Bab V : Mandala Kasogatan



Biang = Ibu (panggilan pada wanita yang lebih tua bukan ibu kandung dan tidak tahu jabatannya apa)

Gek = panggilan hormat pada wanita yang lebih muda

Penghusada = penyembuh, tabib

Wiyara = biara

Mandala = pertapaan yang punya asrama

Pasraman = asrama untuk siswa

Ubon-Ubon = abdi perempuan di biara/pertapaan

Kasaya = kain lebar yang dipakai untuk penutup tubuh.

Sutra = bacaan ayat-ayat suci

Sejak matahari belum muncul aku telah berjalan sendirian ke dalam hutan. Dengan obor di tangan kiri serta suara deburan ombak di kejauhan aku memutuskan bahwa buah kelapa adalah hal yang harus kucari pertama kali pada hari itu. Ketika sampai di pantai kulihat ada setidaknya tiga pohon kelapa tumbuh di pantai yang penuh karang tersebut. Aku letakkan oborku di sebuah ceruk karang dan kuselipkan parangku di mulut sembari memanjat pohon itu. Tidak butuh waktu lama sampai akhirnya aku bisa menjatuhkan lima buah kelapa dari pohon tersebut untuk kubawa kembali ke gua.

Kelapa-kelapa itu kuikat dengan tali rotan yang kubawa dari Danten lalu kupanggul kembali ke dalam hutan. Di tengah jalan, aku berpapasan dengan dua ekor ayam hutan jantan yang sedang ribut bertengkar berebut seekor betina. Saking sibuknya mereka bertengkar, mereka sampai tak menyadari kehadiranku. Aku berpikir ayam hutan itu bakal bisa kami santap sehingga kuraih sebongkah batu dan kulemparkan ke arah seekor dari mereka dan ... kena telak! Salah satu dari mereka langsung jatuh pingsan sementara yang satu lagi langsung berlari masuk hutan bersama si betina. Yang pingsan akhirnya kuambil dan kuiris lehernya untuk jadi makananan kami berdua malam ini.

Saat aku kembali ke dalam gua kulihat Sang Citralekha masih tertidur sambil mengigau. Kuletakkan barang-barang bawaanku dan kuraba dahinya. Panasnya masih tinggi tapi tak ada satupun tetes keringat yang dikeluarkan olehnya. Akupun mengangkat kain basah yang tadi kuletakkan di dahinya dan membasahi kembali kain tersebut dengan air dari air terjun kecil yang kebetulan berada di dekat gua kami berada. Kain itu terasa panas luar biasa, seolah ada tungku menyala di dalam tubuh Sang Citralekha.

Pada mulanya, karena aku merasa Ibuku adalah seorang tabib desa dan aku tahu satu-dua hal mengenai tanaman obat, aku yakin sekali menyembuhkan Sang Citralekha tidak akan terlalu sulit. Cukup letakkan kain yang dibasahi air dingin, sambil sesekali mengoleskan parutan bawang merah di ubun-ubun serta tangan dan kaki seharusnya sudah cukup untuk menurunkan panas beliau. Nyatanya aku salah! Matahari sudah tenggelam dan terbit dua kali namun demam Sang Citralekha makin parah. Kesadarannya telah hilang dan sesekali ia tampak mengigau.

Karena resep bawang merah gagal, aku pun mencoba resep kedua : air kelapa. Kubacok bagian atas sebuah kelapa yang tadi kupetik dan kulubangi bagian atasnya lalu kubawa kelapa itu kepada Sang Citralekha dan (sedikit!) memaksanya bangun untuk minum air kelapa itu. Konon air kelapa dapat menurunkan suhu tubuh orang yang demam. Kuharap 'konon' itu benar adanya.

Kulanjutkan kegiatanku dengan membakar ubi kayu, bekal kami di atas perapian sembari mencabuti bulu-bulu si ayam hutan yang kulanjutkan dengan menusuknya dengan sebatang buluh lalu kubakar di atas perapian.

