Bab IV: Ambus

Daftar Istilah :

Rama Magman – kepala desa

Rama Marati – tetua desa

Suluh – lentera yang dibuat dari daun kelapa kering, ukurannya lebih kecil daripada obor.

Senamukha – pengawal

Patik – saya (digunakan bawahan dalam pembicaraan resmi)

Aku menghitung telah lewat dua purnama sejak aku meninggalkan desaku. Dalam dua purnama ini, Sang Citralekha dan aku sempat mampir ke beberapa desa dan aku baru sadar bahwa bukan desaku saja yang punya masalah pelik. Desa-desa yang kami singgahi selama perjalanan yang lalu ternyata punya berbagai masalah mulai dari kemunculan roh jahat yang meneror desa, wabah penyakit, sampai dengan barang pusaka terkutuk. Untunglah Sang Citralekha yang menjadi majikanku itu tahu benar harus berbuat apa. Dari kemampuan yang ia tunjukkan, aku jadi tahu mengapa mereka dahulu sangat dihormati. Citralekha bisa melakukan ritual pada dewata seperti para Makudur dan Pandita, namun juga punya kemampuan penyembuh seperti Penghusada, dan juga bisa menangangi para bandit dengan tangan kosong – meski Citralekha yang kulayani ini kurang suka dengan yang namanya kekerasan, dan lebih memilih menyerahkan padaku soal urusan penanganan bandit.

Petang ini kami tiba di sebuah desa yang cukup luas dan dikelilingi perkebunan kelapa serta salak. Dari jauh, sudah tampak banyak suluh-suluh yang bercahaya dan saat kami memasuki desa ini, desa ini tampak terang benderang oleh ratusan suluh dan obor. Rupanya sedang ada pasar malam di desa ini. Suasananya meriah dan menurutku sangat menyenangkan, tapi Sang Citralekha tampaknya punya pandangan lain. Sedari tadi Sang Citralekha tampak resah. Ia berkali-kali menolehkan kepalanya ke segala arah, sesekali bahkan menatap lekat-lekat ke arah sudut-sudut tertentu.

"Ada masalah, Mpu Citralekha?" tanyaku.

"Tempat ini ... berbahaya. Desa ini ternyata sudah menjadi wilayah Sadeng," desisnya pelan.

"Errr ... haruskah kita menginap di hutan saja?" dalam hati aku masih berharap malam ini bisa tidur di dalam penginapan meski bermalam di wilayah Sadeng yang agresif bukan pilihan yang bagus.

"Tidak, kita sudah lima malam tidur dengan digigiti lipan dan nyamuk, malam ini kita tidur di sini. Tapi besok pagi, sebelum matahari terbit kita harus sudah pergi."

Terima kasih Dewata!

*****

Pasar malam kemarin sebenarnya sangat menarik bagiku. Tapi karena Sang Citralekha tampak resah semalaman itu, aku tak berani minta izin untuk sekedar berjalan-jalan sejenak di pasar malam. Malam itu Sang Citralekha dan aku langsung masuk kamar yang kami tempati berdua. Sang Citralekha tidur di atas dipan, sementara aku tidur di lantai beralaskan tikar. Terasa kurang adil? Tapi itulah aturannya. Cendikia atau kami menyebutnya kaum kawindra punya hak lebih istimewa daripada seorang raja sekalipun. Jika hanya ada satu dipan yang tersedia di suatu tempat dan ada seorang kawindra serta raja yang ingin tidur di dipan itu, maka kawindra harus tidur di dipan sementara rajanya tidur di lantai, kecuali jika kawindranya menolak dan mempersilakan rajanya tidur di dipan. Jika raja saja diperlakukan seperti itu maka jangan heran jika aku yang cuma anak petani harus tidur di lantai.

Tapi Sang Citralekha tampaknya agak menyia-nyiakan kenyamanan dipannya. Alih-alih tidur dalam posisi berbaring, ia malah mengambil posisi bersila dan tidur dalam posisi seperti itu. Karena sudah mengantuk, aku sama sekali tidak mempedulikan tingkah laku tak lazim dari Sang Citralekha itu dan tidur.

