Sembilan

Sekali lagi saya ingetin, yang pengin baca versi cetak bisa sabar dulu nunggu ikutan PO bulan depan, ya. Kalau lebih suka baca pake hp bisa langsung ke karyakarsa. 😘😘

###

"Ayo, Pita. Tidak usah sungkan. Makanannya dihabiskan, Pita harus coba, ya. Itu salah satu menu khas untuk sarapan di sini." Rini, sang nyonya rumah melayani mereka begitu semua orang telah duduk di meja makan. Seorang asisten rumah tangga juga tampak hilir mudik membawa makanan beraroma cukup menggiurkan.

Pita mengeryitkan kening melihat makanan di hadapannya. Makanan aneh apa lagi ini? Batinnya berucap. Di depannya tampak makanan yang mirip dengan soto babat yang ia makan kemarin begitu sampai di rumah Pita. Namun, warna dan aromanya berbeda.

"Maaf, ini makanan apa ya, Bu?" Pita bertanya dengan sopan. Suara tawa tertahan tertangkap telinga Pita. Saat ia menoleh ternyata Dian dan kedua kakaknya sudah tampak tersenyum menahan tawa.

"Kenapa?" tanya Pita heran. Tak ada yang aneh kan dari pertanyaan Pita? Ia hanya menanyakan hal yang tak ia tahu.

"Semoga perut kamu nggak protes aja ya, Pit. Dari kemarin kamu cobain makanan-makanan asing yang sebelumnya tak pernah kamu makan."

Pita mengulas senyum. Mencoba berbagai menu baru bukanlah hal yang sulit bagi Pita. Ia tak pernah menampik makanan yang tersaji di hadapannya.

"Itu namanya campor." Rini yang kasihan melihat wajah Pita yang kebingungan akhirnya berucap. Pita mengalihkan pandangan pada wanita baya yang duduk di dekat suaminya itu.

"Sekilas mirip soto, tapi berkuah santan. Rempah-rempah yang digunakan juga berbeda. Campor menyuguhkan aroma kayu manis yang kental. Juga kuah berwarna kemerahan hasil dari cabai merah yang dihaluskan."

Pita mengangguk kemudian menggerakkan sendoknya pada makanan yang terlihat menggiurkan itu.

"Ini pakai bumbu kacang ya, Bu? Kok sama seperti soto yang saya makan kemarin?" Pita masih belum puas mengikis keingintahuannya.

"Iya. Yang bawah lontong, di atasnya ditambah bihun, daging, juga bumbu kacang. Dan tak ketinggalan taburan irisan bawang daun segar. Coba aja, pasti Pita suka."

Pita melebarkan senyumnya. Segera saja disendokkan sesuap makanan berkuah itu ke mulutnya. Benar yang Rini sampaikan. Makanan ini luar biasa. Gurihnya santan dipadu dengan kuah yang sedikit pedas akibat cabai merah benar-benar menggugah selera.

"Kalau kurang pedas kasih sambal lagi, Pit." Kali ini Dian yang berucap. Pita menggelengkan kepala pelan. Menelan makanan yangbia kunyah sebelum berucap.

"Nggak. Aku takut sakit perut. Kan masih mau jalan."

Sarapan mereka kali ini cukup hangat, pasangan baya pemilik rumah itu terlihat begitu senang melihat keriuhan anak, menantu, juga keponakan mereka di rumah yang biasanya sepi itu.

Usai menikmati sarapan, semua orang bergegas berkemas. Rini membawakan beragam makanan juga camilan untuk anak dan keponakannya. Saat semua orang sudah selesai dengan kegiatannya, mereka pun berangkat kecuali Tari. Wanita itu sepertinya masih cukup lelah akibat tidur terlalu larut. Ia juga enggan berpanas-panasan di tambak garam yang biasanya cukup menyengat.

Mereka semua tidak langsung ke tambak garam. Mereka akan ke rumah Dian terlebih dahulu. Mengambil beberapa barang dan keperluan mereka baru kemudian melanjutkan perjalanan.

"Yang ngurusin tambak garam sebenarnya siapa sih?" Pita bertanya penasaran. Tak mungkin kan pria-pria muda yang duduk dalam satu mobil bersamanya itu yang mengurus.

"Mas Rajasa tuh bosnya. Kan aku udah bilang kalau dia maskot keluarga kami. Saat semua pemuda di keluarga kami enggan turun ke sawah juga tambak, dialah satu-satunya yang bersedia mengotori tangan juga tak enggan berpanas-panasan. Nggak kayak kakak-kakakku nih, Pit. Pemalas. Dasar pria-pria nggak ada macho-machonya." Dian menggerutu yang hanya dijawab senyuman dari Rajasa. Hal berbeda dilakukan kedua kakaknya, mereka sontak mencibir bersamaan. Pita sejenak takjub atas penjelasan Dian. Dugaannya salah.

