Bab IX : Yamabala


Cyuta

Ketika kamu jatuh maka kamu akan jatuh ke bawah, ketika kamu meremas tanah padat maka tanah itu akan luruh menjadi serpihan kecil, begitulah hukum alam kita bekerja.

Tapi di sini bukan alam kita. Di sini kami berdua seperti terombang-ambing antara atas dan bawah, terbang dan jatuh, menjejak air yang padat atau batu yang malah menghisap kaki. Segalanya tampak ganjil di sini. Pepohonan di sini berbatang putih pucat dan segala kekacauan terjadi. Mulai dari dentuman-dentuman layaknya gunung meletus yang terjadi di mana-mana, asap belerang yang sesak-memuakkan, sampai dengan batu-batuan baik yang besar maupun kecil melayang-layang sesuka hati dan terkadang nyaris mencelakai makhluk iseng seperti kami yang sudah lancang memasuki alam ini.

Aku sudah pernah mengunjungi alam seperti ini beberapa kali, jadi aku tahu kapan harus merunduk, memutar badan, menangkis batu yang datang seenaknya atau menapak tanah lembek sambil berlari-lari sekencang-kencangnya. Tapi Si Estri jahat yang tadi menyeret-nyeretku sampai lecet di sana-sini itu rupanya tidak terbiasa dengan segala keanehan alam ini. Aku sebenarnya dari tadi menahan tawa karena Si Estri jahat barusan dahinya terhantam batu besar lalu mengumpat-umpat. Belum selesai umpatannya, dia dijambak satu pohon besar berwarna abu-abu pucat, lalu wajahnya dihantam batu lagi.

"Merunduk Estri!" pintaku ketika pohon itu tak jua melepaskan rambut Si Estri. Si Estri menurut dan menjatuhkan tubuhnya hingga menyentuh tanah.

Sesaat berikutnya, aku goyangkan bajragentaku, meghasilkan suara denting khas bajragenta sebelum benda berbentuk lonceng di tanganku itu berubah menjadi sebilah pedang bersinar sepanjang sepuluh depa yang gagangnya menyatu dengan pergelangan tanganku. Satu ayunan dari pedang itu dan terpotonglah batang pohon berwujud tangan tersebut disertai sejumlah besar rambut Sang Estri yang sedari tadi ditarik oleh pohon tersebut.

"Lari!" aku meraih tangan Si Estri dan segera saja kami berlari di atas tanah yang mulai lembek dan tiba-tiba longsor.

"Cyuta!" aku mendengar Sang Estri berteriak panik karena melihatku terjatuh namun aku tak terlalu khawatir karena aku sekarang tengah melayang.

"Eh?" Sang Estri memiringkan kepalanya, tampak bingung ketika melihatku menapak udara kosong.

"Pegang tanganku, Estri. Jangan takut! Selama kau ada di dekatku, kau bisa menjejak udara dan awan di alam ini."

Ia menurut dan meraih tanganku dan bersama kami melompat-lompat udara kosong sembari mencari-cari keberadaan dari sosok yang raganya tengah kami masuki ini.

Setelah melintasi sejumlah tanah gersang penuh dengan kawah akhirnya kami tiba di suatu tanah lapang penuh asap belerang di mana sosok Sang Citralekha tampak sedang berusaha mempertahankan diri dari amukan dua makhluk ganjil bertangan empat, bermuka dua, bercaling (bertaring) empat yang mencuat keluar bibir pada tiap mulut mereka, serta memegang senjata macam mosala (gada), tombak, dan pedang.

Aku dan Sang Estri menjejak turun selayaknya kami menuruni undak-undak anak tangga. Kami berdua menghambur ke arah dua makhluk ganjil tersebut.

Perlukah kudeskripsikan betapa kacau dan berantakannya kondisi setelah itu? Sepertinya perlu, karena tanpa kusadari dari tadi-tadi ternyata estri jahat ini punya kenekatan luar biasa untuk melabrak segala makhluk ganjil tadi tanpa tedeng aling-aling. Mula-mula ia melompat dan mendarat tepat di hadapan sesosok makhluk bertangan empat tersebut lalu menonjok makhluk itu tepat di wajahnya. Si makhluk yang kalau aku tidak salah sebut termasuk golongan Yamabala – abdi Batara Yama, penguasa alam orang mati – itu langsung mundur sambil mengerang-ngerang memegangi mulutnya.

