Bab II : Banaspati
Pada suatu masa, dunia ini adalah satu kerajaan tunggal, diperintah oleh seorang yang disebut Cakravartin – raja agung pemutar roda dunia – yang dipilih oleh para dewa. Seiring berlalunya waktu, kerajaan tunggal itu terpecah menjadi banyak kerajaan. Masing-masing saling berperang satu sama lain. Raja yang menang akan memperluas batas wilayahnya dan akan memproklamirkan diri sebagai Maharaja. Maharaja-Maharaja yang ada pun saling berperang untuk kembali memperebutkan gelar Cakrawartin. Warsa demi warsa berlalu, jumlah Maharaja yang berperang semakin sedikit dan mereka mulai lelah berperang. Masing-masing akhirnya mengikat perjanjian damai dan sepuluh Kemaharajaan berdiri kukuh semenjak 30 warsa yang lalu tanpa sekalipun pecah peperangan.
Itulah cerita yang dikisahkan Sang Citralekha padaku tiap kali kami bermalam selama tujuh hari ini. Kisah itu mengalir begitu saja dari mulut Sang Citralekha, seolah ia adalah seorang tukang kaba – tukang cerita – yang dibayar untuk mengisahkan kisah-kisah lampau dan aku adalah nyonya rumah yang meletakkan tiga keping uang kepeng ke tangannya. Dan di malam kedelapan ini tiba-tiba Citralekha itu mengajukan pertanyaan, "Apa kau bosan dengan kisah-kisah yang kuceritakan itu, Ratna?"
"Oh tidak, Mpu," jawabku khidmat, "saya justru merasa tertarik untuk tahu lebih jauh tentang kisah-kisah Maharaja itu."
"Nama wilayah yang kau injak ini adalah Kahuripan. Kemaharajaan Kahuripan. Ia berdiri membawahi tiga raja : Raja Sadeng, Raja Panjalu, dan Raja Janggala," kata Sang Citralekha lagi, "Dan di Kutaraja, Sang Maharaja bertahta. Dibantu 12 mahakawi dan 6 mantriweda, Sang Maharaja menjalankan pemerintahan sehari-hari."
Aku sama sekali tidak pernah dengar kata mahakawi dan mantriweda. Aku penasaran apa arti dua kata itu tapi sejenak aku ragu untuk bertanya pada Sang Citralekha. Bertanya sebelum diberi kesempatan bertanya adalah sebuah ketidaksopanan dalam tata krama desaku, meski bukan sekali-dua kali saja aku melanggar aturan itu karena jika aku penasaran mustahil aku membendung rasa ingin tahuku. "Maaf Mpu, apa itu mahakawi dan mantriweda?" akhirnya aku bertanya juga.
Sang Citralekha tampak mendelik ke arahku. Aku langsung sadar bahwa aku sudah berbuat sesuatu yang tidak sopan dengan menyela pembicarannya. Maka dengan segera aku menghaturkan sembah dan mohon maaf, "Mohon maaf Mpu, aku sudah lancang menyela perkataan anda."
Sang Citralekha diam sejenak sebelum menghela nafas panjang dan berkata, "Ratna, siapa ayahmu?"
"Ayahku?" aku tersenyum kecil, "Ia hanya seorang pemburu yang tewas diterjang harimau saat aku masih diperbolehkan lari-lari telanjang bersama bocah-bocah lelaki, Mpu."
"Kakekmu?"
"Hanya seorang petani biasa."
"Moyangmu?"
"Ada yang menjadi tabib desa seperti ibuku, ada pula yang hanya petani atau pemburu. Tak ada yang istimewa dari ayah dan moyang-moyangku, Mpu."
Sang Citralekha kembali terdiam dan kali ini cukup lama. Ia tak jua memejamkan mata sehingga akupun terus menunggu sambil sesekali memasukkan ranting ke dalam perapian untuk menjaga api tetap menyala.
*****
Aku pernah dengar dari Jayantha bahwa para pandita dan kawindra – kaum cerdik pandai, itu kadang perilakunya aneh. Mereka seperti punya jalan pikiran sendiri dan kadang bisa membuat para kawula seperti kami dibuat pusing karena tingkah laku mereka yang kadang tak bisa diprediksi.
