Circumpolar 13
~Kenapa aku masih saja berharap, walau aku tau harapanku sendiri yang mengkhianatiku~
***
Pemilik manik hitam itu meregangkan tubuhnya setelah pesawat benar-benar berhenti. Pandangannya beralih pada gadis yang duduk di sampingnya sekaligus dekat jendela. Gadis itu masih diam dengan napas yang tak teratur membuat Gamma menawarkan bantuan tapi gadis itu menolak. Cowok itu masih menatap gadis di sampingnya hingga gadis itu memilih menoleh dengan sebelah alis terangkat.
"Lu gak mabuk, kan?" tanya Gamma memastikan.
"Ya nggak lah." balas gadis itu dengan tatapan tak percaya. Gamma tersenyum memamerkan deretan gigi putihnya yang rapi seraya mengusap puncak kepala Gemi hingga suara seseorang membuatnya mengerutkan kening. Tatapannya beralih pada pintu keluar pesawat, tapi penumpang yang mengantri membuatnya tak dapat memastikan dengan baik.
"Tadi lu dengerin gak pas pilotnya announcement sebelum take off?" tanya Gamma pada gadis yang sedang menggulung kabel earphone miliknya.
"Dengerin tapi gak masuk di otak," sahut Gemi yang membuat Gamma kembali berusaha mencari tahu siapa yang berdiri di depan cockpit. Ia juga berusaha mendengar dengan jelas ucapan terima kasih dari pilot maskapai pesawat yang baru ia tumpangi itu.
"Eh San, lu tadi dengerin gak pas pilotnya announcement sebelum take off?" tanya Gamma pada temannya yang sedang menurunkan sebuah koper hitam itu sebelum meninggalkan kedua insan yang masih duduk itu.
"Ayo," ajak gadis yang baru saja berdiri seraya menyampirkan ransel pada kedua bahunya.
"Kenapa?" tanya gadis itu lagi yang melihat gerak-gerik Gamma yang terlihat berbeda dan lebih gelisah. Namun, cowok itu hanya menggeleng dan segera bangkit untuk keluar agar gadis berambut cokelat itu bisa keluar. Tangannya segera menarik lengan gadis yang sedang berjalan di depannya saat maniknya berhasil menangkap sosok pilot yang menerbangkan pesawat itu.
"Kenapa si?" tanya gadis itu lagi.
"Gapapa," jawab Gamma dengan senyum seraya merangkul bahu gadis itu seraya terus berjalan mendekati pintu keluar. Kini ia ingin mengutuk dirinya sendiri yang menyebabkan ia menjadi penumpang terakhir yang turun. Napasnya yang semakin tak beraturan seiring semakin dekat dengan pintu keluar membuat Gemi menatapnya dengan senyuman, berusaha membuatnya lebih nyaman dan ia akui itu.
"Terima kasih," ucap pramugari yang berdiri di sebelah Gamma dan benar dugaannya. Laki-laki yang sekarang berdiri di sebelah pramugari tadi dengan seragam pilot khas maskapai pesawat tersebut lengkap dengan bar empat di bahunya segera menoleh.
"Wah lu naik pesawat gue, Bro?" tanyanya seraya menepuk pundak Gamma, membuatnya tersenyum sekilas seraya memindahkan tangannya dari pundak Gemi ke tangan kanan gadis itu. Kakinya hendak ia langkahkan lagi sebelum sebuah tangan menahan pundaknya.
"Lu gak sekolah? Bukannya hari ini weekday ya? Itu cewek lu?"
"Maaf gue sibuk," balas Gamma semakin mengeratkan genggamannya pada tangan Gemi dan segera turun membuat Gemi menatapnya tak mengerti. Namun, ia memilih untuk diam melihat wajah pemilik manik hitam itu yang tidak terlihat baik-baik saja.
Gamma masih menggenggam tangan Gemi hingga mereka masuk dalam mobil. Bahkan, cowok itu tak peduli saat teman-teman robotikanya meledeki dirinya yang dianggap terlalu posesif. Gadis dengan rambut cokelat yang dikucir kuda itu memilih tempat duduk paling belakang dan tentu saja Gamma ikut. Gadis itu sengaja memilih tempat itu untuknya bertanya pada sang pemilik manik hitam mengenai semua ini.
"Dia Fajar," lirih Gamma sesaat mobil melaju bahkan tanpa Gemi tanya sebelumnya. Gadis itu memilih diam, membiarkan Gamma untuk melanjutkan.
"Lu tau Senja, kan? Gue juga yakin lu tau ada apa di antara gue sama Senja," Gemi mengangguk ringan walau ia merasakan seakan ada yang mencubit sesuatu di dalam sana.
