Bab VII : Siddhimantra


Baiklah, jadi sepertinya aku tak punya pilihan lain selain menelusuri kembali perjalanan kami mulai dari desa Kedung – desa tempat tinggal suami istri pande baik hati itu – kemudian desa Yura di sebelah timurnya sampai kalau perlu kembali ke Ayung di sebelah timurnya lagi.

Aku menyusuri jalan menurun dari bukit tempat Mandala Kasogatan itu berdiri dan kembali ke Kedung. Suasana Kedung tampak biasa-biasa saja. Tak ada yang istimewa, tak kulihat pula ada tanda bajra di atas kepala tiap orang yang kutemui. Meski begitu aku tetap pasang mata dan awas terhadap adanya segala sesuatu yang aneh atau tidak biasa.

Ternyata aku tak mendapatkan apa-apa. Kalaupun seorang memiliki tanda di atas kepalanya itu ternyata tanda berupa lingkaran yang penuh motif totol-totol yang tidak kupahami artinya.

Aku kembali berjalan, kali ini keluar dari Kedung. Berjalan setengah hari menyusuri hutan yang penuh tumbuhan berdaun jarum yang aromanya segar[1]. Sayangnya kesegaran aroma hutan itu dirusak oleh kehadiran kelompok rampok yang ternyata sudah menungguku di tengah hutan.

Begundal-begundal yang kuperkirakan sudah berminggu-minggu tidak menyentuh air itu tampak menyeringai melihatku datang mendekat.

"Wah! Wah! Wah! Gadis Ayu Rupawan ini hendak ke mana?" tanya seorang dari mereka yang tampaknya adalah pimpinan mereka. Tubuhnya tegap dan kekar, rambutnya gimbal awut-awutan, mengenakan sehelai kain merah kusam sebagai ikat kepala. Sebuah golok tersampir di pinggangnya.

"Saya hendak ke Ayung," jawabku datar sementara mata gerombolan itu sudah mulai jelalatan.

"Mau kami antar, Cah Ayu? Kami semua bersedia kok mengantar kamu ke Ayung!"

"Oh tidak, terima kasih. Saya sudah terbiasa bepergian sendiri," jawabku.

"E-e-e jangan begitu Cah Ayu! Tak baik menolak niat baik kami ini lho!"

"Niat baik para rampok itu selalu punya maksud lain, antara merampok saya atau merayahi saya bukan?!" jawabku ketus.

"E-e-e! Cah Ayu ini mulutnya pedas!" ujar sang pemimpin disambung gelak tawa anak buahnya.

"Pedas?" ku menyeringai, "Lebih pedas mana dengan yang ini?" aku maju dan langsung menendang sela paha kepala rampok. Si kepala rampok membeliak lalu jatuh tersungkur sambil meratapi nasib buah kelaki-lakiannya.

Anak buahnya terkejut dan langsung saja seorang dari mereka kuhantam dengan bogem tangan kananku. Si rampok bertubuh kurus itu langsung terlempar dan membentur pohon. Rampok-rampok yang lain langsung menghunus golok mereka. Menanggapi hal ini akupun menghunus parangku dan mulai menerjang satu dari mereka sebelum mereka menyerang duluan. Parangku dan golok si rampok beradu. Kakinya berusaha menendangku, tapi kutangkap duluan. Dengan satu sapuan kaki kanan, kubuat rampok itu jatuh dan parangku langsung menghujam jantungnya.

Rampok yang lain terkejut. Barangkali mereka tidak menyangka ada wanita yang bisa berbuat seperti ini. Mereka langsung mencoba mengeroyokku, tapi aku segera memungut golok milik rampok yang kubunuh lalu menyabetkan leher seorang rampok dengan golok di tangan kiriku sambil menusuk mata seorang rampok lain sampai tembus ke belakang kepalanya. Kedua rampok itu harusnya sudah putus nyawanya ketika mereka rubuh ke tanah. Kini hanya sisa dua rampok, tiga kalau aku hitung pula kepala rampok yang masih meratapi nasib buah kelaki-lakiannya itu.

Dua rampok itu berjalan mundur sambil tetap memasang ekspresi garang. Namun aku bisa melihat bahwa kedua rampok itu mulai ketakutan. Tangan mereka gemetaran, memegang senjatanya pun mereka sudah dalam posisi tidak benar.

