Circumpolar 15

~Belajar alam semesta yang amat luas agar aku bisa mencari tempat lain yang tak mengenal cinta hingga tak ada satu pun penghuni yang tersakiti~

***

Baru beberapa langkah gadis itu meninggalkan sang iris cokelat, suara pukulan membuatnya berbalik untuk mencari tahu apa yang terjadi. Napasnya tercekat saat maniknya menangkap buku-buku tadi kembali berserakan kembali dengan Nata yang sedang memukuli wajah cowok tadi. Seragamnya yang berbeda dari seragam yang Nata pakai terlihat sangat kontras, seakan Nata sedang memukuli siswa sekolah lain. Bahkan gadis itu baru menyadari kalau seragam seseorang yang tadi menabraknya sedikit berbeda dengan seragam yang ia kenakan. Namun, buku yang sempat ia bereskan tadi sepertinya buku yang dipakai oleh sekolahnya.

"Ngapain lu di sini??"

Teriakan Nata membuat gadis tadi tersadar dan kembali menatap kejadian yang ada di depannya. Untungnya sekolah masih sepi karena saat itu masih terbilang pagi. Gadis itu masih terpaku, tak berniat bergerak barang sesenti pun. Ia menelan salivanya susah, tak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Pikirannya ingin memerintah untuk berbalik dan segera melanjutkan langkahnya menuju kelas, tapi entah mengapa kakinya tak bisa diajak kerja sama. Ia masih diam di tempatnya, menyaksikan sang hazel yang kalap. Gadis itu seakan sedang menyaksikan seorang algojo yang ingin menghabisi seseorang, pasalnya cowok dengan iris cokelat itu tak berniat melawan sedikit pun. Tatapan cowok itu begitu datar, tak ada gurat kebencian di dalam sana dan membiarkan Nata menyakiti tubuhnya.

Gadis pemilik rambut cokelat itu akhirnya bisa bernapas lega setelah Pak Dadang datang dan memisahkan mereka, lebih tepatnya menenangkan Nata karena hanya Nata yang memukul, tak ada perlawanan dari cowok itu. Nata mengembuskan napas kencang dan memilih pergi meninggalkan laki-laki yang sudut bibirnya berdarah itu. Pemilik manik cokelat itu mengusap sudut bibirnya kasar sebelum berjongkok dan memunguti buku-buku yang sudah jatuh untuk kedua kalinya itu dibantu Pak Dadang. Laki-laki itu bangkit setelah dibantu Pak Dadang yang sekarang meninggalkannya untuk kembali ke pos satpam. Tatapan laki-laki tadi beralih pada gadis dengan netra abu-abu yang menatap kejadian tadi. Namun, gadis itu segera berbalik untuk kembali melangkah menuju kelasnya.

***

Entah mengapa seakan ada yang membisikkan sebuah pesan mengenai apa yang akan dilakukan semesta jika ia memilih untuk tetap duduk di bangku pojok kelasnya ketika sebagian besar penghuni kelas itu memilih mengisi perutnya untuk menghabiskan waktu istirahat yang dianggap singkat ini. Gadis itu memutuskan untuk bangkit setelah teman sebangkunya menghilang di balik pintu kelas. Ia melangkahkan kakinya menyusuri koridor sambil sesekali menghela napas berat, seakan ada yang membuatnya terbebani. Gadis dengan rambut cokelat itu diam sejenak saat kakinya akan menuruni tangga curam, tempat yang juga berperan dalam kisahnya ini. Ia menelan salivanya yang terasa susah sebelum menapaki anak tangga di hadapannya satu persatu.

Gadis itu menghampiri sebuah bangku yang menghadap sebuah pohon besar. Ia memejamkan matanya sejenak seakan sedang berkomunikasi dengan semesta. Gadis itu duduk dengan punggung bersandar dan tatapan terarah pada sebuah daun kuning yang masih menggantung di sebuah ranting pohon besar di hadapannya. Tempat itu jauh dari ramai sekolah yang sering membuatnya sesak. Suara angin pun terdengar dari indranya. Daun yang tadi menarik perhatiannya terbang tertiup angin, netranya mengikuti arah geraknya hingga maniknya menangkap seseorang yang sedang berdiri tak jauh darinya. Gadis itu kembali mengalihkan pandangannya ke depan berusaha menghiraukan sekarang langkahnya terdengar mendekati gadis yang duduk di bangku itu. Ia mendudukkan dirinya di samping gadis yang mencoba tak peduli akan kehadirannya.

