Rasa bersalah

Sudah beberapa hari Lionel tidak masuk sekolah demi menjaga adiknya. Dia bahkan tidak mau bergantian dengan Ria.

Rasa bersalah Lionel terus menghantuinya. Dia berharap adiknya segera siuman. Sesekali Liona terlihat sedang memimpikan sesuatu yang buruk. Keringatnya mengucur deras. Rasa khawatir Lionel semakin menjadi.

Cowok itu hanya bisa menggenggam erat tangan adiknya. Lingkaran hitam di bawah matanya sangat jelas terlihat.

Cowok jangkung itu memang kurang tidur karena mencemaskan kembarannya.

"Udah cukup nel, lo harus istirahat." Tegur Rey.

Lionel tidak mendengarkan.

Rey menepuk bahu Lionel pelan.

Lionel tersontak kaget. "Ah, maaf. Ada apa?"

"Lo harus istirahat, lo bahkan udah tiga hari gak tidur dan gak makan. Bibir lo bahkan udah kayak orang yang mengalami kekeringan. Lo harus peduli sama diri lo sendiri sebelum mau jagain adik lo. Lo butuh tenaga buat jagain dia kan?" Rey mengingatkan.

"Gue harus jagain dia, gue gak mau gagal lagi kali ini." Lionel keras kepala.

"Suara lo bahkan udah kayak nenek-nenek. Jangan menyalahkan diri lo sendiri, ini juga karena kelalaian gue. Jadi gue bakal jagain dia sama seperti lo jagain dia. Gue bisa kok gantiin lo untuk sementara." Bujuk Rey.

"Iya gue tau ini semua salah lo."

"Sialan, pake di perjelas lagi." Rey membatin.

Lionel bangkit dari kursinya. Dia tidur di sofa dalam hitungan detik.

Dia pasti sangat kelelahan.

Rey menatap tunangannya cemas. Dia mengelus puncak kepala tunangannya dan mencium keningnya lembut.
"Maaf, harusnya gue ga terlalu sepele sama trauma lo.."

*****

"Ma-maafin Yona.... ma-af.. ini semua salah Yona..." gadis itu gemetaran hebat. Matanya tidak fokus.

Setelah dia siuman, kondisinya semakin parah. Dia duduk di pojok kamarnya. Tidak mau dibujuk dan penuh ketakutan. Jari-jarinya terus mengeluarkan darah karena gigitannya yang tidak ada hentinya. Habis sudah kuku-kukunya.

Gadis itu memiliki kebiasaan buruk dengan menggigiti kukunya ketika emosinya berlebihan.

Lionel sangat bingung bagaimana menghadapi adiknya. Dia sangat khawatir dengan kondisi adiknya.

Rey tiba dengan membawa beberapa barang.

Lionel menatapnya heran.

Cowok itu memasang kabel-kabel ke TV, lalu mengeluarkan PS dari kotaknya. Stick ke dua sengaja dia letakkan di depan Liona.

"Lo mau main PS disini setelah melihat gimana keadaan Liona?" Ucap Lionel berang.

"Tenang aja." Rey menenangkan.

Rey memilih kaset yang dia bawa kemudian memasukkannya ke dalam PS. Menaikkan volume TV dan memainkannya tanpa menghiraukan Lionel.

Rey memilih game Mario Bros.

Suara pada game itu memaksa Rey mengingat kenangan mereka saat kecil. Game yang pertama kali dia mainkan dengan Liona adalah game ini.

Liona yang masih berceracau tidak jelas mendadak diam saat mendengar suara gamenya.

Gadis itu teringat semasa kecilnya yang bermain game bersama Rey.

"Aduh, siapa ya yang bisa mainin Luigi?" Ucap Rey memancing Liona.

Lionel yang melihat tingkah Rey yang aneh langsung mengerti maksudnya. Liona diam setelah melihat Rey yang bermain game masa kecil mereka.

Liona ngesot mendekati stick kedua yang memang sengaja di letakkan di depannya.

Rey tersenyum saat Liona sudah memegang sticknya. "Kamu mau mainin Luigi?" Tawar Rey.

Liona mengangguk cepat. Tatapan matanya berubah menjadi tatapan Liona yang masih kecil. Tatapan kosongnya menghilang seketika.

Sepertinya jika tidak ada Rey. Liona akan tetap seperti itu selamanya.

Rey melirik ke arah Lionel. Lionel tersenyum padanya lalu menepuk pundak Rey sambil mengatakan "Thanks ya"

"Lo mau kemana?" Tanya Rey.

