Bab XII : Chatra
Ratna
Aku tak pandai membaca pikiran orang tapi aku rasa Sang Citralekha sepertinya suasana hatinya sedang tidak baik. Terbukti dari keresahan orang-orang berselempang putih yang duduk mengitari batu lingga-yoni itu. Keresahan yang sama seperti yang dirasakan para Rama Magman desaku ketika mereka mengusir aku.
Tapi jika kukira Sang Citralekha akan meledak-ledak amarahnya, ternyata tidak. Ia hanya memegang bahu Sang Raja kemudian berkata, "Izinkan kami tinggal sampai Sadeng datang membumihanguskan wanua-wanua yang kamu kuasai, Rakyan Haji. Barangkali kami bisa lakukan satu-dua hal untuk mempercepat mundurnya Sadeng dari sini."
"Baiklah Mpu Citralekha! Kami akan sediakan kamar tamu terbaik untuk Mpu, sementara cela dan batur Mpu bisa menempati rumah para dayang."
Sekali lagi ini reaksi yang sudah kuterima ... entahlah ... berpuluh kali mungkin? Selalu saja dikira aku ini batur, tapi sudahlah! Hanya saja aku kesulitan menahan tawa ketika mendengar Cyuta disebut cela. Bagi golongan kawindra seperti Cyuta, disebut kaum sudra – petani dan pekerja kasar – saja sudah merupakan bencana, apalagi cela? Duh!
Reaksi Mpu Citralekha? Di luar dugaan kami berdua beliau menjawab, "Dua orang ini tinggal di kamar yang sama dengan saya. Imau dwau api mama chātrau – mereka berdua adalah murid saya!"
******
Tunggu! Aku pernah dengar dari kisah-kisah lisan bahwa ada beberapa Rsi suka angkat murid sembarangan tanpa memandang status dan asal-usulnya. Tapi mendengar aku sendiri yang diangkat menjadi murid? Apa aku bermimpi?
Sang Rakyan Haji Panaraban juga tak kalah terkejutnya, "Mohon maaf Mpu! Tapi apakah saya tidak salah dengar? Dua orang ini murid Mpu?"
"Yang Rakyan Haji sebut batur, sejatinya adalah estri yang mengawal saya sejak dari Danten. Sementara yang Rakyan Haji sebut cela, sejatinya adalah Siddhimantra selayaknya para Siddhimantra yang mengabdi untuk Rakyan Haji – hanya saja akhir-akhir ini dia kurang makan saja!"
Dewa Ratu! Bolehkah aku tertawa keras-keras sekarang? Tampaknya tidak boleh! Tidak elok dan tidak bertatakrama jika aku melakukannya! Tapi sungguh aku harus mengingat-ingat kejadian ini! Kapan lagi ada orang lain yang berpikiran sama denganku soal Cyuta itu kurang makan?
Sang Rakyan Haji menunduk, mukanya merah, tampaknya malu besar. Kemudian ia bersabda kepada Sang Mahadewi, "Dinda Sriruti! Tolong antarkan Sang Citralekha ke kamarnya dan minta para hulunhaji di dapur menyiapkan makanan lebih untuk malam ini!"
"Duli Tuanku!" Sang Mahadewi Sriruti membungkuk sembari mengatupkan kedua tangannya kemudian mengajak kami pergi dari gua itu.
******
Ketika kami tiba di kamar kami yang ngomong-ngomong luasnya keterlaluan karena lebih luas sekitar empat kali daripada kamar tidur para Rama Marati di wanua manapun juga, Cyuta membuat keributan dengan mendebat Sang Citralekha soal kelayakan dirinya dan aku disebut murid.
"Rama Citralekha hanya berkata seperti itu untuk menyelamatkan kami dari penghinaan bukan?"
Sang Citralekha hanya menggeleng, "Tidak, tidak sama sekali. Aku benar-benar sungguh memikirkannya. Terlebih ketika aku dan Mahathera menikahkan kalian kemarin, aku dan dia melihat pranata yang sama."