"HA!" aku menggertak mereka dengan teriakan dan di luar dugaanku mereka pun langsung lari terbirit-birit meninggalkan pimpinan mereka yang masih tersungkur memegangi selangkangannya.

"Hei! Hei! Hei! Keparat! Bedebah! Jangan tinggalkan aku! Hei!" si pemimpin rampok berteriak-teriak memanggil dua anggotanya yang lari terbirit-birit meninggalkan dirinya. Si kepala rampok bersusah payah berdiri dan berusaha lari tapi bilah parangku sudah keburu menghadang langkahnya.

"Tu-tunggu Cah Ayu! Aku bisa beri kamu uang banyak kalau kamu mau biarkan aku pergi! Bagaimana menurutmu? Dua tal[2] emas cukup?"

Dua tal emas? Menggiurkan ya? Dengan emas sebegitu banyaknya kamu bisa beli satu bidang tanah dan tiga tegalan sawah ditambah dua ekor kerbau di desa Kedung. Tapi tahukah kalian apa jawabanku? Satu sabetan parang yang menebas leher si kepala rampok. Membuat lehernya tiada henti mengucurkan darah sebelum akhirnya ambruk dan mengeluarkan suara degug lalu mati.

"Sungguh Nista jika aku terima emas hasil dari dirimu merampok dan membunuh, Ki Sana!" ujarku pada si mayat yang sudah terbujur kaku itu.

Lalu aku kembali berjalan. Menerobos masuk ke dalam bagian hutan paling lebat, maksudku hendak memotong jalan tapi tiba-tiba saja suasananya menjadi berubah. Hutan menjadi lebih gelap, matahari seolah menghilang, suara burung-burung yang biasanya terdengar kini tak lagi terdengar. Lantai hutan tiba-tiba terasa lebih lembab dan basah. Suhu udara turun, menjadi sedingin tengah malam di puncak gunung.

Bulu kudukku meremang, seisi hutan tiba-tiba terasa menjadi sangat berbahaya bagiku. Kutarik parangku keluar dari sarungnya sekali lagi sambil terus melangkah cepat-cepat. Semakin jauh aku melangkah, kudengar suara bisik-bisik orang di sepenjuru hutan, sayup-sayup awalnya namun makin keras dan makin keras meski tidak jelas apa sebenarnya yang mereka bisikkan.

Aku terus saja berlari-lari, ketakutan yang tidak jelas sebabnya menjalari seluruh uratku. Sampai akhirnya sesuatu yang besar menghadangku. Mulanya kupikir itu pohon, tapi ternyata bukan.

Itu adalah makhluk yang entah hewan entah dhemit[3] yang berwujud bagai batang pohon mati dengan kulit kayu yang hitam legam bak batu-batu besar di dasar sungai. Makhluk itu menghentakkan kakinya dan seketika bumi berguncang. Akupun tersungkur dan tahu-tahu saja tangan makhluk itu sudah hendak meremas diriku.

Aku menggulingkan tubuhku lalu meraih sebuah batu dan kulemparkan pada makhluk itu. Batu itu menghantam kepalanya (atau sesuatu yang kuanggap kepalanya meski tak ada wajah yang terpahat di sana) tapi sayang tidak terlalu berpengaruh. Tetap saja makhluk itu melangkah mendekat.

Karena kupikir makhluk ini jalannya lambat, aku bisa saja berlari melewatinya dan terus berlari sampai ke ujung hutan. Tapi segera saja kuurungkan rencana itu karena segera datang sekelompok macan kumbang berbulu hitam yang mulutnya menganga lapar.

"E-eh? Kalian suka buah surèn (durian) tidak?" dengan bodohnya aku mencoba meniru-niru ucapan Citralekha Ananta pada si gogor tempo hari. Lagipula kalaupun mereka suka, tidak ada pohon surèn di tempat ini.

Yang kudapat tentu saja adalah geraman. Aku sekarang jadi makin gugup. Rampok masih bisa kulawan dengan parang dan kaki, tapi kalau segerombolan macan kumbang dan dhemit pohon?

Di tengah kepanikan itu tiba-tiba aku mendengar suara genta berbunyi. Genta itu berbunyi dalam tempo teratur dan sayup-sayup kudengar pula suara langkah kaki orang yang menginjak ranting dan dedaunan kering di dalam hutan.

Yang kulihat berikutnya nyaris tak dapat kupercaya!