"Dia Capt. Fajar, alasan Senja ninggalin gue. Semester lalu gue ajak dia liburan, sebelum berangkat orang tuanya sempet nanya apa gue berminat buat berkiprah di dunia aviasi dan tentu aja gue bilang nggak. Gue jalan sama dia, pas pulang yang bawa pesawatnya ternyata Fajar. Kami turun paling akhir, makanya diajak ngomong bentar sama dia sampe seminggu setelahnya Senja ngajak gue putus," ucapnya dan jeda cukup lama, membuat Gemi semakin lekat menatap cowok yang duduk di sampingnya itu.
"Dan dia bilang udah dijodohin. Itu juga kenapa tadi gue gak mau ngelepas tangan lu. Maaf kalo udah buat lu terganggu dan maaf juga harus ceritain kisah tentang masa lalu," sambung Gamma seraya menatap gadis pemilik netra abu-abu itu dengan senyum yang memperlihatkan deretan gigi putihnya yang rapi.
***
Gadis dengan netra abu-abu itu melempar sebuah baterai ke arah kumpulan anak robotikanya sebelum meraih tasnya dengan kasar dan menyampirkannya pada bahu. Kakinya segera ia langkahkan meninggalkan tempat itu membuat teman-temannya meneriaki namanya. Persetan dengan menyemangati teman satu sekolahnya jika ia seakan sudah tak berguna di sini. Seharusnya ia tak perlu berharap banyak pada satu pun ekstrakurikuler di sekolahnya karena semuanya hanya akan terlihat sama, atau mungkin dia yang terlalu berekspektasi lebih. Sebuah tangan menahan pergelangan tangannya hingga membuatnya berhenti. Pemilik tangan itu bergerak ke hadapan Gemi dan menatap manik abu-abunya. Gadis yang sudah lelah akan semua ini hanya menatap datar dengan ekspresi yang tak dapat dijelaskan.
"Lu mau ke mana?"
"Bandara,"
"Masih sembilan jam lagi. Lu mau ngapain ke sana sekarang?" tanya cowok itu mencoba merayu. Namun, gadis yang sekarang mencoba melepaskan tangannya itu hanya mendengkus.
"Ya, gue emang gak ikut lombanya tapi gue di sini diutus buat jagain mereka."
"Ya udah lu di sini!" tukas Gemi.
"Tapi temen kita ada yang lolos, lu gak mau semangatin?" tanyanya masih mencoba membujuk gadis itu untuk tetap tinggal.
"Gak!" sergah gadis itu. Gamma yang menemukan manik Gemi yang mulai berkaca-kaca memilih memeluknya, berusaha menyalurkan ketenangan.
"Mereka nggak kasih gue kesempatan, Kak!" lirihnya.
"Lu di sini aja sama gue. Gue jagaian, tahan bentar amarah lu daripada lu diculik di bandara nanti gimana?"
***
Gadis berambut cokelat itu melangkah cukup pelan menaiki tiap anak tangga di hadapannya. Tangannya bergerak memutar kenop pintu kamarnya. Kepalanya terasa begitu berdenyut. Tubuhnya ia jatuhkan pada kasur queensize yang berada di tengah kamarnya setelah meletakkan ranselnya di salah satu sisi kasur. Embusan napas kesal terus terdengar, menggema di sekitar tubuhnya. Ia mengusap wajahnya kasar, mencoba menatap langit-langit kamar seraya menghirup napas dalam dan mengeluarkannya secara konstan. Namun, ingatan itu kembali terputar di benaknya dan membuatnya terisak.
"Gue benci kalian!" serunya di sela isak.
Tangannya mencengkeram erat seprai, bibirnya ia gigit hingga terlihat memerah, berharap suara isaknya tak akan kembali terdengar. Rasanya cukup sesak menjadi seseorang yang layaknya tidak pantas untuk dipercaya. Apa yang telah terjadi padanya seakan sudah berhasil membuka luka lama yang sudah lama sembuh.
***
Sang hazel mempercepat langkahnya dan berusaha menerobos kerumunan siswa demi mengejar gadis yang sedang menuju ruangan di ujung gedung. Cowok itu memilih untuk memanggil gadis itu sebelum hilang dari pandangannya.
"Mau apa lagi?" Gadis yang dikejar sudah jengah mendengar panggilan namanya dan lebih memilih berbalik.
"Saya minta maaf, Kak." Ucapnya membuat gadis di hadapannya mendengkus.
