Bab XIV : Belajar Lagi

Ratna

Sesudah berpamitan kepada Rakyan Haji Kertagosa dari Paguhan, kami berjalan keluar dari istana menuju ke arah perbukitan Segaluh. Kembali kami harus menapaki jalanan menanjak yang licin karena lumut dan banjir lumpur. Namun karena daerah Segaluh tidak memiliki banyak jurang seperti perbukitan di Paguhan, perjalanan kami sedikit lebih ringan.

Sang Citralekha berjalan di depan, tapi tidak mengatakan ke mana persisnya kami melangkah selain berujar, "Kita akan berhenti sejenak di sebuah lembah di Segaluh."

Aku dan Cyuta seperti sepakat tanpa perlu berkata-kata untuk tidak menanyakan apapun lagi soal itu. Diangkatnya kami sebagai Chatra oleh Mpu Citralekha membuat kami harus berpikir berulang-ulang sebelum mengutarakan sesuatu. Dalam perjalanan pun kami lebih banyak diam, Cyuta bahkan menghabiskan sepanjang waktu perjalanan kami dengan merapal mantra-entah-mantra-apa.

Kami menaiki bukit yang satu untuk memudian menuruninya dan menaiki bukit yang lain sebab perbukitan ini terdiri dari setidaknya 20 bukit, oh yah, ada untungnya juga punya suami seperti Cyuta. Dia dengan telaten mengajariku bahwa jumlah di atas dua belas itu bukan sekedar 'banyak' sebagaimana yang selama ini kupahami tapi ada kata-kata untuk menyatakan hal tersebut.

Tapi kala kutanyai kenapa dia tidak mengajari soal jumlah-jumlah yang lebih besar kepadaku, ia hanya berkata, "Nanti saja! Jika ada kesempatan lagi!"

Delapan kali naik-turun bukit, kami akhirnya mengambil jalan setapak yang menurun menuju sebuah lembah di mana ada sejumlah pondok-pondok kayu beratap jerami dan daun kelapa. Jumlahnya tidak banyak, tidak lebih dari lima pondok, dan suasananya sangat lengang.

Sang Citralekha tampak bersimpuh ke tanah pada jarak sekitar 10 langkah dari pondok terdekat, mengatupkan kedua tangannya kemudian berujar, "Rahayu bandhu akawya – Salam sejahtera kepada para sahabat dan saudaraku! Patik aran Citralekha Ananta, memohon izin bernaung di wilayah Lemahtulis!" *)


======
*)Dalam bahasa modernnya : Citralekha mengucapkan salam kolega/teman seprofesi
======


"Rahayu Mpu Citralekha!" sejumlah suara tanpa wujud bergaung di sepenjuru lembah, "Silakan bernaung selama apapun yang Ki Sanak inginkan! Pondok-pondok kami dan segala isinya terbuka untuk Ki Sanak dan para chatra Ki Sanak."

"Matur suksma, Sapta Rsi Lemahtulis – Terima kasih kuhaturkan kepada Tujuh Rsi yang bernaung di Lemahtulis!"

"Suksma mewali – terima kasih kembali!"

Aku dan Cyuta hanya saling pandang, berusaha mencerna apa yang sedang terjadi dan suara macam apa itu tadi. Tapi Sang Citralekha sudah keburu menegur kami untuk membersihkan pondok dan mempersiapkan makan malam.

*****

Pondok-pondok itu sendiri tidak terlalu kotor, hanya ada sedikit debu karena sudah ditinggalkan setidaknya selama tujuh hari, karena itu cukup sebentar saja, pondok-pondok itu sudah kembali bersih dan siap untuk dihuni. Sambil menunggu Sang Citralekha kembali dari kegiatan mencari kayu bakar – Dewa Ratu, aku sudah membujuk beliau untuk tidak melakukannya karena itu pekerjaan kasar bagi seorang sederajat beliau – serta Cyuta yang ditugasi Sang Citralekha mencari entah hewan buruan entah umbi hutan, aku mencari-cari tempayan atau wadah air untuk kugunakan mengambil air di sungai.

Sang Citralekha kembali tepat ketika aku sudah selesai mengambil air dari sungai, tapi Cyuta tak kembali juga hingga petang. Aku jadi khawatir kalau-kalau dia dikejar gogor lagi atau dimangsa anjing hutan.

"Jangan risau, kita tunggu saja!" Sang Citralekha tampak tersenyum-senyum sendiri sambil merebus air di satu kendi.

Kala gugus bintang Tapak Dara muncul benderang di langit barulah aku melihat Cyuta tampak tergopooh-gopoh datang memanggul keranjang berisi umbi di pundak kirinya serta dua ekor ayam hutan yang diikat rotan di tangan kanannya.

