Circumpolar 1

~Jika suatu hal memintaku untuk terbit, aku akan selalu terbit. Namun, jika suatu hal memintaku untuk terbenam, aku akan selalu terbenam. Terbit dan terbenam dari horizon mereka menurut artianku sendiri~

***

Menghilang untuk kembali menata bukan sebuah kesalahan. Bahkan, bintang yang hilang di langit sebenarnya tak pernah benar-benar hilang, ia hanya menjelma. Bukan, itu bukan akhir dari kisahnya. Hal itu justru yang akan mengubahnya, ia hanya tinggal memilih untuk kembali bersinar walau dengan cahaya yang tak lagi sama, bangkit dan mengubah segalanya, atau tenggelam dalam gelap yang ia cipta sendiri. Semesta tak bertanggung jawab akan apa yang terjadi setelahnya. Namun, terkadang yang kau pilih tak selalu direstui semesta. Katakanlah semesta kejam karena tidak merestui juga tidak bertanggung jawab terhadap apa yang akan menimpa, karena itu semesta ingin kau belajar, menemukan sesuatu yang memang layak bagimu. Tak peduli seberapa banyak waktu yang akan kau habiskan. Bukankah memang seperti itu hidup? Kau tak akan selamanya bersinar, tapi jangan lupa sesuatu yang baru juga menyimpan tantangan baru.

Suara decit sepatu menuruni tangga membuat wanita yang baru saja mengangkat panci dari kompor menoleh. Tangannya segera ia usapkan pada apron cokelat yang sedang ia kenakan. Dengan wajah sumringah, wanita yang kerap kali dipanggil Bi Sumi itu segera keluar dari dapur.

"Aduh, Aa' Gamma kasep pisan. Sini sarapan dulu. "

"Makasih, Bi. Mang Deni nonton apa pagi-pagi gini?" tanya cowok yang baru saja meraih roti yang ada di hadapannya.

"Nggak tau, iklan semua. Mamang mau ambil kopi dulu." Gamma hanya menganggukkan kepala dan kembali mengalihkan pandangannya pada roti yang sedang ia nikmati.

"Kembali lagi dengan berita pagi. Sekitar pukul 02.32 WIB dini hari tadi, pesawat Airbus A330 rute Jakarta Surabaya mengalami kecelakaan disebabkan cuaca buruk. Sekitar tujuh belas menit setelah take off , captain pesawat A330 melaporkan adanya petir yang menyambar-nyambar dan memohon untuk kembali ke Bandara Soekarno-Hatta. Namun, beberapa menit setelah disetujui, ternyata badan pesawat mengalami guncangan dan membuat salah satu sayap pesawat rusak. Kontak dengan A330 sempat terputus sekitar tiga puluh menit. Namun, kontak berhasil kembali didapatkan ketika pesawat A330 terlihat mendekati Bandara Husein Sastranegara, Bandung. Menurut laporan pilot A330, yaitu captain Fajar, pesawatnya sempat mengalami turbulensi yang cukup kuat dan kaca pesawat di dekat copilot pecah dan pecahannya membuat wajah copilot cedera cukup parah sehingga membuat captain Fajar berusaha menyelamatkan pesawat yang berisi 147 penumpang itu tanpa bantuan copilotnya." Suara halus penyiar berita itu sukses menarik seluruh perhatian Gamma.

"A'? Nanti Bibi mau belanja bulanan, Aa' Gamma mau titip permen karet kayak biasanya, nggak?" tanya wanita yang sedang menuangkan susu dan menyodorkannya pada lelaki yang masih diam menatap rotinya.

"A'? Dimakan atuh rotinya, jangan dilihatin terus," kalimat itu berhasil membuat pemilik manik hitam itu mendongak.

"Hah? Nggak, Bi. Gamma udah kenyang, kok. Gamma berangkat," jawabnya mencoba tersenyum.

Langkah kaki pemilik manik hitam itu begitu cepat, tangannya meraih helm dan memakainya dengan kasar. Suara deru motor memecah keheningan kota Bandung di pagi hari. Semesta seakan sedang berkompromi dengannya, jalanan masih cukup sepi untuknya memacu motor hitam yang ia kendarai dengan kecepatan di atas rata-rata. Entah sudah berapa kali ia mengembuskan napas kasar di balik helm fullface-nya. Lelaki itu membelokkan stang motornya ketika gerbang sekolah sudah ada di depannya.

"Anjir lu ngapa si? Kaga santai amat," keluh cowok yang baru saja membuka helm tepat di sebelah Gamma yang baru saja memarkirkan motornya dengan brutal. Bahkan, maniknya masih menatap setiap pergerakan pemilik manik hitam itu.