Sang Citralekha yang kulihat sudah mandi keringat itu tampaknya tak kuasa untuk berbuat apa-apa lagi. Bagi manusia biasa, berlama-lama di alam seperti ini memang bukan kodrat mereka. Bahkan andaikan mereka memiliki kemampuan lebih dalam pengendalian cakra dan kundalini, terlalu lama di alam Preta Dhatu akan menguras daya hidup mereka.

Jadi kuputuskan untuk merelakan sebagian kundalini milikku untuk dipakai oleh Sang Citralekha. Dengan satu totokan di pertemuan antara tulang leher dan tulang punggung, aku dengan sengaja menyalurkan sebagian kundaliniku pada Sang Citralekha yang sudah kehabisan tenaga itu.

"Kenapa Rayi ada di sini?" tanya Sang Citralekha setelah proses tersebut selesai.

"Estrimu menyeretku kemari supaya Mpu Citralekha segera tersadar dari alam ini. Ayo! Saya bimbing Mpu ke tempat aman!"

"Itu mustahil," Sang Citralekha mengangkat tangan kirinya yang terlilit oleh semacam rantai hitam pekat yang memanjang hingga masuk ke dalam hutan lebat dan berhawa mengerikan.

"Rantai itu, rantai Batara Yama?" tanyaku.

"Ya! Ini Rantai Yama, tapi yang datang menjemputku bukan Yama, tapi Sang Suratma!"

Sang Suratma adalah juru tulis Neraka, alam jiwa-jiwa yang terhukum. Biasanya dia tidak pernah meninggalkan tempat bertugasnya di Neraka, tapi jika dia sampai ada di tempat ini berarti masalahnya jadi semakin gawat.

"Estri!" aku berseru kepada Sang Estri yang masih asyik menghadiahi dua Yamabala itu tendangan dan pukulan. Dalam hati aku salut karena gadis itu punya keberanian melebihi diriku sekalipun soal melabrak musuh.

"Ya?" jawabnya sambil menonjok mata sesosok Yamabala.

"Tarik rantai ini kuat-kuat!" aku melemparkan rantai yang menjerat lengan Sang Citralekha ke arah Si Estri dan wanita itu kemudian mendarat lalu menarik rantainya kuat-kuat sebagaimana yang aku inginkan.

******

Sebagaimana yang kukatakan tadi, alam ini tidak mengikuti hukum yang berlaku di alam manusia. Di tempat ini kekuatan seorang manusia yang kebetulan 'berjodoh' dengan alam ini bisa menjadi berlipat-lipat ganda, misalnya Si Estri jahat itu. Satu tarikannya berhasil menarik keluar seorang pria tua beruban yang janggutnya semata kaki pria dewasa, dari dalam hutan dan membuat pria tua itu nyaris terjungkal di antara bebatuan padas.

Tapi karena pria itu jelas-jelas bukan manusia, ia dengan mudahnya kembali dalam posisi duduk bersila dan melayang di udara lalu menjentikkan jemari kanannya dan terlontarlah sejumlah pecahan-pecahan batu tajam ke arah kami.

Sang Citralekha yang tenaganya sudah sedikit pulih langsung memukulkan kepalan tangan kirinya di atas tanah dan segera saja dunia ini menjadi jungkir balik. Seisi dunia ini berputar dengan pepohonan dan semak kini tampak dalam posisi rubuh meski sesusngguhnya mereka masih menancap di tanah dan menjadi tempat kaki kami bertiga berpijak.

Si orangtua beruban yang tak lain adalah Sang Suratma sendiri kembali melaju ke arah kami dengan rantai Yama yang lain terbelit di tangan kanannya. Aku merasa tak baik jika kami berlama-lama di sini dan terus menantang para Yamabala seperti ini.

"Estri!" panggilku.

"Ya?" sahut Si Estri jahat.

"Putuskan rantai ini dengan parangmu!" kataku sambil menunjuk rantai yang membelit tangan kiri Sang Citralekha.

