Circumpolar 7

~Percayalah, pelangi itu hanya sebuah ilusi yang hanya bertahan sekejap~

***

Gadis pemilik rambut cokelat itu berdecak kesal saat kelasnya kembali ramai, ditambah lagi suasana luar yang juga ramai. Terkadang ia ingin mengutuk jam kosong karena rapat yang terlalu lama. Kakinya ingin sekali ia langkahkan menuju perpus, tempat tersenyap di sekolah tapi ia sudah berjanji pada mamanya untuk tidak banyak modar mandir. Akhirnya, gadis ini kembali meraih pulpen birunya untuk mengurangi kebosanan dan mencoba mengalihkan kekesalannya. Sebuah panggilan membuatnya memejam sejenak sebelum menatap seseorang yang sekarang sudah berdiri di sebelah gadis itu.

"Nata nyariin lu." Suara salah satu temannya itu membuat Gemi mendongak.

"Mau ngapain katanya? Gue nggak boleh banyak jalan, tanyain dulu sana gih," pinta Gemi pada temannya itu.

"Ih, manja lu!" protes cowok yang sekarang malah menuruti permintaan Gemi, membuatnya tersenyum kecil.

"Gem, lu suruh ke ruang robotika buat daftar. Disuruh Iqbal katanya," teriak temannya itu menjauhi pintu kelas.

"Tanyain dah sama Nata, gue kudu ikut?" pinta Gemi sekali lagi.

"Anjir gue udah duduk juga. Udah sana gabakal kenapa-kenapa," Gemi mengerucutkan bibirnya. Tangannya bergerak merogoh ranselnya untuk mengambil beberapa lembar uang sebelum melipatnya dan menyelipkan pada saku roknya. Gadis itu berdiri dengan cukup hati- hati karena jujur saja lututnya masih terasa nyeri ketika digerakkan. Ia menggigit bibir bawahnya seraya melangkah hati-hati mengikuti langkah Nata yang berada di depannya. Tiba-tiba sebuah asumsi melintas di pikirannya, sepertinya keputusannya kali ini tidak salah walau ia harus susah payah menyusuri koridor. Gadis pemilik rambut cokelat ini mengulum bibirnya berharap Gamma juga ikut lomba yang sama.

Suara derit pintu dibuka menjadi alasan seluruh isi ruangan yang semuanya cowok menoleh. Gadis yang baru saja masuk bersama Nata segera menyapukan pandangannya pada tiap orang yang sudah kembali pada kegiatannya masing-masing. Helaan napasnya terdengar ketika netranya tak menemukan apa yang ia cari.

"Nyariin apa?" suara Vega membuatnya melangkah mendekati cowok yang sedang duduk di salah satu pojok ruangan itu.

"Itu luka lu? Cemen amat dah," ledek Vega seraya menepuk-nepuk lutut kanan Gemi yang dilapisi plester putih itu membuat gadis itu mengerang.

"Itu masih sakit woi. Gila lu ya?" tatapan kesal Gemi hanya ditanggap dengan tawa oleh cowok yang sekarang memegangi perutnya itu.

"Seneng lu ya? Seneng?" kesal Gemi yang mulai memanyunkan wajahnya membuat Vega sekuat tenaga untuk berhenti tertawa.

"Iya udah, iya. Tadi lu nyari apaan? Gamma, ya?" tanyanya dengan kedua alis yang ia naik turunkan untuk menggoda gadis yang sekarang meliriknya tajam.

"Perlu berapa kali gue ingetin, kalo lagi kumpul jangan kayak comberan. Ih," gerutu Gemi.

"Elah ngambek. Gada dia kagak ikut," ucapnya sebelum bergeser mendekati Iqbal yang sedari tadi memanggilnya. Gadis berambut cokelat itu kembali menyapu ruangan bertema robot itu dengan tatapannya, mencoba memastikan ucapan laki-laki yang tadi sempat menepuk lututnya. Helaan napas terdengar dari gadis itu sebelum tangannya merogoh saku dan memilih memainkan ponselnya untuk membunuh kebosanan.

"Hmm, Kak." Panggilan itu membuat Gemi mendongak untuk menatap seseorang yang duduk di hadapannya.

"Ya? Kenapa?"

"Saya belum tahu Kak Nanda yang mana," Cowok itu berusaha membuka pembicaraan.

"Nanti lu juga tau." Cowok yang memiliki manik hazel itu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menggigit bibir bawahnya dengan manik yang melirik gadis yang sedang menunduk memainkan ponselnya itu. maniknya memejam sekejap seraya mengumpulkan keberanian.