"Mohon maaf sebesar-besarnya Mpu! Saya kesulitan mendapatkan buruan!" ujar Cyuta dengan nafas terengah-engah dan ekspresi muka panik.

"Haruskah kamu memaksa diri mendapatkan buruan?" tanya Sang Citralekha pada Cyuta, "Bukankah sudah kukatakan bahwa carilah umbi hutan atau hewan buruan? Artinya pilihlah satu saja, Cyuta!"

"Ta-tapi kita sudah melalui perjalanan yang amat jauh, saya rasa Mpu pastilah lelah. Kala perjalanan terasa sangat melelahkan bukankah sedikit daging selalu bisa menjadi pengobat rasa lelah tersebut?"

"Ratna," Sang Citralekha memanggilku.

"Saya, Mpu!"

"Belah perut ayam tangkapan Cyuta!"

"Baik Mpu!" aku mengangguk dengan patuh lalu mengambil dua ayam itu dari tangan Cyuta dan membelah perut mereka.

Tahu apa yang kutemukan sesudahnya? Kejutan! Perut kedua ayam ini kosong! Tak ada jeroan di dalamnya, tak ada usus, hati, limpa, atau apapun juga. Yang ada hanyalah darah yang menggenang dalam jumlah amat banyak.

Aku memandang ke arah Cyuta, mempertanyakan apakah ini ayam bangkai atau bukan? Sebab jika ini ayam bangkai yang kebetulan ditemukan Cyuta tadi, tentu ayam ini sudah tak layak dimasak.

"Bukan Ratna itu tadi aku tangkap sendiri!"

"Pakai apa, Istah? Kenapa organ dalamnya kosong?"

"Mana kutahu?"

"Kamu ...," perdebatan ini disela oleh perkataan Sang Citralekha, "memakai siddhi kanuragan untuk melancarkan pukulan mematikan ke dua ayam itu dari jarak jauh bukan?"

Cyuta terdiam, sangat lama, tapi akupun tak berani mendesaknya untuk segera menjawab karena Sang Citralekha juga menunggu jawabannya.

"Aku menunggu jawabanmu, Cyuta," ujar Mpu Citralekha kala hening sudah berlangsung cukup lama.

Perutku bergejolak, kuharap urusan diam-diaman ini berlangsung cepat. Makan malam dengan umbi hutan pun tak masalah, asalkan Cyuta segera memberi jawaban.

"Sa-saya tidak bermaksud demikian Mpu. Ta-tapi karena hari sudah semakin malam ... ."

"Kamu memaksakan diri melakukan hal yang tidak mampu kamu lakukan. Akuilah Cyuta, seumur hidupmu tak pernah bukan kamu memburu hewan?"

Baik, aku akui, aku hendak tertawa keras-keras tapi kutahan-tahan sekuat tenagaku sebab ini bisa jadi masalah besar nanti. Tapi yang benar saja? Cyuta kan anak laki-laki? Setiap anak laki-laki di kampungku sudah pasti bisa berburu, minimal berburu burung di padang atau hutan lah!

Muka Cyuta memerah, wajahnya tertunduk, dan pengakuan itupun meluncur, "Maafkan saya Mpu, saya melanggar sumpah saya untuk tidak menggunakan siddhi di sembarang kesempatan."

"Ratna, bakar atau rebus umbinya! Dua ayam itu diletakkan saja di sana, biar itu jadi jatah makan teman-teman kita yang lain!"

"Maksud Mpu, para Rsi?"

"Bukan! Sebaiknya kamu menjauh Ratna!"

Aku menurut dan menjauh, kemudian mengambil sejumlah ubi, menusuknya dengan batang kayu dan kubakar di perapian. Beberapa waktu kemudian aku mendengar suara kaok burung pemangsa di langit malam dan segera saja satu ayam itu lenyap disambar si burung. Kemudian aku mendengar suara kaok kedua dan lagi-lagi satu ayam yang tersisa lenyap disambar burung pemangsa itu lagi.

******

Cyuta

Kala guru-guruku melepaskan diriku berkelana ke dunia luar mereka berkata bahwa mudah saja mulut berjanji dan bersumpah, tapi terkadang sulit memenuhi semua janji dan sumpah itu. Tadinya aku tidak percaya, tadinya aku sudah merasa bahwa dengan segaala bekal ilmu yang aku dapat di Kadewaguruan, dengan segala kitab yang telah kubaca dan kurenungi, dengan segala petuah dari guru yang kuingat dan kuhayati, berkelana ke tengah dunia tentunya lebih mudah. Aku berpikir sudah pasti kelak aku akan layak menjadi seorang sadhu – orang suci pengelana atau mahatma – orang suci pengembara dengan kualitas kerohanian setara Rsi, singkatnya seorang yang layak menjadi teladan bagi semua orang. Tapi ternyata aku salah, menjadi salah satu sawaka – murid – terbaik di Kadewaguruan ternyata bukan apa-apa jika menjadi chatra Sang Citralekha.