Lalu aku mendengar suara orang yang tengah menerabas hutan dengan parang mendekat dan makin mendekat. Dugaan pertamaku itu pasukan Rakai Warih, maka dari itu aku segera menyambar parangku lalu beranjak keluar perlahan dan mengintip dari mana sumber suara itu berasal. Aku berjongkok sembari memanjat bukit di sisi timur air terjun. Suara itu terdengar makin dekat, maka aku pun menyembunyikan diri di balik rerimbunan tanaman merambat. Saat sosok-sosok itu mulai keluar dari kerimbunan itu, tahulah aku bahwa itu adalah para wanua yodha yang mendampingi seseorang ibu tua berpakaian kain kuning halus dengan wajah yang diolesi bedak tipis. Baik kepala maupun hatiku seolah sepakat menyatakan bahwa mereka tidak jahat dan mereka bisa kumintai bantuan untuk membawa Sang Citralekha pada tabib mereka.

Maka akupun perlahan keluar, mengucapkan salam kepada ibu tua tersebut, "Om Swastyastu

Biang!"

"Om Swastyastu, Gek. Siapa Gek ini dan dari mana?" tanya wanita tua itu dengan suara lembut sementara kulihat para wanua yodha yang mengawal wanita itu sudah pasang posisi siaga, mungkin mewaspadai kalau-kalau aku ini bandit yang menyamar atau semacam itu.

"Nama patik Ratna. Patik kemari karena mengawal juragan patik, tapi juragan patik kini tengah sakit keras. Sudah dua hari lamanya Juragan tidak siuman jua. Karena itu mohon maaf jika patik lancang, tapi patik mohon kemurahan hati Biang untuk meminjamkan beberapa orang pengawal Biang untuk membawa juragan saya ke desa terdekat."

Wanita itu menoleh ke arah salah dua dari para pengawalnya lalu mengutusnya untuk mengikuti aku dan membawa majikanku itu ke desa. Awalnya aku ingin turut pula memapah Sang Citralekha tapi kedua Wanua Yodha itu namun mereka melarang aku turut serta.

"Gek bawakan saja barang-barang Gek lalu ikut kami ke desa," kata seorang dari mereka sembari mulai memapah Sang Citralekha keluar gua dan perjalanan kami ke desa pun dimulai.

*****

Jarak desa dengan gua itu ternyata tak begitu jauh[1]. Tak sampai tengah hari kami sudah sampai di desa. Kala wanita paruh baya itu berjalan, semua orang tampak tunduk memberi hormat. Hatiku tidak bisa tidak penasaran, siapakah sebenarnya wanita ini?

Wanita itu akhirnya berbelok ke sebuah rumah yang meski rupanya tak semewah rumah-rumah para Rama Magman dari desa-desa yang kami kunjungi sebelumnya, namun cukup besar dan elok dibandingkan rumah penduduk biasa. "Rahayu, Kanda!" sapa wanita itu kepada seorang pria sebayanya yang tampak tengah menyirami sebentuk senjata dengan air berwarna keperakan di atas sebuah wadah liat.

Yang dipanggil menoleh dan tersenyum pada wanita tersebut, "Wah Ni! Cepat sekali kembalinya?"

"Aku sudah mendapat pesananmu, batu baja dan ndrau pesananmu sudah aku ambil dari sungai, Kanda."

"Tapi biasanya Ni suka berlama-lama dekat sungai, sampai senja, lalu pulang membawa berikat-ikat bunga. Kenapa hari ini pulang cepat?"

"Ada seorang yang butuh bantuan penghusada desa kita. Apa Kanda bisa meminta bantuan Ki Yaksa sekarang?"

Dahi pria itu mengernyit, "Ki Yaksa belum kembali dari desa-desa sebelah, Ni. Memangnya separah apa kondisinya?"

