Tujuh
###
Hingga tengah malam rumah yang terlihat ramai sejak matahari masih bersinar itu tak menunjukkan tanda-tanda sepi. Meskipun begitu, sang tuan rumah tampaknya sudah tak mampu menahan kantuk lagi. Pasangan baya itu akhirnya beranjak meninggalkan suasana yang sangat hangat itu menuju kamarnya.
Tak lama kemudian Indra dan sopir keluarga juga berangkat. Sebuah koper berukuran sedang tampak teronggok di bagasi. Setelah berpamitan pada semua orang dan berpesan beberapa hal ia pun meninggalkan rumah.
"Mbak, kalau ngantuk tidur aja." Dian memandang Tari kasihan. Wanita itu sepertinya terlihat kelelahan.
"Nggak kok, Di. Aku masih pengen ngobrol-ngobrol sama kalian." Tari membalas kemudian mendudukkan dirinya di sofa ruang tengah, tak jauh dari Dian dan Ical yang mulai mengubah posisi sofa ruang tengah dalam satu deret untuk membuat ruangan semakin lega. Mereka semua akan tidur di ruangan ini.
"Tari tuh kelelahan fisik, tapi batinnya segar luar biasa. Maklum aja dia habis ambil jatah di muka." Tiba-tiba saja Raihan sudah ikut bergabung dengan mereka. Pria itu sepertinya sudah meletakkan ponselnya yang sedari tadi ia gunakan untuk berkomunikasi dengan tunangannya.
"Jatah apaan emang, Mas?" Dian mengernyit tak paham.
"Hush... Di sini anak kecil semua, Rei, kamu juga masih kecil. Ngomongnya sensor dikit." Wajah Tari mulai memerah.
"Nah, aku yang disalahkan. Tadi tuh kamu sama Mas Indra ngapain aja? Kok rambut pada basah semua malam-malam. Sumpah suara kalian tuh berisik banget. Aku tadi kebetulan lewat depan kamar kamu karena ingin mengambil selimut di kamar Rajasa. Meskipun terburu-buru pastikan pintu kalian tertutup rapat sebelum bekerja." Tawa keras seketika terdengar. Hanya Pita yang tak berani terbahak. Ia bingung dengan perkataan kakak sulung Dian itu. Lagi pula, saat ini sudah cukup larut. Ia ingin mengganti bajunya dengan baju tidur agar lebih nyaman. Jadi saat ia benar-benar mengantuk ia akan segera tidur tanpa direpotkan dengan mengganti baju.
"Heh sudah, gak usah lanjut. Tuh Pita kayaknya mau ngomong. Ada apa, Pit?" Raihan menginterupsi.
"Emm... Itu. Aku pengin ganti baju, Mas." Pita melirik Dian berharap temannya itu mengerti maksud ucapannya. Ia ingin ditemani saat mengganti bajunya.
"Oh, itu. Sana pakai kamar Rajasa aja. Jangan masuk ke kamar Tari. Baunya pasti mengerikan," jawab Raihan yang lagi-lagi disambut tawa keras semua orang kecuali Pita.
"Di, ayo." Pita lagi-lagi berusaha mengajak Dian mengikutinya. Namun, Dian hanya memberikan kedikan di bahunya.
"Berangkat sendiri aja, Pit. Kamar Mas Rajasa tinggal loncat doang kok. Tuh baju tidurnya ada di situ. Ambil aja sama tasnya sekalian kalau mau cuci muka. Facial foam, semuanya ada di situ kok," tunjuk Dian pada tote bag yang tergeletak di atas sofa tak jauh dari mereka.
Mengembuskan napas pasrah akhirnya Pita meraih tas yang ditunjuk Dian. "Kamu nggak mau ganti baju? Nggak enak lo, gerah." Sekali lagi Pita berusaha membujuk Dian.
"Nggak ntar aja. Udah sana kamu duluan. Numpang ke kamar mandi sekalian. Kamu biasanya kalau tidur kan suka bolak balik ke kamar mandi."