"Gue mau ambil pesanan gue sama tukang gojek." Sahut Lionel tanpa melihat kearah Rey.

*****

Lionel menatap layar ponselnya sambil menunggu mamang gojek yang sudah ia pesan. Cowok itu memesan makanan kesukaan Liona. Dia ingin memanjakan adiknya yang baru saja siuman.

Tak selang berapa lama, Cowok berjacket hijau mengendarai motor menuju kearah Lionel.

Di aplikasi, abang gojeknya bernama Anjas. Pria paruh baya itu membuka kaca helemnya. Tersenyum ramah pada Lionel.

"Eh, Mba Yona ya? Mba Yona pangkas rambut? Mba Yona juga tambah tinggi ya."

Lionel menatap Anjas dengan tatapan bingung.

Bagaimana bisa pria tulen sepertinya dianggap sebagai wanita?

Dia merasa harga dirinya diinjak-injak.

"GUE KAKAKNYA!" Pekik Lionel geram.

Lionel mengambil pesanannya lalu pergi dengan wajah juteknya.

*****

"Gimana keadaan lo? Udah baikan?" Tanya Gill yang baru saja tiba.

"Hmm" Sahut Yona tanpa menatap Gill.

"Maaf" ucap Gill sambil menunduk menyesal.

Liona mendongak menatapnya bingung. "Apaan sih?"

"Harusnya gue ada disisi lo, bukannya malah bertanding di semi final yang ga penting itu. Bukannya malah kecewa karena lo ga hadir di pertandingan gue. Bukannya keburu mikir elo sengaja lupain gue. Gue egois... Gue bodoh.. Maaf..."

Liona menepuk lengannya pelan. "Gill, ini semua bukan salah lo. Gue baik-baik aja. Lagipula, kalo gue jadi lo, mau lo masuk rumah sakit kek, mau lo sekarat kek, mau lo mati kek, kalo lo ga dateng di moment penting gue, gue bakal tetep marah."

Gill menelan ludah. Itu sesuatu yang mustahil, bagaimana bisa dia memprediksi kapan dia mati?

Liona tertawa kecil. "Bercanda, terkecuali mati deh."

"Gue kalo mati juga gue ga peduli kalo lo marah sama gue." Ucap Gill.

"Ya elo juga milih waktu dong! Kalo mau mati, satu hari setelah hari spesial gue kek!"

"Gue kalo bisa milih hari, gue milih tanggal tiga puluh dua aja, jadi ga nyangkut sama hari spesial lo kan?"

"Ide bagus."

Gill mengelus puncak kepala Liona.

Cowok itu lega melihat kondisi Liona yang sudah jauh lebih baik. Meskipun dia menang pada turnamennya. Dia tidak ingin menagih janji Liona. Semua itu semata-mata hanyalah taruhan yang dilakukan mereka untuk bersenang-senang, bukan?

Liona mendongak menatap Gill.

Gill menatapnya bingung.

Liona membuat isyarat jari seolah menyuruh Gill agar lebih mendekat.

Gill menurutinya.

Liona malah semakin mendekatkan wajahnya, menipiskan jarak diantara mereka. Nafas mereka menerpa satu sama lain. Tercium bau keringat masing-masing. Liona menatap bibir Gill yang berwarna pink pucat.

Gill menatapnya malas. Dia tahu apa yang ada dipikiran gadis itu. Gadis itu ingin mengetesnya lagi.

"Kalo gue cium, berarti bukan salah gue, kan?" Tanya Gill dengan tatapan malasnya.

"Gapapa deh kalo jadi salah gue." Ucap Retta bosan, setelah sekian lama keberdaannya diabaikan.

"Eh, ada Retta." Ucap Liona.

"Hehe, gue ganggu ya? Pulang aja boleh?" Sindir Retta.

Liona menarik lengan Retta, lalu memeluknya erat. "Sorry dong, gue cuma mau ngetes nih anak." Ucap Yona sambil tersenyum mencurigakan.

"Coba kalian scroll ke atas, percakapan kalian ada gak yang ngajak gue ngomong?" Retta mulai lebay.

"Oke, maaf. Retta udah makan? Retta ga bawa apa-apa ya? Kalo gitu Retta boleh pulang kok. Makasih udah berkunjung."

"Sialan."

"HAHAHAHAHAHA!"

*****

Sebelumnya maaf ya udah lama banget ga update-update.

Ini semua dikarenakan, belakangan pulangnya kemalaman karena kerja. (Tolong jangan bilang gue kerja malam) wkwwkkw

Thankyouuu buat para pembaca setia CIPA 😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top