Circumpolar 6

~Semesta tidak pernah merangkai cerita sederhana karena memang benar-benar tidak ada yang sederhana di dunia ini~

***

Gadis yang kesal pada rambut cokelatnya itu segera meraih karet rambut yang ada di laci nakas dan mengikat rambutnya dengan cepat. Tangan mungilnya kembali meraih sendok pada mangkuk yang terletak pada meja lipat di atas pahanya dengan laptop di hadapannya. Vani yang memaksanya untuk izin sekolah hingga menyebabkannya berakhir begini. Entah sudah berapa kali asisten rumah tangganya naik turun untuk mengantarkannya makanan dan entah sudah berapa judul film yang sudah ia tonton hari ini. Tangannya bergerak mengangkat mangkuk yang sudah hampir habis itu dan mendekatkan pada bibir mungilnya. Maniknya memejam ketika kuah bening itu melewati kerongkongannya.

"Gue mau masuk aja dah besok, apaan dah gendut gue kalo gini caranya," gumamnya seraya memindahkan mangkuk tadi ke meja nakas sebelum kembali memanggil Bi Min, asisten rumah tangganya untuk kembali mengantarkan makanan. Laptopnya juga kini ia pindahkan setelah berhasil mematikannya, begitu juga meja lipat yang tadi sempat ia gunakan. Tangannya menyingkap selimut yang menutupi setengah tubuhnya.

"Aw!" ringisnya saat jarinya terlalu kasar menyentuh lukanya yang dibalut kapas putih. Luka pada lututnya memang cukup lebar yang menyebabkan mamanya memaksanya untuk izin. Padahal gadis ini sendiri yakin masih bisa berjalan cukup baik, buktinya ia sempat bolak balik toilet tanpa bantuan siapa pun. Alibi Vani mengenai kekhawatiran terhadap Gemi mulai diragukan gadis ini, wanita yang ia panggil mama itu sekarang tidak ada di rumah. Ia ditinggal bertiga dengan Bi Min dan Bang Mamang.

"Katanya nggak mau kenapa-kenapa, tapi udah ilang dari subuh sampe nggak tau kapan," gerutu gadis yang sekarang sedang mencoba melepaskan plester luka yang melekat pada lutut kanannya.

"Neng Gemi kenapa nggak panggil Bibi kalo mau bersihin?" tanya wanita paruh baya yang baru saja membuka pintu kamar Gemi dan segera berlari mendekati gadis yang sekarang menatapnya geli.

"Gemi juga bisa sendiri kok, Bi. Kasian Bibi kudu naik turun," ucapnya melanjutnya gerakan tangannya. Wanita tadi segera mengambil sebuah kotak yang ada di meja belajar Gemi.

"Sini Bibi aja, Neng." Gemi yang melihat raut kekhawatiran di wajah wanita yang ia panggil Bibi itu mengalah dan memilih memerhatikan saja. Gerakan tangan wanita itu begitu halus hingga tak terasa sakit bagi Gemi.

"Masih basah, Neng. Maklum, baru kemarin." ujarnya seraya mengoleskan antiseptik pada luka yang masih menganga itu dengan hati-hati.

"Tapi udah nggak sakit lagi sih, Bi. Bilangin Mamah, dong. Bosen di rumah," pinta gadis pemilik rambut cokelat itu. Wanita yang sudah selesai menempelkan plester berwarna putih pada lutut gadis yang sudah ia temani sejak ia lahir itu kini menatap wajah Gemi yang masih terlihat memohon.

"Tinggal dipakein plester luka, Gemi berangkat sekolah deh. Gemi mau kok dianterin Bang Mamang," bujuk gadis itu masih tetap saja merayu.

"Ya, jangan bilang ke Bibi lah, Neng. Ngomong sama Nyonya coba," sahut wanita yang membereskan perlengkapan yang tadi ia gunakan.

"Ih, mama tuh nggak asik,"

"Neng Gemi mau Bibi buatin sesuatu lagi, nggak?" tawar Bi Min mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Nggak, makasih. Bibi ih, Gemi kan ...." ucap Gemi yang terpotong karena pintu kamarnya yang tiba-tiba terbuka.

"Wah, ada Neng Indah. Mau Bibi bawain sesuatu, nggak?" 

"Nggak usah, Bi."

"Oh ya sudah Bibi tinggal dulu ya," pamit wanita yang melangkah mendekati pintu seraya membawa mangkuk bekas Gemi di tangannya.

"Bi, bilangin mamah!" Gemi masih tak menyerah untuk memohon tapi wanita tadi sudah menghilang di balik daun pintu membuatnya berdecak sebal. Indah yang sedari tadi hanya berdiri memilih mendekat dan meletakkan ransel hijaunya di salah satu sisi kasur gadis yang sekarang memainkan ponselnya itu.