"Kanda silakan lihat sendiri," kata wanita itu sembari menunjuk ke arah Sang Citralekha.

Pria itu menaruh sebentuk senjata yang daritadi ia genggam lalu berjalan ke arah Sang Citralekha. Disentuhnya dahi majikanku sebelum ia memandang penuh arti ke arahku.

"Kamu," kata pria itu sebelum terdiam sesaat, "Estrinya?"

Aku mengangguk. Dalam hati aku senang akhirnya ada orang yang tidak memanggil aku sebagai 'batur' lagi. Sungguh! Lama-kelamaan menyebalkan juga selalu disangka batur.

"Kamu sudah memberi obat apa saja untuk majikanmu?"

Aku menyebutkan segala obat yang sudah kucoba pada Sang Citralekha. Pria itu kemudian diam sejenak sebelum akhirnya berujar, "Sayang sekali saya juga tidak tahu obat macam apa lagi yang harus saya berikan pada majikanmu, Estri. Sebab saya bukan penghusada, pengetahuan saya soal obat terbatas."

"Tak apa, Bapa. Kami akan menunggu sampai penghusada itu kembali," jawabku.

"Jangan!" kata pria itu lagi, "Kalian semua, bawa orang ini ke Mandala Kasogatan! Para wisaya itu pasti ada yang tahu soal pengobatan untuk masalah macam ini. Dan Demi Jagat Dewa Batara! Siapa orang tolol yang mengajarkan kalian membawa orang sakit dengan cara dipapah seperti itu hah? Setidaknya pakailah tandu dari kain lebar supaya si sakit bisa istirahat!"

Para Wanua Yodha itu menunduk sebelum akhirnya beberapa dari mereka mulai membuat tandu dari dua batang bambu panjang yang dijalin dengan tali rotan dan selembar kain putih kasar. Mereka membaringkan Sang Citralekha di atas tandu itu sebelum kemudian beranjak pergi membawa Sang Citralekha dengan pasangan suami-istri pemilik rumah itu turut serta mendampingi kami.

"Estri, aku hendak bertanya padamu," ujar sang pria di tengah perjalanan kami.

"Ya Bapa?"

"Majikanmu itu ... apakah dia seorang Citralekha?"

Aku terdiam. Dalam hati aku mulai merasa takut kalau-kalau orang ini ada hubungannya dengan Rakai Warih atau Sadeng. Tapi sang istri segera menenangkan kekhawatiranku.

"Jangan khawatir Ratna. Suamiku tidak berniat jahat. Ia bertanya seperti itu karena ia merasakan keganjilan dengan majikanmu itu."

"Keganjilan?" aku sama sekali tidak mengerti.

"Ketahuilah Estri, aku ini seorang pande, aku membuat senjata baik untuk rakyat maupun untuk kesatria. Dari situ aku bisa merasakan perbedaan wibawa seorang kesatria rendahan atau seorang berilmu tinggi. Tapi majikanmu ini punya ... bagaimana aku mengatakannya?"

"Berbeda," sambung istrinya, "wibawanya lebih tinggi daripada para keluarga raja, lebih tinggi daripada keluarga kerajaan, lebih tinggi daripada mpu pande manapun yang pernah suamiku temui."

"Ya! Ya! Seperti itu!" sahut suaminya, "Dan kudengar, hanya seorang Citralekha yang lazim memiliki kekuatan wibawa sebesar itu."

Akhirnya aku mengangguk mengiyakan. Pasutri itu saling bertatap-pandang sebelum akhirnya memanggil seorang pengawalnya, "Kamu ... segeralah kabarkan ke kutaraja, ada seorang Citralekha di sini. Mintalah pada Paduka untuk berkenan menjemputnya di sini usai beliau sehat."

"Tunggu! Ada apa ini sebenarnya?" tanyaku khawatir.

