Tujuh Belas
Tinggal 3 hari lagi ya friends, POnya. Jangan sampai ketinggalan.
###
Pagi ini begitu Pita bangun tidur, ia segera bergegas membersihkan diri dan bersiap ke kampus. Hal yang akan ia lakukan tentu saja mengurus administrasi untuk proses wisudanya dan Dian.
Sebelum ke kampus ia akan mendatangi indekost Dian untuk mengambil berkas-berkas yang dibutuhkan terlebih dahulu. Untung saja Dian sudah menitipkan kunci kamarnya pada Pita sebelum gadis itu kembali ke Malang. Ia juga sudah menghubungi pemilik indekost memberitahu dan meminta izin bahwa Pita akan mengambil beberapa berkas miliknya untuk digunakan mengurus administrasi wisudanya.
Saat hari beranjak siang semua hal sudah Pita lakukan. Urusan ke kampus sudah beres dan tinggal menunggu beberapa pengumuman lanjutan beberapa hari ke depan.
Dian mengucap terima kasih saat Pita memberikan informasi tentang hal itu. Gadis itu malah membatalkan rencananya untuk pulang hari ini. Alasannya sederhana, untuk apa dia terburu-buru kembali ke Malang jika semua urusan sudah ditangani Pita sepenuhnya.
Akhirnya Pita hanya mengiyakan saja, toh apa yang Dian katakan memang benar. Tak ada yang perlu Dian kerjakan lagi sekarang.
Kini satu hal yang tersisa, Rajasa. Berarti Pita akan menemani pria itu selama Dian belum datang. Lagi pula pria itu mengatakan setelah semua urusannya selesai ia akan menjemput Pita dan mengajaknya untuk sekedar berkeliling. Membayangkan itu mau tak mau membuat sudut bibir Pita tertarik. Pasti hal yang menyenangkan yang akan mereka lakukan. Pita sudah tak sabar.
Saat hari menjelang sore, Rajasa tiba di indekost Pita. Pria itu segera mengajak Pita untuk makan siang terlebih dahulu dan kebetulan hingga hari beranjak sore Pita memang masih belum mengisi perutnya.
Mereka makan siang di Batu sambil menikmati dinginnya udara kota itu. Setelah makan siang mereka menyempatkan diri berkeliling ke salah satu wahana wisata. Dan begitu hari beranjak petang merekapun kembali pulang.
Kebersamaan mereka tak hanya berakhir sampai di sana. Malam hari mereka kembali menghabiskan waktu bersama. Rajasa mengatakan ia ingin mengajak Pita mengunjungi salah satu temannya yang kebetulan istrinya baru saja melahirkan.
Tentu saja Pita dengan suka rela menuruti ajakan Rajasa. Toh dia juga tak mempunyai kegiatan apapun. Maka begitu mobil Rajasa tiba di depan indekost Pita, gadis itu segera memasuki mobil yang membawanya pergi dari indekostnya.
Mereka tak langsung menuju rumah teman Rajasa. Ada beberapa barang yang ingin Rajasa beli sebagai buah tangan untuk sang bayi baru lahir. Mereka pun menuju salah satu toko perlengkapan bayi yang menyediakan berbagai kebutuhan bayi.
"Kita kok udah mirip banget ya, sama pasangan yang bakalan punya baby. Tuh sama si mbaknya tadi sampai bilang ayah-bunda." Pita terkikik saat memilih baju-baju bayi di hadapannya. Salah satu pramuniaga yang melayani mereka sepertinya sempat salah paham. Gadis itu mengira Rajasa dan Pita adalah pasangan suami istri.
"Diaminkan aja, Pit. Semoga disegerakan," balas Rajasa lembut menyunggingkan senyum.
"Ih, apanya yang diaminkan, sih. Aneh deh bercandanya." Pita mencoba tertawa gugup. Tiba-tiba merasa canggung dengan ucapan pria itu. Hah... Lagi-lagi pria itu selalu melemparkan candaan yang membuat dada Pita kembang kempis. Tidak tahu apa dia jika Pita yang terkenal jomblo akut ini tak pernah punya pengalaman berdekatan dengan laki-laki.
"Semoga menjadi ayah-bunda segera," terang Rajasa lagi yang seketika membuat Pita mengerucutkan bibirnya. Ini orang niat banget bikin baper anak gadis orang. Pita bergumam dalam hati.
"Iyain aja deh. Biar gak jadi jomblo mengenaskan," putus Pita yang kembali sibuk memilah baju-baju di depannya.
"Ini beneran lucu-lucu deh, Mas. Coba aku udah punya baby, duh bakalan diborong deh ini semua." Pita tak henti berceloteh mengagumi baju-baju yang ia pegang. Jangan lupakan bandana, sepatu, juga asesoris bayi lainnya yang benar-benar membuat Pita tak henti-hentinya berdecak kagum.