"Saya gak tau kalau waktunya hampir habis,"
"Omong kosong! Jadi gak ada gunanya gue cerita panjang lebar tentang gue tahun lalu kalo cuman bakal terjadi juga, dan lu berhenti minta maaf sama gue, karena pertama, gue gak suka omong kosong lu dan kedua, gue benci dilabrak gak jelas sama cewe lu!" ketusnya dan langsung meninggalkan sang hazel.
Nata masih terdiam, mencerna setiap kata yang baru saja ia dengar. Hancur sudah semua yang ia miliki. Hatinya, pikirannya, hanya karena hal bodoh yang ia lakukan. Kakinya ia langkahkan kembali ke kelas untuk mengambil tas dan memilih ke parkiran untuk meninggalkan sekolah. Dalam benaknya kini yang ia pikirkan sekarang hanya satu, ia akan ke tempat itu, tempatnya menangis dalam setiap lelah. Bahkan, omelan pak satpam tak ia hiraukan seolah ia tak pernah mendengar omelan itu.
Kakinya ia langkahkan dengan begitu malas menyusuri lantai putih dengan aroma obat yang begitu menguar dan ingin membuatnya muntah. Ia tetap menyusuri koridor sepi itu dengan kepala tertunduk, pandangannya naik ketika akan sampai di ruangan yang tak pernah absen untuk ia datangi itu.
Buuggh....
"Mau apa lu ke sini?" Tangan sang hazel tak dapat ia tahan saat maniknya menangkap seseorang yang seumuran dengannya berdiri di depan jendela Dina dengan tatapan ke arah Dina. Laki-laki itu sempat mundur beberapa langkah dan meringis kesakitan akibat pukulan tiba-tiba yang mengenai rahang kokohnya itu. Namun, ia hanya melirik sang hazel sekilas lalu melangkahkan kakinya menjauhi ruangan Dina.
"Jangan pernah balik lagi lo!" teriak sang hazel.
***
Hari ini Gemi terlihat begitu kacau, ditambah pagi tadi dirinya masih berusaha ditemui orang yang paling tidak ia sukai sekarang. Bahkan, dalam sehari ini ia sudah menangis dua kali di kelasnya hanya karena kejadian kemarin. Kejadian yang menurutnya tak seharusnya terulang lagi dan malah membuatnya tidak ingin mengikuti organisasi itu lagi selama orang yang membuatnya seperti ini masih ikut serta.
"Gemi, udah gak usah nangis lagi." bujuk teman sebangkunya itu tapi semua itu tak mengubah keadaan. Ditambah lagi guru-guru sedang rapat agak lama membuat sang manik abu-abu terus tenggelam dalam lembah yang menyebalkan itu.
Drrrt....
Dengan malas gadis itu meraih ponselnya di kolong meja, wajahnya yang masih kacau berusaha membuka pesan yang baru saja masuk melalui aplikasi hijau berbasis internet itu. Maniknya membaca deret aksara yang muncul di layar ponselnya.
Gadis yang rambut cokelatnya mulai berantakan itu kembali meletakkan ponselnya sebelum menenggelamkan wajahnya dalam lipatan lengan, keadaannya tak berubah sekali pun laki-laki yang selama ini ia suka memintanya bertemu sore ini.
***
Gadis itu berusaha terlihat lebih baik kali ini, sebelum ke parkiran ia sempat ke toilet untuk membenahi wajahnya yang terlihat kacau agar lebih baik karena ia sendiri tak ingin Gamma menyaksikan seberapa buruknya dia hari ini. Dirasa cukup, ia langsung menuju taman di pusat kota. Embusan napas masih sering terdengar dari gadis manik abu-abu itu, seakan menyiratkan bahwa dalam dirinya masih ada kekalutan tapi berusaha ia tepis.
Ia sempat melirik ponselnya sebelum turun dari mobil. Orang yang akan menemuinya sudah ada di tengah taman, ia tau itu dari pesan yang masuk ke ponselnya. Ia langkahkan kakinya menuju pusat taman.
"Haha, gue mana bisa cinta sama cewek yang udah ngerebut papa gue, Fa." Suara itu begitu familiar di telinga gadis yang sedang menghentikan langkahnya itu.
"Lu itu ya, sulit banget dibilangin!"
"Gue udah bilang, gue cuman mau balas dendam sama Gemi,"
Gemi yang masih diam di tempatnya berdiri menggigit bibir bawahnya. Ia memejamkan matanya berusaha agar ia sedikit kuat mendengar pernyataan yang ia dengar barusan. Gadis itu berbalik sambil mengetik sesuatu pada ponselnya. Hatinya kalut, ia hanya ingin pulang sekarang dan menyuruh laki-laki asing di rumahnya itu pergi.
Ciiiiit....
Braak....
***
.
.
.
.
.
Hehe:))
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top