======
Pranata = tanda-tanda (biasanya erat hubungannya dengan hal gaib)
======
"Pranata apa itu Mpu?" tanya Cyuta lagi.
"Sudah waktunya aku mengangkat chatra, dan kupikir kalian berdua memenuhi syarat untuk itu!"
======
Chatra = murid yang diajar secara pribadi oleh seorang guru saja, berbeda dengan status Sawaka Cyuta yang diajar banyak guru di satu padepokan.
======
"Dengan segala hormat Mpu! Kami tidak layak untuk itu."
Sang Citralekha tampaknya tak mengindahkan perkataan Cyuta dan malah bertanya padaku, "Ratna? Apa kamu menganggap dirimu layak jadi Chatra?"
"Entahlah Mpu," jawabku, "Tapi jujur saja dari sanubari saya yang terdalam, saya memang selalu ingin tahu lebih banyak soal dunia ini. Jika dengan restu Mpu saya diangkat chatra oleh Mpu maka saya akan berusaha sebaik mungkin menurut pada sabda Mpu."
Suamiku mendelik tidak senang dengan jawabanku, tapi biar saja. Aku kan tidak harus minta izin padanya soal ini kan?
"Apa kamu mau menolak Cyuta?" tanya Sang Citralekha lagi.
"Ti-dak, Mpu!" jawab Cyuta pasrah.
"Bagus, sekarang selagi kita menunggu malam tiba, aku minta kamu Cyuta, pergi ke bale sastra dengan Ratna, lalu ajari istrimu itu baca lontar!"
"Bagaimana jika para hulunhaji tidak beri kami jalan?" tanyaku yang agak khawatir dengan reaksi para abdi istana ini.
======
Hulunhaji = abdi raja (atau sekarang disebut juga abdi dalem)
======
"Katakan saja bahwa aku yang mengirim kalian."
******
Ternyata kabar bahwa kami berdua adalah chatra Mpu Ananta sudah menyebar lebih cepat daripada yang kami duga. Para hulunhaji di luar dugaan bersikap amat ramah, berbeda jauh dengan jagabela di gerbang tadi. Beberapa hulunhaji juga menawarkan aku dan Cyuta untuk mandi sejenak di patirtan namun kami menolaknya karena hari sudah menjelang sore dan perintah Sang Citralekha jelas! Baca lontar!
Jujur saja aku belum pernah baca lontar. Teks-teks yang aku baca sejauh ini hanya berupa serpihan lontar yang kebetulan harus dibakar karena sudah terlalu menghitam. Sayangnya isinya kebanyakan hanya perhitungan hutang-piutang semisal : Si Duning berhutang satu babi pada desa atau Si Tumang berhutang lima puluh gantang beras pada Rama Guntur dan akan dilunasi dalam waktu satu warsa, yah, hal-hal semacam itu saja. Aku sama sekali tak pernah mengetahui tentang uraian-uraian yang diceritakan Sang Makudur, tentang cara memerintah yang baik, tentang detya-memedi dan segala makhluk halus lainnya, dan tentang kisah para leluhur yang tak tercakup dalam cerita lisan. Sayangnya sebagaimana semua orang tahu, anak perempuan dilarang berpikir layaknya anak lelaki. Anak perempuan tak boleh baca lontar!
Jadi ketika kami sampai di bale sastra, aku dibuat takjub oleh sebegitu banyaknya lontar yang disimpan di sini. Cyuta mengambilkan aku dua gulung lontar dan kemudian meminta aku membacanya kemudian menjelaskan arti dan maksud lontar itu kepadanya.
Untuk seorang gadis desa yang belum pernah baca gulungan lontar setebal empat puluh lembar kurasa aku sudah lumayan. Sayangnya Cyuta punya pikiran lain.
"Pengucapannya salah! Lafalnya salah! Pengartian makna-maknanya juga salah!" katanya dengan ekspresi wajah tidak terkesan.
"Oh jadi yang benar bagaimana? Aku kan baru diberi kesempatan baca lontar setebal ini hari ini."
