Circumpolar 2
~Semesta sudah merancang semua dengan sangat detail hanya untuk sebuah pertemuan~
***
"Lu sama gue nggak berangkatnya?" tanya gadis bernetra abu-abu yang baru saja selesai menegak segelas susu sampai tandas.
"Iya."
"Ya udah ayo buruan, udah mau telat nih. Gue tunggu di mobil. Dalam tiga menit lu belum masuk mobil gue, gue tinggal!" Tanpa rasa bersalah, gadis yang baru saja menyampirkan ransel biru ke pundaknya itu berlalu dari meja makan, meninggalkan seseorang yang mengunyah rotinya dengan terburu-buru.
Selang beberapa menit sejak Gemi mendudukkan bokongnya di jok kemudi.....
"Eh, anjir hati-hati dong nutupnya! Rusak nanti mobil gue," tegur Gemi
"Elah, lu juga si yang bikin gue gini. Liptint gue sampe luntur gegara buru-buru makan, nih." gerutu gadis bernama Indah itu seraya menyapukan cairan berwarna merah muda pada bibirnya.
"Lu ngapa jadi liatin gue, sih? Katanya mau telat. Yodah ayo jalan!"
"Kok jadi gue yang salah sih?" Gadis berambut cokelat tadi menatap sahabatnya sinis sejenak dan segera beralih pada kemudi. Netra abu-abunya melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya sekilas dan segera beralih pada jalanan yang sudah tak sepi lagi. Ia menggigit bibir bawahnya hingga terlihat memerah, kakinya semakin menekan pedal gas secara bertahap, tangannya mengerat pada kemudi.
"Gemi, gue masih mau hidup!" teriak gadis yang menatap Gemi dan jalanan secara bergantian. Namun, yang diajak bicara hanya meliriknya sekilas tanpa berniat menurunkan kecepatan mobil yang berada dalam kendalinya membuat gadis yang duduk di sampingnya memegang erat pinggiran kursi.
Gemi yang sudah berhasil memarkirkan mobilnya dengan santainya membuka seatbelt tanpa memerhatikan Indah yang baru saja bernapas lega. Bahkan, Indah sedikit tak percaya menatap sahabatnya yang melakukan kegiatan dengan santainya seakan tidak terjadi apa-apa di jalan tadi, andai saja dirinya mengidap penyakit jantung mungkin ia sudah pingsan. Bagaimana tidak, sahabatnya itu membawanya dengan kecepatan di atas rata-rata melewati kerumunan yang tak bisa dibilang sedikit. Namun, setidaknya sekarang ia selamat.
"Lu kok masih diem si? Udah buru keluar, lu juga kudu ke ruang kepsek dulu!"
"Ya Tuhan kejam banget. Udah tadi bawa gue mendekati neraka, ini sekarang malah ngomel. Gak ada niatan nemenin gue ke ruang kepsek apa?" gerutu Indah.
"Kagak! Udeh gue mau cabut," ujarnya segera keluar dari mobil dan berlari menuju kelasnya yang terletak cukup jauh dari parkiran sambil berharap guru dengan kepala penuh angka itu belum sampai kelasnya, pasalnya bel masuk sudah berbunyi sekitar lima menit yang lalu. Langkahnya segera ia perlambat saat mulai mendekati kelas, menyadari kondisi kelasnya yang ramai membuatnya bernapas lega. Langkahnya berhenti di bangku kelas paling pojok dan tangannya bergerak untuk meletakkan ransel yang sedari tadi bertengger di pundaknya.
"Tumben baru dateng?" Pertanyaan itu segera muncul saat bokongnya sudah mendarat dengan sempurna di kursi yang terletak di pojok kelas.
"Begadang gue tadi malem."
"Kan hari ini gak ada tugas. Ngapain begadang?" tanya teman sebangku gadis yang baru saja akan membuka mulut hingga seorang pria tiba-tiba masuk dan seketika suasana kelas menjadi senyap. Tidak, pria itu bukan guru matematika yang sedari tadi sempat dikhawatirkan Gemi. Tanpa harus menunggu lama, seisi kelas langsung bersorak karena jam pertama yang diisi oleh guru yang tidak pernah membuat siswanya bisa bernapas lega ternyata kosong. Namun, belum sempat gadis berambut cokelat itu menjawab pertanyaan teman sebangkunya, sebuah celana yang senada dengan celana seragam sekolahnya mendarat rapi di atas ransel yang ia letakkan di atas meja.
"Cobain sekarang!" Suara itu membuat gadis tadi jengah.
"Nanti lah, Dik. Gue baru sampe kelas."
"Nggak!"
