Bab I : Estri, Kutukan, dan Tarian Hujan.
“Hee ... hoo ... hee ... hoo ...!” suara-suara itu keluar dari para penari hujan yang tampak berjingkrak-jingkrak di tengah lapangan sambil menenteng tameng kayu berukirkan wajah yaksa serta cambuk yang dibuat dari rotan hutan. Jumlah penarinya sepuluh orang, dan dua dari mereka adalah Bawa dan Wungsu, teman yang sudah kukenal semenjak kami masih anak-anak hingga kini menjadi bagian dari Wanua Yodha.
Para penari yang kesemuanya lelaki itu saling berhadap-hadapan, raut muka mereka mengeras, cambuk di tangan kanan mereka sementara tameng ada di tangan kiri mereka. Sesaat kemudian mereka saling menyabetkan cambuk rotan itu ke penari yang ada di hadapan mereka. Penari yang kurang beruntung akan mendapatkan ruam merah di salah satu bagian tubuhnya dan jika ketidakberuntungan itu terus berlanjut maka darah akan menetes dari luka bekas sabetan rotan itu.
Aksi saling hadap, menyabetkan rotan sambil menangkis serangan lawan, menghindar lalu kembali berahadap-hadapan itu sudah berlangsung berulang kali sejak hari masih pagi hingga akhirnya matahari sudah tinggi. Satu demi satu peserta jatuh tak sadarkan diri atau menyerah karena kelelahan, menyisakan hanya tinggal dua orang saja yang masih beraksi di tengah lapangan : Bawa dan Wungsu.
Meski keduanya merupakan Wanua Yodha, aksi menari dari pagi sampai menjelang senja membuat tubuh Bawa dan Wungsu akhirnya berdarah-darah juga, terutama sejak tengah hari di kala para penari lainnya berguguran. Sudah cukup banyak tetes-tetes peluh dan darah membasahi tanah kering berdebu tempat penduduk Danten berkumpul, Sang Makudur yang memimpin upacara tarian ini juga masih tak henti-hentinya mengucapkan mantra permohonan, tapi hujan yang kami harapkan tak jua turun.
“O Wahai Sakra yang perkasa, Meghavahana yang mengendarai dan menguasai awan-awan. Turunkan anugerahmu! Turunkan hujan atas tanah kami supaya kami bisa memberi makan anak dan cucu kami, supaya anak dan cucu kami bisa terus memujamu bersama segenap dewata. Ooo Sakra, dengarlah permohonan kami!” mulut Sang Makudur yang telah kelabu dan keriput itu masih saja melantunkan puji-pujian kepada Sang Penguasa Hujan, supaya ia berkenan menurunkan hujan di tanah kami.
“Sudahlah Makudur,” tiba-tiba seorang dari dua Rama Magman yang memimpin desa kami bangkit berdiri, “Rasanya ini semua sia-sia. Sudahilah saja Makudur. Jangan sakiti diri anda lebih dari ini.”
“Tidak,” Sang Makudur yang seluruh rambutnya telah beruban itu tetap kukuh untuk terus merapalkan mantra pujian, “Aku akan terus merapal sampai tengah malam kalau perlu.” Aku kagum pada keteguhan hati Sang Makudur itu. Meski sudah 8 hari 7 malam perutnya tak diisi dan tenggorokannya tak dibasahi oleh air, suaranya tetap lantang melantunkan mantra-mantra.
Di sisi lain Bawa dan Wungsu sudah tampak kepayahan pasca terus menarikan tarian perang konyol ini. Konon jika menarikannya selama seharian, Sakra, Sang Penguasa Hujan, akan tertarik untuk menurunkan hujan di desa yang menyelenggarakannya. Aku mulai curiga apakah Sang Makudur yang telah renta ini salah dalam melaksanakan ritualnya? Ataukah ia sempat bolong puasanya sehingga dewa-dewa marah kepadanya? Ataukah para pemuda desa itu kurang tulus dalam menarikan tarian ini? Tapi apapun pertanyaan yang melintas di kepalaku mungkin takkan pernah terjawab meski aku bertanya. Sudah cukup buruk bagi para penduduk menyaksikan seorang gadis sepertiku bukan bekerja memasak di dapur atau menenun kain melainkan bergabung menjadi Wanua Yodha, prajurit pelindung desa. Mereka sudah pasti lebih tidak butuh lagi seorang gadis prajurit yang sok selalu ingin tahu segala hal.
