Tiga

"Kenalin, Pit. Ini Mas Ical." Dian segera berucap memecahkan kekaguman sahabatnya pada sosok sang kakak.

Pria dengan tubuh tegap menjulang itu menarik bibirnya membentuk sebuah senyuman. Ia kemudian mengulurkan tangan untuk bersalamam pada gadis di hadapannya yang tak segera memberikan respons.

Dian yang paham dengan sikap sahabatnya segera menyenggol lengan Pita agar gadis itu segera menyambut uluran tangan sang kakak.

"Pit." Dian kembali berucap.

"Eh, oh. Iya." Pita tergeragap. Ia tersenyum blo'on menyadari kebodohannya. Inilah kelemahan Pita, terlalu mudah takjub pada makhluk berwajah di atas rata-rata. Ditambah lagi dada bidang pria itu yang terlihat kokoh dan begitu menggiurkan. Ehmm... Sandarable, begitulah kira-kira ucap batin Pita.

"Oh, hai, Mas. Aku Pita." Pita mengulurkan tangannya menyambut tangan kakak Dian yang sedari tadi menggantung menunggu sambutan tangannya.

"Haikal.l," jawab pria itu yang membuat alis Pita seketika bertaut. Dia tak salah dengar, kan? Siapa sih nama kakak Dian? Haikal atau Ical?

"Eh, maaf namanya Haikal atau Ical sih, Mas? Dian bilang barusan nama kamu Ical." Pita menggaruk keningnya yang tak terasa gatal. Seketika saja kedua sosok di hadapan Pita terbahak yang justru membuat Pita semakin kebingungan.

"Kok malah ketawa, sih? Ada yang lucu?" Setelah kedua kakak beradik itu menghentikan tawanya, sang kakak pun bersuara.

"Maaf, Pit. Ini berhubungan dengan kebiasaan masyarakat di sini. Kami memang sering memanggil seseorang jauh berbeda dengan nama asli mereka. Salah satu contohnya aku. Nama Haikal dipanggil Ical. Ada yang namanya Fathorrahman menjadi Pa'ong, Ismail dipanggil I'ik dan masih banyak lagi yang lain. Aneh, kan? Tapi justru itulah uniknya kami." Ical menjelaskan.

"Jadi jangan heran kalau ada yang panggil Dian dengan panggilan Didin." Ical menambahkan yang disambut Pita dengan tawa yang cukup keras. Dian seketika mengerucutkan bibirnya. Tanpa berbasa-basi ia mendahului kakak juga sahabatnya yang masih belum bisa menghentikan tawanya memasuki mobil yang terparkir tak jauh dari mereka berdiri.

Begitu mendapatkan perintah dari Ical, Pita pun segera menyusul Dian yang sudah memasuki mobil terlebih dahulu. Kali ini Pita dan Dian cukup beruntung. Travel bag yang menjadi sumber perdebatan mereka sejak pagi saat mereka berangkat tadi sudah diambil alih oleh Ical. Pria itu tanpa bicara, langsung mengangkat benda berat itu dan meletakkannya di bagasi. Setelahnya ia kembali ke kursi kemudi dan bersiap memacu mobil menuju rumahnya.

Di hari yang cukup terik meskipun matahari sudah mulai bergerak turun, Pita akhirnya sampai di kampung halaman Dian. Sumenep. Salah satu kabupaten yang terletak di ujung timur Pulau Madura.

Kabupaten dengan julukan Sumekar ini---yang merupakan akronim dari Sumenep Karaton karena semenjak dahulu di wilayah ini terdapat puluhan keraton atau istana sebagai pusat pemerintahan sang Adipati---terbentuk pada tanggal 31 Oktober 1269.

Nama Sumenep atau dalam bahasa Madura Songenep diartikan sebagai lembah atau cekungan yang tenang.

Kabupaten dengan ketinggian daratan sekitar tiga meter dari permukaan laut ini tercatat sebagai kabupaten penghasil MIGAS terbesar di Madura. Saat ini tercatat, setidaknya ada delapan perusahaan MIGAS yang melakukan eksploitasi dan dua perusahaan yang masih melakukan eksplorasi. Daerah ini juga termasuk ke dalam lima puluh daerah terkaya di Indonesia*

"Di sini udaranya selalu menyengat ya, Mas? Baru beberapa menit turun dari bus, wuih... Kulitku kayaknya bunyi cekit, cekit." Pita menghempaskan dirinya di jok belakang mobil Ical. Sedangkan Dian duduk di sebelah kakaknya yang mulai menjalankan mobil menuju rumah mereka.