"Dik," Gadis itu masih berusaha memohon.
"Geminorum Artemis, sekarang!" perintah cowok itu dan berhasil membuat Gemi bangkit dan melangkahkan kakinya dengan kesal meninggalkan kelas dengan tangan kanan meremas celana yang ia ambil kasar.
Gadis yang sebal dipanggil dengan nama lengkapnya itu kembali dengan celana yang terpasang rapi. Ia berhenti tepat di hadapan cowok yang baru saja merusak harinya.
"Sip. Nanti sore latihan."
"Hah? Kok dadakan banget, sih? Kagak mau!"
"Gue gak menerima penolakan ya.,"
"Lu, argh!" gadis itu hanya bisa geram seraya melayangkan kepalan tangannya di udara.
***
Angin sore memang cukup menghangatkan, ditambah dengan pemandangan yang mendukung bagi gadis yang sedang menikmati sorenya dengan duduk di kursi depan kelasnya yang mengarah ke lapangan. Di hadapannya sedang berlangsung ekstrakurikuler futsal. Pipinya sering kali mengembang tatkala seseorang dengan manik hitam berkeringat ketika berusaha merebut bola. Gadis pemilik rambut cokelat ini juga sesekali mengulum bibirnya saat berhasil menangkap momen yang menurutnya bisa menyenangkan.
"Hei, ngapain di sini sendirian?" Seorang gadis dengan jus jeruk di tangannya tiba-tiba saja duduk di samping Gemi dan membuatnya menoleh sekilas.
"Duduk doang. Lu gimana hari pertama di sini?" tanyanya kembali menatap pemandangan di hadapannya.
"Biasa aja, sih. Eh, kenalin gue sama temen lu yang cakep, dong. Ehehehe," Kalimat itu membuat Gemi langsung menatap sahabatnya.
"Gile ya, lu? Baru juga sehari di sini,"
"Ya kenapa? Btw, anak futsal sekolah ini cakep-cakep ya," komentar Indah dan sekali lagi kalimat itu berhasil membuat Gemi membelalakkan matanya.
"Lu jelalatan banget si. Udah sana gitu kek ikut ekstra apa."
Indah masih tak berpaling.
"Gemi!" Panggilan itu membuat Gemi mengusap wajahnya dengan kasar.
"Nih, celana olahraga. Buruan ganti dan kita latihan!" titah cowok itu. Belum sempat protes, sebuah celana olahraga berwarna biru khas sekolahnya tiba-tiba mendarat di pangkuannya dan pelakunya sudah pergi entah ke mana membuat gadis tadi menggeram kesal.
"Siapa?" tanya Indah, ekor matanya tertuju pada cowok yang baru saja melengos.
"Voldemort. Udah gue mau cabut dulu."
"Eh, eh, tunggu. Nanti gue masih ada urusan, nggak pulang bareng lu." Gemi hanya mengangguk dan segera meninggalkan tempat itu.
***
Gadis bernetra abu-abu itu segera menegak air botol seraya merapikan anak rambut yang berantakan. Wajahnya cukup kacau karena keringat yang bercucuran. Tangannya hendak mengambil tisu yang berada tak jauh darinya tapi sebuah panggilan kembali membuatnya menggeram kesal.
"Apa lagi, sih? Gue masih mau istirahat," protes gadis tadi.
"Udah hampir jam pulang dan celana itu harus lu kembaliin. Cepetan ganti! Nanti gue temenin buat ngembaliin celana itu."
"Kenapa gak lu aja sih?"
"Gak usah banyak protes. Biar lu tau sama orangnya, lagian nanti celana dia yang bakal lu pake buat defile kudu lu kembaliin sendiri."
"Ya Tuhan kenapa hamba harus dipertemukan dengan diktator ini?" Gadis tadi menggerutu seraya bangkit dan melangkahkan kakinya dengan kesal.
Celana olahraga yang tadi sempat ia kenakan sudah terlipat rapi di tangannya. Kini yang harus ia lakukan hanya membuntuti diktator yang ada di hadapannya. Wajahnya masih sedikit cemberut. Tiba-tiba saja ia berhenti di depan salah satu kelas 10 tanpa memberi aba-aba sebelumnya, membuatnya menabrak punggung cowok di depannya.
"Nata ada?" Gemi melongo mendengar suara Dika yang mendadak lembut. Semua berjalan begitu cepat, Dika mengambil alih celana yang ada di tangan gadis tadi dan segera memberikannya pada cowok imut yang baru saja keluar.
"Oke, lu boleh pulang. Makasih."
"Dengan senang hati," ucap Gemi dengan nada yang tidak ikhlas.
