BAB VIII: Vajradevata

Ratna

"Saya masih Sawaka – murid baru belajar – Nyai. Kalau Nyai benar cari seorang yang cakap harusnya Nyai cari orang yang sudah jadi Siddhimantra!" dalam perjalanan menuju Mandala Kasogatan, Cyuta masih saja mendebatku dengan menyatakan diri kurang pantas untuk menolong Sang Citralekha.

Karena perdebatan ini terasa sama sekali tidak maju-maju, aku akhirnya mengikat terpaksa menerkam pemuda itu, mengikat tangan dan kakinya lalu dan menyeretnya paksa ke Mandala Kasogatan, Tapi dalam kondisi terikat dan setengah diseret pun Cyuta masih saja mendebatku. Sudah cukup lama aku berdebat kusir dengan remaja satu ini. Karena bosan dan lelah melayani dia lebih lama maka aku memakai cara terakhir.

"Kalau tidak salah terakhir kali kita bertemu, Rayi menjanjikan sesuatu bukan? Seperti janji bahwa Rayi ingin bertemu kami di lain kesempatan. Dan saat itu tiba Rayi ingin membalas budi baik Mpu Citralekha bukan? Beliau sudah dua kali menyelamatkan nyawa Rayi kan?"

Wajah Cyuta langsung mengeras ketika aku mengulangi perkataan dan janjinya dahulu. Ia terdiam lama sambil meremas-remas jarinya. Wajahnya sukses kubuat menjadi pucat pasi ketika kutambahkan pula kutipan kitab-kitab suci, "Kalau tidak salah lagi, pengingkar janji lidahnya akan dicabut lalu tubuhnya dicineleng-celeng[1] oleh Yamadewa di akhirat kan? Apalagi jika ia melanggar janji kepada raja atau kawindra. Betul kan?"

"Baik! Baik! Nyai Estri, Nyai menang. Saya akan berusaha sebisa mungkin menolong Mpu Citralekha!" ujar Cyuta dengan nada geram sekaligus putus asa, "Sekarang bisa tidak lepaskan ikatan ini?"

"TI-DAK!" jawabku singkat.

"Kenapa?"

"Karena aku tahu kamu pasti hendak kabur."

"Nyai! Aku tidak akan kabur."

"Ketahuilah, Rayi. Aku ini dulu Wanua Yodha, aku sudah hafal tiap kali menangkap seseorang, dan dia menoleh ke belakang berkali-kali itu artinya dia ingin kabur."

"Aku cuma mengkhawatirkan barang-barangku. Aku baru sadar buntalanku ketinggalan di sana!"

"Buntalanmu ada di sini," aku mengangkat sebuah buntalan kain merah yang jadi bawaan Cyuta.

"Eeee, tapi tampaknya ada yang ketinggalan."

"Kalaupun ketinggalan," aku memperkuat tenagaku saat menarik tangan Cyuta hingga akhirnya pemuda itu tersungkur jatuh, "Aku yakin para wiku di Mandala punya penggantinya untukmu."

******

Cyuta

Celaka!

Sungguh benar-benar celaka! Kupikir setelah lolos dari gogor dan baung-baung itu aku bisa melalui hari-hari pengelanaanku dengan selamat dan sentosa tanpa aral yang berarti tapi ternyata justru aku terancam jatuh ke dalam lembah kesengsaraan yang amat dalam.

Gogor = harimau

Baung = anjing hutan

Guruku telah memperingatkanku akan tanda-tanda yang harus aku waspadai dalam perjalananku seperti jangan menerima pemberian yang indah-indah ketika akan berangkat berkelana tapi aku melanggarnya dengan membawa batu permata indah yang ternyata mengundang segenap hewan buas.

Sekarang aku bertemu dengan wanita yang hendak menagih janji yang tak sengaja aku ucapkan beberapa waktu yang lampau. Sesuatu yang sudah diwanti-wanti oleh guruku sejak lama.

"Kalau kau ditolong seorang kawindra dalam perjalananmu dan sebelum lewat paro gelap dua bulan berikutnya kamu sudah ditagih membalas budinya, itu artinya kamu akan jatuh ke dalam masalah besar. Sebisa mungkin larilah, tapi jika tidak bisa bersiaplah. Penderitaanmu takkan terperi."

