Bab XI : Geger Paguhan

Ratna

Secara hukum aku dan Cyuta sudah jadi sepasang suami-istri dan diperbolehkan tidur berdua di satu tempat tidur. Tapi secara pribadi aku menolak, sebab sejatinya aku sama sekali belum siap!

Lagipula mana ada gadis perawan yang siap dinikahkan jika baru diberitahu soal pernikahannya dengan calon pasangan kurang dari setengah hari saja? Setergesa apapun seorang pasangan suami-istri menikahkan anaknya, pertemuan antara calon mempelai pria dan mempelai wanita paling tidak dilakukan tiga hari sebelum hari pernikahan. Bukan seperti ini!

Pada mulanya aku memilih tidur di depan kamar Sang Citralekha, sekaligus juga menjalankan tugasku untuk melindungi beliau.

Namun ketika malam semakin larut, Cyuta tiba-tiba datang menghampiriku dan berkata, "Tidak baik anak perempuan tidur di luar sampai malam. Ayo! Tidur saja di kamarku dan aku yang akan jaga Mpu Ananta."

"Tidak terima kasih, Istah. Aku akan tetap di sini, berjaga."

=====
Istah = suami, salah satu dari 33 varian panggilan seorang istri kepada suaminya.
=====

Cyuta tampak merengut, seperti tidak nyaman jika ia harus dipanggil demikian, "Jangan panggil aku Istah. Panggil saja Cyuta seperti biasa," katanya sembari duduk di sampingku.

"Bagaimana kamu bisa jadi estri Sang Citralekha, Ratna?" ia bertanya.

"Singkatnya aku bertemu Mpu Citralekha di desaku, Danten, beliau diminta mengangkat kutuk kekeringan, aku bantu beliau angkat kutuk, tapi sebagai syaratnya aku dirasuki sesosok yaksa yang kemudian memenggal kepala tiga Rama Marata di desaku. Hasilnya? Aku diusir dari desa dan sekarang ikut mengembara bersama Sang Citralekha ke arah Suwarnabhumi. Kalau kamu, apa yang mendorongmu berkelana Cyuta?"

"Aku dulu tinggal di sebuah mandala seperti ini, tapi mandala itu disebut Kadewaguruan dan dipimpin seorang Dewaguru dan ada 15 Rama Guru yang membantunya. Aku tinggal di sana selama lima belas warsa sebelum para Rama Kadewaguruan memintaku berkelana untuk menambah ilmu."

"Lalu ... berapa lama sejak kamu pergi dari Kadewaguruan itu dan akhirnya ketemu gogor?" aku masih ingat ketika pertama kali aku bertemu dengan Cyuta gara-gara anak ini hampir dimakan gogor dan kemudian dikejar-kejar anjing hutan.

"Hanya satu sasih sejak aku pergi! Sebelumnya aku kena peras jagabela, diganggu segerombolan lampor, dikejar-kejar memedi untuk dijadikan suami.

======
Gogor = macan

Sasih = bulan
Jagabela = prajurit kerajaan penjaga keamanan

Lampor = perampok

Memedi = makhluk halus
=======

Aku tergelak di bagian dia dikejar memedi untuk dijadikan suami. Membayangkan Cyuta berlari-lari dari gerombolan wanita berwajah buruk rupa atau anggota tubuhnya tidak lengkap seperti menjadi dagelan tersendiri bagiku.

Tapi Cyuta tak tertawa sama sekali. Aku jadi merasa bersalah karena sudah menertawakan pengalaman tidak menyenangkannya itu. Aku jadi merasa bodoh, istri tak boleh menertawakan suaminya kecuali suaminya mengajaknya bersenda-gurau atau suaminya memang menyatakan diri tak keberatan istrinya tertawa karena tingkah laku konyol yang ia sengaja. Tapi suami seperti apa Cyuta ini? Aku baru mengenalnya sejenak, malah kalau dipikir-pikir aku belum pernah bicara satu-sama-lain dengan Cyuta.

"Kalau kau mau memukulku Istah, aku mempersilakan kamu," ujarku.

