Sepuluh
"Ya ampunnn.... Saljuuuu..." Pita seketika berlari mendahului orang-orang yang berjalan di depannya. Pandangannya lurus ke depan menatap takjub tumpukan benda berwarna putih serupa salju di hadapannya.
"Bodoh!" Sebuah tonjokan ringan terasa di sisi kepalanya membuat Pita mengaduh mengelus kepalanya. Bersungut sebal dipelototkan matanya pada Dian yang sudah berdiri di sisinya.
"Apaan sih. Pakai nonjok-nonjok. Sakit tahu."
"Lebay."
"Apanya yang lebay. Tuh lihat kan mirip salju," Pita membela diri. "Aku kan belum pernah lihat semua ini sebelumnya. Wajar dong aku ngerasa emejing gitu," lanjut Pita.
"Yuk, kamu mau ambil foto, kan? Mumpung belum terlalu siang. Nanti kalau sudah panas pasti kamu nggak akan kuat." Ical menengahi pertengkaran Pita dengan adiknya. Pita mengerucutkan bibirnya pada Dian dan berlalu dari hadapannya.
"Di sana bagus tuh, Pit." Ical menunjuk pada tumpukan butiran garam tak jauh dari mereka. Sebuah kincir angin raksasa tampak menjulang di sana.
Pita mengangguk antusias. Ia melepas tas punggungnya dan mengaduk isinya demi mendapatkan ponselnya. Namun, belum sampai tangannya mendapatkan benda persegi itu suara Ical mengalihkan niatnya.
"Nggak usah pakai ponsel kamu, Pit. Nih ada kamera. Dijamin pasti lebih bagus." Ical mengangkat sebuah kamera di tangannya, menunjukkanmya ke hadapan Pita. Pita heran, kapan pria itu membawa kamera. Ia bahkan tak melihat benda itu sedari memasuki mobil.
"Jelas jauh lebih bagus dong, Mas. Kamera mehong." Pita menunjuk kamera di tangan Ical yang Pita tahu berharga cukup fantastis itu.
"Berarti aku bakalan terlihat kece kayak para selebgram gitu ya, Mas?"
"Kamu mau diapain aja ya tetap cantik. Bahkan difoto dengan kamera ponsel murahan," jawab Ical geli.
"Cie, cie... Yang sudah mulai kode-kode. Hati-hati, Pit. Nih orang kadang suka pe-ha-pe in cewek." Dian menyindir yang seketika mendapatkan gelak tawa dari Rajasa dan Raihan.
Pita tak menanggapi gurauan mereka semua ia terus berjalan menyusuri pematang-pematang yang membatasi petak-petak garam yang tiap isi petaknya terlihat berbeda. Ada yang masih berupa air ada juga yang sudah berbentuk endapan tebal berwarna putih, juga ada yang masih bercampur endapan tipis dengan air.
Pada dasarnya pembuatan garam terdiri dari proses pemekatan yaitu proses menguapkan air laut dan proses kristalisasi. Proses pembuatan garam sangat dipengaruhi oleh cuaca dan mutu air laut.
Cuaca di Pulau Madura terkenal panas. Kelembapan udara rata-rata delapan puluh persen dan rata-rata curah hujan pertahun 186 mm. Musim kemarau bisa berlangsung lebih lama yaitu empat sampai lima bulan dalam setahun.
Puncak kemarau terjadi pada bulan Agustus dengan curah hujan 0 mm. Kondisi cuaca seperti ini sangat bagus untuk produksi garam, karena akan mempercepat proses penguapan dimana semakin besar penguapan maka semakin cepat proses pengendapan dan semakin besar jumlah kristal yang mengendap.
Tidak banyak sungai yang bermuara di selat Madura menyebabkan kontaminasi air sungai atau air tawar termasuk kecil. Hal ini berdampak pada mutu air laut di Madura yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan garam.
Semakin banyak kontaminasi air tawar akan membuat waktu penguapan menjadi lebih lama. Karena sedikit kontaminasi, garam Madura bisa berkualitas baik dan proses produksinya lebih cepat. Pada akhirnya bisa lebih sering panen dan produksi garam bisa meningkat.
"Ini gimana sih cara ngambil garamnya? Cuma pakai cara tradisional kayak gini aja, ya?" tanya Pita sambil mengangkat pengais garam berbahan kayu di tangannya.
"Mirip alat pengepel lantai ya bentuknya," kikiknya kemudian. "Kalau ngumpulin butiran-butirannya pakai escavator atau alat berat lainnya masak nggak bisa? Bisa rontok tuh tangan kalau cuma dikerjain pakai tangan. Badan juga jadi sekering krupuk kalau berjemur terus-terusan."