“Bagaimana mungkin seorang gadis menjadi prajurit?”
“Apa Ratna sebenarnya lelaki namun bersifat kebanci-bancian?”
Gunjingan-gunjingan itu sudah sering beredar di telingaku dan telinga ibuku. Tapi berbeda dengan ibuku yang menanggapi semua itu dengan senyuman, aku selalu bereaksi memberikan ‘perlakuan balasan’ kepada para penggunjing itu. Biasanya aku hanya memberi mereka tatapan benci ketika aku melakukan tugasku mengelilingi desa kala senja turun atau paling jauh aku akan membentak mereka jika mereka melakukan pelanggaran seperti buang hajat sembarangan atau keluar di kala malam tanpa alasan jelas untuk minum arak atau main judi.
Kembali kepada Sang Makudur tua itu. Para Rama Magman mulai turun dari panggung dan membujuk Sang Makudur itu untuk menyudahi upacaranya. Mereka benar-benar khawatir Makudur tua itu akan jatuh semaput lalu tewas di tempat jika acara ini diteruskan. Para Rama Magman tampak kecewa, para penduduk pun tampak kecewa. Satu-satunya kelompok yang tidak menunjukkan ekspresi kecewa hanyalah para Rama Marata – para tetua penasehat desa, yang langsung turun dari panggung dan berjalan menuju pendopo desa diikuti para Rama Magman. Begitu para pembesar pergi berlalu, aku dan teman-temanku segera menginstruksikan para penduduk untuk bubar.
“Ayo bubar-bubar!” seru Jayanta, sang pemimpin Wanua Yodha kami.
“Yaaah,” para penduduk membubarkan diri sambil menggerutu.
Aku paham sekali alasan mereka menggerutu. Sudah dua kali masa panen raya kami lewati tanpa hujan. Di masa pertama, penduduk masih bisa menggantungkan hidup pada sebuah kali kecil yang melintas tak jauh dari desa. Saat itu penduduk dan Wanua Yodha membuat saluran irigasi untuk mengairi sawah dengan air sungai itu. Namun memasuki waktu panen kedua, sungai itu mengering. Kami kini harus mencari air di balik bukit dan itu memakan waktu setidaknya setengah hari untuk mengambil air dari balik bukit tersebut. Sawah kami tak lagi bisa ditanami padi, karena itu para Rama Magman menginstruksikan agar kami ganti menanam palawija. Meski begitu jumlah air yang diangkut penduduk dari telaga di balik bukit masih kurang untuk memenuhi kebutuhan pengairan tegalan palawija. Akibatnya jatah air untuk masing-masing kepala pun dibatasi.
Penduduk desa kami lama-lama semakin menderita. Desas-desus pun bermunculan mengenai penyebab kekeringan ini. Ada yang mengatakan ini karena perbuatan tukang teluh, ada yang mengatakan ini adalah karma akibat perbuatan jahat seorang penduduk, tapi yang paling membuatku sebal adalah ucapan para kaum pria bebal yang berkata hal ini terjadi karena Wanua Yodha desa ini mengangkat seorang estri sepertiku.