"Tunggu! Jangan diputus! Nanti kalian bisa ...!" belum sempat Sang Citralekha selesai memprotes, Si Estri itu sudah lebih dulu menghancurkan rantai itu dengan parangnya.

Begitu rantai itu hancur, langsung saja terbentuk sebuah angin keras yang nyaris saja menerbangkanku dan juga Si Estri. Estri itu bahkan harus berpegangan kuat-kuat pada sebuah dahan pohon beringin sebelum Sang Citralekha mengulurkan tangannya untuk membantu Sang Estri supaya tak terbawa angin.

Angin ribut itu menjadi semakin keras dari waktu ke waktu, bahkan dua Yamabala bertangan empat yang mendampingi Sang Suratma pun sampai tak kuasa berdiri tegak lagi. Lain halnya dengan Sang Suratma, meski ekspresinya terkesan biasa saja, matanya berkilat-kilat merah dan rasanya jantungku hampir saja berhenti berdegup andai saja selubung sinar emas tipis yang terbentuk dari rapalan mantraku tidak melindungiku dari tatapan Sang Juru Tulis Neraka.

"Angger Jlanthir (Bocah)!!" suara Sang Suratma terdengar berat, dingin, sekaligus menakutkan. Rasanya seluruh tulangku seperti ditusuk dengan jarum hanya dengan mendengar suaranya semata, "Kamu sudah menghalangi aku melakukan tugasku menumpas kehidupan dari pelanggar persumpahan antara guru dan murid yang pernah bersumpah di hadapan Asta Dikpalaka – Delapan Dewa Penjaga Mata Angin. Kamu tahu apa yang akan terjadi setelah ini bukan?"

"Citralekha ini masih dibutuhkan di Manusya Dhatu! Kalau Pukulun Sang Suratma bijak, saya sarankan Pukulun pergi meninggalkan Mpu Citralekha dan melupakan soal persumpahan tersebut!" entah nyali macan macam apa yang aku makan, tiba-tiba saja aku dengan seenaknya menantang makhluk separuh dewa macam ini, pakai suara lantang pula!

"Kamu cerdik memakai akalmu Siddhimantra," kembali Sang Suratma mengeluarkan suara berat dan dingin, "Tapi sebaiknya kamu akhiri saja usahamu itu!"

Sang Suratma mengeluarkan segulung rontal dan sebuah pena gading dari balik jubah coklat kusamnya. Rontal itu jika aku tidak salah mengira adalah rontal kehidupan dan pena gading di tangannya adalah pena takdir. Celaka! Jika sampai Sang Suratma berhasil menuliskan takdir Sang Citralekha harus mati di sini, maka segala upaya kami sia-sia dan bisa saja Sang Suratma mencelakai kami sampai kami tak bisa keluar hidup-hidup.

Aku mencoba melangkah untuk merebut pena itu, tapi angin ribut ini semakin menggila. Sekedar berdiri pun kini menjadi susah bagiku, ditambah lagi selubung emas yang mengelilingiku ini kini tampak menipis karena dikikis tenaga di luar batas kewajaran. Keadaan di sini menjadi semakin genting saja, karena itu aku memutuskan untuk mengambil langkah nekat.

Aku menggenggam bajragentaku erat-erat, mengucapkan mantra khusus yang mengubah bajragentaku menjadi sebentuk pasa (tali laso), kemudian dengan mengerahkan seluruh kundalini yang masih tersisa dalam ragaku, aku melontarkannya kepada Sang Suratma yang baru saja hendak menuliskan sesuatu di lontarnya. Pena berujung tajam itu segera melesat ke arahku dan kugenggam erat-erat sambil melontarkan tatapan menantang pada Sang Suratma.

Juru tulis alam orang mati itu hanya tersenyum simpul dan mengeluarkan satu pena lagi dari balik jubahnya. Aku terperanjat dan hampir saja mengayunkan pasa-ku sekali lagi untuk merebut pena itu darinya sebelum Sang Suratma sendiri menghentikanku.

"Cukup Angger. Kau tak usah merebut lagi pena ini dariku. Kau menang. Sekali rontal akhirat bagi para pelanggar persumpahan dituliskan dengan satu pena harus pula diakhiri dengan satu pena yang sama. Ananta! Kau bebas dari persumpahan yang mengikatmu dengan gurumu! Kembalilah kalian ke Mayapada – alam manusia."