"Nanti jalan, yuk." ajak laki-laki yang ikut menatap pohon di hadapan keduanya. Namun, gadis itu masih diam seakan tidak ada yang mengajaknya bicara. Laki-laki tadi menoleh karena ajakannya tidak direspons, maniknya menatap wajah gadis di sampingnya itu yang terlihat datar.

"Kenapa?" tanyanya.

"Kita ini apa?" tanya gadis yang masih tak mengalihkan pandangannya itu.

"Kekasih," jawab pemilik manik hitam itu, membuat Gemi mendengkus memalingkan wajahnya agar tak terlihat seseorang yang duduk di sampingnya itu. Rupanya semesta juga membisiki laki-laki itu mengenai keberadaan gadis yang sekarang tawanya terdengar sumbang itu.

"Kenapa?" tanya laki-laki tadi masih menatap gadis di sampingnya itu.

"Lu macarin gue karena apa? Karena lu mau bales dendam? Iya?" sindir gadis yang sekarang membalas tatapan Gamma.

Laki-laki itu diam dengan tatapan yang masih terkunci, sedangkan gadis di hadapannya tertawa dengan manik mata yang memerah. Pemilik netra abu-abu itu menghirup napas dalam seraya mendongakkan kepalanya untuk menahan air matanya agar tidak jatuh di hadapan laki-laki itu.

"Tapi sayangnya gue udah gak peduli," desis gadis itu dan segera bangkit meninggalkan laki-laki yang belum sempat membuka bibirnya itu. Langkahnya cukup cepat dengan tangan yang mengusap matanya kasar. Gadis itu memilih untuk kembali ke kelasnya dan segera menenggelamkan wajahnya di antara lipatan tangannya. Ia memang berhasil menahan butir bening itu agar tak membasahi pipinya tapi memilih untuk diam sejenak untuk memperbaiki sesuatu yang sudah rusak atau mungkin kembali rusak milik gadis itu.

Gemi mulai mengangkat wajahnya dan menatap jendela di sampingnya saat suara rinai menyapa indra pendengarannya. Maniknya menatap butir air yang di tumpahkan sang nabastala itu. Hujan kembali mengisahkan sesuatu yang cacat lagi baginya dan hal itu masih berhubungan dengan hal sebelumnya. Helaan napas terdengar dari gadis yang menatap langit yang seakan sedang menertawainya. Suara pria di depan kelas bahkan tidak berhasil mengalihkan Gemi dari apa yang semesta suguhkan baginya siang ini.

***

"Gamma, ayo makan dulu!"

Suara yang Gamma benci tiba-tiba saja memenuhi pendengarannya. Pemilik iris hitam itu hanya mengeraskan rahang tanpa melirik pria yang baru saja menyuruhnya makan itu. Langkahnya bergegas menuju kamar yang ada di lantai dua. Daun pintu ia buka kasar dan segera saja mengemasi apa yang perlu ia bawa. Tampaknya suasana hatinya sudah kalang kabut ditambah deru napasnya begitu jelas dan menggema di kamarnya.

Sang manik hitam segera menuruni tangga dengan langkah cepat, bersamaan dengan langkah kaki yang terdengar semakin mendekat berasal dari meja makan. Begitu Gamma sampai di ujung tangga, ransel yang ia kenakan ditarik hingga membuatnya berhenti.

"Kalau ditanya jawab!" Cowok yang diajak bicara itu hanya menatap malas ke ruang tamu.

Buugghh....

"Kamu bener-bener gak punya mulut ya? Hah!" Sebuah pukulan sukses mendarat di pipi kiri pemilik manik hitam itu. Namun, ia tak berniat melawan. Ia hanya memutar bola matanya malas.

Ctaaar....

"Dandi memang tidak becus menjaga anak!" cecar pria yang baru saja melayangkan sebuah tamparan keras pada cowok di hadapannya.

Gamma melirik pria itu dengan sudut matanya, sebelah tangannya mengusap pipi yang memerah karena tamparan, bahkan sudut bibirnya semakin banyak mengeluarkan darah selepas pukulan pertama tadi. Deru napasnya begitu cepat, ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak melayangkan pukulan yang sama pada pria di hadapannya itu. Rahangnya mengeras dengan kedua tangannya mengepal erat.

Buuughh....

"Anda tidak perlu menyebut nama itu dengan mulut tidak berguna itu!" Pukulan yang sedari tadi ia tahan, melayang sudah mengenai wajah pria yang sedari tadi memakinya. Pria itu tersungkur mendapat pukulan Gamma secara tiba-tiba.

"Mama juga, kenapa Mama diem aja anak mama dipukul? Dianiaya?" Sekarang manik hitamnya yang tajam menatap telak ke arah wanita yang masih diam di meja makan dan memilih menyaksikan kejadian itu seakan sebuah tontonan menarik tanpa ia harus melibatkan diri.

