Jijik
Liona manyun di pojokan kamar Rey.
"Rey..." Panggil Liona dengan nada merengek.
"Pokoknya hari ini lo harus tidur!"
"Tapi..."
Rey mendesis geram, mencium jari telunjuknya sebagai isyarat untuk diam.
Liona terus merengek meminta laptopnya di kembalikan.
Rey mengabaikannya meskipun sangat menganggu. Dia menutup kedua telinganya menggunakan bantal yang memeluk kepalanya.
Liona semakin histeris meneriaki tangisannya yang dibuat-buat.
Rey tidak tahan lagi. Dia kehabisan kesabaran.
Dia keluar dari kamarnya dengan kesal. Liona mengekorinya sambil menangis.
Bagi Liona, gamenya lebih berharga ketimbang tunangannya itu, gamenya lebih penting ketimbang tidur.
Rey mengeluarkan ponselnya dari saku celananya.
Liona yang berfikir Rey akan memberikannya ponsel, mendadak diam dari rengekannya dan menatap Rey dengan wajah penuh harap.
Bagi Rey, Liona saat ini terlihat seperti anjing yang menggoyangkan ekornya ketika melihat tulang.
Rey berdeham.
Dia tidak berencana memberikan Liona ponsel. Rey bermaksud untuk menyambungkan panggilan ke Lery, untuk menipu Liona, agar Liona berfikir itu adalah Ria.
Rey menempelkan ponsel pada telinganya. Setelah nada dering berbunyi yang kedua kali, panggilan itu tersambung pada Lery.
"Halo?"
"Halo tanthh....." Liona membekap mulut Rey, menatap Rey dengan tatapan memohon dan menggeleng cepat. Sebagai isyarat "Jangan mengadukanku"
Rey mematikan panggilannya. Entah apa yang ada dipikiran sohibnya itu setelah menjawab panggilannya.
Liona melepaskan bekapannya dengan putus asa. Dia tidak punya pilihan lain.
Jika Rey menghubungi ibunya dan mengadukan kelakuannya. Ibunya akan memanggil Dokter Johan lagi. Setidaknya itulah yang ada di benak Liona.
Dokter Johan adalah Psikiater Liona. Apapun yang Johan katakan, Ria akan menurutinya.
Liona terisak.
"Rey Kejam!" teriaknya sambil berlari menuju kamarnya.
Rey mengabaikan ucapan Liona dan kembali ke kamarnya, lalu mengunci pintu agar Liona tidak berfikir untuk berbuat macam-macam.
"Gue bakal tidur nyenyak hari ini." Rey membatin senang.
Benar saja. Rey tertidur dengan cepat, dia tidur pulas meskipun beberapa kali ia terbangun karena dingin.
Esok paginya. Rey bangun dari tidurnya, merenggangkan otot dengan lega.
"Akhirnya gue tahu cara ngatasin Liona." Gumam Rey senang.
Seketika, pernyataan Rey runtuh setelah melihat jendela kamarnya yang terbuka lebar.
"Sumpah ni anak niat banget!" Batin Rey sambil menggelengkan kepalanya.
Rey mendengar suara langkah kaki yang diseret dari arah jendela. Cepat-cepat Rey kembali pada posisi tidur di kasurnya.
Benar saja dugaannya, Liona memanjat jendela kamarnya yang sebelahan dengan kamar Liona.
Dia melewati jendela dengan menjadikan kipas AC sebagai pijakannya. Padahal jarak lantai dua ke lantai satu adalah delapan meter, itupun tidak membuat seorang Liona takut.
Liona yang berfikir Rey masih tidur, mengendap-endap memasuki kamarnya, membuka lemarinya kemudian mengembalikan laptopnya pada tempat semula.
Rey beranjak dari kasurnya, menggetok kepala Liona dari belakang.
Belum menyadari keberadaan Rey.
Liona hanya mengelus kepalanya yang digetok Rey, itu juga karena dia hanya merasakan sentuhan.
Setelah itu Liona berbalik, matanya terbelalak melihat Rey dengan kepalan tangan yang sudah berdiri di depan matanya.
Melihat tangan Rey yang di kepalkan. Liona baru menyadari dia sudah menjadi korban getokan Rey.
"Aduh" Liona mengaduh pura-pura sambil mengelus kepalanya.
"TELAT BEGO!"
"Ya abis.." Liona memberi jeda. "Kaga sakit" Jujur Liona.
"Kayanya kalo lo jatuh pas lagi manjat tadi. Lo mungkin bakalan Aduh setelah terbangun dari koma kali ya." Tebak Rey asal.
"Mau coba?"
Getokan ke dua mendarat di kepala Liona.
"Jangan yang aneh-aneh!"
Sekali lagi, Liona mengaduh terlambat. Rey menahan tawanya melihat kelakuan tunangannya. Rey mencubit gemas pipi tembem Liona.
"Siap-siap dulu gih. Gue bakal siapin sarapan lo."
Liona mengernyitkan dahi.
"Rey, bisa masak?" Tanya Liona yang baru mengetahui keahlian tunangannya setelah dua tahun lamanya.
"Bisa dong!" Ucap Rey bangga.
"Pasti ga enak!" Ucap Liona sambil menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya.
Kurang ajar.
Rey mencibir jengkel. "Ya kalo ga mau makan terserah." Ucap Rey cuek.
"Satenya yang banyak ya bang." Ucap Liona sambil berlalu pergi melalui pintu.
"LO KIRA ABANG TUKANG SATE!" Pekik Rey berang.
Cepat-cepat Liona berlari menuju kamarnya sebelum mendapat getokan ketiga dari Rey.
Rey memasak sarapan untuk tunangannya. Rey benar-benar membuatkan sate untuk Liona.
"Pada akhirnya gue beneran jadi abang tukang sate." Gumam Rey.
Setelah Liona selesai mandi. Liona menuju dapur untuk sarapan.
Meskipun Liona tidak bisa merasakan kenyang dan lapar, tapi Liona termasuk orang yang selalu ingat makan dan tidak bisa berhenti makan jika itu adalah makanan favoritenya.
Rey tahu betul dengan porsi makannya Liona. Tunangannya itu tidak bisa merasa kenyang tapi bisa merasakan rasa makanan. Meskipun Liona merupakan tukang makan, berat badannya tidak pernah berubah.
Untung saja sebelum Liona bangun dari tidurnya, Rey sudah menyiapkan bahan makanan untuk se-RT.
Rey membuatkan sate tiga puluh tusuk dengan bantuan pembantunya. Semua sate itu hanya untuk tunangannya saja.
Rey hanya sarapan roti bakar dengan selai kacang dan susu.
"Udah siap bang, satenya?" Ucap Liona setibanya di dapur.
"Udah neng, nihh duduk dulu." Ucap Rey sambil mempersilahkan Liona duduk.
Rey memberikan baskom berisi sate tiga puluh tusuk kepada Liona. Liona terlihat senang dengan menu sarapannya hari ini. Dia terus tersenyum sambil makan.
Sesekali Rey mengelap bumbu sate yang belepotan di area bibirnya.
Liona manyun.
"Kenapa sayang? Kok manyun?" Tanya Rey lembut.
"Ngelapnya jorok ih."
Rey menatap tissue yang ia gunakan untuk mengelap area bibir Liona.
Bersih.
Lalu mengernyitkan dahi tidak mengerti.
"Ini kan tissue? Kenapa jorok sayang?" Tanya Rey bingung.
"Tissue kan dari kayu, kayu itu dari pohon. Pohon itu sering di pipisin anjing. Yona ga mau ngelap pake itu, jijik."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top