Sungguh tak masuk di akal. Di desa-desa lain keberadaan estri – meskipun sedikit – merupakan kewajaran. Memang rata-rata prajurit adalah yoga – kaum lelaki – tapi keberadaan estri tidak dipermasalahkan. Seorang dari Rama Marata, seorang wanita tua dengan rambut yang telah memutih seutuhnya, yang memperbolehkan aku menjadi estri untuk desa ini bahkan mengatakan bahwa sebelum Maharaja pertama bertahta, ia diajari ilmu perang oleh seorang dewi dan ia diharuskan untuk tetap memiliki estri – prajurit wanita – untuk menjaga kerajaannya kelak. Aku sebenarnya ingin tahu lebih banyak soal kisah itu namun sayang seribu sayang, Rama Marata baik itu berpulang sebelum aku tahu lebih banyak soal itu.
Kembali ke masalah tarian hujan. Bawa dan Wungsu menghampiriku dengan tubuh banjir peluh dan darah serta meminta daun kassum tumbuk kepadaku. Aku berjalan ke sebuah bale rumah tempat ibuku telah menyiapkan sejumlah daun kassum tumbuk dalam sebuah wadah bambu guna keperluan ritual hari ini. Sebagian besar daun tumbuk itu sudah dipakai peserta lain, tapi sisa ini masih cukup dioleskan ke luka Bawa dan Wungsu.
“Yah, Ratna? Kok cuma sedikit?” keluh Wungsu.
“Jatah kalian sudah dihabisi peserta lain. Dioleskan tipis-tipis saja.”
“Au!” Bawa meringis saat mengoleskan daun kassum tumbuk itu ke luka melintang lebar di perutnya, “Kamu tadi terlalu bersemangat nyabetnya Wung!”
“Yah, masih mending aku yang nyabet. Coba kalau Ratna yang nyabet? Apa nggak isi perutmu tumpah semua tuh?” balas Wungsu.
Aku cuma tertawa sementara Bawa menatapku dengan tatapan takut-takut. Ya. Meskipun aku ini estri, tapi teman-temanku sesama Wanua Yodha sudah paham bahwa aku punya tenaga seperti banteng. Mereka masih belum bisa lupa bagaimana aksiku saat mematahkan leher seorang lampor yang hendak mencuri di rumah seorang Rama Magman.
“Kamu beruntung,” kataku pada Bawa, “kalau saja wanita diizinkan ikut menarikan tarian perang pemanggil hujan, kamu pasti sudah nggak selamat.”
Bawa hanya nyengir kuda sementara Wungsu yang sudah selesai mengolesi luka-lukanya bangkit berdiri dan meraih parangnya lalu mulai melakukan tugas rutinnya berkeliling desa.
*****
Esok paginya para Rama Magman memberi pengumuman bahwa mereka mendapat kabar dari desa seberang bahwa seorang Citralekha sedang berada di daerah ini. Bawa, Wungsu, dan Jro diutus menjemput Sang Citralekha itu ke desa kami. Sementara aku dan Jayantha diinstruksikan untuk tetap tinggal menjaga desa bersama 20 Wanua Yodha lainnya.
Siang itu Jayantha dan aku berjaga dalam satu giliran yang sama. Pada saat itu Jayantha mengajakku bercengkerama soal Citralekha. “Aku tadinya berpikir Citralekha itu sudah tidak ada lho, Ratna.”
Dahiku mengernyit, “Kenapa Kang? Dan sebenarnya siapa sih Citralekha itu?”
“Aku pernah dengar dari seorang Rama Magman bahwa saat Kemaharajaan dahulu masih berdiri, Citralekha adalah orang yang bertugas membuat prasasti. Bersama Makudur, Citralekha adalah elemen penting dalam upacara-upacara besar, termasuk upacara penetapan tanah desa ini sebagai sima Kemaharajaan. Konon apa yang mereka tuliskan, entah itu kutukan atau berkat, akan menjadi kenyataan. Itulah kenapa dahulu mereka punya posisi lebih terhormat daripada Makudur.”
