Bab XIII : Dhitthigataviprayuta (Tantra Kiri)



Cyuta

Biasanya acara makan bersama seorang Rakyan Haji atau pejabat penting lainnya akan berlangsung sampai larut malam. Kadang tuak dan minuman-minuman memabukkan lainnya akan turut menemani acara itu. Begitu acara ini usai, tamu-tamu biasanya baru akan bangun tersadar ketika matahari sudah tinggi esok harinya. Perkecualian untuk orang-orang dari kadewaguruan, pasraman, kemandalaan, atau karesian yang memang sebisa mungkin menghindari minuman tuak dan semacamnya dalam jumlah besar.

======
Kadewaguruan = perguruan kebatinan dan/atau kanuragan yang dipimpin seorang guru besar

Pasraman = lingkungan biara para penganut aliran Sanatan

Kemandalaan = lingkungan biara para Wiku Kasogatan

Karesian = kelompok pertapa yang tinggal di hutan (atau kuburan) yang tidak ikut sampradaya Sanatan maupun Kasogatan
======

Tapi malam ini acaranya menjadi kacau balau. Tak lama sejak Ratna berkata bahwa mungkin segera akan ada keributan atau semacam itu, sejumlah perwira jagabela berteriak-teriak sambil membunyikan gong dan kentongan tanda bahaya. Sang Rakyan Haji Paguhan yang sudah tak muda lagi itupun tergopoh-gopoh turun dari bale bersama sekelompok lelaki muda yang tampaknya merupakan anak-anaknya dan berseru-seru kepada segenap abdinya, "Kumpulkan pasukan di gerbang depan! Siapkan penghalang-rintang! Lindungi prameswari dan mahadewi! Bentengi keputren!"

======
Keputren = bagian istana tempat istri-istri raja dan pangeran tinggal. Jika raja punya istri lebih dari satu, istri-istrinya akan bergiliran tidur di kamar tidur raja sesuai kesepakatan sementara yang lain tidur di keputren.
======

Sang Citralekha turun dari bale dengan wajah datar-datar saja. Ia kemudian menoleh ke arah kami berdua dan mengajak kami mengikutinya, "Ayo kita naik ke bukit itu!"

Kami berdua pun menaiki bukit tersebut melalui jalan belakang istana. Di sana kami memasuki sebuah gua yang sudah diterangi sejumlah obor. Aku mengambil sebuah obor yang terpasang di dinding lalu berinisiatif mendahului Sang Citralkeha dan juga Ratna, menjadi pembawa obor yang menerangi jalan mereka.

Kami tiba di puncak bukit itu tepat ketika sangkakala perang dibunyikan. Dari arah perkampungan sebelah barat, pasukan berkuda Sadeng membuka serangan. Pasukan Paguhan membalas dengan melabrak para penunggang kuda itu dengan tombak-tombak dan beberapa siddhimantra yang berjaga di belakang pasukan baris depan mulai merapalkan mantra yang menerbangkan pisau-pisau ke arah para penunggang kuda Sadeng. Sebagian terjatuh dari kudanya dan kemudian jadi bulan-bulanan kuda rekannya, sebagian lagi berhasil mendobrak masuk ke garis pertahanan Paguhan di bagian tengah namun untungnya para pemanah Paguhan yang berjaga di menara-menara pengawas sigap menjatuhkan para penunggang kuda itu.

======
sangkakala = terompet perang
======

Dari pengamatanku pasukan Sadeng yang menyerang tak terlalu besar jumlahnya. Mereka hanya memiliki setidaknya 200 pasukan tombak, 50 pasukan tangan kosong, dan 80 pasukan berkuda, sementara pasukan pemanahnya tak nampak. Lagipula strategi memajukan pasukan berkuda lebih dahulu tapi membiarkan pasukan lainnya berdiri menunggu saja sungguh tidak bijak menurutku.

"Kamu menyadarinya Cyuta? Ada yang aneh dengan serangan Sadeng?"

"Iya Rama Mpu!" jawabku sembari berlutut di pinggir tebing guna mencoba mendapatkan pemandangan yang lebih jelas.