"Kalau pakai escavator atau alat berat lainnya nggak mungkin, Pit. Tanahnya bisa ikut terangkat dan justru alat beratnya akan terbenam ke dalam tanah." Rajasa dengan sabar menjelaskan semua pertanyaan yang Pita ajukan tanpa menyadari jika sedari tadi kamera sudah terarah pada mereka.
Pagi itu mereka lalui dengan kegiatan yang cukup menyenangkan mengambil foto dari berbagai sudut, berbincang dengan sejumlah pekerja juga ikut turun ke tambak garam demi bisa ikut mengumpulkan benda berwarna putih itu.
Rajasa lagi-lagi dengan telaten membantu Pita yang ingin tahu cara mengumpulkan butiran garam yang benar. Meskipun selalu gagal dan hasil yang Pita dapatkan sunggguh mengecewakan karena banyaknya tanah yang ikut mengotori garam yang ia dapatkan, namun semua itu tak membuat Rajasa mengurangi senyumnya. Semangat Pita yang luar biasa membuat senyum itu tak kunjung hilang. Gadis itu tak peduli dengan tangan dan kakinya yang kotor juga keringat yang perlahan timbul di wajah putihnya.
Menjelang siang mereka semua pulang setelah Rajasa memberi beberapa pesan kepada para pekerjanya. Sore nanti ia akan kembali untuk mengecek hasil yang mereka dapat seharian ini. Lagi pula ada tambak di area berbeda yang harus ia lihat. Ia ingin memastikan sistem pegaraman modern yang telah ia lakukan beberapa tahun terakhir sudah berjalan dengan semestinya atau tidak.
Ya, ia tidak mungkin hanya mengelola tambak garamnya dengan sistem tradisional saja. Cara modern terus ia coba kembangkan meskipun tidak menyeluruh di semua tambak garamnya. Butuh dana yang tidak sedikit jika ingin mengubah itu semua.
"Nanti kalau aku nikah pengen buat foto pre wedding di sana." Pita tiba-tiba menyelutuk.
"Di sana di mana, Pit?" Raihan bertanya mewakili saudara-saudaranya yang merasa aneh dengan pernyataan Pita.
"Tentu aja di tambak garam tadi, Mas. Keren banget kali, ya. Naik di atas sana terus dari kejauhan tampak petak-petak air. Apa lagi kalau sudah mulai senja," jawab Pita sambil menerawang membayangkan apa yang ia ucapkan.
"Make up kamu bakalan luntur dan belum lima belas menit di sana kamu sudah gosong dan begitu hari pernikahan. Badan kamu belang-belang dan pasti nggak ada tuh yang namanya pengantin bertubuh mulus." Dian terbahak sendirian yang seketika mendapatkan cubitan gemas dari Pita. Saudara-saudaranya tak ada satu pun yang mengikuti ulahnya. Mungkin kasihan melihat wajah Pita yang penuh harap.
"Emang siapa Pit calonnya? Sudah ada?" Raihan melanjutkan.
"He he he... Nggak ada, Mas. Aku jomlo sejati nih. Cowok sekarang pada suka cewek yang semok-semok dan bertungkai indah. Lah aku ini apa. Wajah pas-pasan, kaki kesebelasan." Kali ini mau tak mau tawa keras terdengar memenuhi mobil yang mereka naiki.
Obrolan hangat menyertai perjalanan mereka hingga akhirnya mobil memasuki rumah Dian. Semua orang bergegas turun kecuali Rajasa. Pria itu berpamitan pulang. Masih banyak hal yang harus di kerjakan.
Musim kemarau adalah musim yang cukup sibuk. Selain mengurusi garam, ada juga tembakau yang harus ia perhatikan. Kegiatan di gudang tembakau dan garam keluarganya saat ini sedang sibuk-sibuknya. Ia malah harus mencari tenaga lepas karena jumlah pekerja yang dimiliki keluarganya tak mencukupi.
***
Sore hari setelah Pita dan Dian tidur siang selama kurang lebih dua jam, rumah Dian terlihat sepi. Hanya dua orang asisten rumah tangga yang tampak mondar-mandir menyiram tanaman hias di taman depan dan belakang juga membersihkan seluruh isi rumah Dian.
Perlu dicatat, meskipun musim kemarau dan udara Madura begitu panas, tapi rumput juga semua tanaman di taman rumah Dian tak terlihat berkurang kesegarannya. Perawatan ekstra selalu diberikan untuk menjaga tanaman-tanaman cantik itu tetap tak berkurang keindahannya.
