Bab VI : Tri Ajna
Para wiku ini jelas tahu betul soal ramuan obat yang mujarab. Segera sesudah mereka mengoleskan semacam gerusan lebih dari lima jenis tanaman yang tidak aku ketahui namanya, suhu tubuh Sang Citralekha langsung turun drastis, menjadi normal, namun kesadarannya belum pulih. Wiku tua yang sering dipanggil Mahathera itu mendekatiku sesaat setelah mendapati suhu tubuh Citralekha Ananta kembali normal.
"Estri," kata wiku tua itu sembari mengatupkan kedua belah tangannya sebagai salam hormat.
"Ya Tuan?"
"Kami punya dua dugaan mengenai obat yang tepat untuk mengobati Mpu Ananta, tapi sebelum kami memberi obat yang salah, kami ingin bertanya dahulu padamu. Apa Mpu Ananta sebelum ini bertemu dengan sesuatu yang tidak lazim?"
Tolong beri waktu aku berpikir untuk memisahkan mana yang lazim dan tidak lazim dalam kehidupan Sang Citralekha. Saban kali dia masuk desa, kalau tidak ketemu jiwa orang mati ya ketemu prasati berisi kutukan. Apa itu bisa disebut 'lazim' atau sudah tergolong 'tidak lazim'?
"Sang Citralekha banyak berurusan dengan hal tidak lazim Tuan Wiku," akhirnya aku menjawab demikian.
"Tapi sebelum ini ... apakah dia bertemu dengan sesuatu yang berbeda? Jiwa orang mati yang tidak biasa ia temui mungkin?"
Ah! Aku jadi teringat pada jiwa orang mati yang konon dahulu adalah Citralekha pula itu. Dendam Citralekha itu tetap ia bawa mati dan sejumlah penduduk tak berdosa ikut jadi korban kutukannya. Sang Citralekha bahkan harus memanggil ... tunggu! Itu dia!
"Ah! Sang Citralekha beberapa waktu yang lalu sempat berhadapan dengan lawan tangguh dan memanggil sesuatu senjata. Semacam danda – tongkat pemukul."
Wajah wiku tua itu tampak menegang sebelum kembali kepada ekspresinya semula yang teduh dan tampak tersenyum tipis, "Kalau begitu kami sudah tahu apa yang harus kami lakukan. Mari berharap cara ini ampuh."
"Ampuh? Memangnya apa yang terjadi dengan Mpu Citralekha, Tuan Wiku?"
"Lebih baik kamu menyaksikannya sendiri, Estri," kata wiku tua itu sembari membalikkan badan, "setelah ini, datanglah ke aula besar."
******
Para wiku dengan pakaian coklat kekuningan tampak berkumpul seluruhnya di aula besar. Usia mereka beragam. Ada yang masih berusia belasan warsa namun ada pula yang kutaksir sudah melewati usia 50 warsa. Semuanya mengenakan pakaian serupa, kasaya coklat kekuningan serta potongan rambut seragam – rata dan plontos.
Wiku tua bergelar Mahathera itu duduk bersila di tengah-tengah aula, hanya berjarak tiga langkah di hadapannya adalah sosok Sang Citralekha yang tampak belum sadarkan diri juga.
"Mari kita mulai!" Sang Mahathera memukul sebuah batok kelapa tiga kali sebelum mengatupkan kedua tangannya dan memejamkan matanya. Para wiku yang lain kemudian melakukan hal yang serupa, bahkan di salah satu sisi lain bangunan, di belakang para wiku, kulihat Mpu Gati dan istrinya juga mengambil posisi serupa.
Aku tidak tahu mereka berdoa pada siapa. Tapi aku tahu mereka jelas tidak berdoa pada Sakra – dewa langit. Mereka berdoa pada sosok lain yang sama sekali asing bagiku.
"Om Nammo Jyanna Saddhaka," Sang Mahathera mulai membuka doanya.
