Bab X : Pawiwahan
Aku tidak tahu di mana letak kesalahanku. Aku mendapati Sang Citralekha demam tinggi, sekarat, dan butuh pertolongan lalu aku cari orang yang bisa menolongnya tapi sekarang justru bukan ucapan terima kasih yang kuterima dari Sang Citralekha melainkan sidang penghakiman.
Yah sebenarnya bukan aku saja yang disidang, Sang Mahathera pun tak luput dari amarah Sang Citralekha.
"Apa maksud Tuan Mahathera memberi petunjuk bias seperti itu pada Ratna lalu mengetahui bahwa dia memaksa bocah bernama Cyuta itu datang kemari di luar persetujuannya dan mengiyakan saja semua itu?"
Sang Mahathera hanya tersenyum simpul dan Sang Citralekha sama sekali tidak menunggu jawaban dari Sang Mahathera untuk menyemburku dengan ungkapan kekesalannya.
"Dan Ratna!" suaranya tegas meski tidak keras menggelegar, "Kudengar kamu sampai menyeret paksa Cyuta kemari meski dia sudah menyatakan ketidaksetujuannya. Kamu tahu apa yang baru saja kamu lakukan?"
"Errr ... dia sukses menyembuhkan Mpu?" jawabku sekenanya.
"Kamu memindahkan kutukan yang saya tanggung dari diri saya ke diri Cyuta! Ya, saya sembuh! Tapi harganya apa?"
"Mpu Citralekha bereaksi terlalu berlebihan. Segala hal yang terjadi saat ini adalah sebuah keniscayaan, sesuatu yang harus terjadi demi sebuah keseimbangan di Manusya Dhatu – Dunia Manusia."
"Mahathera, anda jangan berpikir konsekuensi ini hanya ditanggung Cyuta semata. Anda dan para wasi di sini juga pasti akan menanggung akibatnya! Apa yang seharusnya terjadi pada saya adalah dharma – keadilan. Ya! Saya adalah murid dari hantu Citralekha bernama Abhimani itu! Ya! Guru saya telah saya sirnakan dengan tangan sendiri menggunakan danda – tongkat pemukul – yang saya pinjam dari Battara Yama! Dan pada Battara yang sama pula saya pernah mengucapkan sumpah sekali-kali takkan berbuat kurang ajar atau melawan Mpu Abhimani apapun yang terjadi."
"Tapi Mpu Abhimani sudah berubah menjadi bhutakala jahat. Pantaskah beliau Mpu sebut sebagai guru?" aku mendebat pendapat Sang Citralekha dengan sedikit emosi.
"Ini bukan soal pantas atau tidak pantas Ratna! Sekali sumpah diucapkan, terlebih di hadapan para Istadewata seperti Yama – Sang Hakim Para Jiwa – maka sumpah ini mengikat sampai sebab-musabab alami menyirnakan salah satu dari saya atau guru saya!"
"Hukum Tantra," Mahathera memperjelas persoalannya kepadaku, "Tantra – gerak magis semesta – adalah jalan yang dijalani para Citralekha. Tantra pulalah yang membuat mereka lebih kuat dan perkasa daripada Makudur atau Wiku atau Siddhimantra. Tapi persumpahan Tantra terlalu kaku dan mengikat. Pelanggaran yang layak dilakukan seperti kasus Mpu Ananta dan Mpu Abhimani ini contohnya, Ratna. Pelanggaran persumpahan antar praktisi Tantra selalu berakibat fatal."
"Dan Anda memperparahnya, Mahathera."
"Bagi saya ini adalah sebuah tindakan yang layak dilakukan Mpu Ananta. Tahukah Anda apa yang saya lihat melalui citta – batin pikiran – saya? Anda adalah Citralekha terakhir dari era Kemaharajaan, barangkali juga Citralekha terakhir yang berjalan di muka bumi ini. Apabila Anda tiada, siapa lagi yang akan mengajarkan jalan Anda kepada generasi selanjutnya? Lagipula Citralekha Ananta ....," Mahathera menatap Sang Citralekha lekat-lekat, "Anda bertanggungjawab mencari Samrat Cakrawartin baru!"