Kelakuan Sang Citralekha kemarin malam contohnya. Ia sama sekali tak memejamkan mata semalaman (dan juga tidak bicara sepatah kata pun lagi padaku!), membuat aku yang notabene adalah pengawalnya wajib ikut buka mata semalaman. Aku tidak tahu latihan apa yang dijalani oleh para pandita dan kawindra seperti Citralekha ini, sebab ia sama sekali tak terlihat mengantuk saat pagi tiba dan kami harus melanjutkan perjalanan, sementara aku harus berkali-kali menutup mulutku supaya tidak ketahuan sedang menguap.
Setengah hari berjalan, kami pun memasuki sebuah desa yang tampak asri. Rumah-rumahnya terbuat dari kayu berdinding bambu dengan atap welit alias daun tebu. Di sepanjang jalanan desa tumbuh pepohonan seperti mangga atau rumpun bambu atau pohon tebu. Sungguh desa yang tampaknya menyenangkan untuk ditinggali andaikan tidak ada keanehan yang meliputi desa ini.
"Sepi," kata Sang Citralekha sembari membetulkan letak kain yang melintang dari pinggang kanan ke bahu kirinya itu.
"Terlalu sepi," aku menambahkan. Senja belumlah turun tapi kondisi desa ini sudah bak desa mati saja.
"Ratna, tolong ketuk satu rumah," perintah Sang Citralekha.
Aku mengangguk, mematuhi, lalu berjalan menaiki tiga anak tangga ke pelataran sebuah rumah dan mengetuk pintu rumah itu sambil berkata, "Permisi, adakah orang di sini?"
Sepi! Tak ada jawaban! Tapi aku kemudian menempelkan telingaku ke dinding bambu dan bisa mendengar sedikit suara kasak-kusuk dari dalam rumah itu.
Di seberang sana, Sang Citralekha juga mencoba mengetuk pintu satu rumah dan mendapati perlakuan yang sama denganku, diabaikan oleh si tuan rumah.
Aku turun dari pelataran rumah itu dan menghampiri Sang Citralekha, "Bagaimana ini Mpu? Kita lanjutkan perjalanan saja?"
"Ke mana?" katanya dengan ekspresi datar, "Jarak desa terdekat dari Ayung ini kira-kira tiga hari perjalanan melewati hutan. Perbekalan kita sudah menipis. Medan hutan tidak kita kenali sehingga tak ada jaminan kita akan dapat makanan di dalam sana."
"Ke rumah kepala desa mungkin?" saranku.
"Kita ketuk rumah penduduk satu-demi-satu sampai ada seseorang yang membukakan pintu dan cerita pada kita apa yang terjadi di sini."
Satu rumah kembali kuketuk. Tak ada jawaban. Rumah kedua kuketuk, hasilnya sama. Rumah ketiga, keempat, hingga kedelapan pun demikian. Baru pada usaha kesebelas kalinya akhirnya pintu rumah dibukakan oleh seorang pemuda yang di pinggangnya bergantung sejumlah gembolan .
Wajah pemuda itu bersih dan bagus rupa. Pakaiannya berupa celana terompah hitam dan rompi bulu hewan. Jelas sudah ia merupakan orang penting atau anak dari orang penting di desa ini. Maka dengan menangkupkan kedua tanganku di depan dada sebagai ungkapan hormat aku pun bertanya, "Mohon maaf, Den. Saya dan juragan saya ini sedang mencari tempat untuk bermalam serta mengisi perbekalan di desa ini. Di mana kiranya kami bisa mencari tempat untuk itu?"
"Kamu batur ?" tanya pemuda itu penuh selidik, nadanya congkak merendahkan.
"Bukan," tiba-tiba Sang Citralekha sudah berdiri di belakangku, "Dia Estri yang mengawal saya. Saya sendiri seorang Kawindra."
Wajah pemuda tadi langsung pias. Cepat-cepat ia memberi hormat pada Sang Citralekha lalu mempersilakan Sang Citralekha masuk ke rumah panggung itu. Aku mengikuti Sang Citralekha dari belakang kemudian duduk bersila di lantai setelah Sang Citralekha duduk dengan jarak lima langkah dari posisi duduk Sang Citralekha.
