Circumpolar 9

~Gravitasi membuat waktu bisa mengembang dan mengerut, tapi tak akan pernah kembali ke masa lalu. Semua akan pergi dan menyisakan kabut~

***

Gadis berambut cokelat itu menutup pintu di belakangnya sebelum melangkahkan kaki meninggalkan ruangan tempatnya menyimpan toolbox beserta kotak biru yang berisi robot timnya. Netra abu-abu gadis itu melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya dan berbelok ke arah lapangan. Bangku di depan kelasnya yang mengarah ke lapangan terlihat sepi, membuatnya melanjutkan langkahnya untuk duduk di sana. Maniknya menatap seseorang yang sedang bermain di tengah sana. Di sisi lapangan yang lain netranya menangkap beberapa gadis yang meneriaki seseorang yang tengah menggiring bola itu. Baginya, ini satu-satunya cara membunuh kebosanan ketika jam ekstrakurikuler saat keadaannya tak mampu menjangkau rooftop seperti sekarang ini. Waktu yang tak terlalu banyak dan luka di lututnya yang tak sepenuhnya kering membuatnya malas menaiki puluhan anak tangga.

"Hei," panggil seseorang dengan seragam futsal sekolahnya yang melangkah semakin mendekati gadis berambut cokelat itu.

"Jadi pulang bareng, kan?" tanyanya seraya mencoba duduk di samping gadis yang membalas dengan anggukan.

"Kak Alfa banyak yang suka ya?" tanyanya menatap wajah pemilik manik hitam yang mengusap peluh dengan tangannya itu.

"Kenapa?" tanyanya sambil mengunyah permen karet.

"Ya emang nanya gak boleh?" katanya balik bertanya. Tawa kecil lepas dari bibir cowok yang sekarang menyandarkan punggungnya itu.

"Maklum, lah. Anak basket, futsal, sapa yang gak tertarik?"

"Gue," Gamma yang mendengar pengakuan itu memajukan wajahnya dengan senyum yang tercetak jelas di bibirnya. Gemi menatapnya dengan kening berkerut, membuat Gamma mengulum bibirnya untuk menahan senyum.

"Gue ganti baju dulu, nanti lu nunggu di parkiran juga boleh si kalo lu mau." pesan cowok yang sekarang bangkit dan punggungnya menjauh dari pandangan Gemi. Gadis yang masih menatap punggung kokoh cowok yang baru saja duduk di sampingnya itu ikut bangkit setelah netranya sudah tak bisa menangkap punggung yang sedari tadi ditatapnya. Kelas yang semakin ramai karena beberapa menit lagi suara bel pulang berbunyi membuatnya berdecak. Gemi yang sudah tak melihat barang-barang teman sebangkunya itu mengangkat sebelah alisnya dan segera mengemasi barang-barangnya. Tepat saat tangannya berhasil memasukkan pulpen biru sebagai barang terakhir miliknya, bel pulang berbunyi. Ranselnya segera ia sampirkan di kedua pundak sebelum meninggalkan kelas. Sebuah panggilan membuat gadis dengan netra abu-abu itu berbalik dan berhenti sejenak menunggu seseorang yang sedang berlari menuju tempatnya berdiri.

"Sudah siap?" tanya Gamma dengan nada formal yang membuat gadis tadi tertawa kecil. Seakan ada yang menggelitiki perutnya, Gamma mengembangkan senyumnya melihat gadis di sampingnya tertawa. Keduanya berjalan beriringan menuju parkiran. Gemi yang sudah bisa mengontrol dirinya sudah mulai terbiasa berada di dekat cowok yang sedang menyisir rambut setengah basahnya dengan tangan.

"Ih lu masih keringetan ya?" Gemi yang menyadarinya melepas ranselnya dan mengambil beberapa lembar tisu.

"Nih, keringin dulu. Lu pake helm, kan? Daripada helm lu bau," Gamma mengambil tisu yang disodorkan Gemi dan segera mengelap rambutnya dengan cepat sebelum sampai di parkiran. Tangannya melempar tisu bekas ke tong sampah yang baru saja ia lewati. Langkah keduanya berhenti di samping motor hitam milik cowok yang sekarang menyodorkan helm putih pada gadis yang sedang menatap motor di sampingnya itu.

"Nih, lu bisa pasang sendiri?" Gemi hanya mengangguk sebagai balasan tanpa mengalihkan pandangan.

"Kenapa?" tanya Gamma dengan sebelah alis terangkat.

"Namanya siapa?" tanya gadis yang sekarang menatap Gamma dengan tangan yang masih memegang helm pemberian Gamma.

"Siapa?" tanya Gamma yang semakin tak mengerti.

"Dia," jawab gadis yang sekarang mengarahkan telunjuknya ke arah motor hitam Gamma.

"Emang harus ya?" tanyanya seraya mengenakan helm hitam miliknya. Gemi mengangguk sambil memakai helm.