"Samrat ...?" aku kebingungan dengan istilah barusan.
"Mungkin lain kali," Sang Citralekha mengibaskan tangannya ke arahku sebagai tanda supaya aku diam, namun tatapannya tak lepas dari Sang Mahathera.
Dua orang bijak itu bertatap mata lama sekali sebelum Sang Citralekha mengangguk, meski tampaknya dengan berat hati, "Baiklah, sekarang urusan Cyuta," pandangan matanya kembali beralih kepadaku.
Aku merasa sesuatu yang tidak menyenangkan akan hinggap padaku, dilihat dari tatapan Sang Citralekha yang penuh intimidasi seperti itu.
"Ratna ...," ujar Sang Citralekha.
"Ya Mpu?"
"Berapa usiamu?"
"Sembilan belas warsa, Mpu."
"Cyuta?" pandangannya beralih kepada Sang Mahathera.
"Wiku yang menanyainya tadi pagi berkata dia delapan belas warsa."
"Baiklah kalau begitu Ratna, kamu wajib menikahi Cyuta!"
******
Tunggu sebentar! Barusan Sang Citralekha bilang apa? Menikah? Ya ampun!
"Mpu sedang bergurau kan?" tanyaku sekali lagi
"Tidak, sama sekali tidak," jawab Sang Citralekha serius.
"Atas dasar apa Mpu meminta saya menikahi Cyuta?"
"Masalah kutukan Battara Yama yang berdiam dalam diri saya dan kamu bawa-bawa ke Cyuta. Kalau kamu tidak mau menikahi dia, dia bisa celaka."
"Saya tidak bersedia Mpu! Bukankah di sini banyak ubon-ubon yang mengabdi sebagai pelayan para wasi, kenapa tidak meminta satu dari mereka saja untuk jadi pasangan Cyuta?! Lagipula apa hubungannya antara kutukan dan pernikahan?"
"Justru di situ masalahnya Ratna," sahut Sang Mahathera, "tubuh Cyuta saat ini digerogoti kutuk yang membuatnya bahkan sama sekali tidak berjalan. Tapi menurut hukum alam yang tak tampak, kutukan ini bisa dibagi menjadi dua apabila si penderita menikah. Masalahnya Ratna, tidak satupun dari para Silacarini atau kamu sebut ubon-ubon yang ada di sini itu cukup kuat menjadi pendamping Cyuta. Tentu saja mereka akan bersedia menjadi pendamping Cyuta, tapi gadis-gadis ini takkan bertahan lama menjadi pasangan Cyuta. Dalam sebulan-dua bulan mereka pasti akan mati termakan efek kutukan itu."
"Tapi kalau kamu sih bisa. Kamu bisa bertahan dengan baik di alam Preta Dhatu, bahkan menonjok dua Yamabala sampai mereka mengaduh-aduh seperti itu. Kalau kamu jadi pasangan Cyuta, kalian berdua akan tetap bertahan hidup, bahkan mungkin sampai usia tua," ujar Sang Citralekha tanpa beban sama sekali.
******
Aku sama sekali tidak pernah memikirkan soal pasangan hidup. Kalaupun selintas aku berpikir kelak aku akan berkeluarga, aku jelas-jelas menginginkan pasangan yang lebih gagah dan jantan daripada Cyuta yang kerempeng dan tampak seperti anak kurang makan itu.
Tapi dengan seenak jidatnya, Sang Citralekha dan Mahathera menyuruh aku 'bertanggungjawab' atas apa yang kulakukan terhadap Cyuta dengan menikahinya. Tunggu! Bukankah pertanggungjawaban seharusnya dilakukan oleh pihak lelaki? Bukankah dalam perkara apapun perempuan sejatinya hanya menunggu pertanggungjawaban lelaki? Bukankah perkara korban-mengorbankan diri dalam pertempuran adalah dunianya lelaki?
Aku hendak membantah tapi Sang Citralekha tampaknya merapalkan suatu japa mantra atau semacam itu sehingga mulutku terkunci dan aku tak bisa beranjak bangun dari tempatku bersila.