Seorang tua yang kuperkirakan adalah sang kepala desa tampak keluar dari ruang tengah rumah ini. Pria itu belumlah terlalu tua. Kutaksir usianya masihlah belum lewat 50 kali panen raya. Tapi tubuhnya tampak amat lemah. Sama seperti pemuda tadi, sejumlah gembolan tampak terikat di pinggangnya.
"Salam hormat saya Bapa Mpu," katanya membuka pembicaraan, "Mohon maaf anak saya tadi bersikap lancang pada pengawal Bapa Mpu. Mohon maklum karena desa kami ini sedang dalam kondisi ... tidak baik."
"Apa yang terjadi di sini Rama? Sesuatu dari alam lain bertandang ke desa ini?" tanya Sang Citralekha masih dengan ekspresi datarnya yang khas.
"Bisa dibilang begitu. Luar biasa! Bapa Mpu bisa langsung tahu tentang masalah kami!" wajah sang Rama Magman itu tampak sumringah sekaligus memelas.
"Kisana dan Angger ini," Sang Citralekha menunjuk ke arah pemuda tadi, "mengenakan gembolan berjumlah sembilan. Angka keramat sekaligus simbol perlindungan dari ancaman serius. Jika bukan rampok, pastilah ini masalah dari alam lain."
"Memang benar apa yang Mpu katakan. Saya adalah satu-satunya tetua desa yang tersisa. Sejatinya saya adalah Rama Marata namun Rama Magman dan Rama Marata yang lain sudah tewas secara misterius beberapa waktu yang lalu sehingga untuk saat ini saya yang bertindak sebagai Rama Magman."
"Misterius?" tanya Sang Citralekha.
"Benar. Kematian mereka sama sekali tidak didahului penyakit atau apapun juga. Tapi dalam satu malam mereka berlima tiba-tiba mati dalam kondisi tidak wajar. Ada bekas hangus di sekelili leher mereka atau lidah mereka terbakar habis. Tapi selain luka hangus itu tak ada luka lain yang tampak oleh kami."
"Kalian sudah memperabukan jasad mereka?"
"Belum Bapa Mpu. Kami hanya sekedar mengubur mereka semata. Kami belum sempat memperabukan mereka karena hanya berselang dua malam sejak itu desa kami diserang sesuatu yang lain. Anak-anak tak berdosa tiba-tiba mengalami nasib serupa ketika tengah bermain-main di pasar desa menjelang matahari terbenam. Mereka tewas dengan leher seperti dijerat tali api Sang Agni. Ibu-ibu panik. Para ayah dan pemuda langsung membentuk gugus ronda, berjaga siang dan malam untuk mencari pelakunya. Namun itu sia-sia. Para petugas ronda pun ada yang tewas karena jeratan makhluk tak kasat mata itu."
"Rama sudah membagikan gembolan dan meminta Makudur desa melakukan upacara di sanggar puja. Tapi tidak ada hasil. Korban terus berjatuhan dan kami tidak pernah tahu apa yang membunuh mereka ini," tambah Sang Anak Kepala Desa.
"Apakah Mpu bisa membantu kami?" tanya Sang Kepala Desa itu penuh harap.
Sang Citralekha berpikir sejenak sebelum akhirnya menoleh ke arahku dan berkata, "Ratna, aku butuh bantuanmu lagi."
"Baik Mpu!" jawabku sambil meletakkan parangku di hadapanku, tanda kesiapan.
"Sudah berapa lama sejak warga terakhir kali keluar rumah?" tanya Sang Citralekha lagi.
"Pada malam gerhana bulan yang lalu. Setelah itu hanya warga tertentu yang memiliki gembolan jimat saja yang saya izinkan keluar sekedar untuk berburu atau mencari umbi di hutan. Tapi mereka tidak boleh keluar setelah matahari sudah di atas kepala . Makhluk itu biasa datang setelah lewat tengah hari," kata Sang Kepala Desa.
"Bagaimana warga bisa tetap aman di rumah mereka?" tanpa sadar aku melontarkan pertanyaan.
Baik Sang Rama Magman maupun putranya tampak mendelik tidak percaya ke arahku. Akupun langsung sadar atas keteledoranku, yakni bertanya sebelum dipersilakan dan bertanya dalam urusan kaum kawindra dan kaum ksatriya.