Cyuta mengangkat alis kirinya, "Aku seorang Kasogatan, aku takkan memukul istriku!"

******

Cyuta

Aku lupa kalau istriku punya sampradaya yang berbeda denganku! Aku lupa kalau sampradyanya Smarta atau Sanatan! Aku memang kurang suka ketika ia tertawa seperti wanita kampungan ketika aku bercerita soal dikejar-kejar memedi itu, tapi jika ia sampai berpikir untuk membiarkan aku memukulnya untuk kesalahan sekecil itu? Demi Dewa-Dewi Tusita, tampaknya aku sudah menikahi gadis dari golongan yang terlalu lama direndahkan derajatnya sampai-sampai ia berpikir bahwa segala tindakan kekerasan yang dialamatkan kepadanya sebuah kewajaran yang biasa saja.

=====
Sampradaya = tradisi kerohanian (atau dalam bahasa masa kini : agama)
=====

"Tapi jika aku berbuat salah lagi, silakan tegur aku, Istah."

"Kau juga tegur aku kalau aku berbuat sesuatu yang tak berkenan padamu, Ratna."

Kemudian pembicaraan kami menjadi canggung. Kecanggungan ini pun berlanjut dengan keheningan, dan keheningan ini pun akhirnya mengantarkanku kepada alam tidur.

Keesokan paginya ketika bangun, tiba-tiba saja aku sudah berada di pangkuan Ratna yang tampak masih terjaga dan awas. Aku terhenyak dan cepat-cepat bangun.

"Selamat pagi Istah, apa kamu tidur nyenyak kemarin?"

Aku tak bisa langsung menjawab, wajahku panas karena malu. Meskipun sekarang gadis estri ini jadi istriku, tetap saja aku tak menyangka aku akan sebegitu beraninya tidur di pangkuannya hanya dalam waktu semalam saja. Aku bahkan belum sempat berpikiran untuk menggaulinya tahu!

"Cu-cukup nyenyak!" jawabku, "Apa Mpu Citralekha sudah bangun?"

"Sudah dan ia bersama para wiku tadi menawarimu untuk turun ke sungai dan mandi di sana. Aku akan mandi di padusan bersama para Silacarini ... kalau Istah tak keberatan."

"Kamu tak harus minta izin padaku untuk setiap tindakanmu, Ratna!"

"Kalau begitu aku permisi," Ratna bangkit sembari menggenggam parangnya kemudian turun dari tingkat dua ini menuju tingkat bawah.

Aku sendiri akhirnya cepat-cepat menyusul para wiku itu ke sungai karena matahari sudah mulai naik lebih tinggi.

******

Usai mandi dan makan pagi bersama, aku, Ratna dan Mpu Ananta akhirnya berangkat meninggalkan Mandala Kasogatan tersebut. Kami berjalan ke arah barat, mengikuti tujuan Mpu Citralekha Ananta yang hendak menuju Suwarnabhumi. Dan karena aku terjebak tidak boleh terpisah lebih dari 3000 depa dari Ratna jika ingin kutuk kematian itu menggerogotiku lagi, terpaksa aku ikut dengan Sang Mpu meski sebenarnya ... aku tidak suka jika harus berjalan ke barat. Aku punya masalah dengan beberapa orang di daerah barat dan aku sekarang hanya berharap tidak usah bertemu dengan mereka nanti.

======
3000 depa = sekitar 5,48 kilometer
======

Kami melintasi lembah-lembah tanpa jalan setapak. Bebatuannya licin berlumut, membuat kami harus berhati-hati memijaknya dan sesekali kami harus mematahkan beberapa dahan pohon yang cukup keras kayunya untuk kami jadikan tonggak-tonggak penopang jalan kami. Jika kami bertemu jurang-jurang kecil, tonggak-tonggak kayu itu akan kami tancapkan ke seberang jurang dan kami akan memotong beberapa tonggak kayu lagi untuk membuat jembatan kecil. Kemudian setelah menyeberang kami akan mencabut hanya tiga tonggak untuk kami pakai sebagai tongkat berjalan karena kami takkan sanggup membawa semua tongkat itu.