"Kamu bisa melakukan spatha-dresti, Cyuta?"tanya Sang Citralekha kepadaku.

Aku menggeleng, jujur saja aku sempat terkejut ketika Mpu Citralekha menanyakan hal tersebut sebab itu merupakan ilmu siddhi tingkat tinggi. Seorang yang hendak menguasai spatha-dresti harus melakukan ritual tapa tanpa makan-minum selama 28 hari tanpa putus. Selama ritual itu ia harus merapalkan kombinasi 10 mantra yang amat sulit dihafal karena masing-masing terdiri dari 10 bait yang panjang.

"Ratna! Jaga raga kami dari segala macam gangguan. Jika ada yang hendak mengusik kami, usir mereka! Jika mereka menolak, bunuh mereka!"

Ratna mengangguk mengiyakan lalu berjalan mundur menuju pintu gua yang menjadi jalan ke puncak bukit ini. Parangnya ia hunus, bilahnya memantulkan cahaya bulan, dan dengan segera suasana di sekitarku terasa seperti berat.

"Kamu siap untuk ini Cyuta?" Sang Citralekha membuat gerakan mengusap kedua kelopak matanya dengan jemari tangan kanannya lalu memintaku menutup mata dan mengusapkan jemari yang sama ke kelopak mataku.

Alunan mantra dalam bahasa kuno yang singkat namun tampaknya sebenarnya panjang namun sudah dipersingkat mengalun dari mulut Sang Citralekha.

"Buka matamu Cyuta dan beritahu aku apa yang kamu lihat!"

Aku membuka mata dan kini aku mampu melihat keadaan di dasar lembah, seolah aku sedang berdiri di tengah-tengah pasukan yang bertempur. Di sana aku melihat sosok-sosok penunggang kuda yang tadi dijatuhkan oleh pasukan Paguhan kini bangkit kembali. Tulang-tulang yang patah, organ-organ tubuh yang bergeser atau terpisah, luka menganga akibat tusukan tombak, kepala yang berlubang tertembus panah kini berderak-derak menyatu kembali menjadi sosok-sosok manusia utuh seperti semula.

Aku menoleh ke belakang, betapa pasukan Paguhan dan tak terkecuali para Siddhimantra yang ahli dalam siddhi bidang pertempuran terkejut bukan kepalang. Satu ketukan berikutnya aku kembali ke posisi di samping Sang Citralekha. Aku menoleh kepada Sang Citralekha hanya untuk memastikan apakah dugaanku salah.

"Dhitthigataviprayuta – Tantra Kiri?" aku berharap tebakanku salah.

Sang Citralekha mengangguk, membuyarkan segala harapanku tentang salah duga.

"Kau tahu yang harus kau lakukan untuk mengatasi masalah ini kan, Cyuta?"

"Kita harus melakukan hal yang sama dengan yang saya lakukan di Mandala Kasogatan Hinayan beberapa waktu yang lalu kan, Mpu? Kita harus memasuki alam niskala untuk menyerang perapal mantra yang merapalkan mantra-mantra wegig Dhitthigataviprayuta ini!"

"Ada prapen di sini dan aku membawa asthanggi! Kita berdua akan menyerang si perapal mantra!"

******

Seorang Citralekha memang benar-benar beda kelas dari Siddhimantra. Hanya dengan sejumput asthanggi dan satu mantra "Om mani padme hum!" jiwa kami sudah terlepas dari tubuh kami dan berjalan di udara, melintasi jurang, menuruni tebing tanpa terikat hukum alam dan ketika kami berdua semakin mendekat ke medan tempur, kami melihat ada tali-temali hitam tampak menjerat prajurit-prajurit yang sejatinya harusnya sudah mati terpotong atau tertikam. Tali-temali itu bergerak tak beraturan, melakukan gerakan yang 'menjahit' tubuh-tubuh itu kembali seperti semula. Aku dan Sang Citralekha segera menyadari bahwa tali-temali itu meskipun jumlahnya ada ratusan untai semuanya mengarah ke satu titik yang sama.

"Kita ke sana!" ujar Sang Citralekha sembari melesat ke arah pusat masalah.