"Sepanas-panasnya udara di sini masih sehat, Pit. Bebas polusi. Kendaraan aja masih enggak sebanyak di kota besar. Jadi kamu enggak usah khawatir." Dian meraih tisu dihadapannya kemudian melemparkannya ke pangkuan Pita yang terlihat berkeringat.

"Sabar ya, Pita. Pendingin udaranya masih baru dihidupin." Ical menambahi.

"Di, kamu kok enggak bilang sih kalau di sini panas banget. Bisa gosong nih aku. Enggak bawa Sunblock lagi. Apalagi sekarang kan musim kemarau " Pita mengoceh tak tahu malu.

"Bukan gosong Pita. Kamu cuma akan terlihat makin eksotis. Yakin deh kamu pasti bakal sekece chef cantik Farah Queen." Dian terkekeh menahan geli melihat bibir Pita yang mengerucut.

"Nggak usah khawatir, Pit. Mau dijemur, dipanggang sekalipun kamu masih tetap cantik kok." Ical menimpali yang seketika membuat wajah Pita merona menahan malu.

"Tuh, Pit dengerin kata pakar. Kalau Mas Ical bilang cantik ya berarti beneran cantik. Seleranya Mas Ical ini lumayan tinggi lo."

Pita seketika bangkit, dicondongkan tubuhnya ke depan untuk berbisik di telinga Dian. "Kamu kok enggak pernah kasih tahu kalau punya kakak kayak Mas Ical. Jahat banget sama teman. Pengkhianat." Pelan Pita berbisik. Tak ingin pria di sebelah Dian mendengarkan kalimatnya.

"Salah sendiri dari dulu enggak mau diajak ke sini." Dian menjawab cuek yang langsung dihadiahi Pita dengan cubitan kecil yang cukup pedih.

"Kecilin suara kamu atau aku mutilasi nanti malam," bisik Pita lagi. Akhirnya Dian hanya mengedikkan bahu. Tak ingin merespon ucapan sahabatnya itu. Sedangkan Ical hanya tersenyum menahan geli melihat ulah adik dan sahabatnya itu.

Benar yang Dian sampaikan. Sahabat Dian itu memang gadis yang menyenangkan. Dan jangan lupakan fakta bahwa gadis itu juga terlihat begitu bersinar. Ical menyebutnya seperti itu karena Pita tak hanya cantik dia juga menarik dan menyenangkan. Tak heran jika Dian betah bersahabat dengannya sejak ia masuk di bangku kuliah.

"Ini masih lama ya perjalanannya?" Pita penasaran dengan sisa perjalanan mereka. Apakah ia masih akan melewati tempat-tempat baru yang menarik untuk dilihat?

"Lima menit lagi sampai, Pit. Rumah kami di tengah kota kok." Dan benar saja setelah menghabiskan waktu tak lebih dari lima menit, mobil yang Pita naiki sudah memasuki sebuah rumah berpagar kokoh. Mobil pun memasuki halaman rumah yang pagarnya terbentang lebar itu.

Begitu Ical mematikan mesin mobil, ia pun membuka pintu kemudi kemudian mengambil travel bag Dian di bagasi. Pita mengikuti langkah pria bertubuh kokoh itu dengan pandangannya. Ck... Dian benar-benar menipunya. Bagaimana mungkin bersahabat selama hampir empat tahun, Dian tak sekali pun pernah menunjukkan wajah kakaknya itu. Atau mungkin Pita yang terlalu cuek? Tak terlalu banyak bertanya pada Dian tentang keluarganya.

"Pit, ayo turun!" Dian tiba-tiba sudah membuka pintu di samping Pita. Pita bahkan heran kapan gadis itu turun dari mobil. Kenapa dia tak menyadarinya?