Tapi di tengah malam aku dibuat terjaga oleh suara pelan derit pintu yang terbuka. Langsung saja aku menyambar parangku yang kuletakkan di bawah buntalan alas kepalaku lalu kuhantamkan gagangnya ke tamu tak diundang tersebut. Terdengar suara gaduh ketika tamu tak diundang itu menerima hantaman gagang parangku serta tendangan telak di dadanya, orang itu terjungkal keluar kamar. Sang Citralekha pun langsung membuka matanya dan turun dari dipannya, "Ada apa Ratna?"

"Tampaknya ada maling yang mau mencuri harta kita Mpu."

"Ampun, ampun, Mpu. Saya bukan maling," sosok pria malang yang hidungnya tampak mengucurkan darah itu menghaturkan sembah kepada Sang Citralekha, "Saya utusan dari Rama Magman yang hendak bicara dengan Mpu Citralekha."

"Malam-malam begini?" raut wajah Sang Citralekha menunjukkan ekspresi tidak suka.

"Mohon maaf Mpu. Tapi Rama Magman mengatakan kondisinya sangat mendesak dan tidak bisa ditunda lagi."

*****

Sang Citralekah dengan ekspresi wajah ditekuk akhirnya pergi menghadap Rama Magman desa ini. Rumah sang kepala desa sendiri jaraknya tidak terlalu jauh dari penginapan kami. Hanya berjarak enam rumah dari penginapan. Di rumah Sang Rama Magman, tampak rumah itu terang oleh belasan obor dan suluh, kontras dengan rumah lain yang sudah tampak gelap.

Seorang prajurit jaga yang mengenakan rompi kulit lembu mendekat dan memberi hormat pada Sang Citralekha dengan mengatupkan kedua tangannya, "Mari Mpu, anda sudah ditunggu di dalam."

Sang Citralekha tidak menjawab salam sang prajurit itu. Ia melangkah masuk dengan enggan dan ekspresi wajah yang masih ditekuk. Tidak biasanya Sang Citralekha berkelakuan seperti ini. Biasanya ia selalu memasang wajah teduh, datar, atau ramah, ah tapi mungkin ia punya alasan sendiri.

Aku mengikuti Sang Citralekha dari belakang dan ketika tiba di ruang tamu, aku langsung menundukkan tubuhku, dan berjalan dengan posisi berlutut lalu duduk diam di sudut ruang tamu. Sang Rama Magman desa ini rupanya hanya seorang. Orangnya masih cukup muda, dengan kumis hitam tipis menghiasi wajahnya.

"Ah Mpu. Sudah lama kunantikan kedatangan anda di desa ini," suara Sang Rama Magman terdengar penuh kelegaan ketika melihat Sang Citralekha.

"Apa yang bisa saya bantu, Rama Magman?" tanya Sang Citralekha.

"Begini! Desa ini baru saja kedatangan seorang pembesar dari Sadeng. Rakai Warih namanya. Tapi sudah dua malam ini beliau terbaring sakit. Salah satu kakinya membengkak dan berair serta berbau busuk. Tak peduli seberapa banyak ramuan obat yang kami taburkan ke kaki beliau, proses pembusukannya tak bisa berhenti. Para penghusada kami sudah berusaha sebaik yang mereka bisa tapi tak bisa menyembuhkan sang pangeran. Seorang penghusada menyarankan agar kaki sang Rakai dipotong saja, tapi alih-alih menerima saran Sang Penghusada, Sang Rakai malah membunuh penghusada tersebut. Beliau juga mengancam akan membunuh kami semua kalau saya masih belum bisa menemukan orang yang dapat menyembuhkan kaki beliau. Saya harap Mpu Citralekha punya solusi untuk masalah kami."

"Berapa banyak pasukan yang Rakai Warih bawa?" tanya Sang Citralekha.

"Dua puluh senamukha. Semuanya bersenjatakan lengkap dan jelas-jelas punya ilmu kanuragan yang tinggi."

"Apa ada lagi korban dari penyakit aneh ini? Selain Sang Rakai tentunya."