"Tahun depan semoga sudah punya."
"Punya apa?" Pita tak paham dengan ucapan Rajasa.
"Katanya pengen punya baby. Semoga tahun depan sudah punya." Pita meletakkan kaus berbahan lembut di tangannya.
"Bercandanya keterlaluan deh. Jangankan punya baby. Status aja masih jomblo."
Rajasa tak melanjutkan topik bahasannya. Ia masih memikirkan sesuatu dalam otaknya.
"Lain kali kamu mau kan melakukan hal yang sama seperti ini namun dengan tujuan berbeda." Lama terdiam suara Rajasa kembali terdengar saat Pita asyik memilah sepatu berwarna-warni di depannya.
"Eh? Maksudnya apa?" Pita tak begitu jelas menangkap maksud pertanyaan Rajasa.
"Kamu mau kan jika suatu saat kita melakukan hal ini lagi. Tentu saja dengan tujuan berbeda. Tidak untuk mencarikan buah tangan untuk bayi temanku lagi."
Pita menghentikan gerakannya sejenak untuk berpikir. Tak lama kemudian ia mengangguk tanpa beban.
"Tentu saja." Tanpa Pita sadari Rajasa tersenyum penuh arti. Sepertinya gadis itu masih tak paham dengan apa yang ia pikirkan.
Tak lebih dari empat puluh lima menit mereka meninggalkan tempat yang membuat Pita betah berlama-lama itu. Rajasa mengarahkan mobilnya menuju rumah temannya.
"Mas Rajasa kok hafal banget jalanan di sini. Emang dulu kuliahnya di sini ya?" Pita sedari awal memang begitu heran. Pria yang sedang berkonsentrasi pada jalanan di depannya itu memang terlihat begitu mengenal kota ini. Sejak mereka tiba di Malang tak sekali pun Rajasa menanyakan arah yang harus mereka tuju.
"Aku kuliahnya dulu di Bandung. Terus lanjut Pasca sarjananya di sini."
"What! Jadi Mas Rajasa sudah menempuh program strata dua. Ck, bagaimana mungkin." Pita tak mampu menutupi keterkejutannya.
"Kenapa, Pita? Heran ya, kenapa orang seperti saya bisa sampai menempuh program pasca sarjana?"
"Bukannya gitu. Emm... Gimana ya. Tapi kan Mas nggak kerja kantoran gitu," Pita bingung bagaimana cara mengungkapkannya tanpa harus membuat Rajasa tersinggung. Selama ini setahu Pita, orang-orang yang memiliki latar belakang pendidikan cukup tinggi biasanya adalah para pekerja kantoran atau juga pegawai pemerintah. Bukan tipe pekerjaan yang seperti Rajasa miliki saat ini.
"Nggak usah sungkan ngomongnya, Pit. Aku tahu kok maksud kamu. Rata-rata memang setiap orang yang berpendidikan tinggi adalah pegawai kantoran. Nah kalau sekarang aku balik pertanyaannya. Aku sengaja menempuh pendidikan itu agar aku benar-benar menguasai apa yang aku lakukan sekarang bagaimana? Di keluarga kami, pendidikan adalah nomer satu. Semua saudara-saudaraku tak berhenti menempuh pendidikan mereka sampai strata satu saja. Mas Indra, Irda juga. Coba lihat kakak-kakak Dian. Apa kamu tahu kalau Raihan dan Haikal juga tak hanya mendapatkan gelar sarjana saja? Selama masih mampu kenapa tidak belajar. Dian pun juga begitu. Kalau dia mau lanjut setelah ini sih oke saja. Tapi sepertinya Dian agak sedikit malas." Pita seketika terbahak saat Rajasa membahas sepupunya itu. Dian memang bukan mahasiswi rajin yang selalu menomer satukan kuliah. Gadis itu memang terlihat sedikit santai menjalani kuliahnya. Namun mungkin karena otaknya yang sudah encer, dengan santaipun gadis itu masih bisa mendapatkan indeks prestasi yang begitu memuaskan.
Tak sampai tiga puluh menit mereka sudah tiba di tempat tujuan. Seorang pria muda yang sepertinya seumuran Rajasa membuka pintu pagar setelah Rajasa mengucapkan salam. Pria itu tambah tersenyum lebar menyambut kedatangan Rajasa dan Pita.
"Loh, awakmu mrene kok gak ngomong-ngomong. Karo sopo iki? Ojobmu ta?"¹ pertanyaan berbahasa jawa itu seketika terlontar begitu sang tuan rumah melihat sosok Pita berdiri di belakang Rajasa dengan senyum malu-malu.
###
1 = Lo, kamu ke sini kok nggak ngomong-ngomong. Sama siapa ini? Istrimu ta?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top