Aku hanya manggut-manggut mendengar penjelasan Jayantha. Cerita tentang penetapan desa kami sebagai daerah sima, daerah khusus yang tidak dikenai pajak sampai batas tertentu oleh Kemaharajaan, adalah kisah yang dikisahkan turun-temurun di desa kami terutama saat festival panen raya. Status sima adalah status istimewa. Jumlah barang-barang yang seharusnya dikenai pajak dikurangi dan ini membuat rakyat desa mampu meraup keuntungan lebih banyak daripada penduduk desa lain yang tidak berstatus sima. Konon peristiwa tentang status sima itu ada di empat tugu yupa yang ada di tengah desa, letaknya tak jauh dari tempat tarian perang pemanggil hujan kemarin diadakan.
Jayantha dan aku berjaga setidaknya sampai matahari menjelang terbenam sebelum berganti tugas dengan Wanua Yodha lainnya. Menjelang malam, saat aku keluar kembali untuk berkeliling kampung, aku mendapati bahwa Jro, Bawa dan Wungsu belum juga kembali.
“Ke mana mereka, Kang? Desa seberang kan jaraknya tidak sampai setengah hari perjalanan?” tanyaku pada Jayantha.
“Mungkin mereka kemalaman, mungkin juga Citralekha itu belum mau ke desa ini malam ini.”
“Tapi ... bagaimana kalau mereka dapat celaka di tengah hutan? Bagaimana kalau ada begal yang menghadang mereka. Bagaimana kalau ... ?”
“Sudahlah Ratna. Kau jangan cemas. Meski mereka bukan banteng betina seperti kamu, mereka juga tahu caranya jaga diri,” kata Jayantha.
*****
Kekhawatiranku tentang keselamatan tiga orang kawanku itu baru pupus saat matahari terbit keesokan harinya. Dari kejauhan aku melihat Jro, Bawa, dan Wungsu tampak mengiringi seorang pria asing berpakaian kain coklat tua.
Pria asing yang bersama mereka, Sang Citralekha, ternyata lebih muda daripada yang kukira. Usianya pastilah belum melampaui 40 kali panen raya. Rambutnya hitam berkilau wajahnya bersih tanpa cambang dan kumis. Ekspresi mukanya sangat khas, datar dan dingin tapi mengandung sebuah kewibawaan. Jika aku tidak diberitahu bahwa dia seorang Citralekha, aku sudah pasti akan sujud sembah di hadapannya karena mengira dia seorang pangeran atau raja.
*****
Sang Citralekha, kami antar ke pendopo desa di mana para Rama Magman dan Rama Marata serta Sang Makudur Tua berkumpul dengan memandang penuh harap kepada Sang Citralekha.
“Kalian, tutup pintunya dan tunggu di luar,” kata seorang Rama Magman pada kami.
Kami berdua pun membungkukkan badan lalu berjalan keluar, menutup daun pintu pendopo lalu berjaga di luar hingga matahari mencapai titik puncaknya.
Saat tengah hari, tiba-tiba saja Sang Citralekha keluar dengan langkah tergesa disertai seorang Rama Magman. “Ratna, Jayantha, ikut aku,” Sang Rama Magman itu memberi perintah.
Kami berdua pun menurut dan ikut saja sampai akhirnya Sang Citralekha itu berhenti di hadapan empat tugu yupa yang tulisannya mulai pudar. “Inilah yupa yang kami maksud, Mpu Citralekha,” kata Sang Rama Magman.
Citralekha itu menyentuh salah satu yupa dengan tangannya, jari-jemarinya menyusuri setiap ukiran-ukiran aksara yang tertera di yupa itu dengan hati-hati. “Saya akan memeriksa yupa-yupa ini. Ki Rama bisa tinggalkan saya sendiri di sini. Saat saya sudah selesai dengan yupa ini saya akan kembali pada Ki Rama,” kata pria itu.
“Baiklah Mpu, jika Mpu memerlukan sesuatu, silakan Mpu sampaikan pada para Wanua Yodha.”
Citralekha itu mengangguk perlahan sebelum kembali memelototi deretan aksara yang terukir pada yupa-yupa itu. Aku dan Jayantha kemudian bersepakat akan bergantian menengok Sang Citralekha untuk membawakan keperluan beliau seharian ini.