Pita seketika mengerucutkan bibirnya. Duh, bongkar rahasia aja kalau dia sering bangun karena ingin buang air kecil dan lebih parahnya Pita sering ketakutan untuk pergi ke kamar mandi sendirian.
"Ayo aku antar, Pit." Suara dalam seseorang terdengar di belakang tubuh Pita. Pita menoleh ke belakang. Didapatinya Rajasa yang sudah tersenyum teduh. Duh, nih orang kenapa nggak ada sedikit pun kurangnya. Cakep iya, suara beratnya juga bikin dada deg-degan.
Pita melirik Dian meminta persetujuan. Gadis itu hanya mengerakkan dagunya bermaksud agar Pita mengiyakan kalimat Rajasa. Menjatuhkan bahu pasrah sekali lagi Pita mengangguk pelan.
"Maaf merepotkan, Mas."
"Nggak kok. Ayo aku tunjukin kamarnya." Pria itu berlalu dari hadapan Pita memasuki bagian dalam rumahnya kemudian berbelok sebelum kakinya mencapai ruang makan.
Mata Pita mengedar ke beberapa sudut rumah. Pasti akan mengerikan jika misalnya Pita hanya sendirian di rumah sebesar ini. Pita pasti ketakutan dan akan mengunci diri di kamar enggan keluar hingga ada seseorang yang datang.
Ck... Kenapa ia harus berkhayal berada di rumah besar ini? Ada-ada saja. Mungkin efek kagum akan apa yang tersaji di hadapannya membuat pikiran Pita menjalar kemana-mana.
"Ini kamarnya, Pita. Silahkan masuk." Rajasa membuka sebuah pintu. Pita baru sadar jika mereka sudah sampai di depan kamar Rajasa.
Saat benda persegi itu terayun, pemandangan kamar yang luas seketika muncul di hadapan Pita. Ia melangkah pelan mengikuti langkah Rajasa yang lebar. Tak jauh di hadapan Pita, sebuah tempat tidur berukuran besar berdiri kokoh di sana.
Pita mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang benar-benar rapi itu. Sebuah sofa bed juga tampak di sana di temani meja oval mungil. Pasti akan sangat nyaman jika membaca sambil merebahkan badan di sana.
"Kamar mandinya di sana. Ada handuknya juga jika ingin mencuci muka," tunjuk Rajasa pada sebuah pintu di pojok kamar. Pita kira pria itu akan meninggalkannya sendirian dan kembali berkumpul dengan para sepupunya setelah menunjukkan letak kamar mandi. Namun, ia salah. Pria itu lagi-lagi berjalan mendahuluinya, kemudian membuka pintu kamar mandi untuk Pita.
Tak hanya sampai di situ. Ia juga menyalakan lampu kamar mandi, menarik selembar handuk berukuran sedang di laci di atas wastafel juga mengeluarkan sikat gigi baru dari sana.
Pita yang tak menduga tindakan Rajasa hanya diam sambil mengamati gerakan pria itu dari kaca di atas wastafel di hadapannya. Menikmati kesibukan pria itu yang mencari-cari entah apa dari laci di atas sana tanpa menyadari jika gadis di hadapannya diam-diam mengamatinya.
"Mas Rajasa nggak usah repot-repot. Aku bawa perlengkapanku sendiri kok. Terima kasih banyak atas bantuannya."
Kalimat Pita seketika menghentikan gerakan pria itu. Ia memandang lurus ke depan pada kaca di hadapannya. Bayangan tubuh Pita dan dirinya terpantul di sana. Jelas. Sangat jelas.
Gadis di hadapannya itu ternyata hanya setinggi dagunya saja. Wajahnya bersih tanpa ada apapun di sana. Tak ada tahi lalat, atau bahkan jerawat. Rambutnya lurus ikal terikat asal membentuk sebuah cepolan dan sedikit acak-acakan. Leher jenjangnya terlihat jelas di sana. Putih mulus kontras dengan warna hitam dress yang dikenakan.