"Kenapa Anda tidak jawab pertanyaannya?" celetuk Sang Citralekha tiba-tiba.
"Maaf Bapa Mpu. Gadis ini cuma estri dan dia wanita," komentar Putra Sang Rama Magman.
"Lantas apa?" Sang Citralekha menatap tajam ke arah pemuda itu dan membuat pemuda itu bergidik ngeri sebelum akhirnya menunduk.
"Mohon maaf Bapa Mpu. Saya dan putra saya tak tahu jika estri ini sudah Bapa Mpu izinkan untuk bicara sesuka hati," kata Sang Rama Magman itu.
"Estri ini saya izinkan bertanya apapun pada siapapun sebab dia yang bertanggungjawab atas keselamatan saya. Jika ia bertanya apa sebabnya warga bisa tetap aman di dalam rumah, maka jawablah!"
"Baiklah Bapa Mpu dan Anda, Estri. Makudur desa kami sempat memasang rajah perlindungan di seputaran rumah warga sebelum tewas diserang oleh makhluk itu beberapa waktu yang lalu," kata Sang Rama Magman.
"Makudur kami amat hebat dalam membuat rajah. Namun sayang beliau tidak selamat dalam serangan beberapa hari yang lalu."
"Apa gembolan di pinggang Anda berdua cukup efektif untuk menangkis serangan makhluk itu?" tanya Sang Citralekha lagi.
"Hanya jika dikombinasikan sebanyak sembilan gembolan seperti yang saya dan Rama pakai," kata Putra Sang Rama Magman.
"Dan kami hanya punya 19 gembolan. Kami tidak bisa membaginya dengan Bapa Mpu dan estri itu," kata Sang Rama Magman.
"Tak apa," Sang Citralekha tersenyum tipis, "Saya dan estri ini bisa mengatasi soal itu. Yang kami perlukan sekarang adalah sebuah kamar untuk istirahat dan makanan seadanya. Besok senja, saya minta bantuan Angger ini untuk memandu kami keliling desa."
"Tentu, tentu. Silakan Bapa Mpu memakai kamar tamu saya. Watra!" Sang Rama Magman memandangi putraya, "Ambilkan makanan untuk kedua tamu kita ini!"
*****
Aku tak bisa melupakan reaksi pemuda bernama Watra itu ketika mengantar sekendi air dan sepiring ketela rebus ke kamar kami. Di satu sisi ia tampak 'merasa terhormat' karena bisa melayani seorang kawindra. Di lain sisi, ia tampak 'merasa terhina' karena sudah melakukan pekerjaan seorang batur. Entah ke mana kaum wanita di rumah ini, tapi yang jelas, sebagai anggota keluarga sang tuan rumah yang paling muda, Watra-lah yang harus menghidangkan sajian ini kepada kami layaknya seorang batur.
"Karma itu kadang datangnya cepat," Sang Citralekha tersenyum kecil sembari mengambil sebuah umbi dan mengupas kulitnya yang berwarna keunguan.
Aku hanya balas tersenyum sambil terus berdiam menunggu Sang Citralekha selesai makan.
"Ratna? Kau tunggu apa? Ayo makan?"
"Tak elok rasanya makan bersama dengan Mpu."
"Aku bukan ksatriya dan aku tidak mau jadi orang gila hormat seperti itu. Sudahlah. Ayo makan!"
Dengan canggung akhirnya aku pun makan di waktu yang bersamaan dengan Sang Citralekha. Sebuah hal yang dikatakan tabu selama aku masih di desa. Dalam hati aku berpikir apakah benar bahwa semua yang tabu kepadaku selama ini itu sebenarnya tidak tabu?
Seusai makan Sang Citralekha langsung beranjak ke peraduannya dan tidur di atas dipan beralas tikar itu. Aku sendiri heran karena Sang Citralekha sendiri tampaknya tidak melakukan ritual khusus untuk besok. Ia hanya menaruh buntelannya di bawah tempat tidur lalu mengucapkan selamat tidur dan akhirnya pulas mendengkur. Aku pun akhirnya menggelar tikar di lantai dan mencoba untuk tidur sembari menduga-duga apa sebenarnya yang akan dilakukan Sang Citralekha esok hari.