Raut muka Sang Rama Magman tampak berubah makin sedih. Ia menghela nafas panjang sebelum berkata lirih, "Istri saya, dia meninggal tiga hari yang lalu meski penghusada sudah memotong tangannya yang membusuk. Kami bahkan tidak bisa melakukan upacara perkabungan yang layak akibat kedatangan Sang Rakai kemari. Di sisi barat desa, penyakit ini sudah minta sepuluh nyawa, di sisi timur sudah enam nyawa. Dua dari mereka masihlah anak-anak."

"Dari mana asalnya penyakit ini? Apa kesamaan dari para korban yang terkena penyakit ini?"

"Kami tidak tahu persis, tapi kebanyakan mereka semua terjangkit penyakit ini pasca masuk ke dalam hutan. Istri saya terkena penyakit aneh ini pasca mengumpulkan tanaman obat dari dalam hutan. Rakai Warih terkena penyakit itu pasca berburu ke hutan."

"Ada korban lain yang masih hidup selain Rakai Warih?"

"Ada satu orang lagi yang masih hidup. Anai namanya. Anak tukang kayu kami. Tangan kirinya mulai membusuk tapi penghusada belum memutuskan untuk memotong tangannya."

Sang Citralekha tampak berpikir cukup lama sebelum menghela nafas panjang dan menatap Sang Rama Magman lekat-lekat. Ada ekspresi ketidakrelaan dalam diri Sang Citralekha untuk memenuhi tugas ini sementara ekspresi mata Sang Rama Magman menunjukkan ekspresi memelas yang amat sangat. Kalau aku boleh bicara, rasanya aku ingin agar majikanku ini mengabulkan permohonan dari kepala desa ini.

"Bagaimana menurutmu Ratna?" tiba-tiba saja Sang Citralekha bertanya padaku.

"Eh?" aku langsung kaget begitu majikanku menanyakan pendapatku.

"Apa aku harus memenuhi permintaan Sang Rama Magman untuk mencari obat bagi penyakit aneh ini dengan resiko aku harus membantu musuhku, Sadeng, atau aku abaikan saja permintaan mereka dan pergi dari sini?"

"Kenapa anda bertanya pada pelayan anda, Mpu?" tanya Sang Rama Magman.

"Dia bukan pelayan. Dia estri yang kusewa menjadi senamukhaku."

"Oh maafkan saya Mpu. Tapi bukankah meski dia adalah estri, ia tak layak ditanyai orang bijak seperti anda?"

"Sekali lagi anda mempertanyakan soal ini, saya akan angkat kaki dari desa ini, Rama Magman!" suara Sang Citralekha meninggi.

Bola mata Sang Rama Magman seperti hendak meloncat dari rongga matanya ketika mendengar hardikan Sang Citralekha. Sementara aku yang sedari tadi dibuat membisu langsung menjawab, "Errr ... menurut pertimbangan patik, Mpu sebaiknya tetap tinggal dan mencoba membantu desa ini keluar dari kesulitan mereka. Sadeng mungkin memang musuh Mpu, tapi di desa ini pastilah ada banyak orang tak bersalah yang akan hilang nyawanya jika sampai Rakai dari Sadeng ini mangkat di sini. Orang-orang seperti Mpu adalah orang dengan kedudukan lebih tinggi daripada kesatria sekalipun. Jika kesatria saja pantang mengabaikan kesulitan orang lain, seharusnya seorang kawindra seperti Mpu bisa berlaku lebih baik daripada itu kan?"

Sang Citralekha menatapku sesaat sambil mengulaskan senyum lalu kembali menatap Sang Rama Magman, "Kami akan membantu anda semua, Rama Magman. Tapi kami punya syarat. Syarat pertama : anda harus membayar kami dengan tiga kantung uang tembaga. Syarat kedua : anda akan menyediakan sejumlah bahan yang saya minta. Syarat ketiga : jangan beritahukan keberadaan kami pada pangeran itu, jika kami sudah selesai menuntaskan masalah ini, kami akan langsung pergi dan Rama tidak boleh buka mulut ke arah mana kami pergi. Paham?