"Eh, gue nanya! Lu kenapa?" Cowok tadi berusaha mengejar Gamma yang sekarang melangkah meninggalkan parkiran.

"Lu gak liat berita? Captain Fajar menyelamatkan nyawa banyak orang tanpa bantuan copilot. Keren, kan? Haha," katanya dengan nada sumbang seraya memasukkan permen karet pada mulutnya.

***

Suasana kelas yang ricuh selalu berhasil membuat gadis berambut cokelat yang sedang melangkahkan kakinya ini jengah. Keramaian bukan lah dunianya, ia tak ingin hidupnya terusik oleh manusia-manusia yang ia sendiri tidak bisa menjamin akan tetap baik-baik saja dengan mereka. Gadis ini mengembuskan napas lelah saat maniknya menangkap deret angka yang ada pada layar ponselnya. Kaki jenjangnya ia perintahkan untuk menjauhi kursi pojok kanan tempat meletakkan ransel biru muda kesayangannya.

"Lah, itu Gemi. Gemi!" Suara sekitar tiga oktaf yang sangat ia kenali itu membuatnya mengembuskan napas kesal.

"Gue udah nungguin lu dari tadi pagi. Akhirnya lu dateng juga. Seneng deh gue." Wajah sumringah langsung tersaji di hadapan gadis berambut cokelat itu. Namun, maniknya hanya menatap datar lawan bicaranya.

"Gue mohon sama lu, lu mau ya ikut tim defile kelas?"

"Nggak."

"Gemi, please. Ini pilihan terakhir." Cowok yang memanggil gadis tadi dengan sebutan Gemi itu masih memohon tetapi nihil, seakan dirinya sedang mengajak bicara sebongkah batu.

"Dika, lu udah janji buat cariin celana peserta defile yang kagak punya, loh ya?" Gadis dengan warna bibir cukup merah tiba-tiba menghujami sebuah pertanyaan pada cowok yang sekarang hanya mengangguk sebagai jawaban. Gemi sendiri memilih berlalu karena baginya semua itu hanya akan membuang waktunya. Namun, sebuah tangan berhasil mencekal pergelangan tangannya dan membuatnya berhenti. Ia memutar bola matanya malas.

"Gue nggak punya celana dan gue gak mau ikut defile. Jelas?"

"Gem, lu gak kasian sama wali kelas kita? Lu gila ya? Lu kapan si mau bahagiain kelas ini? Gue cuma minta tolong lu buat ikut doang, gue gak nuntut lu buat menang ya. Tolong ringanin kerjaan gue dikit lah. Arrgh." Cowok yang dipanggil Dika itu mengacak-acak rambutnya frustrasi. Katakanlah ia sudah mulai lelah berurusan dengan gadis yang sekarang malah diam menatapnya. Jika saja ada orang lain yang dapat menggantikan gadis ini, Dika bersumpah tak akan memohon seperti pengemis di hadapan gadis ini.

"Gue mau ke toilet dulu, nanti gue jawab," jawabnya dan segera berlalu dari hadapan cowok yang sekarang mengepalkan kedua tangannya karena geram.

Gadis dengan netra abu-abu itu melangkah dengan salah satu sudut bibir terangkat, ia sadar bahwa ia tak akan pernah dibutuhkan selama masih ada yang bisa mengisi posisinya dan itu selalu benar. Dirinya hanya akan selalu menjadi pilihan terakhir, saat semua orang sudah tidak bisa menempati posisi itu. Tidak, ia bukan dibutuhkan tapi hanya sekadar pelengkap agar sesuatu tidak terlihat cacat, lebih tepatnya menyembunyikan cacat yang tercipta. Ia sudah terbiasa dengan hal itu. Bahkan terkadang, dirinya menjadi seseorang yang pertama kali disalahkan akan kegagalan yang dialami. Semua orang juga tahu bahwa tidak ada yang menginginkan sebuah kegagalan. Lantas kenapa masih ada tradisi salah menyalahkan? Mengapa harus dipilih jika pada ujungnya disalahkan? Mengapa harus dipercaya jika pada akhirnya dikhawatirkan? Bukankah sebagian besar kegagalan tercipta karena kekhawatiran? Rasanya ia sudah cukup lelah untuk kembali disalahkan, untuk kembali menerima kecaman, atau mungkin hinaan. Dunia ini terlalu fana baginya, terlalu menyesakkan karena penuh drama.

"Lu yakin gak ada orang lain selain gue?" tanyanya dengan nada yang begitu datar, membuat yang diajak bicara sedikit enggan untuk menjawab.

"Iya."

"Oke, dengan syarat lu yang cariin celana yang bakal gue pake. Kalo lu gak bisa dapet, perjanjian kita batal!" ucapnya segera meninggalkan cowok yang belum sempat merespons ucapannya.