"Gue dateng kok lu main hp sih," tegur Indah dan hanya mendapat isyarat untuk diam dari gadis yang ia ajak bicara.

"Mah," panggil Gemi manja setelah suara sambungan berganti menjadi suara wanita yang telah melahirkannya tujuh belas tahun lalu.

"Tunggu, Mah. Gemi cuman mau... " Sambungan terputus, membuatnya melempar ponselnya asal.

"Eh anjir, lu kenapa si?" tanya Indah dengan dahi mengerut.

"Tau sebel gue, bosen suruh jangan banyak gerak." gerutunya seraya mengambil sebuah stoples yang berada di dekat bantalnya.

"Bukannya lu emang suka di rumah, ya?"

"Ini beda. Suruh jangan banyak gerak lah, suruh di kasur doang. Bosen juga akhirnya," ucapnya dengan nada terdengar kesal.

"Iya deh iya. Lu kok bisa luka gini, sih?" tanya Indah memerhatikan lutut sahabatnya itu yang dilapisi plester luka yang tak bisa dikatakan kecil.

"Gila, ceritanya mirip kayak di novel-novel, njir. Bedanya sih, gue sakit semua, parah. Ya gimana nggak sakit ya, jatohnya di tangga yang mau ke halaman belakang yang curamnya minta ampun itu. Kalo lu belum tau, kapan-kapan gue ajak ke sana," jelas Gemi panjang lebar.

"Kagak usah, makasih. Oh iya, gue ke sini juga mau ngasi titipan orang, gue lupa si nanyain namanya dan begonya lagi gue lupa liat nametagnya. Hehehe," ujar Indah seraya meraih tasnya dan merogoh pada kantung yang paling besar. Sebuah cokelat yang cukup besar disodorkan Indah pada sahabatnya itu.

"Seinget gue sih, yang ngasi itu cowok, nggak terlalu tinggi tapi juga nggak pendek, terus..."

"Tunggu, ini ada yang geter-geter. Pasti hp gue, tadi gue lempar ke bagian mana ya? Waduh," potong Gemi seraya mengobrak-abrik selimutnya, mencari sebuah benda pipih berwarna merah.

"Ya halo, Mah." Panggilnya seraya menempelkan benda pipih yang baru saja ia temukan ke telinga kanannya.

"Iya gapapa. Hmm, Mama kan baik ya, boleh ya Gemi besok masuk sekolah?"

"Tapi, Ma. Gemi bosen di rumah. Oke, Gemi bakal di rumah kalo Mama nemenin Gemi di rumah."

"Nggak! Gemi gak mau!" ucapnya setengah berteriak mendengar jawaban mamanya di seberang sana.

"Gemi janji gak bakal banyak jalan di sekolah. Gemi juga gak bakal bawa mobil sendiri, kok. Lagian sejak kapan si Gemi gak cepet sembuh. Boleh ya, ya, ya, ya?" Gadis itu masih mencoba memohon.

"Yeay, makasih Mama. Dadah," ucapnya sebelum telepon terputus. Dengan wajah sumringah, Gemi menatap Indah yang sekarang sedang sibuk dengan ponselnya.

"Ndah, jadi gimana tadi?"

"Sorry, Gem gue harus balik cepetan. Mama minta gue buat anterin ke rumah temennya," ujar Indah buru-buru menyampirkan tas hijaunya dan segera berlari meninggalkan kamar dengan nuansa biru itu.

***

Maniknya menatap sebuah ruangan yang tak lagi bernyawa sejak sepuluh tahun lalu. Embusan napas terdengar lesu dari lelaki yang sekarang memilih melangkahkan kakinya menaiki tangga. Bibirnya sempat tersenyum saat wanita paruh baya yang sedang membereskan meja makan berpesan padanya untuk segera tidur. Bahkan, pria yang ikut membantu merapikan meja makan itu juga ikut menggodanya. Ya, hanya mereka yang masih sering membuatnya tersenyum setelah semuanya terjadi, setelah semua mungkin menghilang entah ke mana.

Gamma menuju meja yang berada di salah satu pojok kamarnya, tangannya meraih pulpen yang ia tinggalkan di atas buku yang penuh akan rumus. Jari-jarinya bergerak lancar menuliskan angka dan simbol yang bagi sebagian orang itu menyebalkan. Cowok ini mulai tenggelam dengan dunianya. Baginya, angka dan simbol adalah sesuatu yang bisa membuatnya mengerti terhadap sesuatu yang ia anggap abstrak, termasuk cinta dan kasih sayang. Memang tak ada simbol mengenai keduanya, tapi bagi Gamma cinta adalah satu-satunya yang ia miliki dan dapat melintasi ruang serta waktu. Begitu juga kasih sayang, satu-satunya rasa yang mungkin sudah tertelan blackhole sejak semuanya terjadi begitu saja.