Aku menyusul tak lama kemudian, melintasi kerimbunan semak dan pohon menuju arah yang sama dengan Sang Citralekha.

Tak berapa lama kemudian mulai muncul gangguan berupa penampakan dua memedi besar berambut hitam di seluruh tubuhnya. Mereka menghantam diriku dan Sang Citralekha hingga kami berdua mundur. Jumlah mereka awalnya dua namun tiba-tiba saja jumlahnya bertambah semakin banyak.

Sang Citralekha mengatupkan kedua tangannya dan sesaat kemudian di antara tangannya kini terbentuk sebuah bola sinar yang ketika dilemparkan ke arah gerombolan memedi itu mereka semua sirna tak berbekas.

Tapi segerombolan memedi segera muncul kembali di sekeliling kami. Jumlahnya kini tak hanya beberapa ekor melainkan ratusan ekor.

"Ambĕk saŋ paramārthapaṇḍita huwus limpad sakêŋ śūnyatā,

Tan sangkêŋ wiṣaya prayojñananira lwir sanggrahêŋ lokika,

Siddhāniŋ yaśawīrya donira sukhāniŋ rāt kininkinira,

santoṣâhĕlĕtan kĕlir sira sakêŋ saŋ hyaŋ Jagatkāraṇa.

Uṣṇiṣaŋkwi lĕbūni pādukanirā saŋ hyaŋ Jagatkāraṇa

Maŋgĕh maŋgalaniŋ mikĕt kawijayân saŋ Pārtha riŋ kahyaŋan

"Batin yang tahu Hakikat Tertinggi telah mengatasi segalanya karena menghayati Kehampaan. Bukanlah terdorong nafsu indria tujuannya, ia hanya seolah-olah saja menyambut yang duniawi. Sempurnanya jasa dan kebajikan ialah tujuannya. Perhatiannya adalah Kebahagiaan alam semesta. Damai bahagia, meski ia tersekat layar pewayangan oleh Sang Penjadi Dunia. Hiasan kepalaku merupakan debu pada alas kaki dia Sang Hyang Penjadi Dunia. Terdapatkan pada manggala dalam menggubahkan kemenangan sang Arjuna di kahyangan!"

Usai Sang Citralekha merapalkan manggala dari Kakawin Arjunawiwaha itu, ia menghantamkan tangannya ke bumi sehingga terjadi gempa bumi yang mengguncang segenap bumi Paguhan.

======
Manggala = petikan kakawin yang seolah hanya narasi tapi sejatinya bisa dijadikan mantra
======

Segala memedi itu kini sirna namun aku bisa merasakan sang perapal mantra yang membantu tentara Sadeng tengah berusaha keluar dari alam niskala guna melarikan diri. Aku langsung menarik sebuah kila dari balik pakaianku dan melesat ke arah tujuan kami tadi.

=====
kila = pisau ritual
=====

Benar saja, di sebuah tanah lapang di tengah rerimbunan pohon banyan dan bambu-bambu ada seorang lelaki berwajah culas yang tampak berusaha menarik kembali tali-temali hitam yang ia sebarkan ke segala medan perang tadi. Aku dan lelaki itu sempat bertatap pandang sejenak sebelum kila di tanganku aku hujamkan ke arah lehernya. Lelaki itu cepat tanggap dan mengorbankan tangannya sebagai tameng untuk menangkis hujaman kila milikku. Ia kemudian menghantamkan tapak tangan kanannya ke arah tubuhku, tapi aku segera berkelit dan mendarat di tanah sebelum menendang perutnya. Lelaki itu terhuyung dan kemudian merapalkan mantra kutuk yang ia arahkan kepadaku. Aku berkelit tipis ketika mantra kutuk yang membentuk anak panah itu nyaris memisahkan kepalaku dari leher.

Sang Citralekha datang membantu tak lama kemudian. Kehadirannya membuat lelaki berwajah culas itu tersenyum, campuran antara rasa girang dan terkejut.

"Citralekha Ananta! Tak kusangka kau ada di sini!" ujar pria berwajah culas itu.