Sang Rama Magman tampak berbisik dengan seorang Rama Marati di sebelahnya sebelum menganggukkan kepalanya tanda setuju. Segera sesudah itu kami pun keluar dari balai desa dan berjalan menuju rumah sang tukang kayu.

*****

Di rumah si tukang kayu, kami menemukan seorang pemuda yang mungkin baru saja melewati lima belas kali musim hujan terbaring lemah dengan tangan kiri yang tampak menghitam dan mengalirkan air berbau busuk. Baunya amat busuk, melebihi aroma busuk kutu busuk yang biasa hidup di sela-sela dinding rumah ataupun bau bangkai tikus yang teronggok selama berhari-hari.

Anak muda itu mengerang ketika Sang Citralekha menekan salah satu jarinya di tangannya yang membusuk. Gumpalan daging yang telah menghitam ikut terbawa oleh jemari Sang Citralekha ketika ia menariknya keluar.

"Ini penyakit kutukan, tapi untungnya masih belum terlambat," kata Sang Citralekha yang segera bangkit berdiri dan menenangkan ayah si anak yang tampak khawatir, "Anak Bapa akan selamat. Masih sisa dua hari dua malam sebelum kutukan ini merenggut nyawanya," kemudian matanya berpaling ke arahku, "Ayo Ratna, kita ke hutan."

Kami pun berjalan ke arah hutan di sebelah timur desa dengan didampingi seorang pemuda desa. Berdasarkan keterangan sang pemuda, kami tahu bahwa semua korban penyakit aneh itu telah memasuki daerah yang letaknya agak ke utara. Ketika kami mendekati daerah tersebut, aku bisa melihat gumpalan kabut hijau di antara lebatnya rerimbunan pohon trembesi.

"Nak!" Sang Citraleha menoleh ke arah pemandu kami, "Tunggu di sini. Jika sampai dua malam kami tidak kembali, segeralah lapor ke Rama Magman bahwa kami gagal."

"Baik Mpu," pemuda desa itu meletakkan obornya di dekat sebuah pohon trembesi yang batangnya berongga lalu duduk diam di sana selagi kami berdua memasuki kabut tersebut.

"Pegang tanganku, Ratna," ujar Sang Citralekha ketika kami memasuki kabut tersebut.

Kabut itu sedikit membuatku sesak nafas dan batuk-batuk selama beberapa saat. Tapi langkah kaki Sang Citralekha yang cepat dan tegas membuat kami akhirnya bisa keluar dari lingkaran kabut itu tak berapa lama kemudian.

Aku terbatuk-batuk selama beberapa saat sebelum akhirnya batukku reda. Aku menengok ke kanan dan melihat Sang Citralekha tengah mendekati sebuah bongkahan batu besar yang teronggok dalam keadaan hancur sebagian.

"Ratna, bantu aku," katanya.

"Ya, Mpu?"

"Tolong carikan aku pecahan batu-batu yang seperti ini," ia menyerahkan padaku sekeping pecahan batu berwarna kelabu yang tampaknya merupakan pecahan dari bongkahan batu yang tengah ditatapinya, "Batu ini prasasti."

Kami pun tak membuang waktu lagi. Dengan menggunakan obor, kami berdua mulai menyisiri daerah di sekitar bongkahan batu itu dan mengumpulkan setiap keping batu yang kami rasa mirip dengan batu yang telah pecah itu.

Membutuhkan waktu dari petang hingga siang hari bagi aku dan Sang Citralekha untuk mengumpulkan pecahan-pecahan itu. Sang Citralekha kemudian menyusunnya kembali, setelah sebelumnya mengoleskan cairan kental dan lengket yang ia minta dari kepala desa.

Setelah batu itu lumayan utuh, kulihat dahi Sang Citralekha malah menjadi semakin berkerut.

"Kenapa Mpu?"

"Isi prasastinya tidak ada hubungannya dengan wabah itu. Isi prasastinya hanya : "Dengan ini Sang Maharaja yang juga keturunan seorang Maharaja yang beristrikan cucu seorang Maharaja serta memiliki 200 gajah sebagai tunggangan pasukannya menyatakan desa dan hutan ini sebagai bagian dari Kemaharajaan."