Pemilik manik hitam itu menutup bukunya dan memilih melangkahkan kakinya menuju toilet untuk sekadar membasuh wajahnya. Maniknya terpaku menatap pantulan wajahnya di cermin. Senyum kecut terbit dari bibir merah mudanya. Tangannya menyentuh bekas lebam di rahang kirinya yang belum sembuh sempurna. Kedua tangannya mendadak mengepal saat kejadian demi kejadian melintas di benaknya seakan kaset rusak yang memutar film secara acak. Ia kembali membasuh wajahnya dengan air sebelum memilih keluar karena suara dering ponsel miliknya. Tangannya meraih benda pipih berwarna hitam yang ada di kasurnya, sebuah pesan. Ponselnya ia letakkan kembali sebelum beralih pada lemarinya untuk mengambil seragam sekolahnya yang sudah dilipat rapi. Gerakan tangannya begitu cepat memasukkan buku, alat tulis, seragam, dan beberapa benda lainnya termasuk ponsel. Sebuah jaket merah yang tergantung rapi di dekat pintu balkon segera ia kenakan sebelum menyampirkan ransel hitam di bahunya seraya menyambar kunci motor di nakas.

Langkahnya begitu cepat menuruni tangga seraya menyapu setiap ruangan yang ia lewati dengan manik hitamnya. Tangannya mendorong pintu di hadapannya sebelum maniknya berhasil menemukan apa yang ia cari. Kakinya bergerak cepat menghampiri dua orang yang sedang duduk di gardu halaman rumahnya.

"Bi, Gamma nginep di rumah temen ya malam ini," pamitnya.

"Oke A'. Hati-hati ya."

"Kalo butuh bantuan segera hubungi 088732149987, ya. Mamang siap meluncur."

"Siap, Mang. Makan permen karet dulu," canda Gamma seraya membuka bungkusan permen karet sebelum memasukkan benda lembut itu ke mulutnya.

"Hati-hati A', kalo kurang hubungi aja nomor tadi." canda Mang Deni yang berhasil membuat Gamma tertawa sebelum menunggangi motor hitamnya. Suara deru motor memecah keheningan di rumah besar itu, begitu juga dengan suara klakson terdengar bersamaan dengan Gamma yang melewati kedua insan yang sedang bersantai di gardu. Gamma mengendarai motornya dengan kecepatan normal seraya menikmati permen karet rasa buah.

Pemilik manik hitam itu memarkirkan motornya di halaman sebuah rumah yang mungkin adalah rumah keduanya. Seorang wanita menyambutnya dengan senyum saat Gamma berhasil melepas helmnya. Tangannya bergerak menyalami tangan wanita tadi yang mulai keriput.

"Mau nginep ya bawa tas? Baguslah, biar Alfa gak main mulu. Ajarin dia belajar biar pinter, dia di kamarnya." Gamma hanya tersenyum dan segera melangkahkan kakinya menuju lantai dua. Tanpa mengetuk pintu, cowok pemilik manik hitam ini segera memutar kenop pintu.

"Akhirnya lu dateng juga, cepetan!" desak sorang cowok yang terlihat sudah frustrasi.

"Lu kebiasaan ngerjain mepet-mepet. Untung lu punya temen super baik dan super pinter ini. Huh," ucap Gamma membanggakan dirinya sendiri seraya mengeluarkan sebuah buku dan menyodorkannya pada Alfa yang tentu saja segera disambar.

"Hati-hati bukanya, jangan sampe sobek!" pesan Gamma seraya meraih joystick di meja kecil milik sahabatnya itu.

"Lu itu udah kelas dua belas, belajar kek, kerjain tugas gak mepet-mepet, biar bisa sekampus nanti." Gamma mulai menceramahi cowok yang sedang fokus menyalin tulisan yang ada di buku Gamma.

"Ya kalo gue gak lolos kampus itu, lu jangan masuk sana," sahutnya diakhiri tawa.

"Enak aja lu," protes Gamma yang mulai menikmati permainannya.

"Eh btw lu tadi ngasi apaan dah ke dia?" "Dia siapa, Fa?"

"Jangan pura-pura bego deh, Gam."

"Gemi? Cokelat, kenapa?" tanyanya dan memilih meletakkan joystick kembali ke tempatnya.

"Wah gila lu. Lu yakin mau lanjutin rencana lu?" Alfa menghentikan aktivitasnya sejenak untuk menatap sahabatnya yang sekarang merentangkan kedua tangannya seraya menatap langit-langit kamarnya bak anak kecil itu.

"Untuk alasan apa gue jawab nggak?"

***

Hai hai hai

Kritik

Saran

Makasih😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top