"Nanti dah gue pikirin. Ayo naik," suruh Gamma setelah dirinya berhasil duduk di motornya. Lutut Gemi yang sudah jauh lebih baik membuatnya tidak perlu meminta bantuan Gamma untuk naik.

"Sesuai aplikasi ya, Mbak?" Gemi tertawa renyah mendengar candaan cowok yang sekarang membawanya meninggalkan sekolah itu. Semilir angin yang menerpa wajah cantiknya karena sengaja tak menurunkan kaca helmnya membuat Gemi memejam dengan bibir tersenyum. Ia tak pernah bosan dengan perasaan ini. Seakan ia sedang hidup bebas bersama jutaan burung yang menikmati hidupnya hingga saat ini.

Sinar jingga yang menerpa wajah putih gadis yang tengah tersenyum itu menambah kesan indah di mata Gamma yang sedang meliriknya melalui kaca spion. Motor hitam Gamma berbelok dan berhenti di sebuah tempat makan yang terletak tak jauh dari sekolahnya. Gemi turun dan melepas helm putih yang ia kenakan. Gamma melangkah mendekati pintu masuk tempat makan berlatar cokelat yang tidak terlalu mewah itu diikuti Gemi di belakangnya

"Lu ngapain di belakang? Sini di samping gue," Gemi menurut dan berjalan di samping Gamma hingga langkahnya ikut berhenti saat cowok dengan manik hitam itu berhenti di sebuah kursi yang terletak di pojok dekat jendela.

"Gimana workshop-nya selama dua hari kemarin?" tanyanya setelah punggung pelayan semakin menjauh membawa catatan pesanan mereka.

"Gatau, gue ngerasa salah satu dari tim gue mencoba nge-handle semua. Jadi jatuhnya kayak pengen ngerjain semua sendiri. Bahkan dia kayak gak percaya sama sekali ke gue," jelas Gemi diakhiri dengan senyum kecut.

"Yang bukan anak robotika resmi itu, bukan?" tanya Gamma memastikan.

"Ya. Gue juga gak ngerti kenapa jadi kek gini. Awalnya gue juga gak bareng dia si, cuma karena temen gue malah gak bertanggung jawab dan berakhir begitu. Sejauh ini gue cuman berharap nanti di lomba gak terjadi perselisihan." terang gadis yang menatap minuman hijau yang baru saja diletakkan pelayan.

"Gue penasaran sih kenapa lu ikut tim robotika?" Pertanyaan Gamma membuat gadis di hadapannya itu mendengkus.

"Gak ada pilihan lain. Seandainya ekstrakurikuler tidak diwajibkan, mungkin gue gak ikut. Itu juga salah satu sebab gue jarang kumpul. Gue cuman ikut lomba yang ada workshopnya sekali pun itu jauh karena gue sendiri gak sehebat yang lain dan yang paling penting, tim robotika adalah ekstrakurikuler yang sepi peminat dari kalangan cewek." Gamma mengangguk-anggukkan kepala mendengar apa yang baru saja dikatakan gadis yang sekarang sedang tersenyum pada pelayan yang membawakan pesanan keduanya. Gamma tidak peduli alasan Gemi adalah sebuah kebetulan atau bukan yang ternyata membantunya melakukan semuanya hingga titik ini.

"Btw, kenapa nama menjadi penting buat sebuah motor?" tanya Gamma seraya mengaduk makanan di mangkuknya.

"Kalo lu sayang sama motor lu, nama menjadi penting." sahut gadis yang mulai menyendokkan makanan ke mulutnya itu.

"Tapi gue gak punya ide,"

"Hmm.... eagle?" tawar gadis yang kini menatap lawan bicaranya tersebut,

"Elang?" Gemi yang sedang mengunyah makanannya itu memilih untuk mengangguk sebagai jawaban.

"Bagi gue eagle itu punya makna yang besar," katanya dengan tatapan menerawang. Gamma yang penasaran hanya mengangkat sebelah alisnya, membiarkan Gemi melanjutkan ucapannya.

"Pertama, eagle itu nama modul bulan Apollo 11. Tau kan apa yang dikatakan Neil Armstrong pas berhasil mendarat di bulan?"

"One small step for a man, one giant leap for mankind. Itu, kan?" tanya pemilik manik hitam itu memastikan. Gadis di depannya itu menggeleng.

"Itu pas pertama kali dia menginjakkan kaki di bulan bukan yang benar-benar pertama setelah berhasil mendaratkan eagle."

"Terus apa dong? Btw kemarin Apollo 13, sekarang Apollo 11, besok 14, lusa 16, gue kepo sama Ken Mattingly," ujar Gamma diakhiri tawa renyah.

"Houston, Tranquility base here. The eagle has landed. Terdengar mengagumkan. Terus yang kedua, gue suka sama bintang yang namanya Altair dan bintang itu ada di rasi Aquilla, Aquilla itu sendiri rasi yang bentuknya elang. Yang terakhir, karena eagle adalah elang," jelas gadis yang sekarang menyeruput minumannya itu.