Sejenak kemudian seorang wiku muda masuk sambil memanggul tubuh Cyuta yang tampaknya tak bertenaga. Wajahnya pias seputih mayat, matanya cekung menjorok ke dalam dengan kantung mata berwarna hitam, sorot matanya sayu tanpa tenaga. Ketika ia menjejakkan kakinya, tubuhnya terhuyung dan akhirnya terjatuh.
"Rayi Cyuta," kata Sang Citralekha, "untuk mengurangi dampak dari kutukan Dwi Mahapataka yang dijatuhkan Sang Suratma kepada Rayi, satu-satunya cara supaya Rayi pulih kembali adalah dengan cara menikahkan Rayi dengan seorang gadis yang layak. Untuk itu kami memilih Ratna."
Mata Cyuta membeliak kemudian menoleh ke arahku dengan tatapan tidak suka sebelum akhirnya menoleh kembali ke hadapan Sang Citralekha dan Mahathera, "Mohon maaf Rama Mpu dan Rama Mahathera, saya lebih baik mati cepat dan dihajar para Yamabala selama ratusan tahun di Neraka daripada harus menikahi dia!"
Sang Citralekha memiringkan kepalanya, "Tapi jika kamu mati, kami harus bilang apa pada gurumu? Bukankah gurumu menyuruhmu pergi berkelana untuk kembali?"
"Demi Dewa-Dewi Tusita Rama Mpu! Jika saya harus menikah untuk menghilangkan kutukan ini, nikahkan saja saya dengan salah satu Silacarini di sini! Saya ogah hidup bersama dengan Estri jahat ini!"
"Jahat? Kapan aku berlaku jahat padamu?" tanyaku memprotes pernyataan Cyuta.
Nada suara Cyuta parau dan lemah namun ia memaksa diri melontarkan segala keluhannya kepadaku dengan nada agak tinggi, "Estri Ratna, kamu memaksa saya menolong Mpu Citralekha sebelum paro gelap bulan ini lewat, kamu menyeret saya layaknya hewan korban yang hendak dijagal di acara adat, itu apa namanya kalau bukan jahat! Ratna! Semua yang kamu lakukan pada saya itu JAHAT!"
"Yang bersumpah untuk memberikan pertolongan di kala Sang Citralekha membutuhkan itu siapa? Kamu sendiri kan, bocah?!" balasku tak kalah sengit.
"Bocah?! Memangnya kamu kira usiaku berapa? Aku sudah dewasa tahu!"
"Usiamu masih 18 warsa, bocah! Aku 19! Jelas aku lebih tua dari kamu! Bocah!"
"Ehem!" Sang Citralekha berdehem, "Kalau kalian mau meneruskan pertengkaran ini, silakan dilakukan nanti saja. Cyuta-nya keburu mampus kalau kita tidak menikahkan kalian sekarang juga."
"Saya tetap tidak setuju menikahi dia!" aku masih tetap saja membantah.
"Ratna," Sang Citralekha berujar dengan suara dingin, "kalau Cyuta mati di sini, aku akan pastikan jiwanya tidak pergi ke kahyangan ataupun neraka dan seumur hidupmu, roh gentayangannya akan mengikutimu, kamu akan mati sebagai perawan tua, dijauhi semua laki-laki dan wanita, kamu akan mati dalam kesendirian dalam hutan dan aku takkan membawamu lagi ke Suwarnabhumi."
DEG! Jantungku serasa mau berhenti mendengar perkataan Sang Citralekha. Kata-katanya dingin mengancam dan tak menerima tawar-menawar. Segera saja aku menundukkan kepalaku dan mencoba bersikap selayaknya kaumku bersikap di hadapan kaum Sang Citralekha.
"Baik Bapa Mpu, patik mohon maaf atas kelancangan patik."
Di sisi lain Cyuta tampaknya juga takut dengan ide Sang Citralekha soal membuatnya jadi arwah gentayangan dan ujung-ujungnya harus tetap bersamaku selama aku masih hidup, "Baik Rama, saya pasrah saja dengan keputusan Rama berdua."
"Baguslah," Sang Mahathera tua itu tersenyum penuh arti, "Waktu kita sempit. Mari kita mulai saja, Mpu Ananta!"