Pandangan Rajasa turun ke bahu juga tubuh Pita yang terpantul di sana. Gadis di depannya ini bisa dikatakan tak terlalu tinggi tapi juga tidak bisa dikatakan pendek. Bentuk tubuhnya juga bisa dibilang cukup proporsional meskipun cenderung sedikit kurus.
Rajasa berdeham tak nyaman setelah beberapa saat mengamati Pita dalam diam. Apalagi saat pandangan mereka akhirnya bertemu pada kaca yang terlihat begitu terang itu.
"Aku nunggu di luar ya. Kalau perlu sesuatu jangan sungkan untuk memanggil."
Pita tergeragap buru-buru mengiyakan. Gadis itu beberapa saat yang lalu juga larut dalam pandangan Rajasa yang jelas-jelas terlihat mengamati dirinya dari pantulan kaca dihadapannya. Jangan lupa, aroma parfum pria itu yang menguar begitu saja semakin membuat Pita enggan mengalihkan dirinya barang sejengkal saja dari hadapan Rajasa.
Begitu Rajasa keluar dari kamar mandi, Pita segera menutup pintu di sebelahnya pelan. Menarik napas berkali-kali seolah ingin melegakan dadanya yang dari tadi terasa sesak. Apalagi saat pandangan Rajasa mulai menelusuri dirinya di kaca.
Pita segera menghidupkan kran. Mengalirkan air di sana, tapi kemudian mematikannya kembali. Wajahnya memanas entah karena alasan apa ia juga tak tahu. Berdecak, ia segera membuka tote bag yang ia bawa dan mengeluarkan isinya. Baju tidurnya yang berbahan lembut, juga peralatan untuk kebutuhan kamar mandinya. Hal pertama yang ia lakukan adalah menggosok gigi juga membersihkan wajahnya. Butuh sekitar lima belas menit bagi Pita untuk menyelesaikan semua kegiatannya di kamar mandi.
Saat tangannya menggerakkan gagang pintu kamar mandi dan membukanya, pemandangan Rajasa yang merebahkan diri di atas kasur besar dengan televisi yang menyala seketika tertangkap matanya. Pria itu diam tak bergerak. Sepertinya tertidur.
Saat langkah Pita semakin mendekat, dugaan Pita benar. Pria itu ternyata tertidur. Pasti ia sangat lelah. Apalagi saat ini sudah memasuki dini hari. Waktu bagi semua orang untuk menikmati tidur nyamannya.
Menoleh ke sekeliling untuk memastikan tidak ada orang lain di kamar itu. Pita mendekati sosok yang ia yakin benar-benar terlelap. Dengkuran halus tertangkap telinga Pita, menambah keyakinan Pita jika pria itu sudah terbawa ke alam mimpi.
Ditatapnya lekat sosok di hadapannya. Tak ada yang berkurang dari ketampanan pria itu meskipun dalam posisi lelap. Jika diperhatikan lagi, rahang kokoh pria itu juga sudah mulai ditumbuhi bakal janggut tipis.
Pita berdecak, mengumpat dalam hati. Untuk apa ia melakukan hal ini? Diam-diam bak pencuri mengamati pria yang bukan siapa-siapanya. Untuk apa? Pita juga tidak tahu.
Memundurkan langkahnya pelan, Pita akhirnya tak melanjutkan aksinya yang jika diamati sudah seperti penguntit atau mungkin juga pencuri.
Namun, detik berikutnya Pita dilanda kebingungan, apa yang harus ia lakukan? Apakah membangunkan pria itu atau membiarkannya saja? Ah, sepertinya pilihan kedua lebih aman. Pita beranjak meninggalkan kamar Rajasa perlahan. Berusaha tak membuat suara agar sang pemilik kamar tak terganggu. Lagi pula jika ia membangunkan pria itu, ia khawatir pria itu justru tidak suka jika tidurnya terganggu.
Atau mungkin Pita akan memberitahu Dian. Gadis itu bisa membangunkan kakak sepupunya itu tanpa diliputi kekhawatiran akan akibat yang akan didapatnya kemudian. Ya, Pita sudah menemukan jawabannya.
###
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top