Ia mengambil satu lontar, kemudian menunjukkan judulnya kepadaku. Nama lontarnya "Niwerti" dan ia menunjukkan bagian awalnya yang berbunyi "Om Awighnam Astu Namas Siddham – Tuhan, Pencipta, Pelindung dan Pengakhir Alam,Semoga tak ada halangan, sujudku sesempurna-sempurnanya."
Cyuta mengucapkan kalimat itu layaknya melantunkan tembang dan ia menyuruh aku mengulanginya. Pertama kali aku masih canggung, kedua kali sudah mulai agak hafal, dan kali ketiga aku sudah bisa menirukan lafal pengucapan Cyuta.
Cyuta melanjutkan lagi memberi contoh pengucapan parwa yang lain
====
parwa = bait
====
Kami mungkin akan beranjak hingga sampai ke pengartian tiap kata dan kalimat dalam lontar Niwerti jika saja tidak ada seorang hulunhaji yang menemui kami dan meminta kami untuk menuju bale besar untuk santap bersama dengan Sang Rakyan Haji.
*****
Selama ini aku seperti tidak mempermasalahkan statusku yang cuma anak petani yang kebetulan menjadi estri seorang Citralekha. Ke manapun aku pergi, aku tak mempermasalahkan jika aku akan makan di tempat yang sama tinggi atau sama rendah dengan Sang Citralekha.
Tapi sekarang berbeda! Sistem kerajaan mensyaratkan pembagian yang tegas antara siapa yang boleh makan bersama raja dan keluarganya dengan siapa yang tidak boleh. Karena itu Cyuta lekas menarik tanganku ketika aku hendak naik ke atas bale agung kemudian mengajakku duduk di sebuah batang pohon yang dipahat kasar untuk dijadikan bangku di bawah bale agung.
"Tunggu saja di sini! Nanti kan kita dibawakan makanan," kata Cyuta.
"Dari mana Istah tahu?"
"Aku sudah sering diundang acara seperti ini. Jadi ketika Rama Guru kita sedang makan di atas sana, seorang murid hanya boleh duduk di bawah bale. Nanti akan ada dayang atau hulunhaji yang akan membawakan kita makanan dan minuman. Bale hanya untuk para kawindra dan satria semata."
Tiba-tiba sesuatu memantik rasa penasaranku, "Istah, bolehkah aku tanya, siapa sebenarnya kamu sebelum belajar menjadi seorang Siddhimantra?"
Ia tak langsung menjawab, melainkan memalingkan muka, dan mendengus berkali-kali sebelum meninggalkan aku dengan alasan hendak mencari minum dahulu.
Ia pergi agak lama dan ketika kembali ia menyodorkan padaku sebuah batok kelapa yang dialasi daun pisang dengan nasi liwet yang masih panas dan sejumlah lauk yang boleh dibilang jumlahnya 'agak keterlaluan' banyaknya. Ia kemudian meletakkan batok alas makan miliknya di sampingku sebelum pergi lagi mencari minuman.
Cyuta kembali dengan dua cawan kayu berisikan minuman berwarna merah dengan irisan pisang dan sebuah lidi untuk menusuk pisangnya.
"Semlo," kata Cyuta, "Kita nggak bisa dapat ini di luar sana."
"Jadi soal yang tadi ...," aku kembali bertanya tapi kembali disela oleh Cyuta.
"Cepat dimakan, nanti keburu dingin dan tidak enak lagi!" katanya sembari mencomot nasi dari alas makannya.
Yah ... sepertinya Cyuta mau main rahasia-rahasiaan denganku. Tak apa lah, suatu saat dia akan jujur juga tentang ini. Lagipula aku merasakan ada suatu kegelisahan yang kuat ketika melihat sejumlah jagabela masuk ke dalam areal istana dengan mengawal beberapa orang berpakaian kain dekil dan berlubang sana-sini. Ketegangan tampak jelas di wajah para jagabela itu, ketegangan yang sama yang biasa kulihat di wajah para rekan-rekanku Wanua Yodha Danten.
"Kamu benar, Istah, sebentar lagi tampaknya akan ada kehebohan. Musuh mungkin sudah berada dekat sekali dengan kita," kataku sambil mulai makan dengan cepat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top