"Hmm Kak," panggilnya lagi membuat gadis tadi mengangkat sebelah alisnya sebagai respons.

"Gemi, sini kelompok lu!" Gadis berambut cokelat itu mendekati Iqbal diikuti Nata yang sempat mengembuskan napas lelah.

"Ini data kalian. Bener, nggak?" ucap Iqbal seraya menggeser laptop abu-abu ke hadapan Gemi. Manik gadis itu terlihat memicing diikuti anggukan kecil.

"Oke sekarang udah. Tinggal gue submit aja," ujar Iqbal.

"Hmm, Bal. Gue boleh liat data sapa aja yang ikut, nggak?" tanya Gemi memamerkan deretan giginya yang rapi. Iqbal menatapnya dengan tatapan penuh selidik, membuat Gemi menelan salivanya.

"Boleh, sih. Nih!"

Gadis itu segera membaca data yang ada di layar dengan cepat karena yang ia cari hanya sebuah nama. Ia mengembuskan napas lelah ketika sudah berada di halaman terakhir dan tidak berhasil menemukan apa yang ia cari. Benda berwarna abu-abu itu ia sodorkan pada pemiliknya. Maniknya memilih menatap ruangan yang jarang ia datangi ini. Sebuah etalase yang penuh akan piala menambah keapikan dari ruangan yang sering didominasi oleh laki-laki ini. Beberapa pigura tergantung di salah satu dinding ruangan ini hingga sebuah foto berhasil melengkungkan garis bibirnya.

"Oke, semua udah. Kalian bisa balik," ujar Iqbal membuat yang lain menoleh pada gadis saatu-satunya di ruangan itu.

"Apa?" tanyanya polos.

"Ladies first." Ucapan itu membuat Gemi tersenyum. Ini bukan kali pertama ia diperlakukan demikian, tapi rasanya tetap menyenangkan. Pemilik netra abu-abu itu segera bangkit dan melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan setelah berpamitan pada yang lain. Suasana sekolah yang kurang kondusif tiap kali guru-guru mengadakan rapat membuatnya harus lebih berhati-hati mengingat lukanya yang masih terasa sakit. Bahkan, gadis ini sesekali menahan napas dan menggigit bibir bawahnya saat ada beberapa siswa berlarian di koridor. Gemi bisa bernapas lega saat kelasnya sudah ada di depan mata. Namun, kondisi kelas yang ternyata sepi membuatnya menatap jam dinding di belakang kelas, lima menit lagi adalah jam istirahat. ia melangkahkan kakinya mendekati bangku pojok di dekat jendela. Tangannya mengambil benda pipih berwarna merah dari saku roknya setelah berhasil mendaratkan bokongnya dengan sempurna. Jari lentiknya mencari kontak seseorang dan segera menekan tombol dial. Beberapa saat setelah terdengar nada sambungan, ada getaran dari kolong meja teman sebangkunya itu. Gemi menunduk untuk mencari tahu hingga embusan napas kesal terdengar darinya seraya melempar ponselnya ke kolong mejanya setelah menutup telepon. Di kelas hanya ada dirinya dan seseorang di pojok yang lain dengan novel di tangan. Tampaknya semesta sedang ingin membuatnya kelaparan hari ini. Kini ia merutuki dirinya yang menolak bekal buatan Bi Min tadi pagi.

Pandangan gadis berambut cokelat itu beralih pada jendela di sampingnya. Lukisan Tuhan memang tak pernah ada duanya. Gemi selalu menyukai semua tentang langit, termasuk langit kelabu kali ini walau terkadang membuat sesuatu di dalam sana terusik. Gemuruh ringan yang menjadi pelengkap mega yang tak lagi putih dan matahari yang sedang malu-malu membuat gadis itu menghela napas ringan. Katakanlah ia menyukai langit kelabu, tapi ia tak pernah menukai apa yang terjadi setelahnya. Benar saja, apa yang tak pernah ia harapkan terjadi. Titik-titik kecil itu mulai berjauhan membasahi taman di samping kelasnya. Ia kembali menghela napas dan menghirup aroma tanah yang kian menusuk dadanya. Rahangnya mengeras saat sebuah kejadian tiba-tiba berputar di kepalanya seakan kaset rusak. Ia menenggelamkan wajahnya di antara kedua lipatan tangannya di atas meja bersamaan dengan suara hujan yang kian mendominasi. Tidak bisakah Tuhan membuatnya tidur sekarang juga? Sekarang ia semakin merutuki dirinya yang lupa membawa earphone dan harus menahan semua ini hingga sebuah panggilan samar membuatnya sedikit teralihkan. Awalnya ia mencoba mengabaikannya sampai sebuah tangan menyentuh pundaknya dan memaksa gadis ini mengangkat kepalanya. Kali ini ia sedikit bersyukur dapat menahan teriakannya saat maniknya menangkap seseorang yang sedang berdiri di sampingnya dengan rambut setengah basah karena air hujan.