*****
Esok paginya kulihat Sang Citralekha keluar lalu mulai memunguti batu-batuan di sekitar rumah Sang Rama Magman. Pada tiap batu Sang Citralekha mengukirkan satu atau dua huruf dalam bahasa kuno yang tidak kumengerti artinya karena tiap batu hanya terdiri dari satu suku kata seperti YAN, BRAH, BHUR, PRA, BHU, WAH, SWAH. Sekilas tulisan itu tampak seperti main-main semata.
Watra tampak sudah menenteng sebuah ketopong penuh berisi anak panah. Sang Citralekha memintanya menunjukkan areal di sekitar desa dan ia membawa parang serta busur panah kalau-kalau ada gogor atau celeng yang menyerang kami.
"Tidak akan ada gogor atau celeng, Ngger," kata Sang Citralekha sembari tersenyum simpul, "Selama makhluk itu berkeliaran, gogor dan celeng takkan berani mendekat."
Watra tak menjawab. Ia tetap saja mengalungkan ketopong itu ke bahunya lalu menanyakan apakah Sang Citralekha sudah siap. Ketika Sang Citralekha menjawab 'Sudah' maka ia segera bergegas keluar dari pekarangan dan memberi isyarat pada kami untuk segera mengikutinya.
Jalan setapak yang kami lalui sangatlah lengang. Tak ada penduduk yang berani keluar kecuali kami. Kami melalui daerah berumpun bambu lebat menuju sisi barat desa. Tapi di sana kami tak menemukan apa yang Sang Citralekha cari. Sang Citralekha kemudian meminta Watra mengantarnya ke sisi utara desa. Di sisi ini terhampar pemandangan dua bukit kembar.
"Bukit apa itu?" tanya Sang Citralekha.
"Itu bukit Taring Naga. Barat dan Timur. Beberapa generasi yang lalu bukit itu menjadi markas para rampok. Mereka merampok desa-desa di daerah ini sampai wadya bala Kemaharajaan menumpas mereka. Tapi sejak itu konon tempat itu dikutuk. Tak ada lagi bambu yang bisa tumbuh di sana. Di sana yang bisa tumbuh hanya beringin semata. Bukan kayu yang baik untuk dipakai membangun rumah ataupun membuat perkakas," kata Watra.
"Apa bukit itu pernah jadi tempat pemujaan?"
"Entahlah," Watra mengangkat bahu.
"Kalau tidak, apa kau tahu soal linggih apa ini?" tanya Sang Citralekha sambil menunjuk sebuah rumpun semak-semak yang rimbun.
"Linggih?" aku terkejut. Linggih adalah meja berukir untuk sarana pemujaan kepada dewa-dewi selain sanggar puja. Linggih biasa didirikan ketika tidak ada cukup bahan dan tempat untuk membangun sanggar puja atau didirikan untuk memberi hormat pada sosok tertentu yang disebut Bhetare – pelindung – wanua. Bhetare biasanya melindungi suatu area wanua setelah menjalin perjanjian dengan Makudur setempat. Desaku tak punya Bhetare, tapi aku dengar ada desa lain yang punya Bhetare, contohnya ya desa ini.
"Ratna, tolong bantu aku," Sang Citralekha mengambil parangnya dan mulai menebas semak-semak itu dan aku pun turut membantunya. Warta semula diam tertegun sebelum akhirnya turut membantu. Semak itu sendiri penuh ulat dan baru sebentar saja Warta langsung mundur dan menggaruk-garuk tubuhnya yang gatal terkena ulat.
"Aku sama sekali tidak memintamu ikut menebas ini lho, Ngger," kata Sang Citralekha sambil tersenyum, "Karena aku tahu kau pasti tidak tahan dengan bulu ulatnya!"
Watra sama sekali tidak menimpali perkataan Sang Citralekha. Ia cepat-cepat pergi dari sana, tampaknya mencari mata air untuk mengurangi gatalnya.
Kami menghabiskan waktu beberapa saat sebelum akhirnya semak-semak yang menutupi linggih itu benar-benar bersih. Benar saja, memang ada sebuah linggih di sana. Tapi linggih ini tampak sudah dirusak dengan sengaja. Bagian penutup di atasnya tampak terbelah oleh senjata tajam dan teronggok di tanahnya. Pada bagian tengahnya juga terdapat sejumlah goresan yang merusak pahatannya.