Sang Citralekha langsung mengarahkan satu tebasan tangan kanan ke arah pria itu, namun pria itu seperti punya kemampuan yang sama dengan Sang Citralekha karena ia menangkis ketika Sang Citralekha menyerang dengan gerak tebasan, mengunci atau menepis tangan Sang Citralekha ketika Sang Citralekha hendak memukulnya, berkelit ketika kaki Sang Citralekha hendak menendangnya.

Mantra yang mereka gunakan berlawanan. Jika Sang Citralekha menggunakan mantra dan manggala yang banyak ditemukan di lontar-lontar para Siddhimantra, mantra yang dilontarkan lelaki berwajah culas itu sama sekali tak pernah aku dengar sebelumnya. Aku mencari-cari kesempatan untuk membantu Sang Citralekha dan ketika aku melihat bahwa pada satu titik mantra yang dirapalkan lawan mulai melemah, aku memantrai kila milikku dan menghujamkannya ke arah dada si lelaki berwajah culas.

Lelaki itu mengerang dan satu hantaman telapak tangan dari Sang Citralekha menghempaskannya ke arah rerumpunan bamboo sebelum tubuhnya sirna.

"Dia lolos!" aku terhenyak.

"Ada Siddhimantra dari pihak Sadeng yang membantunya keluar dari alam niskala. Ayo! Kita sebaiknya segera kembali ke raga kita!"

******

Kala aku kembali membuka mataku, aku melihat di dekat kami, Ratna sudah berdiri dengan parang yang sudah berlumuran darah. Ada sejumlah jasad yang mengenakan kepala sabuk lambang Sadeng yang tergeletak di dekat kami. Aku terhenyak dan bertanya kepada istriku itu soal apa yang terjadi di sini.

"Hanya sedikit prajurit Sadeng yang mencoba mengganggu ritual kalian, Istah. Bukan masalah besar kok!" ujarnya enteng.

******

Serangan Sadeng berhasil dipatahkan, Sang Rakai Haji Paguhan sangat berterima kasih atas 'bantuan' kami mematahkan mantra sihir milik musuh. Meski begitu kekhawatiran juga melanda para samgat. Mereka khawatir jika Sadeng tidak segera diatasi maka Sadeng akan mencaplok wilayah-wilayah lainnya. Mereka bahkan membujuk kami tinggal untuk beberapa waktu untuk memastikan tidak ada ancaman lagi dalam waktu dekat.


=====
Samgat = dewan pemerintahan
=====

Tapi Sang Citralekha dengan tegas menolak tawaran itu, "Saya kemari hanya untuk mengambil tiga tosan aji yang saya titipkan pada Rakyan Haji sebelumnya. Setelah ini adalah waktu bagi saya untuk mundur ke gunung untuk melatih chatra-chatra saya. Tapi jika Rakyan dan Samgat sekalian ingin bantuan, datanglah ke Lodoyong. Bicaralah dengan Haji mereka, mereka pasti bisa melawan Sadeng jika Sadeng datang kembali."

Para Samgat tampak saling berbisik satu sama lain sebelum Rakai Haji mereka mengatakan, "Saran Mpu akan kami pertimbangkan. Meski sebenarnya kami sangat mengharapkan Mpu tinggal untuk memediasi pertemuan kami dengan Lodoyong, tapi kami sama sekali tak berhak menahan Mpu lebih lama lagi. Terima kasih sekali atas bantuan Mpu. Sesuai janji, tiga tosan aji ini kami kembalikan pada Mpu."

Para senapati perang Paguhan menyerahkan tiga buntal kain merah, kuning, dan jingga kepada Sang Citralekha. Sang Citralekha kemudian mengambil buntalan merah dan menyerahkannya kepada Ratna, mengambil buntalan jingga dan ia berikan kepadaku, sementara ia sendiri mengambil buntalan kuning yang ternyata berisikan sebuah tongkat logam. Milikku sendiri adalah sebuah bajragenta dengan kila di sisi atasnya, sementara milik Ratna adalah khadga berbilah lurus sepanjang satu hasta, senjata ideal untuk menusuk lawan dari jarak yang tak terlalu dekat.

=====
khadga = pedang pendek dengan bilah kurang dari 100 cm, merupakan cikal bakal keris

1 hasta = 46 cm.
=====

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top