*****
Dua orang bijak dari kalangan kawindra itu membungkus tubuh kami berdua dengan kain kuning dan menyalakan asthanggi serta mempersembahkan bunga-bunga di hadapan sebuah altar yang ada di belakang Sang Mahathera. Aku sebenarnya masih hendak melawan, tapi aku seperti kerbau dicucuk hidungnya, menurut saja. Aku bahkan tak punya kendali lagi atas tubuhku. Tiba-tiba saja aku dan Cyuta kompak berdiri bersama, berlutut bersama, mengucapkan bait-bait mantra yang harus kami ucapkan secara bersama-sama, seolah kami sudah tahu apa yang harus kami lakukan.
"Samanjantu visve devah samapo hrdayani nau, sam matarisva sam dhata samu destri dadhatu nau - Semoga semua Deva menyatukan kedua hati; semoga penguasa air menyatukan mereka; semoga Matarisvan, Dhata dan Sarasvati yang agung menyatukan kedua hati ini," ujar Sang Citralekha sambil membuat gerakan tangan aneh yang mirip dengan gerakan tangan Cyuta saat menolong Sang Citralekha tempo hari.
"Tatha nityam yateyatam stripumsau tu kritakriyau, yatha nabhicaretam tau wiyuktawitaretaram," kali ini giliran Sang Mahathera yang mengucapkan mantra. Aku tidak tahu kapan aku belajar soal itu tapi aku tahu persis maksud mantra barusan. Artinya adalah : 'Hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan, mengusahakan dengan tidak jemu-jemunya supaya mereka tidak bercerai dan jangan hendak melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lain.'
"A nah prajam janayatu prajapati-rajarasaya samanaktvaryama – Semoga Para Prajapati berkenan memberikan kami keturunan, mempersatukan kami bersama hingga usia tua; terbebas dari segala hal buruk" berdua kami kompak mengucapkan mantra itu.
"Aku mengakui engkau sebagai wanita yang pintar dan waspada, Aku mengharapkan engkau menikmati hidup yang penuh bersama saya selama seratus tahun," tiba-tiba Cyuta mempererat genggaman tangan kirinya pada tangan kananku. Aku terkejut, aku tak tahu apakah Cyuta benar-benar menyatakan hal itu sebagai ungkapan terdalam dari dalam hatinya atau itu hanya akal-akalan Sang Citralekha yang tampaknya mengambil kendali atas raga kami supaya ritualnya tidak 'kacau'.
"Semoga suamiku dikaruniai umur panjang, sampai seratus tahun," jawabku singkat karena aku tak tahu apa yang harus aku katakan.
"Om Ah Hum Vajradhara Samaya-Tishtha Siddhi-Vajra Yatha Sukham!" Sang Citralekha dan Mahathera membuat gerakan tangan aneh dengan satu tangan kanan mengarah ke langit sementara satu tangan lagi menumpu badan mereka di bumi.
"Oṃ Namo Bhagavatyai Āryaprajñāpāramitāyai," mereka berdua meneruskan mantranya dan kemudian aku merasakan lantai tempat aku pijak bergoncang keras diikuti dengan suara guntur yang menggelegar.
*****
Gempa dan guntur keras yang terjadi bersamaan tadi tidak berlangsung lama, barangkali hanya dalam beberapa tarikan nafas semata, tapi segenap penghuni mandala ini tampak cemas ketika kami berempat keluar dari ruang tempat 'pernikahan' kami tadi berlangsung.
Awan gelap menggantung di langit, warnanya aneh, tidak kelabu melainkan hitam pekat sedikit kemerahan. Sang Mahathera memicingkan matanya, menatap penuh arti kepada Sang Citralekha kemudian berkata, "Kalian bertiga harus pergi ke Kutaraja Paguhan besok pagi. Tidak baik jika kalian berlama-lama di sini."
Catatan
Hai pembaca, mohon dukungannya pada dua cerita berikut dong(Link terlampir di komentar)Caranya silakan scroll sampai bagian paling akhir lalu klik tombol jempol/LOVE untuk memberikan dukungan. Dukungan pembaca sangat berarti bagi saya (masih butuh sekitar 100 dukungan)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top