*****
Saat malam mulai turun, aku pergi ke deretan yupa itu kembali. Di sana aku menemukan Sang Citralekha itu masih saja menekuni deretan aksara-aksara itu dengan diterangi cahaya obor. Aku terkejut saat mendapati makanan dan minuman yang kami sediakan untuk Sang Citralekha itu sama sekali belum ia sentuh.
“Hei!” tiba-tiba Citralekha itu menoleh ke arahku, “Tolong bawakan kemari buntelanku itu, Estri.”
Aku mengambil buntelan kain milik Sang Citralekha lalu menyerahkan buntelan itu kepadanya. Setelah itu, di bawah temaram cahaya obor, Citralekha itu meraup sejumlah bubuk hijau dari sebuah cepuk logam lalu menyemburkannya ke hadapan sebuah yupa. Ia kemudian berjalan ke yupa lainnya dan melakukan hal serupa sampai akhirnya ia memperlakukan yupa keempat dengan perlakuan serupa.
“Sabatha udaya satham[1],” ia menangkupkan kedua tangannya sambil mengucapkan satu kalimat mantra dan sesaat kemudian dari yupa-yupa itu muncul sederet aksara berwarna hijau, bercahaya di tengah gelapnya malam, yang kemudian melayang dan berderet membentuk bait-bait di hadapan Sang Citralekha.
Saat membaca deret aksara itu, tanpa sadar mulutku berucap, “Ketahuilah kamu semua wahai penduduk Danten, Keturunan Dyah Gamala. Bahwa Sri Maharaja Sri Lokeswara Dharmmawansa Tguh Aryanantawikramotunggadewa ....”
Belum selesai aku membaca tulisan itu, tiba-tiba saja tulisan itu lenyap dan Sang Citralekha menatap ke arahku dengan tatapan penuh selidik seakan aku ini makhluk paling aneh yang ia temui. Reaksi pertamaku hanya satu kata, “Kenapa Mpu?”
“Bagaimana kamu bisa membaca aksara kuno yang bahkan tidak bisa dibaca oleh Rama Magman dan Sang Makudur dari desamu?”
“Demi dewa-dewi Meru, siapapun pasti juga bisa membaca itu kalau hurufnya timbul dan bercahaya seperti itu!”
“Apa benar?” Sang Citralekha menoleh ke kiri dan memanggil seorang pemuda, “Kau! Kemari!”
Si pemuda yang tampak baru pulang dari ladang itu mendekati Sang Citralekha dengan kaki sedikit ditekuk, seolah Sang Citralekha ini adalah seorang paduka raja yang menuntut hormat.
“Kakimu tak usah ditekuk begitu. Aku bukan Raja, bukan pula pembesar. Kemari dan coba baca tulisan ini,” katanya sembari mengusap sebuah yupa dan memunculkan tulisan-tulisan yang tadi kubaca.
Pemuda itu mendekat lalu memicingkan matanya. Ia berdiri menatap tulisan-tulisan itu selama beberapa saat sebelum menggeleng, “Maaf Mpu, saya tidak bisa membacanya,” kemudian ia mohon diri.
Citralekha itu kemudian memanggil Bawa, Jro, Wungsu, dan teman-temanku dari kalangan Wanua Yodha. Semuanya mengatakan tidak bisa membaca tulisan yang ditunjukkan oleh Sang Citralekha, tak terkecuali pemimpin kami Jayantha.
Setelah semua Wanua Yodha menyerah membaca tulisan dari prasasti itu, Sang Citralekha menoleh ke arahku lalu berkata, “Besok, hujan akan turun kembali di desamu. Tapi ... sebelum hujan itu bisa turun di sini, hujan itu menuntut pengorbanan besar dari dirimu. Kau bisa membaca tulisan di yupa ini, kau bisa membaca aksara kuno dari zaman Maharaja pertama, itu artinya kau juga yang harus menyingkirkan hambatan penyebab tidak turunnya hujan selama ini.”