"Cuma itu?" aku juga tak bisa menahan rasa kaget.

"Ya, cuma itu."

"Lantas apa yang ... ?" aku baru saja hendak menyelesaikan kalimatku ketika di kejauhan kulihat kabut tebal hijau yang mengelilingi daerah ini tampak makin pekat. Lalu di antara kabut-kabut itu kulihat siluet sosok seorang tua bertongkat tampak berdiri dan menatap ke arah kami.

Tiba-tiba saja seluruh tubuhku merinding tanpa aku tahu sebabnya. Sesudah itu teringatlah aku akan kata-kata Sang Citralekha pada kesempatan yang lalu, "Hantu-hantu, jika mendekatimu akan membuat seluruh tubuhmu merinding. Mereka bisa membuat hari panas terik menjadi sedingin malam berkabut, malam dingin berkabut menjadi sedingin puncak-puncak gunung, dan puncak-puncak gunung menjadi sedingin dunia tanpa matahari."

"Err ... Mpu, apa itu ... hantu?" aku menunjuk ke arah sosok siluet itu.

Sang Citralekha bangkit berdiri dan membetulkan letak kain coklatnya yang sedikit turun dari bahunya.

"Siapa di sana?" suara hantu itu parau namun keras. Tampak jelas bahwa ia tidak suka keberadaan kami di sini.

Sang Citralekha memicingkan matanya sesaat, "Salam bagimu dari Ananta, putra Wiguna, seorang Citralekha, abdi setia Sang Maharaja Kalingga. Siapakah engkau wahai Tuan yang terhormat? Apakah engkau mengerti perihal prasasti ini?"

"Ananta?" siluet itu menjawab parau lalu berjalan mendekat ke arah kami. Kusiagakan tanganku pada ujung parang, meski aku tidak yakin apa aku bisa membunuh hantu dengan senjata ini.

Ketika sosok pria berjanggut itu mendekat, jantungku nyaris terlempar keluar melihat kondisinya. Tenggorokan sosok itu tampak terbuka, mempampangkan deretan urat berlumuran darah yang berdenyut-denyut setiap kali ia mencoba berbicara. Telapak kakinya tidak ada, bagian yang hilang itu tampak dipotong oleh benda tajam, tangan kirinya hanya separuh dan tangan yang separuh itu masih menampakkan pemandangan lengan yang terkoyak dan masih meneteskan darah. Sosok itu melayang di udara, setinggi rumput ilalang.

Sang Citralekha tampak juga terkejut dengan penampakan sosok itu, "Mpu Abhimani?!"

Oh, tampaknya Sang Citralekha tahu siapa sosok hantu ini. Baguslah, mungkin saja semua ini akan jadi lebih mudah.

"Ah, ternyata benar itu kau Ananta. Ada perlu apa kau kemari? Bagaimana kabar Sang Maharaja?"

"Sang Maharaja sudah tewas. Begitu pula dengan para Prameswari, selir Maharaja, dan para Rakai. Tidak tersisa satupun," Sang Citralekha menampilkan ekspresi murung.

"Kurang ajar!" tiba-tiba kobaran api muncul di sekeliling kami, sosok hantu itu juga tampak terbakar api dan kabut hijau itu mulai menyebar ke mana-mana.

Aku terbatuk-batuk saat menghirup kabut hijau itu, tindakanku menutupi hidungku dengan selembar kain pun tak meredakan sensasi panas dan sesak yang ditimbulkan asap itu.

"Tenang Mpu Abhimani. Tuan adalah Citralekha, Tuan adalah Kawindra, Tuan dihormati karena kebijaksanaan Tuan. Tuan adalah panutan bagi para cantrik-cantrik seperti saya. Harap tenangkan diri Tuan sebab kalau Tuan seperti ini terus Tuan bisa menewaskan gadis ini!" kudengar suara Sang Citralekha mencoba bicara pada hantu itu.