"Nih," ucapnya mendorong sekotak susu dan sebungkus roti ke hadapan gadis yang sekarang masih diam menatap laki-laki itu.

"Kenapa? Gue tau lu gabakal ke kantin, makanya gue bawain," ujarnya seraya menarik kursi yang ada di samping gadis tadi dan duduk tepat di sampingnya.

"Tolong sadarin gue dan bilang ini bukan sekadar cerita di novel yang ada di bayangan gue," ujar gadis berambut cokelat itu dalam hati.

Gamma mengambil roti yang ada di hadapan gadis tadi, membuka bungkusnya dan menyodorkannya pada Gemi yang sedang berusaha menetralisasi debaran di jantungnya. Ia menggigit roti itu sambil terus mengambil napas sebanyak mungkin agar detak jantungnya cepat kembali normal.

"Habisin!" katanya seraya mengeluarkan permen karet dari saku celananya. Gemi memerhatikan itu seraya terus menggigit rotinya.

"Kenapa? Lu mau?" tawar Gamma seraya memasukkan permen karet ke mulutnya.

"Nggak, makasih. Mm, btw gue udah gak masalah si dengan kejadian dua hari lalu. Jadi, Kakak nggak usah repot-repot," ujar Gemi yang direspons dengan senyuman oleh cowok di sampingnya,

"Gapapa, gue cuman mau liat perkembangan lu. Gue kira hari ini lu belum masuk, tapi tadi temen gue bilang liat lu jadi gue ke sini habis dari kantin." Gemi mengangguk-anggukan kepalanya hingga suara petir membuatnya melempar roti di genggamannya dan segera menutup telinganya dengan kedua tangan dengan mata yang terpejam.

"Aduh! Maaf Kak, rotinya kelempar," sesalnya saat suara petir sudah berhenti.

"Lu takut petir?" tanya Gamma tak mengindahkan pertanyaan Gemi tadi. Gemi menggeleng sebagai respons seraya menusukkan sedotan pada susu yang tadi diberikan Gamma.

"Terus?"

"Kaget aja," jawabnya santai.

"Lu takut hujan?" tanyanya lagi menatap gadis yang sedang menyedot susu di hadapannya itu, Gemi menggeleng sebagai jawaban.

"Tapi tadi gue liat lu sembunyi pas hujan," Gamma masih tak menyerah, membuat Gemi meletakkan sekotak susu di mejanya dan menatap Gamma dengan senyuman.

"Gue benci hujan."

***

Sang hazel mengembuskan napas kesal saat rintik hujan tiba-tiba saja turun. Ia mengacak rambutnya dan memilih kembali ke kelasnya. Tangannya bergerak memainkan ponsel sambil berharap hujan segera reda. Ia menggigit bibir bawahnya dan kembali berdiri dan melangkahkan kakinya keluar kelas, kemudian masuk lagi. Kegiatan tersebut ia ulang-ulang hanya untuk mengecek apakah hujan sudah reda.

"Lu kenapa sih, Nat? Kayak setrikaan aja," protes temannya yang mungkin bosan melihatnya bolak-balik. Manik hazelnya melirik jam tangannya sebelum akhirnya memutuskan untuk menerobos hujan. Dengan tangan menutupi kepala bak payung, ia setengah berlari menyeberangi taman.

Nata menyusuri koridor kelas sebelas dengan hati-hati agar percikan air hujan tidak semakin membasahinya. Tangannya memainkan sebuah benda kecil di genggamannya. Ia mengembuskan napasnya entah sudah berapa kali dalam perjalanannya kali ini. Langkahnya ia perlambat saat sebuah kelas yang ia tuju sudah berada di depannya. Pandangannya menoleh sejenak sebelum memilih mengetuk pintu di depan sana hingga maniknya menangkap seorang gadis yang sedang bercengkerama dengan seorang cowok. Ia menghentikan langkahnya sebentar dan menatap benda kecil di genggamannya.

"Heh, lu ngapain di sini?" Pertanyaan itu membuatnya buru-buru memasukkan benda tadi ke sakunya.

"Itu apa?" tanya Vega seraya menunjuk saku celana Nata.

"Bukan apa-apa," jawabnya dan segera berlalu.

***

Jadi gimana part ini?

Vomment ya:*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top