Paro gelap = gerhana bulan separuh

Aku sudah ketakutan setengah mati dan berusaha keras memberontak, melarikan diri dari estri ini, tapi sayang kekuatan estri ini lebih besar daripada wanita kebanyakan. Ia menyeretku bagai anjing yang hendak diantar ke penjagalan tanpa kesulitan yang berarti. Setiap kali aku mencoba bertahan selangkah, tenaga sang estri malah memaksaku melangkah tiga langkah kalau tidak sudah pasti aku tersungkur di tanah.

Singkat kata aku akhirnya sampai di sebuah bangunan wiyara bertembok bata merah tebal yang di dalamnya tinggal sejumlah besar wisaya berjubah kasaya coklat kekuningan. Aku tahu tempat ini, tempat suci para rahib Kasogatan, tapi dari aliran yang berbeda dari tempat asalku. Di sini warna coklat di jubah mereka lebih cerah, bahkan cenderung kuning dibandingkan semua wiku atau wisaya yang pernah aku temui. Estri bertenaga banteng ini masih setengah menyeretku sampai akhirnya aku protes, "Nyai! Sudahlah jangan menyeretku lagi. Aku bisa jalan sendiri!"

Para Silacarini, sekelompok wanita berkepala gundul dan berjubah putih yang bertugas melayani para wiku, tampak terkikik menahan tawa menyaksikan bagaimana aku yang laki-laki ini diseret seorang perempuan bak seekor kerbau bebal yang menolak disuruh membajak sawah. Tapi segera saja suara tawa kikik perempuan-perempuan itu terhenti tatkala seorang wiku tua melangkah turun dari puncak wiyara.

"Mahathera," Sang Estri membungkuk di hadapan sang wiku tua, akupun turut membungkuk pula dan wiku tua itu tampak tersenyum puas melihatku.

"Kaki Siddhimantra Ring Tantra Kasogatan. Siapa nama Kaki?"

Kaki = Nak (panggilan untuk orang yang jauh lebih muda)

"Nama patik Cyuta, Bhante Mahathera," jawabku dengan hati penuh tanda tanya.

Bagaimana dia bisa tahu aku ini belajar aliran apa sementara kami baru sekali ini bertemu?

"Lepaskan dia, Estri!" perintah Sang Mahathera, dan estri banteng betina itupun melepaskan ikatanku.

Tangan dan kakiku agak lecet gara-gara berkali-kali ditarik oleh sang estri, tapi sebelum sempat aku minta lukaku dirawat, Sang Mahathera sudah mendahuluiku memulai pembicaraan.

"Kaki Siddhimantra. Tentunya Kaki tahu kan tentang masalah yang kami hadapi saat ini?"

"Ya, Bhante, saya tahu."

Bhante = panggilan untuk para wiku / wisaya Kasogatan

"Bersediakah Kaki membantu kami? Sebab masalah ini sangat pelik dan tanpa kerelaan hati yang sungguh-sungguh ikhlas, aku ragu Rayi bisa mengatasinya."

"Sang Citralekha demam dan tak sadarkan diri dan para bhante di sini tak sanggup menyembuhkannya dan harus menggunakan jalan tantra, kurasa ini berhubungan dengan praktek pangiwa bukan?"

"Praktek pangiwa ...," Sang Mahathera menghela nafas, "kalau saja masalahnya hanya seperti itu. Sayangnya tidak, Kaki. Semua ini berkaitan dengan dengan pelanggaran persumpahan, antara guru dan murid, antara manusia dengan alam niskala, antara jiwa dan dewa-dewi alam Kamadhatu."

Kamadhatu = alam yang masih terikat oleh nafsu dan wujud, memiliki banyak sub lapis mulai dari neraka lapis tujuh, dunia manusia, sampai Swargaloka / kahyangan tempat para dewa yang dipimpin Sakra, dewa petir bertahta.

"Dan siapa yang terlibat dalam persumpahan ini Bhante?"

"Yama!"

DEG!

Oke ... kupikir jika aku harus menghantam segala memedi, toya, atau separah-parahnya bidadari kahyangan dari tubuh Sang Citralekha kurasa aku masih sanggup. Tapi Yama? Ya ampun! Itu sih bukan makhluk alam niskala rendahan lagi. Itu sih DEWA! Batinku langsung membujukku untuk membalikkan badan dan lari sekencang-kencangnya selagi sempat tapi melirik ke arah kanan, aku melihat estri sialan itu tengah memelototiku sembari meletakkan tangannya di ujung gagang parangnya dan mungkin saja bersiap menetak hidung, telingaku, atau bahkan leherku sampai putus andaikan aku menolak untuk menuruti permintaan ini.