Kobaran api langsung padam, asap hijau itu menghilang, dan udara hutan kembali terasa segar meski tenggorokanku masih terasa terbakar. Aku jatuh dengan terbatuk-batuk dan kudengar dua orang (lebih tepatnya satu orang dan satu hantu) kembali berbincang.

"Mpu Abhimani, tolonglah. Apapun kutuk yang Mpu lakukan pada desa ini, tolong segera hapuskan kutukan itu."

"Tidak!" hantu itu balas membentak Sang Citralekha, "Kau tahu apa yang penduduk-penduduk itu lakukan? Mereka semua pengecut! Mereka menyerah saja pada kehendak Sadeng dan mengkhianati Maharaja. Mereka pantas mati! Para tentara Sadeng masuk ke dalam hutan tepat saat aku sedang menyelesaikan prasasti pesanan Sang Maharaja. Mereka membunuhku, memotong kakiku, lalu memecahkan prasasti itu di depan mataku kemudian menggorok leherku. Kau kira aku bisa mati dengan tenang setelah kejadian itu? Tidak! Tubuhku telah sirna, tapi puja-puji pada para Dewata aku sempat melontarkan satu kutukan," hantu itu mengulaskan senyum ketika menyebut 'kutukan'.

"Kutukan apa yang engkau lontarkan wahai Mpu Abhimani?" wajah Sang Citralekha tampak cemas, aku pun juga turut cemas karena kalau sampai hantu ini tidak bersedia menceritakan kutukannya maka urusan kami jadi lebih rumit.

"Kau tahu kisah yang dibawa oleh Rakai Bimantara saat pulang dari Nusa Nipa bukan?"

"Ah-ha, ia menceritakan tentang sebuah pulau yang dipenuhi buah beraroma harum dan dagingnya terasa manis-pahit. Buah yang nikmat dimakan tapi sayang tak bisa tumbuh di istana."

"Ya, tapi selain itu kau juga tahu kan kisah apa lagi yang ia bawa?"

"Ambus."

"Ya, hahaha, kau ingat bukan Ananta? Ketika begundal-begundal di penjara itu kena kutukan Ambus milik Rakai Bimantara? Semuanya perlahan-lahan sumpung anggota tubuhnya, kemudian demam tinggi sebelum akhirnya mati dalam penderitaan tiga hari kemudian."

"Kau menggunakan kutukan itu di sini? Sudahkah engkau hilang akal Mpu? Kutukanmu sudah menewaskan seorang ibu yang tengah mengandung, seorang anak sulung yang akan mewarisi keahlian ayahnya, dan beberapa anak-anak. Korbanmu dari pihak Sadeng hanya seorang. Itupun jika ia mati maka Sadeng akan membumihanguskan desa ini! "

"Aku tak peduli! Mereka memberitahukan keberadaanku pada Sadeng. Harusnya mereka tutup mulut! Tapi entah apa yang dilakukan Sadeng pada mereka, mereka akhirnya buka mulut! Mereka pengkhianat, dan para pengkhianat harus musnah bersama anak cucu mereka!"

"Kalau begitu maafkan saya, Mpu ... karena saya terpaksa ...," Sang Citralekha mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi sebelum tiba-tiba saja aku melihat sebuah danda – tongkat besi yang ujungnya berbentuk segienam – muncul dan mendarat tepat di tangan Sang Citralekha.

"Kau memanggil mustika praharana? Di hadapanku? Apa kau sadar bahwa kau telah bersikap kurang ajar pada gurumu?"

"Mpu Abhimani, yang saya kenal adalah orang besar, tegas dan kukuh pada prinsip dharma. Tapi yang ada di hadapan saya sekarang adalah reinkarnasi dari orang besar di masa lalu. Anda bukan lagi orang besar yang patut dihormati Mpu Abhimani. Anda telah jatuh menjadi bhutakala, hantu yang dipenuhi amarah, dan tak bisa membedakan lagi mana dharma dan adharma."

Sang Citralekha mengayunkan dandanya namun si hantu menghindar. Ayunan kedua juga berhasil dihindari si hantu. Ayunan ketiga berhasil menghancurkan tongkat si hantu. Ayunan keempat akhirnya berhasil mendarat di kepala si hantu dan menghancurkannya.