Tiga hari berjalan melalui hutan dan gunung akhirnya sampailah kami ke sebuah wilayah yang menjadi tempat penduduk bermukim. Ladang-ladang hijau membentang membentuk undak-undak sawah yang dipenuhi tanaman padi, suara tembang-tembang terdengar dari mulut-mulut petani yang menghela kerbau untuk mencari makan di ladang rumput sekitar sawah.

"Paguhan!" begitu Sang Citralekha berujar, "Kita akan menginap semalam-dua malam di sini. Tapi sebelum itu saya harus bertemu dengan Paduka Raja negeri ini untuk membicarakan sesuatu."

"Baik Mpu!" ujar Ratna sementara aku hanya bisa membungkuk sebagai tanda setuju.

Kami melanjutkan perjalanan ke arah pusat kutaraja. Menghadap di sebuah gerbang bata yang dijaga sejumlah jagabela berperawakan kekar dan bermuka garang.

======
Kutaraja = ibu kota kerajaan
======

"Ada perlu apa Tuan datang kemari bersama batur dan cela Tuan ini?" tanya seorang penjaga galak di depan gerbang.

"Katakan pada Rakyan Haji junjunganmu, Tuan, bahwa Citralekha Ananta ingin bertemu beliau!"

========
batur = pembantu
cela = budak
Rakyan Haji (dibaca Hayi)= Raja
========

Aku terhenyak ketika mereka menyebut aku ini cela. Tak tahukah mereka aku ini siapa? Tak tahukah mereka bahwa aku ini murid suatu Kadewaguruan yang mencetak banyak sekali Siddhimantra? Memang aku masih. Tapi dianggap cuma pesuruh? Demi Sakra, bolehkah aku memukul kepala mereka?

Penjaga itu berbisik-bisik dengan temannya kemudian mereka berdua tertawa terbahak, "Penipu!" mereka mengacungkan tombaknya kepada Sang Citralekha, "Tak ada lagi Citralekha yang berjalan di Bumi Arcapada ini!"

"Oh ... yah ... sedikit olahraga mungkin tidak buruk," di luar dugaanku Citralekha Ananta menarik satu tombak itu hingga prajurit itupun ikut tertarik ke arah Citralekha kemudian ia memberi prajurit itu satu pukulan keras yang merontokkan seluruh giginya hanya dalam sekali pukulan.

Ratna sendiri kemudian langsung bereaksi menarik parangnya dan menerjang satu prajurit yang lain, memotong tombaknya menjadi dua bagian hanya dengan satu tebasan, lalu melingkarkan lengannya kuat-kuat di leher sang jagabela hingga prajurit itu tak sadarkan diri kehabisan nafas.

Dan semua itu berakhir hanya dalam waktu kurang dari 15 ketuk.

=====
ketuk = satuan yang dipakai guru-guru Cyuta untuk menghitung tempo gerakan menggunakan ketukan tongkat kayu ke tanah. Satu ketukan kira-kira bernilai 3 detik.
=====

"Ibu! Anakmu ini habis terjebak dengan orang-orang macam apa? Lebih-lebih ... istriku itu gadis normal atau jelmaan bhuta coba?" aku membatin sambil menahan rasa ngeri karena aku yang tadinya mau memukul duluan akhirnya keduluan oleh Ratna dan Mpu Citralekha, mana hasil pekerjaan mereka 'lebih baik dan mengesankan' daripada hasil yang kubayangkan pula!

Para jagabela yang mendengar keributan di depan gerbang segera berkumpul di depan gerbang. Begitu mereka melihat dua teman mereka terkapar tanpa daya, mereka langsung saja membuat formasi bertahan dengan tombak teracung ke arah kami bertiga.

Lalu seseorang keluar dari dalam istana, berseru pada para jagabela untuk menghentikan semua kebodohan ini.

"Hentikan kalian! Kenapa kalian menyerang tamu penting?!" seru seorang wanita pintu masuk istana.

Para jagabela itu berbalik arah kemudian berlutut hormat menyambut wanita bermahkota gelung emas itu keluar mendapati kami.