"Lari tunggang langgang dengan resiko kepala ditetak atau menyanggupi dengan resiko dibunuh dewa alam kematian? Sungguh keputusan yang sulit untuk kuambil!"

"Bagaimana Kaki?" tanya Sang Mahathera.

"Patik .... menyanggupinya Bhante," ujarku lemas dan benar saja, sang estri itu segera menjauhkan tangannya dari gagang parangnya sementara Sang Mahathera dan para wiku berpakaian coklat kuning itu langsung mempersilakanku naik ke bale utama.

Di bale utama aku melihat jasad seorang pria berumur tiga puluh warsa terbaring di tengah bale, di atas dipan batu. Sementara itu para wiku bergantian masuk ke dalam bale membawa prapen – perapian berbahan bakar arang, bunga tujuh macam, asthanggi – dupa wangi, dan sebuah jentera mantra, yakni sebuah benda berbentuk seperti gasing namun sejatinya merupakan sebatang kayu yang dililiti kertas emas bertuliskan mantra-mantra. Agak aneh mendapati jentera mantra di Mandala Kasogatan beraliran Hinayan, karena biasanya hanya aliran Vajra saja yang memakai jentera mantra.

"Silakan pakai jentera itu, Kaki. Semoga itu cukup untuk melindungimu dari amukan Yama."

Daripada cukup, aku harus bilang ini lebih dari cukup. Jentera ini bertuliskan mantra-mantra kuat yang mampu memanggil makhluk dari luar alam Kamadhatu. Ya, jika kamu tidak bisa mengalahkan makhluk terkuat dari alam Kamadhatu, panggil saja makhluk lain dari alam di luar Kamadhatu.

Tapi sebelum aku menunaikan tugasku, kutolehkan kepalaku kepada Sang Estri yang sudah menyeretku ke dalam situasi berbahaya ini. Sedikit banyak aku ingin menuntut balas maka kupanggil gadis itu dan kusuruh dia bersila di sampingku. Tanpa banyak tanya ia menurut meski ada ekspresi heran di wajahnya.

"Nah, Estri? Kamu sudah siap?"

"Siap untuk apa?" tanyanya.

"Berpetualang ke alam lain," kataku sembari menuang bubuk asthanggi ke dalam prapen, membuat asap wangi mengepul ke sepenjuru ruangan dan segera suasana di bale itu terasa lain. Terasa berat dan dingin, sebelum berubah menjadi hangat dan menjadi dingin kembali. Perubahan itu berlangsung cepat dan Mahathera segera meminta wiku yang lain untuk beranjak keluar dari bale utama. Keputusan tepat, karena bisa saja mereka ada dalam bahaya seandainya ritualku ini gagal.

"Jiwa Sang Citralekha terjebak di Alam Sunyata, Nyai. Aku akan membuka gerbang ke sana dan kita berdua harus masuk ke dalamnnya."

"Kita?" Sang Estri terhenyak.

"Ya, siapa lagi?" jawabku sembari menarik keluar sebuah bajragenta – lonceng ritual dari dalam buntalanku. Selain itu kutarik pula sebuah pisau dengan gagang berukirkan wajah raksasa seram. Semua itu kuletakkan di dekat jentera mantra.

"Parangmu, Nyai, letakkan dekat benda itu," aku menunjuk kepada jentera mantra tersebut.

Sang Estri menurut dan segera saja aku merasa ritual ini bisa dimulai. Kutarik nafas dalam-dalam. Kuposisikan tanganku sedemikian rupa sehingga telapak tangan kananku menumpu telapak tangan kiriku selagi kedua ibu jariku bertemu. Aku melakukan hal itu selama beberapa saat sembari mengucapkan sejumlah mantra pembuka. Setelah itu kuulurkan tanganku kepada jentera mantra sambil memutarnya dengan tangan kananku dan berkali-kali menyebut, "Mani Dharma Chakrano!"

Untaian gambar dan huruf tampak mengalir keluar dari dalam jentera mantra itu. Huruf dan gambar yang membentuk bait-bait mantra yang harus dibaca dan dilafalkan dengan benar untuk membuat ritual ini sukses. Kuraih bajragentaku dan mulai kulafalkan bait-bait mantra itu.

