangat menakutkan namun entah kenapa aku tak merasa terancam. Bahkan ketika melihat wanita yang menunggangi macan itu aku tiba-tiba seperti mendengar suara Biyang Guru di dalam kepalaku.

Laki-laki yang tidak mengakui kehebatan wanita adalah laki-laki yang gagal

Sebab Dewata sekalipun tanpa para shaktinya hanyalah cangkang kosong

Dan di antara para shakti, ada yang bernama Adi Parashakti

Adi Parashakti adalah 'ibu' dari segenap Dewata di Bumi

Ia memiliki suami dan anak tapi ia adalah wanita yang bebas

Baktinya pada suami dan kasih sayangnya pada anak-anaknya

tak membatasi dirinya untuk menjadi pelindung kaum tertindas

Ia adalah dewi yang maha pengasih tapi juga kuat dan perkasa

Yang dapat menjelma sebagai dewi yang membagi-bagikan makanan bagi kaum lapar

Tapi juga dapat menjelma sebagai dewi perang yang ganas dan tak terkalahkan

Ia memiliki banyak nama : Narayani, Uma, Kali, Tara, Adi Matrika, dan ....

"Durga Mahesasuramardhini!" aku lantas menyambung nama dewi terakhir yang hendak disebutkan oleh Sang Biyang Guru sambil membentuk posisi tangan Abhaya Mudra, yakni

posisi telapak tangan kanan diangkat sebatas dada untuk menolak marabahaya, seperti yang diajarkan Sang Citralekha.

Dan wanita yang menunggangi Dawon itupun berhenti menyemburkan api. Aku pun menjatuhkan khadga milikku ke tanah dan menghaturkan sembah sujud ke hadapan sosok itu. Sebab tahulah aku sekarang bahwa wanita yang mengajari aku selama ini bukanlah manusia. Begitu pun wanita berkulit hitam yang menunggani Dawon itu juga bukanlah manusia. Keduanya sebenarnya adalah satu makhluk, makhluk agung yang selama ini gagal aku kenali.

"Hormat saya pada Pukulun Battari Adi Parashakti! Mohon maaf saya sempat lancang tidak mengetahui nama Battari dan malah memanggil seorang Battari Agung seperti Pukulun dengan sebutan Biyang Guru!"

"Anakku!" perlahan-lahan sosok Durga Mahesasuramardhini berubah rupa kembali menjadi sosok Adi Parashakti yang aku kenali sebagai Biyang Guru, "Pergilah setelah ini ke Lodoyong dan bantu mereka untuk belajar kembali dari para Matrika yang lain."

=======
Shakti = dewi yang jadi istri/pasangan dewa

Matrika = Shakti yang punya peran ganda sebagai dewi perang seperti Durga.
=======

******

Cyuta

Sepertinya istriku ini memang gemar membuat aku terhenyak tanpa henti. Setelah dibuat tertegun karena kenekatannya menyeretku sepanjang jalan ke sebuah Mandala Kasogatan guna menolong gurunya, ia juga aku dapati ternyata buas dan beringas melebihi prajurit laki-laki jika bertarung, dan sekarang?

Lemahtulis dilanda gempa dan aku yang sejatinya sudah diminta mengakhiri Barata oleh Sang Citralekha sejak beberapa hari yang lalu mendapati sejumlah Rsi yang selama ini duduk diam bersamadhi di liang-liang gua yang jarang terjamah berhamburan keluar dari tempat samadhi mereka. Sang Citralekha pun langsung mengajakku ke dasar lembah dan di sana aku sama sekali tidak bisa mempercayai penglihatanku!

Tujuh Rsi dari Lemahtulis bersembahsujud di hadapan Ratna yang tengah duduk di atas seekor macan. Di tangannya tergenggam sebuah khadga yang memancarkan sinar kemerah-merahan dan sesekali sinar keemasan. Samar-samar di belakang Ratna aku melihat sosok yang serupa dengan wanita berkulit hitam dengan delapan tangan yang memegang senjatanya. Penggambaran yang membuatku membuka mulut tanpa henti sampai beberapa lama sebelum Sang Citralekha menegurku.

"Kenapa kamu terngaga Cyuta?" tanya Sang Citralekha kepadaku.

"Ratna? Kenapa dia bisa mencapai tahap barata seperti ini?"

"Memangnya kenapa kamu heran Cyuta? Sampradaya Ratna berjodoh dengan Durga Dewi sebagai Istadewatanya, sementara dari sampradayamu kamu belum berjodoh dengan Istadewata manapun."

=======
Istadewata = dewa pelindung /sesembahan pribadi. Misalnya pemimpin politik akan cenderung memilih Istadewata Siwa atau Wisnu sementara prajurit wanita cenderung memilih Durga.
=======

Tujuan dari barata kali ini sejatinya hanya supaya kami mampu mengendalikan emosi dalam batin kami supaya kami lebih cakap dalam merapal mantra. Tapi jelas ada yang salah dengan Ratna! Mencapai tahap diajar dan dilindungi oleh sesosok Istadewata itu bukan hal sembarangan! Ratna bukan turunan ningrat, ia juga bukan anak brahmana atau pandita! Bahkan guru-guruku di Kadewaguruan saja belum ada yang sampai tahap seperti itu! Aku geram dan kesal! Ratna pasti menyembunyikan sesuatu dariku! Awas saja nanti kalau sudah kubongkar kedoknya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top