"Oh iya, Gamma lupa. Mama tidak menyukai anak dari pria bernama Dandi, iya kan?" cecar laki-laki itu.

Braaak

Gamma tersungkur, kepalanya mengenai sudut anak tangga paling bawah membuat darah segar menetes di lantai tangga paling bawah. Cowok itu merasakan nyeri di kepalanya. Ia mengerjapkan matanya berusaha memperbaiki pandangannya. Pemilik manik hitam itu masih berusaha berdiri dan melangkahkan kakinya untuk meninggalkan kedua orang yang katanya orang tuanya.

"Manusia bejat lu!" umpat Gamma sebelum menghilang di balik pintu yang kemudian ia banting.

Gamma kalap, ia melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Tak peduli ia sedang berada di keramaian, sekalian saja ia kecelakaan berharap Papanya kembali padanya dan menyayanginya lagi, mungkin itu yang ada dalam benaknya. Semua orang seakan menghakiminya hari ini. Semesta membuatnya merasa bersalah dan disalahkan sekaligus. Seakan tak cukup dengan berhasil membuatnya benar-benar jatuh pada lembah yang ia buat sendiri, semesta masih semakin menenggelamkannya pada jurang lagi.

Motor hitam yang cowok itu kendarai berhenti di sebuah rumah megah. Ia segera saja masuk tanpa harus permisi.

"Fa, gue mau nginep sini dulu ya Fa!" teriaknya begitu sampai di ruang tamu. Pemilik nama yang dipanggil tiba-tiba saja muncul dari arah dapur.

"Wah, kena KDRT lagi ya lu? Bisa gegar otak lu lama-lama ya tinggal sama bokap lu. Haha," ucap Alfa seraya meminum soft drink yang baru ia ambil dari dapur. Seakan sudah biasa melihat sahabatnya datang dalam keadaan seperti ini membuatnya masih bisa bercanda.

"Lu ya, udah berapa kali gue bilangin dia itu bukan bokap gue. Jijik dah gue punya bokap kayak dia!" ujar Gamma sambil merebahkan punggungnya di sofa ruang tamu Alfa seraya menarik beberapa lembar tisu lalu membersihkan darah yang ada di sudut bibir dan dahinya.

"Nyokap lu mana?"

"Arisan, baru aja berangkat. Udah sana lu ke kamar, gue ambilin air sama handuk dulu. Apaan pake tisu, darah hampir kering gitu juga."

Gamma menurut. Ia mengambil ranselnya dan segera melangkahkan kakinya ke kamar Alfa yang ada di lantai dua. Pemilik manik hitam itu langsung duduk di bawah bersender pada ranjang Alfa.

"Nih, bersiin tuh luka. Udah kayak orang tawuran aja lu." Gamma lagi-lagi menurut, mengambil handuk lalu membasahi dengan air yang dibawa bersama dengan handuk di genggamannya oleh sahabatnya itu dan segera membersihkan lukanya.

"Cewek itu udah tau kalo gue mau bales dendam sama dia,"

"Terus kenapa?"

"Ya nggak, mana dia kesel banget kayaknya ke gue." gerutu Gamma membuat sahabatnya itu langsung menoleh.

"Ya jelas kesel lah bego! Jelas-jelas dia tau kalo lu mau balas dendam. Nah loh, kenapa lu takut kalo dia kesel sama lu?"

"Ya nggak. Udah ah, apaan sih lu!"

"Dih kan, udah gue bilangin, dia tuh cakep. Ujung-ujungnya nanti lu juga kepincut tuh!" sindir Alfa membuat Gamma berdecak

"Diem lu!"

"Fa, kok darahnya gak berenti-berenti ya?" Alfa hanya meliriknya, dari tadi yang ia lihat memang hampir separuh wajah Gamma terlumuri darah dari dahinya yang luka.

"Lah iya, coba gue liat." Alfa memerhatikan luka yang ada di dahi Gamma. Cukup lebar. Mungkin itu yang menyebabkan darahnya tak kunjung berhenti. Entahlah, dia juga tak tahu karena lukanya di kepala.

"Lu gak pusing-pusing gitu?"

"Dikit sih,"

"Yaudah ayo gue anter ke rumah sakit, gue ambil mobil dulu."

"Emang harus ya dibawa ke rs? Gue lagi males nih. Pengen tiduran doang,"

"Gue gak mau denger penolakan, lu cepet tunggu luar. Gue ambil mobil dulu. Tuh, darahnya aja belum berenti dah kayak gerimis aja."

***.

.
.
.
.
.
Votenya ya:))

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top