Teguran Sang Citralekha soal ayam tadi membuatku kepikiran hingga aku pun tidak tidur meski malam semakin larut. Sang Citralekha jelas-jelas tidak mau memakan ayam tersebut karena ayam itu mati dengan cara yang 'tidak benar'. Memang benar, aku tadi kesulitan menangkap ayam hutan yang larinya sangat cepat itu. Aku hitung sudah tiga kali tanganku tergores pandan berduri, empat kali kakiku terantuk batu, dan sepuluh kali kepalaku menubruk batang pohon tapi seekor ayam pun tak mampu aku dapatkan.

Kesal karena malam sudah turun dan sejak tadi aku hanya mampu mendapatkan umbi hutan, aku rapalkan mantra pukulan jarak jauh yang langsung kuarahkan ke rerimbunan semak yang mana aku lihat tadi dimasuki sejumlah ayam hutan. Terdengar suara kaok beberapa ayam seiring dengan terdengarnya suara dentuman. Ayam-ayam yang selamat dari mantraku berlarian ke segala penjuru tapi aku yakin pasti masih ada ayam yang lumpuh terkena mantraku.

Benar saja, ketika kusibakkan semak-semak, kudapati dua ekor ayam sudah terkapar sekarat. Langsung saja aku ambil pisau dan kusembelih leher mereka kemudian kubawa kepada Sang Citralekha. Tapi sungguh aku lupa, bahwa hewan yang akan dimakan oleh orang besar harus dibunuh dengan cara yang baik dan benar sesuai tuntunan kitab atau lontar. Jika tidak dilakukan seperti itu maka akan ada akibat-akibatnya nanti.

Aku terus saja kepikiran sampai tak menyadari jika Ratna sudah bangun dan bertanya kepadaku, "Kamu kedinginan, Istah?"

"Tidak," aku hanya menjawab singkat sambil mataku terus memandang ke pondok seberang di mana Sang Citralekha beristirahat.

Lalu tanpa aku duga, Ratna memelukku dari belakang. Sekarang kedua tubuh kami bersatu, berhimpitan. Panas dari tubuh Ratna kurasakan menjalari punggungku dan anehnya aku pun merasa lebih tenang. Rasa bersalah itu masih ada tapi sekarang aku mulai mengantuk dan akhirnya tertidur.

******

Esok paginya setelah kami membakar umbi sisa tadi malam, Sang Citralekha berujar kepada kami untuk bersila di hadapannya. Kami menurut dan Sang Citralekha pun mulai bersabda, "Ratna hari ini kamu akan menjadi gurunya Cyuta. Ajari Cyuta berburu yang benar, mengambil kelapa yang benar, mengambil madu dalam hutan tanpa mantra aji jika kamu merasa mampu melakukannya. Kita akan berada di sini selama dua purnama. Setelah lewat satu purnama aku akan ajari kalian bagaimana menggunakan tosan aji milik kalian," Sang Mpu menunjuk buntelan yang menyimpan tiga tosan aji yang kami dapatkan dari Paguhan.

"Paham?" Sang Citralekha menanyakan pemahaman kami.

"Paham Mpu!" kami berdua menjawab serentak.

Ratna langsung mengajakku ke dalam hutan segera sesudah Sang Mpu meninggalkan kami. Anehnya Ratna melarangku memakai kasut dan memaksa kami berdua memasuki hutan dengan bertelanjang kaki. Kami mendaki sampai menuruni dua lembah di mana ada sebuah sungai kecil. Di sungai itu, Ratna menunjukkan sekumpulan hayuyu berenang di tepi-tepi sungai. Ia meminta diriku menangkap 20 ekor hayuyu sementara dirinya sendiri akan mencari bambu untuk menombak ikan.

======
hayuyu – kepiting sungai / yuyu
=======

Kupikir menangkap hewan bercapit ini akan mudah saja. Ternyata aku salah, sampai matahari masih tinggi pun aku hanya bisa menangkap tiga hayuyu. Hal ini dikarenakan binatang kecil itu ternyata capitnya menyakitkan jika mengenai jari tangan. Belum lagi bagian samping tubuhnya juga berduri.

Kala Ratna kembali dari hutan membawa dua bambu panjang, ia tampak keheranan karena tampah milikku baru berisi empat ekor hayuyu saja dan lebih heran lagi mendapati diriku menghisap-hisap jariku yang berdarah.