"Mohon beribu maaf, Mpu Ananta. Prajurit-prajurit kami memang tak tahu sopan santun dan pendek akalnya, apalagi dengan ketiadaan Rakyan Haji di singgasana mereka semua tegang dan panik sehingga sering bertindak asal saja."

"Ada apa gerangan dengan ketegangan yang tadi Anda sebut, Mahadewi Sriruti?"

=====
Mahadewi = gelar bagi istri resmi kedua raja.
=====

"Sadeng mengancam perbatasan kami. Sudah beberapa kali mereka memasuki wilayah kami dan memindahkan patok perbatasan secara sepihak. Untuk saat ini kami bisa mencoba mengambil jalan damai, tapi Rakyan Haji sudah tidak bisa bersabar lagi, maka beliau sejak 2 hari yang lalu mengumpulkan semua siddhimantra di Pedhahyangan Agung untuk memulai ritual."


======
Pedhahyangan = punden
======

"Bisa antarkan kami ke sana, Mahadewi?" Tanya Mpu Citralekha.

"Oh tentu bisa, Mpu! Mari ikuti saya!"

Kami berjalan melintasi halaman istana yang dihiasi batu-batu pegunungan yang sudah diasah mulus untuk dijadikan jalan setapak dan batu-batu hias. Setidaknya 100 sangkar berisikan setidaknya 10 macam burung bernyanyi digantung di ketinggian oleh para abdi.

Mahadewi kemudian membawa kami menuruni sejumlah anak tangga ke sebuah gua yang dinding-dindingnya sudah dipahati kisah-kisah dari sejumlah kakawin.

====
Kakawin = cerita rakyat atau legenda keagamaan yang dibukukan sebagai lontar dengan format penulisan puisi atau sajak.
====

Dan di bagian paling dalam dari gua tersebut, aku melihat sekelompok orang duduk membentuk formasi setengah lingkar mengelilingi sebuah susunan batu besar yang berbentuk mirip lingga-yoni. Mereka semua duduk merapalkan mantra-mantra yang dimaksudkan untuk mencapai siddhi, dan siddhi yang mereka tuju adalah siddhi untuk memenangkan perang.

=====
siddhi = kesaktian yang dicapai setelah ritual tertentu misalnya merapalkan mantra sebanyak 1 juta kali.
=====

"Om Swastyastu, Sri Paduka Rakyan Haji Panaraban Kertagosa!" Sang Citralekha mengucapkan salam dan seorang pria tua, dengan rambut dan janggut yang sudah memutih seutuhnya, berbalik menghadap kami bertiga. Wajahnya yang semula keras dan tegang kini mengulaskan senyum tipis.

"Rakryan Mpu Citralekha, saya berharap kami bisa memberi penyambutan yang lebih layak daripada ini, tapi baiklah, apa yang bisa kami bantu?"

"Aku hendak mengambil barang yang aku titipkan pada mendiang ayahmu dahulu Rakryan Haji. Apa kamu masih menyimpannya?"

"Masih Mpu! Tapi mohon maaf, haruskah Mpu mengambilnya sekarang?"

"Ada apa dengan barang itu Rakryan Haji Panaraban?"

"Telik sandi kami melaporkan pergerakan pasukan Sadeng dalam jumlah besar sudah mendekati perbatasan kami. Sadeng tak hendak mencari damai, mereka hendak menyerang dan menaklukkan Paguhan! Kami membutuhkan tosan aji yang Mpu titipkan untuk menangkis serangan mereka. Begitu kami usai dengan urusan ini, tosan aji itu akan kami kembalikan pada Mpu!"

======
Telik sandi = mata-mata

Tosan aji = senjata pusaka
======

Wajah Mpu Citralekhatampak damai-damai saja, tapi sebagai orang yang sudah dilatih membaca perasaanseseorang melalui gerak tubuh dan pancaran aura, aku tahu bahwa perasaan MpuCitralekha tak sedang baik-baik saja. Ia sedang marah, marah besar lebihtepatnya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top