Sam

"Apakah salah mencintaimu dalam diam?

Apa aku pantas melihatmu dari jauh?

Sesulit inikah mencintai seseorang yang tidak bisa ku gapai?

Sejauh itukah dirimu, hingga aku kesulitan mendekatimu?

Sesakit inikah, melihatmu tertawa bahagia tanpaku?

Bolehkah aku menggapai bintang yang tak pernah jatuh?" Retta membacakan bait per bait surat dari seseorang yang meletakkannya di dalam laciku. Cewek itu membacanya dengan suara keras, agar seisi kelas mendengarnya dengan jelas.

Reaksi mereka beragam. Ada yang tersipu malu, ada yang tertawa, bahkan ada yang merasa geli.

Aku?

Aku hanya diam, tidak tertarik.

Surat seperti ini sudah sering aku dapatkan, bahkan ada beberapa orang yang akhirnya mengakui bahwa dia pernah menaruh surat di dalam laciku beserta coklat dan segala macam barang feminine lainnya.

Aku tidak mengerti dengan pikiran mereka.

Bagaimana aku bisa dianggap wanita oleh mereka?

Sehari-hariku di sekolah, aku mengenakan pakaian seragamku dengan asal. Jika tidak ada teguran, maka tidak ada perubahan. Dasi saja kupakai dengan asal, hingga terkadang Rey-lah yang memakaikannya dengan benar.

Terkadang, kerah seragamku naik sebelah, aku bahkan tidak peduli, Rey-lah yang merapikannya. Jika aku merasa gerah, lengan seragamku akan kulipat keatas, hingga mendapat teguran dari BP.

Terkadang, karena merasa gerah, aku akan menyingkap rokku dan duduk ngangkang. (Tenang saja, aku pakai celana kok)

Jika aku sudah mulai menyingkap rok, Gill yang akan menegurku.

Porsi makananku saja sangat banyak, bagaikan abang-abang tukang becak yang makan di warteg.

Kalau saja bukan karena rambut panjangku dan seragam yang mengharuskanku memakai rok. Aku pasti dianggap sebagai pria.

Dari sisi mana mereka melihatku sebagai wanita?

Aku hanya menggeleng dengan kelakuan Retta. Dia selalu menjadi yang nomor satu terheboh di kelasku jika aku mendapat surat seperti ini.

Gill tertawa geli mendengar surat yang dibacakan Retta.

"Dia ga tau aja nulis buat siapa." Gill meledek.

Seisi kelas tertawa.

Begini, aku memang cewek idola di sini. Tapi di kelasku, mereka semua tau aku itu cewek kayak apa. Bahkan beberapa dari mereka tidak menganggapku sebagai cewek.

Mereka bahkan dengan jahatnya menulis jenis kelaminku di absensi kelas sebagai "Laki-Laki". Entah siapa yang menulis itu, jika aku tau, aku pasti akan mengakhiri hidupnya sekarang juga.

"Gue iri sama lo, walaupun lo tomboy, tetep aja ada yang naksir." Sindir Retta.

Aku tak menggubris perkataan Retta. Hanya terfokus pada game dan mengunyah permen karet.

Notifikasi pesan masukku muncul. Mataku membulat membaca nama pengirim pesan itu. Aku berteriak dalam batin kegirangan.

"Gill! Ini kakak!" Pekikku pada Gill tepat di sebelahku.

Aku bahkan langsung keluar dari gameku demi membaca pesan singkat dari kakakku.

"Apa kabar, Yona? Kakak akan segera pulang, tunggu kakak ya."

Pesan singkat itu kami baca bersama.

"Kak Sam ya?" Tanya Gill.

"Iya Gill, dia akan pulang."

*****

"Aduhh Yona, ngapain sih? Itu tinggi banget loh.." Bujuk Retta pada Liona yang tidur siang sambil bergelantungan di atas pohon.

Dia hanya pura-pura tidur tentunya.

"Yona!" Teriak Rey, sambil berlari menghampirinya.

"Hm?" Sahut Yona.

Tanpa aba-aba. Rey langsung memanjat dahan pohon untuk menurunkan Yona.

Dengan susah payah, Rey menggendong Yona sambil menuruni dahan.

Yona hanya menguap melihat semua usaha tunangannya. Tentunya menguap dengan khasnya sendiri.

"Kenapa harus di atas sana?" Tanya Rey sinis.

"Jambunya manis." Jawab Yona.

Rey menoleh ke atas pohon tempat Liona tidur tadi, memang benar sebagian jambu daerah sana hilang.

"Kenapa ga turun setelah makan?"

"Siapa bilang gue udah siap makan? Lo aja yang kecepetan datang."

Rey menekan pangkal hidungnya. Rey mulai sedikit stress menghadapi tunangannya.

"Mau berapa banyak lagi?"

Liona terlihat berpikir. Kemudian memberi isyarat dengan sepuluh jari mungilnya.

"Oke, tunggu disini."

Rey melepas seragam putihnya, dia mengenakan kaos tanpa lengan berwarna hitam dibalik seragamnya. Otot-otot lengannya diperlihatkan dengan jelas.

Rey menitipkan seragam putihnya pada Liona. Lalu, Rey mulai memanjat pohon jambunya.

Dia memetik beberapa jambu, lalu dia meletakkannya di bajunya yang di pegang ujungnya, agar bisa menampung lebih banyak jambu.

Karena Rey yang menggangkat ujung kaosnya. Dari arah Liona memandang, terpampang jelas perut Rey yang sixpack. Rey memang sering melatih tubuhnya untuk menjaga kesehatannya.

Liona yang sudah sangat sering melihat itu sudah terbiasa. Tinggal serumah dengan Rey, harus terbiasa melihat Rey yang baru selesai mandi. (Ini juga karena kebiasaan Liona yang tidak pernah mau mengetuk pintu sebelum membukanya). Tapi bagi Retta yang belum pernah melihat kejadian ini, pasti akan tersipu.

Retta terlihat malu dan mengalihkan pandangannya.

Lagipula, saat pertama kali Liona melihat Rey yang bertelanjang dada. Liona malah biasa saja. Seolah sudah sangat terbiasa dengan itu. Padahal yang ada di pikiran Liona saat melihat perutnya yang sixpack. "Mendadak gue jadi pengen makan deh.". Yap, Liona sudah sering makan roti sobek kok.

Rey menuruni pohon dengan hati-hati. Menyerahkan sepuluh buah jambu yang dia petik tadi pada Liona.

"Thanks" ucap Liona dengan wajah datar. Sambil menerima semua buah jambunya dengan menaruhnya di baju seragamnya dengan cara yang sama seperti Rey.

Rey tidak bisa berkata-kata. Liona memang orang ter-bodo-amat yang pernah dia temui di bumi ini.

Liona terlihat menghitung buah jambu yang diberikan Rey padanya.

Setelah menghitung, Liona menatap Rey dengan tatapan kesal.

"Apa lagi?" Tanya Rey.

Liona menyerahkan kembali semua jambunya pada Rey.

Rey terlihat kebingungan.

"Gue tunjuk berapa tadi?" Ucap Liona dengan nada penekanan.

"Sepuluh kan?" Sahut Rey.

Liona kembali menunjuk dengan isyarat seperti tadi.

"Ya iya, sepuluh kan?" Rey sewot.

"Lo ga itung jari kaki gue?" Ucap Yona sambil menatap Rey kesal.

Rey spontan menatap jari kaki Liona yang diusahakan Yona untuk tampak menunjuk.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top