Namo Ratnatrayaya

Namo Aryavalokitesvara

Bodhisattva Mahasattva Mahakarunikaya

Om Sava Abhayah Sunadhasya

Namo Sukrtvemana Aryavalokiteshragarbha

Namo Nilakantha Siri Mahabhadrasrame

Sarvathasubham Ajeyam Sarvasattvanavarga Mahadhatu

Tadyata Im Avaloke Lokite Karate

Hari Mahabodhisattva Sarva Sarva Mala Mala

Masi Maharrdayam Kuru Kuru Karmam

Kuru Kuru Vijayati Mahavijayati

Dhara Dhara Dharin Suraya

Chala Chala Mama Brahmara Muktir

Ehi Ehi Chinda Chinda Harsham Prachali

Basha Basha Presava Hulu Hulu Mala

Hulu Hulu Hile Sara Sara Siri Siri Suru Suru

Bodhiya Bodhiya Bodhaya Bodhaya

Maitreya Nilakantha Dharshinina

Payamama Svaha Siddhaya Svaha Maha Siddhaya Svaha

Siddhayogesvaraya Svaha Nilakantha Svaha

Varahanaya Svaha Simhashiramukkhaya Svaha

Sarvamahasiddhaya Svaha Cahkrasiddhaya Svaha

Padmahastya Svaha Nilakanthavikaraya Svaha

Mahasishankaraya Svaha

Namo Ratnatrayaya

Namo Aryavalokiteshvaraya Svaha

Om Siddhayantu Mantrapadaya Svaha


(Terjemahan :

Aku berlindung kepada Triratna – Tiga Permata Kebajikan

Aku berlindung kepada Avaloketasvara Yang Agung

Di dalam makhluk yang agung telah mencapai penerangan, di dalam yang penuh welas asih dan kasih sayang.

Didalam perlindungan yang tak merasa takut dan gentar

Semoga aku dapat berlindung didalam Avaloketasvara

Aku berlindung kepadamu, didalam kewelas-asihan

Yang penuh dengan pengertian dari semua cara dan jalan yang suci, yang membuat semua makhluk berupaya dan mensucikan semua alam kehidupan.

Kepadanya yang melampaui segala yang ada di dunia ini

Oh makhluk agung yang terang

Inti dari dunia

Sang Maha dari segala pekik kemenangan

O inderaku berdirilah dan tegaklah

Bergeraklah! Bergeraklah! (Avaloketasvara) Bebaskan aku dari gangguan pikiran.

Datanglah, datanglah, Dengarlah , dengarlah, dengarlah, suka cita yang timbul

Berbicaralah, berbicaralah! Berilah seruan!

Suara-suara untuk permohonan di dalam doa

Bangkit, bangkit!

Oh yang penuh dengan kasih! Dia yang patut didambakan.

Kepada yang tak gentar, svaha! Kepada yang penuh kekuatan, svaha! Kepada yang penuh kekuatan yang maha besar, svaha!

Kepada yang penuh kekuatan dari kesatun dan kesatuan, dari kesatuan, svaha! Kepada yang agung, svaha!

Kepada yang kelihatan berwajah seram, svaha! Kepada yang berwajah singa,svaha!

Kepada yang memiliki semua kekuatan besar, svaha! Kepada yang empunya segala kekuatan chakra, svaha!

Kepada yang memegang teratai agung, svaha! Kepada yang maha agung, svaha!

Kepada yang maha memberkati, svaha!

Aku berlindung kepada Triratna!

Aku berlindung Avaloketasvara, svaha!

Om! Terlaksanalah semua hasil mantra ini!

)

Penjelasan :

Swaha / Svaha = adalah seruan dalam mantra yang kurang lebih memiliki maksud "semoga terjadi" atau "Amin!"

Om/ Ommmm/ Aum = mewakili suara semesta / perwujudan makhluk yang tidak lagi terikat ruang, waktu, dan karma misalnya Sakyamuni atau Sang Achintya – Keberadaan Yang Maha Tinggi.

Bale utama ini bergetar, asap merah mengepul dari tubuh Sang Citralekha lalu dalam sekejap aku menarik keluar jiwaku dan jiwa Sang Estri dari dalam raga kami masing-masing. Sang Estri tampak kaget bukan kepalang tapi karena waktunya sempit segera saja ia gantian kuseret masuk menuju ke dalam tubuh Sang Citralekha.


[1] disembelih lalu dicacah-cacah layaknya celeng (babi hutan)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top