Circumpolar 16
~Secercah ingatan menyelusup dalam hening malam, menyisakan gelap yang kelam, menyakiti di setiap cercahnya, menyebabkan isak yang penuh penyesalan~
***
Laki-laki itu masih fokus memainkan ponselnya walau malam sudah terbilang larut. Maniknya masih terlihat segar walau badannya terasa sedikit sakit. Ia memilih berbaring di salah satu sofa ruangan putih itu. Tangannya kembali mengutak-atik benda pipih berwarna hitam yang sedari tadi menjadi pusat perhatiannya itu, dari raut wajahnya begitu terlihat bahwa ia sedang sibuk.
"Fikar," panggilan itu membuat sang manik cokelat langsung terkesiap. Ia segera bangkit dan meletakkan ponselnya di meja kemudian segera mendekati wanita yang tadi memanggilnya.
"Fikar kira mama sudah tidur tadi,"
"Mama tidur tapi terbangun. Fikar kenapa gak tidur?" tanya wanita yang sekarang menatap wajah putranya yang sedang menegak segelas air dari nakas.
"Oh, lagi mainin medsos, Ma. Hehe," balasnya seraya menawarkan segelas air pada wanita tadi tapi ditolak dengan gelengan kecil. Jelas apa yang baru saja ia ucapkan itu tak seperti yang ia lakukan. Sedari tadi ia mengatur jadwalnya sekolah dan mengurus urusan kantor, hanya saja ia tak ingin menambah beban pikiran mamanya. Ia tak ingin wanitanya itu khawatir terhadap dirinya, baginya ia sudah sangat merepotkan dan ia tak ingin menambah penderitaan itu.
"Oh. Eh itu bibirmu kenapa lebam gitu?" Fikar mengutuk dirinya sendiri yang ceroboh. Seharusnya ia bisa menutupi luka bekas pukulan pemilik manik hazel itu. Luka yang masih segar itu tentu saja masih terlihat jelas kali ini. Sang cokelat menarik napasnya berusaha untuk tetap terlihat tenang.
"Oh. Ini ya, Ma? Tadi Fikar kan ada pelajaran olahraga, terus materinya bela diri. Eh Fikar kena tonjok, belum sempet Fikar tangkis. Hehe. Emang kenapa, Ma? Muka Fikar jadi jelek ya? Kayaknya Fikar jadi pengen ikut kursus bela diri," ujarnya diakhiri tawa renyah. Cowok itu memang terlalu pandai mengelabui mamanya. Ia tak ingin terlihat kaku saat memberikan alasan.
"Tapi bukan karena Nata, kan?" Seolah masih tak percaya dengan alasan Fikar, wanita itu masih menanyainya. Cowok itu tersenyum tipis menatap wanita yang terbaring di hadapannya itu seraya mengusap rambutnya lembut.
"Nggak lah, Ma. Kan Fikar gak buat salah. Eh udah malem nih, Mama lanjut tidur gih. Fikar juga mau tidur, ngantuk. Hehe," Pemilik manik coklat itu begitu pandai mengalihkan pembicaraan. Ia segera merapikan selimut Dewi dan berusaha membuatnya nyaman sebelum memilih melangkahkan kakinya kembali pada sofa yang berada tak jauh dari tempat wanita tadi terbaring.
***
Gadis berambut cokelat itu memasuki ruangan yang langsung menyambutnya dengan deretan buku yang tersusun rapi. Kakinya ia langkahkan menuju sebuah rak yang berada di salah satu pojok ruangan. Maniknya menyusuri setiap judul yang ada di sana. Baginya, tempat ini adalah pilihan yang tepat jika ia sedang tak ingin ke halaman belakang sekolah. Ruangan yang cukup luas ini hanya berisikan beberapa orang yang sedang sibuk dengan pena, laptop, dan buku-buku mereka. Ia yang hanya menumpang untuk membaca buku fiksi sepertinya terlihat kontras dengan yang lain. Namun, gadis dengan netra abu-abu ini memiliki nilai yang tidak kalah dengan mereka yang selalu berkawan dengan buku dan itu yang membuatnya bersyukur. Ia melangkah mendekati sebuah bangku di pojok lain ruangan itu yang jarang diisi oleh orang lain.