"Oke sip dia gue kasi nama eagle,"

***

Gadis berambut cokelat itu tersenyum dan melambaikan tangannya sebelum berbalik dan mendapati mobil hitam yang ia kenal terparkir rapi di garasi. Senyumnya mulai memudar. Kakinya ia langkahkan mendekati pintu dan segera membukanya tanpa perlu mengetuk.

"Kok baru pulang jam segini?" Suara itu melunak tapi tak berhasil membuat sang pemilik netra abu-abu itu membuka bibirnya. Tangan mungilnya mencengkeram ujung seragamnya penuh kesal.

"Kok gak dijawab? Ini lewat dua jam dari jam seharusnya kamu pulang. Masih ke mana dulu? Kok gak ngabarin Papa?"

"Sejak kapan Anda peduli pada saya? Sejak kapan Anda memperhitungkan jam pulang saya?" tajam dan dingin dalam waktu bersamaan membuat lawan bicaranya tertohok seketika.

"Artemis," panggil pria paruh baya itu melembut.

"Jangan panggil saya dengan nama belakang saya! Anda paham?" Gadis itu mulai setengah berteriak tanpa menghilangkan kesan dingin dari nada bicaranya.

"Gemi, ngomongnya kok gitu? Minta maaf sama Papa," Suara yang begitu gadis itu kenal tiba-tiba masuk ke indra pendengarannya. Gemi menatap Vani yang sekarang sudah berdiri di samping pria itu. Tentu saja gadis itu tak berniat melakukan apa yang baru saja ia dengar.

"Tumben Mama sama dia ada di rumah," katanya dingin dan segera menapaki anak tangga menuju kamarnya tanpa memedulikan panggilan dua orang yang berada di belakangnya.

Tangis itu pecah. Ia luruh sesaat pintu kamarnya tertutup rapat. Ia tak bisa menahan kakinya agar tetap menopang tubuhnya. Bahkan sekarang ia tersungkur di sebelah ranjang miliknya. Wajahnya basah karena butir bening yang terus mengalir dari mata mungilnya. Apa mereka tidak mengerti seperti apa menjadi dirinya, atau mereka pura-pura tidak mengerti?

***

"Dandi juga yang ngajarin kamu pulang telat?" Suara itu membuat Gamma mengeraskan rahangnya.

"Atau Dandi tidak pernah mengajarimu caranya berbicara?"

"Cukup! Anda tidak memiliki hak untuk mencacinya!" Suara berat Gamma mulai terdengar di ruangan itu.

"Gamma!" bentak wanita yang begitu ia sayangi membuatnya menghela napas panjang. Ia berbalik untuk segera ke kamarnya.

"Mama gak pernah ajarin kamu kek gitu. Papamu juga gak pernah dan kenapa kamu kek gini?" tanya Novi dengan suara yang terdengar bergetar, membuat Gamma berhenti dan kembali berbalik menghadap wanita yang telah melahirkannya delapan belas tahun lalu.

"Mama kenapa sih gak pernah ngertiin Gamma? Dia yang gak ngehargain Papa. Jadi buat apa Gamma ngehargain dia?" keluh Gamma dengan suara yang ikut bergetar

Plaak....

Tamparan dari wanita yang begitu disayangi pasti rasanya begitu menusuk. Pemilik manik hitam itu mengusap pipi kirinya sambil tersenyum kecut.

"Oke kalo itu yang Mama mau," ucap cowok itu segera berlalu. Pemilik manik hitam itu membanting pintu kamarnya dan segera menjatuhkan dirinya di atas ranjang. Ia menatap langit-langit, tangannya masih mengusap pipi kirinya bukan karena sakit di pipi yang ia rasakan tapi sakit pada sesuatu di dalam sana. Sakit hingga ia tak tau cara membedakan yang benar dan salah saat ini.

Ini gila, Mama nampar gue cuman gara-gara dia!

Ia memejamkan matanya. Pikirannya melayang pada kejadian sepuluh tahun lalu.

"Papa mau ke mana?" Gamma kecil menarik ujung kemeja pria yang ia panggil dengan sebutan Papa.

"Papa harus nemenin orang lain," jawab pria itu lengkap dengan senyum yang terukir di wajahnya.

"Terus Papa ninggalin Gamma sendirian?" Anak itu masih merengek dan tak membiarkan pria itu pergi.

"Kan masih ada Mama, sayang. Nanti juga bakal ada Om Tomi yang bakal nemenin Gamma,"

"Nggak, Gamma mau ikut Papa. Gamma gak mau sama Mama, Pa. Gamma mau sama Papa," tangisnya dalam pelukan sang Papa. Namun, pria itu memilih mengurai pelukannya dan masuk ke mobilnya yang mulai meninggalkan pelataran rumah bercat biru itu.

Papa.... Papa....

Cowok itu membuka matanya sambil menggeleng.

"Kenapa Papa biarin Gamma sama mereka, Pa?" gumamnya.

"Gamma mau sama Papa!"

***

Maaf ya kalau kurang memuaskan

Kritik.

Saran.

Vommentnya jangan lupa ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top