"Om Ma Ni Padme Hum," para wiku membalas ucapan Sang Mahathera
Om Yani dha bhuta ni sama gata ni
Bhummani va ya niva antalikkhe
Sabbe'va bhuta sumana bhavantu
Athopi sakkacca sunantu bhasitam
Tasma hi bhuta nisametha sabbe
Mettarn karotha manusiya pajaya
Diva ca ratto ca haranti ye balirh
Tasma hi ne rakkhatha appamatta
Etena saccavajjena
dukkha vupasamentu me
Etena saccavajjena
bhaya vupasamentu me
Etena saccavajjena roga vupasamentu
Sadhu-Sadhu-Sadhu
(
Kepada tiap makhluk yang berkumpul di tempat ini,
Baik engkau makhluk bumi ataupun langit
Kami harap engkau bahagia
Dengarkan kata-kata kami o makhluk yang berbahagia
Dengarkan kami oh segala makhluk yang berkumpul di sini
Tunjukkan belas kasih pada manusia
yang siang dan malam memberimu persembahan
Lindungi mereka sebaik-baiknya
Oh semoga kesejahteraan selalu menaungi kami
Oleh karena kekuatan kebenaran semoga penderitaan kami lenyap
Oleh karena kekuatan kebenaran semoga ketakutanku lenyap
Oleh karena kekuatan kebenaran semoga penyakitku lenyap
Baiklah harapan ini tercapai
)
Mereka semua mengulangi rangkaian kata itu berulang-ulang. Dua kali, sepuluh kali, dua puluh kali, sampai akhirnya mencapai jumlah yang ada di luar kemampuanku untuk menghitungnya. Tubuh Sang Citralekha sendiri selama proses ini berlangsung tampak mengepulkan asap. Asap itu berwarna merah tipis sebelum lama-kelamaan menjadi semakin pekat dan tanpa dinyana, gumpalan asap tebal itu menimbulkan sebuah ledakan.
Sinar merah sumber ledakan itu membutakan mataku dan kudengar ada suara orang berteriak. Ketika kubuka mataku, kulihat para wiku itu sudah bergelimpangan. Sebagian mengerang sambil memegangi mata mereka yang sempat dibutakan oleh sinar merah itu. Sebagian wiku yang usianya masih belasan warsa mencoba berdiri dengan susah payah sebelum akhirnya terjatuh lagi.
Hanya Sang Mahathera yang masih tampak dalam posisinya semula. Satu tangannya terangkat dan tampak menahan sesuatu dengan tangan kirinya. Sesuatu yang tidak tampak oleh mata telanjang. Sang Mahathera kemudian bangkit berdiri dan menghentakkan kakinya keras sekali ke tanah kemudian mengibaskan jubah kuning kecoklatannya dan asap merah yang tersisa di ruangan itu pun berangsur menghilang.
Wajah Sang Mahathera tampak memandangi satu-demi-satu para wiku yang terkapar di lantai aula. Hanya beberapa dari mereka yang masih sanggup berdiri dan membantu rekan-rekannya yang lain. Sang Mahathera kemudian menghampiriku dan berkata, "Estri, maafkan saya. Masalah ini ternyata berada di luar kemampuan kami!"
******
Aku sudah khawatir kalau-kalau Sang Mahathera memutuskan kami harus angkat kaki dari wiyara ini sesegera mungkin, tapi ternyata tidak. "Kami akan merawat Sang Citralekha sebaik mungkin di sini selagi engkau mencari bantuan," kata Sang Mahathera.
"Bantuan?"
"Ya Estri. Kamu harus mencari seseorang yang memiliki ciri khusus."
"Ciri khusus?" aku semakin tidak mengerti.
"Mohon maaf Estri. Pejamkan matamu sesaat."
Aku menurut dan aku merasakan tangan Sang Mahathera menggoreskan kukunya di atas kulit dahi di antara kedua alisku. "Bukalah matamu," kata Sang Mahathera kemudian.
Ketika aku membuka mataku saat itu, dunia serasa berubah. Aku bisa melihat Sang Mahathera diselubungi pendar cahaya kuning. Redup, tidak menyilaukan, tapi juga padat dan cukup cemerlang.
"Tandaku adalah cahaya kuning ini. Orang yang harus kamu cari, Estri, adalah orang dengan tanda ....," Sang Mahathera mengambil sebuah benda yang kukenali sebagai senjata Sakra – bajra alias tongkat petir yang pernah diarak oleh Makudur di desaku.
"Di mana aku bisa mencarinya, Tuan Mahathera?"
"Menurutmu di mana Estri?"
"Aku tidak tahu, kenapa anda malah balik bertanya seperti itu Tuan?"
"Karena berdasarkan firasatku, kau sudah pernah bertemu dengan si pemilik tanda itu."
Aku sekarang mulai khawatir kalau-kalau aku harus menelusuri semua desa yang pernah kami kunjungi pasca kami meninggalkan Danten dahulu. Tapi sepertinya aku tidak punya pilihan lain ... kan?
Catatan pengarang :
Bajra itu wujudnya seperti
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top