"Linggih pemujaan. Tapi sudah tak ada lagi Bhetare yang bersemayam di sini. Sudah lama sekali," kata Sang Citralekha.
Aku sendiri merasa diriku tiba-tiba dikuasi kekuatan aneh yang memaksaku menggali di seputaran dasar linggih. Aku menggali cukup dalam selagi Sang Citralekha tampak merenungi makna dari linggih itu sendiri.
Ketika aku menggali sampai sedalam setengah lutut orang dewasa kutemukan di dalam tanah sebuah kerangka. Kerangka tangan yang tinggal belulang semata.
"Mpu!" aku memanggil Sang Citralekha.
"Kau menemukan bagian tubuh Ratna?"
"Ya! Sepotong tangan! Tunggu ... bagaimana Mpu tahu?"
"Seseorang mempraktikkan pangiwa di sini."
"Pangiwa?"
"Ilmu gaib yang digunakan untuk menyakiti orang lain dan menurut dugaanku ini ada hubungannya dengan markas rampokan di bukit itu."
"Apakah itu ...?" aku belum sempat menyelesaikan pertanyaanku soal dugaan Sang Citralekha mengenai siapa pemilik tangan itu ketika sensasi panas terasa dari balik tubuhku. Sontak aku berbalik dan dibuat terkejut melihat sosok mirip manusia tanpa kaki yang diselimuti kobaran api melayang-layang di belakangku.
Sosok itu tampak mengucapkan sesuatu karena mulutnya bergerak tapi aku sama sekali tidak tahu apa yang dia ucapkan. Sang Citralekha kemudian mendorongku mundur lalu menyuruhku melakukan sesuatu, "Taburkan batu yang sudah kuukir tadi di dalam lubang itu lalu baca mantranya!"
"Mantra apa Mpu?" aku kebingungan.
"Tertulis di batu!" kata Sang Citralekha sebelum ia menghindar dari serangan bola api panas yang melesat ke arahnya.
"Lekas!" kata Sang Citralekha sembari memasang kuda-kuda. Dengan sekilas melihatnya saja aku tahu bahwa Sang Citralekha ini lumayan jago berkelahi karena kuda-kudanya mantap. Tapi aku sendiri punya tugas. Selagi Sang Citralekha sibuk meladeni makhluk berapi itu aku membuka buntalan yang kusampirkan di pinggangku sedari tadi dan menuang habis batu-batu berukir yang ada di dalamnya ke dalam lubang.
Batu-batu itu kini tampak mengeluarkan bayangan hijau seperti yang pernah ditunjukkan Sang Citralekha pada yupa di desaku. Isinya berbunyi : NI, AG, YAM, MAN, BRAH, BHUR, PRA, BHU, WAH, SWAH, MANG, AL, YA, KA, RI, UR, AJ, MU
Lalu kata-kata itu berderet membentuk susunan kata yang lebih tidak teratur dan lebih tidak kupahami lagi isinya. Namun melihat makhluk berapi itu sudah mulai membakari pepohonan aku ucapkan saja deret itu tanpa pikir panjang.
O Brahman Agniyam
Bhur Bwah Swaha
O Tu na jao Mangalya Agniyam
Asurakshayamkari Mahisasurawardhani
Umidaka Pracoda Banaspati Yamkari
Yumka, sirna, lina, ilang
Wapasi Acintya
Manunggal ring Acintya
(O Aku memohon pada Keberadaan Yang Maha Tinggi, Penguasa Segala Api
Yang Menjadikan Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan Ada
O Datanglah Mangalya – Pembawa Pertanda Baik – dan Penguasa Api
O Datanglah Asurakshayamkari – Sang Pembantai Asura – dan Mahisasurawardhani – Penakluk Mahisasura
Aku memohon agar Sang Banaspati ini
Pergi, Hilang, Sirna
Pergi Kepada Sang Acintya – Sang Asal Mula
Bersatu Kembali dengan Sang Asal Mula.
)
Citralekha tampak melayani makhluk berapi yang ternyata bernama Banaspati itu dengan tangan kosong. Meski seluruh tubuhnya membara, Sang Citralekha sama sekali tidak nampak kesakitan atau panik. Tapi aku sendiri yang panik. Mantra sudah kuucapkan tapi tak tampak sama sekali tanda-tanda makhluk itu akan sirna. Aku takut jika aku salah membaca mantra tapi segera saja makhluk itu tampak mengerang kesakitan.