Tangannya bergerak membuka sampul buku yang berwarna ungu muda itu, ia membaca halaman prolog yang berisi narasi puitis. Tiba-tiba ia berhenti di sebuah kalimat. Tidak ada yang salah dari kalimat itu, tapi tiba-tiba saja sekelebat bayangan tentang seseorang melintas di benaknya. Ia mengembuskan napas pelan mencoba kembali membaca deret aksara di hadapannya. Namun, pikiran itu masih mengganggunya seakan meneriakinya dan tak ingin diacuhkan begitu saja.
Apa ia salah membenci seseorang yang menganggapnya seolah ia pelaku dalam masalah yang menimpa orang lain? Apa ia salah merasa kesal terhadap orang yang sama? Tidakkah orang itu berpikir bahwa ia juga korban dari hal ini? Ia juga tak pernah menginginkan hal seperti ini terjadi. Siapa yang menginginkan seseorang yang ia sayangi pergi begitu saja tanpa sempat pamit? Apa ia salah membenci perubahan? Bukankah semua itu normal saja, lantas kenapa ia harus diperlakukan seperti ini?
Satu hal yang membuat gadis itu membenci dirinya sendiri, jujur saja ia masih menyayangi seseorang yang sudah berhasil membuatnya seperti ini. Seburuk apakah dia hingga harus merasa serba salah dalam semua keadaan. Apa semesta membencinya hingga mengurungnya dalam sebuah jeruji besi yang selalu melukainya? Apa hidup sekejam ini pada dirinya atau ia saja yang terlalu lemah akan semua ini?
***
Jam ekstrakurikuler membuat cowok dengan manik cokelat itu jengah. Ia bosan di kelas, tapi ia juga malas harus keluar kelas. Akan banyak pasang mata yang akan menatapnya hingga ada yang bertanya mengenai namanya. Alih-alih menjawab, ia lebih memilih pergi karena baginya itu bukan tujuannya di sini. Ingin sekali ia mengutuk seragamnya yang berbeda ini. Kenapa sekolah barunya belum juga memberi seragam? Ia risih terlihat berbeda dan asing hingga membuatnya seakan menjadi pusat perhatian dan ia tak pernah suka akan hal itu
Cowok itu menatap malas ke arah lapangan, maniknya menangkap jelas laki-laki yang memukulnya kemarin. Embusan napas kesal terdengar berat darinya, ia memilih melangkahkan kakinya menuju gedung besar yang ia pikir tak akan menemukan banyak orang di sana. Tujuannya bukan untuk mengambil sebuah atau beberapa buku lalu membacanya, ia hanya ingin duduk di sana menjauhi keramaian.
Maniknya menyisir bangku-bangku dalam ruangan penuh buku itu. Ia mengembuskan napas pelan dan memilih mencari bangku lain dengan penghuni lebih sedikit hingga tersisa sebuah bilik di pojok yang menjadi pilihan terakhirnya, ia yakin tak ada orang di sana. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat gadis dengan manik abu-abu yang sedang tenggelam dalam aksara yang sedang ia baca. Ia masih dalam posisinya hingga ia pikir kehadirannya tak akan mengganggu dan tampaknya gadis itu juga tak akan mengganggu. Pemilik manik cokelat itu menjatuhkan dirinya pada kursi di dekat pintu bilik. Suara derit kursi tak membuat gadis yang duduk di pojok itu bergerak atau melirik barang sesenti pun. Cowok itu merasa aman. Tangannya merogoh saku celananya, mengambil ponsel dan menggerakkan jarinya di atas layar benda pipih tersebut.
"Lu kenapa sih harus pindah ke sekolah ini?" Suara rendah tapi menusuk itu tiba-tiba saja memenuhi indra pendengaran pemilik manik cokelat itu, membuatnya memutar bola matanya malas.
"Lu itu ya, belum cukup juga?" Suara itu sedikit meninggi, bahkan sempat membuat sang manik abu-abu yang tadi diam sedikit risih dan menggeser kursinya agak menjauh.
"Ini perpus, jangan buat kegaduhan. Lagian lu tau apa tentang gue?" Akhirnya laki-laki dengan iris cokelat itu membuka suara.
"Mama gak suka ada lu. Jadi gue minta lu jauhin keluarga gue! Dan inget, gue tau mama lebih dari yang lu tau!"
Laki-laki yang masih diam di tempatnya itu berdecih.