"Paduka kami sangat ingin bertemu dengan seorang Citralekha semenjak beliau masih muda, tapi Sadeng konon membunuh hampir semua Citralekha yang tersisa sehingga apabila majikanmu benar seorang Citralekha, maka jangan khawatir, Paduka kami akan melindungi kalian dari ancaman kerajaan manapun yang ingin mengincar nyawa kalian."

"Jangan khawatir Ratna, di Paguhan ini, keamanan kalian terjamin," kata sang istri pande itu.

*****

Dari tengah hari sampai senja kami mendaki perbukitan ke sebuah puncak bukit di mana sebuah bangunan tampak berdiri di puncaknya. Bentuk bangunan itu sendiri amat tidak lazim bagiku. Sebab atapnya berbentuk seperti tutup cangkir yang mengerucut ke atas dan sebentuk tiang tampak menancap di atasnya. Pagar di sekeliling bangunan itu sendiri seperti benteng, terbuat dari batu padas yang kasar namun kokoh dengan pintu dari kayu yang tebal dan berat. Seorang pengawal Sang Mpu Pande membunyikan semacam bel dan segera saja terlibat perbincangan dengan seseorang di balik pintu kayu. Akhirnya pintu pun terbuka dan kami pun dipersilakan masuk.

Kala pertama kali aku masuk ke dalam sana, aku awalnya menyangka ini adalah benteng pengasingan bagi mereka yang terkena sakit parah. Sebab semua yang ada di benteng ini semuanya berkepala plontos! Tak terkecuali ubon-ubon yang berlalu-lalang dengan balutan kain putih sambil membawa-bawa entah panci atau embernya.

"Maaf Mpu, tempat apa ini sebenarnya?" tanyaku pada Si Mpu Pande.

"Ini adalah Wiyara, tempat tinggal bagi mereka yang memeluk aliran Kasogatan."

"Kasogatan?"

"Estri, apa di tempatmu ada Makudur?"

"Uh, ya," ingatanku kembali melayang pada si Makudur tua di desaku yang beberapa waktu yang lalu gagal menurunkan hujan itu.

"Di desa kami tidak. Sebagai ganti para Makudur, kami memiliki para wasi atau wiku, yakni mereka-mereka yang mengenakan kasaya – jubah – coklat kekuningan."

"Jadi ini semacam pasraman?"

"Hampir serupa, tapi tidak juga. Mereka yang tinggal di sini tidak bisa keluar seenaknya seperti di pasraman. Dan ah, aku harus melapor dulu kepada Mahathera, Estri. Kita lanjutkan pembicaraan ini nanti."

Seorang wasi tua yang seluruh kulitnya telah keriput tampak keluar dari apa yang sepertinya adalah bangunan utama lalu menuruni anak-anak tangga selayaknya ia masih anak muda dan memberi salam kepada Mpu Pande itu dengan mengatupkan kedua tangannya di depan dada. Sang Mpu Pande juga melakukan hal serupa.

"Mpu Gati, ada urusan apa Anda sampai jauh-jauh kemari?" tanya wasi tua itu lembut.

"Kami butuh bantuan Mahathera dan segenap wiku di sini untuk menolong tamu kami," kata Mpu yang ternyata bernama Gati itu sambil menunjuk ke arah Sang Citralekha.

"Citrakeha Ananta," wiku tua yang kurasa usianya sudah nyaris satu abad itu menatap takjub sekaligus iba pada Sang Citralekha sebelum akhirnya berkata kepada para wiku-wiku lainnya, "Bawa dia ke kamar tamu! Beri dia ramuan obat terbaik yang kita punya dan malam ini kita semua berkumpul di aula besar untuk membaca sutra-sutra penyembuhan!"


[1]Catatan pengarang : Ingat, 'tidak begitu jauh' versi orang abad klasik Indonesia itu sekitar 10-15 km jika diukur dengan satuan modern >.<. Kira-kira 3 jam jalan kaki atau 30 menit naik motor ;)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top