Ratna tidak berkomentar apa-apa. Ia malah turun ke sungai dan dengan cepat merogoh dasar sungai dan mendapatkan setidaknya empat ekor hayuyu. Ia melemparkannya ke dalam tampah yang kami bawa. Kemudian melakukan hal serupa. Aku perhatikan sebenarnya binatang-binatang itu juga mencakari dan mencapit tangan Ratna, namun entah kenapa Ratna sama sekali tampak tak peduli dengan hal itu.

Penasaran akhirnya aku bertanya pada Ratna, "Ratna, bagaimana caranya kamu tahan dengan capitan makhluk itu?"

"Kamu pernah perhatikan tangan Mpu Citralekha, Istah?"

Aku menggeleng dan Ratna melanjutkan bicaranya, "Tangan beliau kulitnya tebal dan keras dan akupun juga demikian. Capit seperti ini takkan terasa apa-apa di kulit beliau dan juga kulit tanganku. Tapi aku sudah dengar dari Mpu Citralekha, Istah, bahwa di banyak kadewaguruan dan juga mandala para sisya lebih banyak menghabiskan waktu mereka dengan mempelajari keropak-keropak rontal, merapalkan mantra. Urusan makan dan pekerjaan kasar semua dilakukan oleh para ubon-ubon kan?"

"Tapi menurut sastra, bukankah setiap orang di dunia ini punya peranan. Seorang mahakawi harus berperan sebagai penghafal dan pengajar segala sastra sementara kaum pekerja mengerjakan pekerjaan masing-masing sesuai keahliannya?"

"Dan sebagaimana Sang Citralekha sudah kabarkan pada kita bahwa ilmu seorang Citralekha adalah ilmu seorang Siddhimantra digabungkan dengan Yogasastra, Yuddhasastra, dan Pandesastra . Menempa alat-alat tani macam luku saja butuh tenaga yang tidak sedikit Istah, apalagi jika kita menempa senjata. Suasana di perapen akan sangat panas dan percikan logam cair dari perapen sudah barang tentu lebih sakit daripada sekedar capitan hayuyu."

======
sastra = kitab suci dan buku ilmu pengetahuan

Yogasastra = pengetahuan tentang yoga (gerak tubuh untuk meditasi)

Yuddhasastra = ilmu perang

Pandesastra = ilmu para pande besi.

Luku = bajak sawah yang biasa ditarik kerbau atau sapi
======

******

Aku malu luar biasa. Tak pernah seumur hidup aku merasa semalu ini! Ratna benar, ada banyak hal di dunia ini yang musti dipelajari apabila seorang hendak menjadi seorang Citralekha. Aku pernah mendengar seorang Citralekha menguasai segala macam sastra yang ada di dunia dan ternyata ungkapan itu bukan hanya omong kosong. Hari ini aku diajari oleh seorang gadis desa tentang pentingnya membuang jauh-jauh rasa puas diri. Apalagi setelah aku berkali-kali harus terpeleset, tergelincir, bahkan sampai jatuh terguling-guling kala melangkah kembali ke pondok kami kala hujan deras.

Malamnya kala aku masih mengobati kakiku yang terkilir, Sang Citralekha mendekati diriku sambil tersenyum tipis, "Bagaimana rasanya menjalani hidup sebagai Warna Sudra, Siddhimantra Cyuta?"

"Lebih berat dari yang pernah saya dengar Rama Mpu," ucapku sambil terus memijat-mijat pergelangan kakiku.

"Bagi seorang Satria pekerjaan ini mungkin tak terlalu terasa beratnya tapi bagi Warna Brahmana, ini sangat berat kan?"

Aku diam sejenak sebelum bertanya balik, "Mengapa Citralekha juga mempelajari ilmu Warna Sudra dan Satria?"

"Karena tak seperti Mahakawi kebanyakan yang hanya bisa berujar kita harus pasrah pada kehendak para Battara kala bencana menerjang, seorang Citralekha harus tahu persis apa yang mesti dia lakukan. Ada banjir melanda sebuah wanua? Cari sebabnya, apakah air laut meninggi secara tiba-tiba? Apakah hujan guntur dan badai menerjang desa selama beberapa hari tanpa henti? Apakah sebabnya adalah karena sekala ataukah karena seseorang mempraktekkan niskala macam dhitthigataviprayuta? Jika karena sebab alami maka seharusnya bisa dikondisikan sesuatu, apakah kita memperlebar kali yang ada di sekitar wanua atau kita harus pindahkan wanua itu ke lokasi yang lebih baik. Jika sebabnya niskala maka kita harus kerahkan kemampuan kita untuk melenyapkan atau setidaknya menjinakkan sumber masalahnya. Seorang Citralekha harus menguasai pemecahan dari segala masalah baik itu sekala maupun niskala."

========
sekala = kejadian alami / bisa dilihat oleh mata biasa

niskala = faktor supranatural yang tak tampak oleh mata biasa
========



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top