“Memangnya apa yang harus saya lakukan?” tanyaku kebingungan.
“Bacalah!” Citralekha itu mengibaskan tangannya dan deretan aksara kuno itu kembali membentuk deretan sepuluh bait.
*****
Esok paginya, Sang Citralekha meminta semua warga untuk berkumpul di lapangan tempat yupa tertancap. Semua warga kembali berkumpul dengan tatapan penuh harap. Beberapa mulai berkasak-kusuk dengan penuh keyakinan bahwa Citralekha ini akan menunjukkan atraksi menurunkan hujan. Aku sendiri memilih diam sambil mencengkeram sarung parang milikku erat-erat. Isi yupa yang kubaca tadi malam benar-benar membuatku gugup. Tapi jika aku melarikan diri dari peristiwa ini, para penduduk di desa ini akan semakin menderita.
“Saudara-saudara,” Sang Citralekha itu berdiri di dekat deretan yupa dengan posisi tegap sempurna. Suaranya lantang membahana dan seolah mengandung daya pikat yang luar biasa karena hanya dengan dua kata itu saja, perhatian para hadirin tertuju sepenuhnya kepada Sang Citralekha.
“Saya telah menemukan penyebab kenapa desa ini dilanda kemarau berkepanjangan. Jawaban untuk itu semua ada di empat yupa ini. Saya akan membacakan isinya dan Estri ini,” ia menunjuk ke arahku, “akan menerjemahkannya untuk anda semua.”
“Yumu pakatahu, grameya sima Danten, Silihe Dyah Gamala! Sri Maharaja Sri Lokeswara Dharmmawansa Tguh Aryanantawikramottunggadewa ukta sucana manawi wanua sima bhawati sima yatah grameya ring wanua Danten na kriya vajin. Nispati Maharaja kang ripu. Nispati Prameswari kang ripu. Nispati Rake Hino lan Rake Halu kang ripu,”Citralekha itu mulai membacakan isi prasasti.
“Ketahuilah kamu semua wahai penduduk Danten, Keturunan Dyah Gamala. Bahwa Sri Maharaja Sri Lokeswara Dharmmawansa Tguh Aryanantawikramotunggadewa telah bersabda bahwa tanah ini telah dijadikan sima karena penduduk Danten telah melakukan aksi kepahlawanan. Melindungi Maharaja, Permaisuri, dan putra mahkota serta adik sang putra mahkota dari para musuhnya,” aku mulai mengucapkan terjemahan dari kata-kata itu.
“Nayaka makadi bhatara Utpati Harihara kita rumaksa tribhuwana tuminhali hala hayu ni pra. Sima pratyavavasthana sarwakalam upapanna duracara mahala prasamvida madhye Dyah Gamala tu Sri Maharaja.”
“Wahai Bhatara Utpati dan Harihara yang melindungi tiga dunia serta melihat segala kebaikan dan kejahatan. Status sima atas tanah ini akan berlangsung selamanya asalkan tak ada yang melanggar perjanjian antara Dyah Gamala dan Sri Maharaja.”
“Yadi vidyate sakharanda nirmati Sri Maharaja, ya nuju pati. Ya deyat tat pati duhkha kadi lawas sang hyang candradityan sumuluhin anda buwana samankana lawasanyan bhuktyan mahapataka.”
“Ia yang mengkhianati Sri Maharaja haruslah mati, dibunuh oleh kamu sekalian. Jika kamu tak membunuhnya maka bencana besar akan menimpamu sepanjang bulan dan matahari masih menerangi dunia.”
Lalu Sang Citralekha itu terdiam, aku pun terdiam. Para pembesar, Wanua Yodha dan penduduk pun terdiam. Sang Citralekha membiarkan semua hadirin meresapi arti dari kalimat-kalimat tadi.
“Seorang penduduk desa telah mengkhianati Maharaja,” tiba-tiba seorang Rama Magman bangkit berdiri, “dan menjadikan desa ini terkutuk.”