Kakinya ia langkahkan untuk kembali ke kelas dan segera mengemasi barang-barangnya. Maniknya sempat menangkap seorang cowok yang sedang berjalan dari arah kelas bawah. Gadis tadi segera mempercepat langkahnya hingga setengah berlari. Tangannya dengan cepat memasukkan buku dan alat tulis yang ada di mejanya, berharap ia tak akan ketinggalan sesuatu. Langkah kakinya kini kian melambat saat memasuki area parkiran . Maniknya berusaha mencari sesuatu seraya terus menuju sebuah mobil merah miliknya hingga maniknya berhasil menangkap sosok yang ia cari. Ia menelan salivanya saat menyadari siapa yang sedang berdiri di hadapan cowok yang berjarak sekitar sepuluh meter dari mobil merahnya. Ia masih terus melangkah mendekati mobilnya sambil terus memandangi sosok itu hingga seseorang yang sedang bersama dengan cowok tadi memaksanya segera masuk ke mobil agar tidak terlihat menguntit.
"Kenapa dia di sini?" gumamnya. Netranya bahkan masih menatap lekat pada kedua insan yang terlihat kontras itu. Pasalnya, gadis yang sedang berbicara dengan pemilik manik hitam itu mengenakan seragam yang berbeda.
"Gue buru-buru ke sini kenapa malah dapet pemandangan kek gini, sih?" gerutu gadis itu mulai jengah, ia sudah cukup lelah dengan hari ini yang menguras banyak energi dan emosinya. Ia tak ingin hatinya mencelos dengan tetap membiarkan dirinya menyaksikan hal ini. Bahkan, ia sendiri dapat merasakan deru napasnya yang semakin cepat dan tangannya yang mencengkeram erat kemudi. Mobil merah yang dikemudikan gadis ini akhirnya melewati dua insan yang sedari tadi menjadi fokusnya.
Gamma masih diam dengan mulut yang mengunyah permen karet. Ia tidak suka memulai pembicaraan, ditambah pertemuan ini bukanlah kemauannya. Katakanlah ia sempat terkejut menyadari seseorang yang tak asing baginya tiba-tiba saja berdiri di samping motor hitamnya. Maniknya masih menatap gadis yang juga diam di hadapannya. Gamma yang mulai jengah memilih menggeser tubuh gadis tadi dengan lengannya untuk meraih helmnya.
"Lu masih suka ngunyah permen karet, ya?"
Gamma pikir itu sekadar pertanyaan retorik yang tak perlu ia jawab.
"Gue ke sini bukan buat lu anggurin," suara gadis itu membuat Gamma mendengkus.
"Gue yakin lu tau dia di Bandung." Gamma masih mengunyah permen karetnya dan tak berniat menjawab.
"Gam, gue nggak ngomong sama batu, ya. Lu kenapa jadi gini amat, sih sekarang?" tanya gadis di hadapan Gamma dengan kedua alis yang hampir tertaut melihat respons laki-laki di hadapannya.
"Lu mau gue ngapain? Nyambut dia gitu?" tanyanya dengan nada penuh sindiran. Gadis di hadapan Gamma itu tertawa hingga membuat matanya kian sipit.
"Boleh sih, kalo lu mau tapi gue pikir dia nggak akan mau lu ngelakuin itu."
"Kalo lu ke sini cuman buat ngomongin itu, gue nggak ada waktu," pungkas cowok dengan manik hitam itu sebelum mengembuskan napas kasar dan memilih mengenakan helmnya setelah berhasil menggeser tubuh gadis itu untuk kedua kalinya. Bahkan, tubuhnya kini sudah berhasil menunggangi motornya hingga sebuah tangan menahannya saat akan menyalakan mesin.
"Gue cuman mau balikin ini dan jangan ganggu gue lagi," tukas gadis tadi sebelum berlalu dari hadapan Gamma yang menatap sebuah bungkusan di atas tangki motornya dengan tatapan tak percaya. Gamma memejamkan matanya seraya menarik napas dalam. Tangannya yang tadi mencengkeram stang motor beralih untuk membuka bungkusan berwarna putih itu. Sebuah seringai terbit dari bibirnya, tangannya meraih kasar bungkusan tadi dan segera turun dari motor. Kakinya ia langkahkan menuju pos satpam yang berada tak jauh dari sana dan melempar bungkusan tadi dengan kasar ke tempat sampah.
"Gue nggak pernah minta lu balikin ini, Senja!"
***
Hai hai haii
Gimana komen kalian di part ini? Bosen gak?
Komen
Kritik
Saran
Sangat dibutuhkan di sini
Jangan lupa bintangnya juga ya:)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top