***

Sebelah alis gadis berambut cokelat itu terangkat saat indra pendengarannya berhasil menanggap rangsang suara dari dalam rumah megah yang didominasi abu-abu cerah itu. Langkah kakinya sengaja ia percepat saat otaknya berhasil mengolah suara tawa tadi. Tangannya bergerak lihai membuka pintu. Seulas senyum terpatri, membuat matanya kian menyipit. Ia mengulum bibirnya seraya mendekati seseorang yang sekarang bangkit dari sofa dan merentangkan tangannya, menunggu gadis yang baru sampai itu untuk memeluknya.

"I miss you," katanya mengeratkan pelukan. Aroma parfum yang tak pernah berubah menguar memenuhi indra penciumannya.

"I know it. You look so beautiful now."

"Bullshit! Kok gak bilang si kalo mau ke sini? Kan bisa gue jemput di bandara. Mama juga nggak bilang kalo Indah pulang," gerutu gadis bernama Gemi itu. Bokongnya ia daratkan pada sofa tepat di sebelah gadis yang baru saja ia peluk.

"Kata Indah biar jadi kejutan. Mama tinggal ke dapur dulu, ya."

"Makasih Te udah suksesin kejutan ini."

"Kejutan apaan? Lu nginep sini, nggak?" tanya Gemi seraya melepas sepatunya.

"Gue numpang ngebo di kamar lu ya?"

"Apa pun. Ehehehe," goda gadis berambut cokelat itu seraya merangkul lengan sahabatnya yang sudah berpisah sekitar lima tahun.

Hidup juga butuh tawa, butuh penawar agar tetap bisa merasakan nikmat Tuhan. Terlalu munafik jika menganggap hidup hanya sekadar hitam dan putih, atau sekadar warna tanpa hitam. Tak ada yang benar-benar menjadi hitam di dunia ini, tak ada juga yang benar-benar penuh warna, semuanya hanya perlu waktu. Apa bumi selalu gelap, atau bumi selalu terang? Layaknya bumi, manusia perlu merasakan keduanya, bagaimana bisa tahu seperti apa itu terang jika tak pernah merasakan apa itu gelap? Bagaimana bisa mengerti seperti apa rasa bahagia jika tak pernah berduka? Bukankah hidup sesederhana itu? Manusia saja yang terlalu tamak, berharap hidupnya akan penuh warna, tak pernah menemui duri, atau batu besar. Apa mungkin sebenarnya manusia hanya berpura-pura tidak tahu akan hal itu hanya untuk menghibur dirinya?

"Ndah? Lu ngapain di sana?" Gemi penasaran melihat sahabatnya yang menatap langit dari balkon kamarnya hingga tak mendengar panggilannya. Kakinya melangkah mendekati pintu balkon yang terbuka. Angin malam menyapu wajahnya dan meniup rambutnya.

"Ngapain?" tanyanya sekali lagi.

"Liat langit," jawab Indah tanpa mengalihkan pandangannya.

"Langit Bandung bagus, ya? Gue bahkan bisa liat dengan jelas bintang yang paling lu suka dari sini," lanjutnya.

"Emang bintang apaan? So tau amat sih lu," goda Gemi.

"Sampe sekarang gue masih nggak ngerti kenapa lu suka banget sama langit. Gue yang baru beberapa menit liat langit seindah ini aja udah bosen." Pandangan gadis dengan bulu mata lentik itu beralih pada wajah sahabatnya yang sedang menatap langit dengan rambut yang tertiup angin.

"Mereka yang lu lihat sekarang ini mungkin beberapa udah mati, udah bukan bintang kayak yang lu liat lagi, tapi setidaknya mereka sempat berpamitan," katanya dengan nada parau yang terdengar jelas. Bahkan, Indah yang sedari tadi menatap wajah sahabatnya berubah menunduk seraya menelan salivanya.

Suara dering ponsel membuat keduanya menoleh. Bahkan, wajah Gemi sekarang kembali terlihat berseri. Seakan semua yang tadi sempat memenuhi pikirannya menguap begitu saja, atau dia berpura-pura menguapkan semuanya? Gemi melangkahkan kakinya mendekati nakas, diikuti Indah yang kemudian menutup pintu balkon.

"Yah mati," gerutu gadis berambut coklat itu.

"Ya udah telfon balik aja."

"Gemi, Indah, ayo turun kita makan!" Panggilan itu mengurungkan niat gadis tadi untuk menghubungi seseorang yang baru saja meneleponnya.

"Ah udah nanti aja. Mama pasti udah nunggu."

***


Circumpolar new version!

Mohon kritik dan sarannya ya.

Author tunggu ya. Kan itung-itung buat penyemangat gitu.

Vommentnya ditunggu ya.

See you on next part.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top