Sang Citralekha mengangguk, “Ya.”
“Demi dewa-dewa yang bertahta di Gunung Meru! Siapa pelakunya O Mpu Citralekha?” tanya Sang Makudur.
“Apa kalian ingin aku menemukan pelakunya?”
Tanpa diperintah semua penduduk berseru, “YA!”
“Estri!” Sang Citralekha menoleh ke arahku, memintaku membacakan mantra pencari pelaku yang kubaca semalam.
Aku menarik keluar parangku dari sarungnya, kuangkat parang itu tinggi-tinggi sambil membaca mantra, “O Yaksa, raksasa, picasa, pretasura, garuda, gandarwa, gana, butha, dan catwari tunjukkan pada kami pengkhianatnya. Buat ia mengalami kehancuran yang tak terampunkan. Belah kepalanya, tusuk hatinya, buat ia mengalami penderitaan seperti halnya ia membuat orang lain menderita!”
Aku tak bisa mengingat dengan jelas apa yang terjadi setelah itu. Bawa, di kemudian hari menceritakan padaku bahwa setelah mengucapkan sebaris mantra pengundang yaksha itu langit tiba-tiba menjadi gelap dan bergemuruh sementara aku terbawa melayang setinggi rumpun padi yang berumur 30 hari. Sesudah itu Bawa mengatakan aku mendarat kembali ke tanah lalu tiba-tiba saja melompat ke arah panggung tempat para Rama Marati duduk. Hal yang kuingat selanjutnya adalah tiga dari lima Rama Marati desa kami sudah terkapar di lantai panggung dengan kepala yang telah terpisah dari tubuhnya.
Hadirin histeris, terutama para wanitanya. Anak-anak menjerit ketakutan. Tapi di saat yang sama hujan turun dengan derasnya dari atas langit membasahi tanah yang sudah lama kering. Sebentar kemudian jeritan histeris para penduduk mulai berganti dengan sorak-sorai kegirangan, sementara para pembesar desa masih terpaku dalam kebisuan.
.*****
Dua hari pasca aksi ‘pembantaianku’ kepada tiga Rama Marati itu, para Rama Marati yang tersisa akhirnya bicara jujur kepada para penduduk desa. Atas nama sejumlah emas, ketiga Rama Marati yang aku bunuh itu telah memberitahu persembunyian Sang Maharaja terakhir kepada Hayi – raja bawahan – penguasa Sadeng. Sang Maharaja terakhir pun akhirnya ditangkap dan dibunuh bersama keluarganya.
Sekilas masalahnya sudah selesai, hujan telah turun, kutukan atas desa kami telah sirna, tapi bagiku masalahnya belum selesai.
“Perbuatanmu itu benar, tapi juga salah Ratna,” kata seorang Rama Magman.
“Mereka seharusnya diadili dahulu sebelum diputuskan untuk dihukum mati,” timpal Rama Magman yang lain.
“Kau telah melanggar tiga hukum adat dengan membunuh ketiga orang itu. Pelanggaran pertama : kau memasuki panggung tempat para Rama duduk tanpa izin, pelanggaran kedua : kau membantai mereka tanpa pengadilan, dan pelanggaran ketiga : kau membantai orang di hadapan anak-anak,” kata Rama Magman yang pertama.
“Kau tak bisa lagi tinggal di sini Ratna. Kau harus pergi dari sini,” sahut Rama Magman yang lain.
Dua tua bangka cecunguk itu tidak bisa membedakan mana kebajikan dan mana yang bukan kebajikan. Membiarkan tiga Rama Marata itu tetap hidup justru memperbesar kemungkinan bencana ini akan terus berlangsung. Akankah mereka mengaku jika diadakan pengadilan? Akankah alam puas dengan vonis yang dijatuhkan pengadilan kepada ketiganya? Apakah penduduk bisa bertahan lebih lama tanpa hujan selagi para Rama Marata itu diadili? Aku ingin menumpahkan segala amarahku ini ke hadapan dua Rama Magman itu, tapi kuputuskan bahwa aku tak hendak membantah kata-kata mereka, karena bantahanku mungkin akan memperburuk sikap para Rama Magman pada ibu dan adik perempuanku.