Bagaimana tidak? Aku melihat Cyuta, si pemuda kelana yang beberapa waktu lalu dikejar-kejar gogor serta baung kini berjalan dengan tenang seolah-olah hendak bunuh diri ke arah sekumpulan hewan buas serta dhemit pohon!

"Oi!" aku berseru keras untuk memanggilnya namun ia tampak tak mendengarkan aku. Matanya terpejam, tangannya menggoyangkan genta berkali-kali dan mulutnya tampak menggumamkan sesuatu.

Para macan kumbang itu tampak terganggu dengan suara genta dari Cyuta sehingga mereka semua tampaknya sepakat untuk segera menerkam pemuda itu!

"CYUTA!" aku kembali berseru untuk menyadarkannya supaya ia bisa selamat dari terkaman mereka. Tapi ternyata itu tidak perlu. Sesaat kemudian Cyuta membuka matanya dan ... demi Sakra! Di kepalanya bersinar sebentuk bajra berwarna kuning tembaga dan tampak mengalirkan sebentuk selubung sinar tipis berwarna tembaga yang langsung saja memunahkan para macan kumbang itu menjadi serpihan.

"Om namo Bhagawatayai Arya-Prajnaparamitayai," (Wahai Pengetahuan Utama nan Sempurna yang menyebar ke seluruh penjuru) Cyuta tampak menggerak-gerakkan jari-jemari tangannya membentuk posisi aneh. Mula-mula ia menyatukan kedua jari telunjuknya kemudian berganti dengan menempelkan jari telunjuk dan ibu jari kanannya membentuk lingkaran sementara jari tengah kirinya ia satukan dengan jari tengah kanannya selagi genta itu masih digenggam di tangan kirinya, "Bhuta, Kala, Desti, Yaksha, Purusa. Om, Gate, Gate, Paragate, Para Samgate Bodhi Swaha."(Wahai segala roh alam, para bhuta, kala, desti, yaksha dan purusa. Dengarkan pengetahuan ini dan kala engkau mengetahuinya pergilah!)

Si dhemit pohon itu tampak berusaha maju ke arah Cyuta namun ia tak dapat. Kakinya seperti terpaku di tanah dan segera sesudah itu seberkas cahaya warna biru pudar melesat dari tangan kanan Cyuta dan menembus batang pohon hidup itu. Segera sesudah itu terdengar suara menggeram yang menggetarkan bulu kuduk namun tak lama kemudian rasa itu menghilang. Tiba-tiba saja sinar matahari yang terik kembali menerobos dedaunan pohon tinggi. Udara hutan juga kembali normal, sedikit sumuk dengan diselingi sedikit semilir angin seperti biasa.

"Ah Nyai Batur Abdi Mpu Citralekha rupanya. Sungguh kebetulan saya bisa bertemu Nyai di sini. Sedang apa Nyai di sini?"

Batur? Aduh Biyung! Rasanya aku ingin meninju muka si pemuda ini supaya bentuk dahi, pipi, dan dagu yang serasi itu berpindah tempat dan tak lagi serasi! Berani-beraninya dia bilang aku ini batur?! Tapi ... setelah kupikir-pikir lagi tidak baik melakukan itu. Aku butuh dia untuk mengobati Mpu Citralekha. Jadi langsung saja kuutarakan maksudku tanpa banyak basa-basi.

"Mpu Citralekha tengah sakit dan butuh bantuan Rayi Cyuta!"

Wajahnya tampak kaget dan kemudian mencoba mengelak, "Tapi saya bukan siapa-siapa Nyai. Saya rasa banyak tabib hebat yang kiranya bisa menyembuhkan Citralekha daripada saya."

"Perintah yang saya terima jelas, Rayi. Saya diharuskan mencari orang dengan tanda bajra di atas kepalanya. Dan ketika Rayi mengusir segenap dhemit tadi, tanda itu jelas-jelas bersinar di atas kepala Rayi!"

Sekarang ekspresi Cyuta terlihat lebih kaget lagi, "Nyai Batur ... Anda memiliki Tri Ajna?"

"Ya, seorang Wiku Kasogatan memberiku anugerah ini. Tapi ngomong-ngomong berhentilah memanggil saya Batur, Rayi! Saya Estri! Bukan Batur!"


[1] Ratna bermaksud bilang pohon itu tusam atau pinus, tapi dia tidak tahu namanya


[2] Satu tal kira-kira satu kantong isi 5 gram butir emas.


[3]setan

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top