"Oke." Pita keluar dari mobil kemudian mengikuti langkah Dian. Diedarkannya pandangan ke sekeliling halaman rumah Dian. Halaman yang lumayan luas. Dan bangunan kokoh yang berdiri di hadapannya sudah pasti adalah rumah Dian.

"Di, iki omahmu?¹" Pita mempercepat langkahnya menyejajari Dian.

"Bukan. Ck... Ya tentu rumahku lah. Ngapain aku ngajak kamu ke rumah orang." Dian bersungut sebal dengan ketololan sahabatnya. Meskipun Pita sering berbicara menggunakan bahasa jawa, Dian tetap mengerti. Hampir empat tahun menempuh pendidikan di Malang yang mayoritas penduduknya berkomunikasi menggunakan bahasa jawa membuatnya sedikit banyak bisa berkomunikasi menggunakan bahasa jawa.

"Di, ternyata kamu anak e wong sugih². Dasar pengkhianat, kenapa kamu suka banget terlihat kere." Pita menyinggung sahabatnya.

"Orang kere nggak mungkin bisa traktir kamu bolak balik, Pit." Dian menyahut cuek.

"Itu tadi kamu sok kere pakai naik bus kayak barusan, lupa? Tadi Mas Ical bilang kamu mau dijemput ke Malang tapi malah nolak."

"Rewel banget sih jadi orang. Terima keadaan kenapa sih. Aku juga yang jadi donaturnya." Ya seperti itulah Dian dan Pita. Tak ada hari tanpa berdebat dan bertengkar. Selalu ada topik yang bisa dijadikan perdebatan. Namun, di situlah uniknya persahabatan mereka. Persahabatan yang tak pernah sekalipun berkurang kadar kedekatannya. Mereka saling menjaga, saling mengingatkan. Jauh dari orang tua dan keluarga membuat persahabatan mereka semakin erat.

Pita akhirnya pasrah. Ia menutup mulutnya. Dian sudah pasti tahu dengan sifat juga kata-katanya yang cenderung kasar, namun bagaimana dengan keluarganya? Mereka baru pertama kali bertemu Pita. Pita tak mau kesan pertama yang ditangkap keluarga Dian adalah Pita si gadis tak punya sopan santun.

Saat langkah mereka hampir mencapai teras rumah besar itu, pintu besar di hadapan mereka terbuka lebar. Menampakkan dua sosok yang Pita yakin adalah ayah dan Ibu Dian. Pita pernah melihat wajah mereka di salah satu akun sosial media Dian.

"Wah, anak kesayangan ibu sudah pulang. Gimana, lancar, kan, perjalanannya? Capek nggak? Kamu sih nggak mau dijemput." Wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang sudah tak lagi muda itu dengan terburu-buru menubrukkan dirinya pada tubuh Dian. Pita hanya mengamati interaksi antara ibu dan anak itu sambil tersenyum sendu. Ia jadi merindukan ibunya.

Pelukan itu pun berpindah. Kini giliran ayah Dian. Dari perawakan pria baya itu, Pita tahu pasti tubuh gagah Ical didapat dari sang ayah. Sedangkan wajah rupawan Dian dan Ical adalah perpaduan wajah kedua orang tua mereka.

Setelah beberapa menit larut dalam suka cita, tiba-tiba ibu Dian berteriak kegirangan, "Di, ini teman kamu ya? Siapa namanya, Nak? Pita, ya? Pitaloka."

Pita mengulas senyum, mengiyakan lalu segera meraih punggung tangan wanita itu dan menciumnya. Hal yang sama juga ia lakukan pada ayah Dian.

Selang beberapa detik berikutnya Pita merasakan tubuhnya tertarik ke depan. Ternyata ibu Dian yang menarik tubuhnya. Wanita itu memandangnya takjub sambil memegang kedua pundak Pita.

"Duh, raddhinna, ebo' enda' kiya andi' manto padana jeriya.³"

Pita tersenyum canggung tak mengerti dengan apa yang baru saja ibu Dian ucapkan.

###
* Menurut majalah Warta Ekonomi tahun 2012 dengan urutan ke 31 dengan indeks total 36.

1 = Di, ini rumahmu?
2 = Di, ternyata kamu anaknya orang kaya
3. Duh, cantiknya. Ibu juga mau punya mantu seperti ini.

###

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top