Maka aku pun mohon diri dari hadapan Rama Magman, kembali ke rumahku, mengemasi sedikit pakaian dan bekal yang disiapkan ibuku kemudian pamit kepada ibu dan adikku. Kali ini ibuku tak kuasa menitikkan air mata, “Hati-hati di jalan, Na. Kembalilah ke sini jika Rama Magman itu sudah berganti,” kata ibuku sembari mengelus-elus rambutku.
“Iya Bu, Ratna janji akan kembali. Jaga adik dan diri ibu baik-baik ya?” kataku sembari berjalan keluar diiringi isak tangis ibuku dan desahan nafas adikku yang masih pulas dalam dekapan ibuku.
Ketika aku keluar dari rumahku, kudapati segenap kawan-kawanku dari Wanua Yodha dan beberapa penduduk desa berbaris teratur di depan rumahku.
“Ada apa?” tanyaku datar.
“Ratna ... jangan pergi,” kata Bawa sambil terisak, tidak biasanya Bawa seperti itu.
“Rama Magman salah mengusirmu dari desa ini,” kata Wungsu, “kamu pahlawan, bukan lampor, begal, atau tukang judi.”
“Tapi aku pembunuh,” jawabku.
“Tiga tetua desa itu yang pembunuh Nak Ratna,” timpal seorang ibu, “tolong jangan pergi Nak.”
“Tidak saudara-saudari sekalian. Keputusan Rama Magman, betapapun kelirunya, harus kita hormati. Melawan keputusan mereka artinya melawan keputusan raja yang memerintah kita, melawan raja artinya melawan dewa, dan melawan dewa artinya mendatangkan kutukan baru atas desa ini. Aku tak bisa membiarkan desa ini kena kutuk lagi. Karena itu aku akan pergi dari sini, tapi mungkin suatu saat akan kembali lagi. Selamat tinggal,” kataku sembari meninggalkan kerumunan itu.
Kerumunan itu sendiri menyingkir saat aku hendak lewat. Tatapan mereka menyiratkan perasaan campur aduk antara marah, benci, kecewa, dan kasihan. Kupercepat langkahku supaya aku tak perlu lama-lama ditatapi oleh mereka dan ketika sampai di gerbang desa, kudengar seorang memanggilku.
“Ratna,” Sang Citralekha mendekati aku sambil mengangkat topi capingnya.
“Mpu Citralekha,” aku menundukkan kepalaku dengan penuh khidmat.
“Kau mau ke mana setelah ini?”
“Entahlah.”
“Aku minta maaf jika aku jadi membuatmu dalam situasi seperti ini. Aku tak menyangka Rama Magman dan Rama Marata di desamu sebebal ini.”
“Tak ada yang perlu disesalkan, Mpu Citralekha. Desa ini kembali diguyur hujan, sawah kembali bisa digarap, penduduk bisa minum lagi dari sungai dan mata air, festival panen raya akan kembali dilakukan. Jika untuk mewujudkan itu semua perlu pengorbanan, jangankan diusir dari desa, mati pun aku rela.”
“Kau tak punya tujuan kan? Begini, kebetulan aku butuh seorang pengawal dalam perjalananku ke Swarnabhumi. Kau mau jadi pengawalku? Aku akan membayarmu dengan harga pantas.”
“Tentu saja, Mpu Citralekha,” aku tak bisa menolak karena aku memang butuh uang, dan kebetulan aku sedang tak punya tujuan. “Kapan kita berangkat?”
“Sekarang juga. Ayo!”
Citralekha itu berjalan dengan langkah lebar dan cepat, aku mengikutinya dari belakang.
==00==
[1]Hai tunjukkan kepadaku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top