Yang terjadi berikutnya sangat cepat. Tubuhku seperti disedot paksa oleh angin ribut itu dan langsung saja tubuhku terhempas ke pusat angin lalu aku pun tersadar di alam manusia, bersila di atas lantai batu yang dingin dengan aroma wangi asthanggi yang masih mengepul. Sang Citralekha yang tampak terbaring di atas dipan rotan di hadapanku perlahan mulai membuka matanya dan bangkit berdiri. Para wiku di dalam aula itu tampak mengatupkan tangan dan mengucap syukur tak terkecuali Sang Estri yang juga menghaturkan syukur dengan menengadah ke langit sebagaimana para praktisi Iswara mengucap syukur. Aku tadinya juga nyaris saja melakukan hal yang sama seperti mereka sebelum menyadari jentera mantra emas yang sedari tadi berputar di hadapanku kini berhenti secara mendadak, seolah-olah dihentikan oleh tangan namun tangan itu tak tampak. Sejenak kemudian jentera mantra itu pecah berkeping-keping dan debu pecahannya lekas berubah dari warna emas menjadi warna hangus abu.

Semua yang hadir di sana tampak terkejut tak terkecuali Sang Citralekha, terlebih ketika abu itu berkumpul menjadi satu kemudian terbang menabrak dinding dan membentuk sejumlah tulisan abu di dinding aula tersebut.

Rasanya perutku mulas ketika membaca tulisan-tulisan yang terdiri dari beberapa kata itu :

1. PANCA MAHA PATAKA

2. BRAHMA-HATYA

3. SWARNA-SETYA

4. SANDYAKALA PRALAYA

Aku tidak tahu dengan maksud kalimat keempat namun di antara tiga kalimat pertama, tertulis jelas kata SIDDHIMANTRA CYUTA di sana. Tapi tiga kalimat ini jelas-jelas punya maksud tidak baik padaku. PANCA MAHA PATAKA artinya adalah bencana hukuman atas dosa yang tak terampuni dan dua dosa yang dideskripsikan tulisan di dinding itu adalah BRAHMA-HATYA – membunuh rohaniwan serta SWARNA-SETYA – mengambil yang bukan miliknya. Samar-samar aku bisa melihat wajah Sang Suratma di antara tulisan-tulisan itu, menyeringai, sembari menuliskan sesuatu di atas rontal.

Demi Segala Makhluk Alam Atas! Aku rupanya sudah salah menuruti kemauan Estri jahat itu kemari! Sekarang aku dikutuk para dewa dan meskipun kutukan itu belum tiba, aku bisa merasakan kekuatanku seperti diserap habis, tulang-tulangku dilolosi dari tempatnya, dan perutku seperti diaduk-aduk.

"Sudah mulai ya?" Sang Citralekha yang telah sadar itu berjalan ke arahku sambil berlutut dan memegangi bahuku.

"Maka dari itu saya mohon kamu jangan menyuruh Ratna memotong rantainya. Tapi terima kasih banyak sudah membantuku keluar dari sana Cyuta. Sekarang biarkan aku menolongmu sekali lagi."

Aku bahkan tak bisa mendengar Citralekha itu bicara apa lagi karena mataku tiba-tiba gelap dan aku merasakan tubuhku menyentuh lantai batu tanpa tenaga sama sekali.

Catatan Pengarang :

Hai pembaca, mohon dukungannya pada dua cerita berikut dong

(Link ada di kolom komentar)

Caranya silakan scroll sampai bagian paling akhir lalu klik tombol jempol/LOVE untuk memberikan dukungan. Dukungan pembaca sangat berarti bagi saya untuk penyediaan dana (berupa voucher) guna melanjutkan riset cerita-cerita saya mulai dari Sang Awatara, Lokapala, dan Citralekha ini. Undang sebanyak mungkin teman-teman pembaca jika perlu supaya ... hehe ... Citralekha dan Sang Awatara bisa cepat lanjut lagi.


1 Depa diambil dari ukuran panjang kedua tangan yang direntangkan, dihitung dari mulai ujung jari salah satu tangan sampai ke ujung jari tangan lainnya. 1 depa = 1,8 meter

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top