Tepat sesaat setelah hantu itu hancur, asap hijau di sekeliling kami pun sirna. Batu prasasti yang kami susun tadi tiba-tiba kembali pecah berantakan. Angin sejuk berhembus dan Sang Citralekha tampak banjir peluh. Ia lemparkan kembali danda itu ke angkasa dan danda itupun lenyap ditelan sebuah lubang berwarna hitam.

"Ayo kita kembali ke desa lalu segera pergi dari sini," ajak Sang Citralekha dengan nafas terengah-engah. Dahinya banjir peluh, sesuatu yang belum pernah kulihat selama ini. Tampaknya senjata apapun yang ia panggil tadi menguras banyak tenaganya.

"Err ... Mpu Ananta," tanpa sadar aku menyebut namanya sekarang. Yah, aku memang baru tahu namanya barusan. Selama ini aku memanggilnya Mpu Citralekha dan ia sama sekali tidak pernah memperkenalkan padaku nama aslinya.

Ia menoleh ke arahku dan sekarang aku merasa sudah berbuat sesuatu yang keterlaluan. Tak sopan menyebut nama orang besar jika ia belum menyatakan kesediaannya dipanggil dengan namanya. Kesalahan fatal! Aku pastilah dihukum!

Di luar dugaanku, Sang Citralekha tampak menoleransi kelakuanku, "Ayo Ratna, hari sudah menjelang senja. Sebaiknya kita segera keluar dari desa sebelum Rakai Warih itu bisa bangun dari dipannya."

*****

Saat kami kembali ke desa, Sang Rama Magman membawa kami kabar baik dan kabar buruk. Kabar baiknya : semua penduduk desa yang terkena penyakit aneh itu sudah sembuh seluruhnya. Kabar buruknya : Rakai Warih juga sudah bisa bangkit dari dipannya dan ternyata sudah berdiri di belakang Sang Rama Magman tanpa kami sadari.

"Ah, jadi engkau Sang Citralekha yang konon tersohor itu? Citralekha Ananta? Citralekha termuda dari 38 Citralekha milik Sang Maharaja Kalingga?" ujar sang pangeran berkumis dan berjanggut tipis serta bertampang congkak itu.

Mpu Ananta hanya menatap Rakai Warih dengan wajah tanpa ekspresi selama beberapa saat sebelum akhirnya berujar, "Saya telah mengangkat kutukan dari desa ini. Urusan saya di desa ini selesai sudah. Kalau Rakai berkenan izinkanlah saya dan pengawal saya melanjutkan perjalanan."

"Tapi aku tak berkenan," di kursi usungnya pangeran congkak itu masih saja menatap remeh ke arah kami, "Aku tahu bahwa penyakit aneh itu adalah ulah temanmu juga. Hanya Citralekha yang bisa mengeluarkan kutukan sehebat itu. Beritahu aku lokasi temanmu dan kau akan kubebaskan pergi."

"Citralekha yang mengutuk desa ini sudah lama tidak berada di dunia ini. Prajurit Sadeng sudah membunuhnya dan saya hanya menghapuskan kutukannya."

"Oh begitu?" pangeran congkak itu manggut-manggut sambil menyeringai, "Kalau begitu ... aku minta nyawamu sebagai ganti temanmu itu!"

Dua pengawal Sang Pangeran segera menarik anak panah tapi belum sempat anak panah itu menyentuh kami, Sang Citralekha sudah menyibakkan selembar kain di antara kami berdua dan ketika aku mengedipkan mata, kami sudah berada di tempat lain. Bukan desa tempat Rakai Warih itu berada melainkan sebuah gua dengan air terjun kecil di sampingnya.

"Ini ... di mana?" tanyaku, tapi Sang Citralekha tidak menjawab.

Saat aku menoleh aku dapati Sang Citralekha sudah jatuh tak sadarkan diri. Saat aku mendekatinya kurasakan seluruh tubuhnya berasap. Kupegang dahinya. Panas! Ia mengalami demam tinggi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top