"You may know her, but you don't know me!" desisnya lalu bangkit dan meninggalkan tempat itu. Gadis yang sedari tadi mencoba diam kini melirik tajam ke arah cowok yang masih memakai seragam basket sekolahnya itu.
"Lu bisa gak sih gak usah buat kegaduhan di deket gue? Gue muak!" cecarnya lalu ikut meninggalkan sang hazel.
***
Gemi sudah terlalu lelah menahan pikiran di benaknya. Kini ia memutuskan untuk menemui mamanya, ia harus menanyakan hal ini. Siapa sangka wanita yang ia cintai sudah sepuluh tahun menyembunyikan hal ini dan malah membuatnya semakin jengah dengan pria yang tak pernah ia sukai itu.
"Mbak, Ibu Vani di mana ya?" tanyanya pada seorang karyawan di kantor milik Papanya yang sekarang dikelola oleh Vani.
"Oh Nona Artemis, beliau sedang rapat. Mau menunggu di lobi atau di ruangan Ibu Vani?" tanya wanita yang baru saja Gemi ajak bicara berusaha ramah pada anak atasannya.
"Hm, di ruangannya aja, mbak. Deket sama ruang meeting kan?"
"Iya. Mau saya antar?"
"Tidak perlu, Mbak. Terima kasih," ucapnya lalu segera melangkahkan kakinya menuju ruang yang sudah lama tak ia kunjungi. Seakan ia tak ingin mengingat saat ia masih menunggui papanya di ruangan itu hanya karena papanya lembur. Miris harus kembali ke ruangan penuh kenangan itu. Namun, ia tak suka berada di lobi, ia tak suka dengan langkah kaki yang berseliweran. Maniknya menangkap beberapa foto pria yang begitu ia sayangi masih terpampang di dinding kantor itu. Sudut bibirnya terangkat bersamaan dengan bulir yang jatuh dari ujung matanya. Namun, tangannya dengan cepat menghapus bulir itu. Pandangannya teralihkan ketika pintu ruangan di depannya terbuka, tampaknya rapat sudah selesai. Manik abu-abunya menangkap sosok mamanya yang sedang bersalaman dengan laki-laki yang sepertinya rekan kerjanya. Tunggu, laki-laki itu yang menabraknya dan menolongnya. Entahlah, Gemi belum tau siap namanya. Namun, gadis itu ingat betul karena ia sudah terlalu sering bertemu dengan cowok itu. Tak dipungkiri, tampilan cowok itu seakan menipu bahwa ia sedang menempuh pendidikan SMA atau dia hanya berpura-pura mengenyam pendidikan di SMA.
"Sayang, ngapain?" Suara itu membuyarkan lamunannya. Ia berjalan mendekati wanita yang baru saja memanggilnya. Tatapannya bertabrakan dengan manik cokelat milik cowok yang baru saja pamit pada mamanya. Tak lama, tapi seakan penuh makna. Gadis itu melupakan sejenak tentang cowok itu.
"Gemi mau tanya, tolong mama jawab dengan jujur. Pria di rumah kita itu memiliki anak, kan?" tanyanya tanpa basa-basi setelah berhasil menutup pintu ruangan yang penuh kenangan itu
"Sayang tolong, jangan panggil papamu dengan sebutan pria itu."
"Sudahlah, Ma. Jawab saja yang aku tanyakan, aku sudah terlalu lama diam akan hal ini. Tidakkah mama memberi tahuku sedikit saja?" pinta gadis itu. Wanita yang tadi berdiri di depannya memilih berbalik, menatap ke arah luar jendela ruangannya.
"Iya. Dandi punya anak dan masih satu sekolah sama kamu," Suara wanita itu bergetar. Gadis dengan netra abu-abu itu tersenyum kecut mendengar pernyataan itu.
"Lalu kenapa dia harus ninggalin anaknya? Kenapa? Apa dia gak mikir gimana perasaan anaknya?" Tentu saja jawaban itu tidak memuaskan gadis yang sekarang kembali bertanya untuk mengobati rasa penasarannya itu.
"Cukup, mama pikir itu saja yang perlu kau ketahui."
"Ma, aku udah besar. Aku berhak tau kenapa pria itu tiba-tiba datang ke rumah kita dan tinggal bersama kita lalu Mama memintaku memanggilnya dengan panggilan papa!" Suara Gemi semakin bergetar.
"Cukup. Mama gak mau jawab pertanyaanmu lagi."
***
.....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top