Tubuh makhluk itu kini mulai tampak padam dan akhirnya berubah menjadi sesosok manusia berbaju perang logam kalis yang telah kehilangan kedua kaki dan satu tangannya. Ia menatap kepadaku dan Sang Citralekha dengan tatapan benci sebelum Sang Citralekha memukulkan kepalan tangan kanannya pada telapak tangan kirinya dan mengucap sebait mantra tambahan.
Lalu sosok manusia itupun segera membusuk dagingnya dan diiringi suara jeritan mengerikan yang membuatku tidak bisa tidur selama dua hari ke depan makhluk itu pun lenyap.
Watra yang sedari tadi sembunyi di balik sebuah pohon akhirnya berani keluar. Ia masih tampak gemetaran pasca melihat sosok sebenarnya dari makhluk yang meneror desanya.
"Sampaikan pada Rama-mu, desa ini sudah aman. Sampaikan pada warga desa bahwa mereka tak perlu takut lagi pada makhluk ini. Makhluk ini sudah pergi. Tapi ada baiknya kalian kembali membuat perjanjian dengan Bhetare di linggih ini supaya ancaman serupa tak terjadi kembali," kata Sang Citralekha.
*****
Kami tidak tinggal lama-lama di desa Ayung ini. Esok paginya kami sudah kembali melanjutkan perjalanan meski Sang Rama Magman berusaha menahan kami karena ia akan mengadakan pesta syukur atas perginya Sang Banaspati dari desanya. Tapi akhirnya Rama Magman itu bersedia melepas kami setelah Sang Citralekha membisikkan sesuatu di telinga Sang Rama Magman.
Ketika kami kembali berjalan, benakku masih dihinggapi sejumlah pertanyaan. Terutama mengenai potongan tangan dan banaspati itu. Aku penasaran dengan rupa baju perang kalis yang sosok itu pakai. Aku penasaran apa hubungannya markas rampok itu dengan kehadiran Sang Banaspati. Namun sebelum aku sempat mengajukan pertanyaan itu sendiri Sang Citralekha sudah bercerita lebih dulu, "Markas Rampok di Bukit Taring Naga itu tidak musnah seutuhnya. Ada satu anggotanya yang lolos. Tiap kali ia berusaha membalas dendam pada penduduk Ayung yang sudah memanggil pasukan dari Kutaraja namun usahanya selalu gagal. Penduduk Ayung tidak takut lagi pada Gerombolan Rampoknya. Alih-alih berhasil membalas dendam, penduduk desa itu malah menghinanya dengan memotong kedua kakinya dan menyeret tubuh sekaratnya ke batas desa.
"Dalam kesekaratannya, sang rampok yang masih ingin membalas dendam melakukan cara terakhir yang ia tahu. Ia potong tangannya sendiri di hadapan linggih yang pernah gerombolannya hancurkan. Ia persembahkan itu pada segenap bhutakala manapun yang mau membantunya. Sesosok banaspati tertarik dengan tawarannya lalu menyatukan jiwanya dengan raga si rampok. Tapi rampok ini butuh waktu tahunan untuk bisa balas menyerang masuk desa karena Makudur desa Ayung bukanlah orang sembarangan. Barulah ketika Sang Makudur itu mulai menua dan tidak sekuat dulu, Banaspati itu bisa masuk menyerang desa."
"Mpu, kenapa ia sebegitu inginnya membalas dendam? Padahal yang berhak balas dendam kan penduduk desa yang sudah ia sakiti dalam waktu lama?" tanyaku
"Orang yang dipukul tidak akan lupa sakitnya tapi orang yang memukul sudah pasti lupa. Rampok itu lupa rasa sakit yang dialami para korbannya tapi ia sendiri tidak bisa melupakan tindakan balasan dari para korbannya. Ia tidak sadar bahwa ia salah, di situlah masalahnya."
"Apa semua rampok selalu seperti itu?"
"Kebanyakan begitu Ratna. Kebanyakan begitu," kata Sang Citralekha sembari mempercepat langkahnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top