"Di, semua orang kemana nih. Kok sepi banget." Pita yang bersiap memasuki kamar mandi setelah membantu asisten rumah tangga Dian menyiram bunga menghentikan langkah di depan pintu kamar mandi.
"Pada pergi ke acara tujuh bulanan semua."
"Emang siapa yang hamil?"
"Salah satu keluarga teman ayah. Ntar kita disuruh nyusul ke sana setelah mandi. Tadi waktu berangkat ibu berpesan ke si bibi untuk ngasih tahu kita kalau sudah bangun." Pita mengangguk mendengarkan penuturan Dian.
"Kita kesana naik apa?"
"Nanti ada yang jemput. Mobilnya dipakai semua. Mungkin Mas Ical yang bakal jemput. Kalau Mas Raihan tadi sudah berangkat duluan terus langsung ke kantornya. Nggak tahu tuh hari Minggu gini mau ngapain. Sibuk banget. Eh dari tadi nanya-nanya terus sana mandi." Dian melotot melihat Pita yang lagi-lagi akan membuka mulutnya untuk bertanya.
Gadis itu akhirnya memasuki kamar mandi. Siraman air dingin di udara yang begitu panas benar-benar memanjakan tubuhnya. Ingin rasanya Pita berlama-lama di kamar mandi. Tapi teriakan gadis itu sudah begitu mengganggu. Dian bahkan mengatakan jika ia sampai mandi di kamar Ical gara-gara Pita terlalu lama di kamar mandinya.
Bagaimana tidak lama, perutnya mulas entah apa sebabnya. Apa mungkin menu makan siangnya tadi akibat rujak cingur pedas yang telah ia nikmati. Tak puas dengan itu bahkan Pita menikmati sajian timun utuh yang dipotong ujungnya kemudian dilubangi untuk dikeluarkan bijinya untuk dihaluskan dengan cabai, petis Madura, juga cuka tradisional yang didapat dari fermentasi air dari buah siwalan. Setelah itu biji timun yang sudah halus tercampur cabai dan petis itu kembali dimasukkan ke dalam timun lalu di santap. Perpaduan pedas dan asam itulah yang pasti sukses membuat perut Pita mulas setelahnya.
Saat Pita membuka pintu kamar mandi, Dian sudah mengerucutkan bibirnya. Gadis itu juga sudah berpenampilan rapi. Pita segera bergegas memakai baju yang telah Dian siapkan di atas kasurnya. Ya, lagi-lagi baju Dian. Atau mungkin juga baju baru yang diambil dari toko ibu Dian, Pita tak tahu. Tanpa bertanya ia langsung mengenakan dress berwarna lembut itu.
Lima menit setelah Pita merapikan make up juga rambutnya. Terdengar ketukan pelan di pintu kamar. Salah satu asisten rumah tangga Dian mengatakan jika mobil yang menjemput mereka sudah datang.
Keduanya bergegas turun. Saat membuka pintu rumah, Pita dibuat kaget. Bukan Ical yang datang tapi Rajasa.
Keheranan Pita tak sampai di situ. Karena belum lima menit mobil yang mereka naiki meninggalkan rumah, Dian tiba-tiba meminta berhenti saat mobil melewati sebuah kafe. Gadis itu meminta Rajasa menurunkannya di sana dan menyuruh mereka melanjutkan perjalanan.
Pita yang kebingungan awalnya ikut turun mengikuti Dian. Namun, gadis itu melarangnya dan mengatakan akan segera menyusul mereka setelah urusannya selesai. Entah urusan apa Pita tak tahu. Saat tubuh Pita di dorong kembali menaiki mobil, mau tak mau ia menurut meskipun sejumlah tanya bergelayut di dadanya.
Dian berhutang penjelasan kepadanya. Pita tak akan melepas gadis itu begitu saja. Bagaimana mungkin gadis itu tega meninggalkannya untuk pergi sendirian dengan sepupunya. Sepupu Dian yang baru tadi malam dikenalnya. Apa lagi mereka akan pergi ke sebuah acara asing yang tentu saja tak pernah bisa Pita bayangkan suasananya akan seperti apa di sana. Di sana nanti ia akan melakukan apa? Bagaimana ia harus bersikap?
Pita mengumpat pelan atas sikapnya yang terlalu lunak pada Dian. Seharusnya tadi ia berkeras untuk membuntuti Dian. Bukan malah terjebak bersama pria asing yang luar biasa menggiurkan di sampingnya ini.
Bukannya apa. Imunitas Pita seketika melemah saat ia harus berurusan dengan pria-pria berwajah tampan bertubuh kecoklatan apalagi di tambah rahang yang sedikit kasar akibat tumbuhnya bulu-bulu halus di sekitarnya. Ough... Benar-benar cobaan.
###
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top