"Duh, yang sudah lupa tiap bulan minta jatah tambahan ke siapa," decak Raihan.

"Itu nggak ada hubungannya sama kalimatku sebelumnya. Kalian kan emang nggak mau turun ke lapangan. Habis lulus kuliah awalnya enggan balik ke kampung halaman. Nunggu dipaksa dulu baru mau pulang. Penginnya jadi orang kantoran di kota metropolitan yang tinggalnya di apartemen menjulang, tanpa kenal tetangga di kiri-kanan. Hidup bebas tanpa ingat keluarga juga ingat pulang. Nggak kayak Mas Rajasa tuh. Lulus dia langsung pulang. Mengembangkan daerahnya dan tanpa malu mengelola aset keluarga. Kalau nggak yang muda-muda lalu siapa?" Dian berceloteh menceritakan ulah kedua kakaknya.

Raihan dan Ical memang awalnya enggan pulang pulang setelah lulus kuliah. Mereka berdua malah sudah bekerja di masing-masing kota tempat mereka berkuliah sebelumnya. Namun, beberapa tahun terakhir ini akhirnya mereka sepakat kembali pulang ke kampung halaman karena Dian yang menempuh pendidikan di luar kota. Mereka tak tega jika kedua orang tua mereka kesepian tanpa ada satu pun anaknya yang berkumpul bersama mereka.

"Bijak banget, Di. Sudah kayak motivator-motivator keren itu." Rajasa menanggapi tanpa menghilangkan senyuman di bibirnya. Perhatiannya tak lepas pada jalanan di depannya.

"Mas Rajasa harus tahu kalau Mas tuh keren banget. Aku jamin para perempuan di luar sana tuh pada ngejar-ngejar, Mas."

"Jambret kali. Dikejar-kejar." Ganti Ical yang berucap.

"Ih, kalian berdua emang nyebelin. Coba tuh, Mas Rajasa ditiru."

"Passion tiap orang beda kali, Di. Raihan lebih suka mengabdi pada pemerintah, tuh kamu tahu sendiri karirnya sedang naik saat ini. Ical lebih suka berbisnis dan segala sesuatu yang berhubungan dengan teknologi, sedangkan aku lebih suka turun ke lapangan. Aku males banget berhadapan dengan laptop dan duduk diam di meja kerja. Aku lebih suka menggerakkan otot, bersosialisasi dengan orang-orang di sekitar." Rajasa membela ucapan Ical.

Semenjak lulus dari bangku kuliah Rajasa memang langsung pulang ke kampung halamannya. Keinginannya untuk mengelola usaha yang dimiliki keluarganya begitu besar akibat semakin lama aset keluarga mereka semakin tak terurus.

Para sepupunya enggan melanjutkan usaha keluarga mereka. Padahal usaha itulah yang membuat keluarga besar mereka bisa hidup lebih dari cukup hingga detik ini. Jawaban mereka rata-rata sama. Mereka ingin bekerja dan meniti karirnya di kota-kota besar di mana mereka sebelumnya berkuliah. Bagi mereka, kota kecil tempat mereka dilahirkan kurang begitu mendukung apa yang menjadi tujuan mereka.

Akhirnya setelah berunding dengan kedua orang tuanya tentang keinginannya melanjutkan usaha keluarga, kedua orang tua Rajasa akhirnya menghubungi saudara-saudaranya dan melakukan kesepakatan.

Beberapa aset saudara-saudara Suryo, ayah Rajasa yang tak terurus akhirnya dibeli oleh mereka. Namun, ada juga yang masih enggan melepasnya dan hanya meminta bagi hasil atas pengelolaan usaha mereka.

Maka sejak itulah semua usaha keluarga dipegang Rajasa. Mulai dari usaha tambak garam dan ikan, lahan pertanian, juga perahu-perahu nelayan penangkap ikan.

Rajasa yang cakap dalam bersosialisasi tak menemukan kesulitan saat ia harus menjalankan usahanya. Dibantu orang-orang kepercayaan ayahnya ia belajar dengan cepat dan akhirnya usaha yang ia kelola semakin menggurita hingga detik ini.

"Tuh, dengerin, Di. Kamu nanti juga belum tentu setelah lulus mau pulang kampung," ejek Ical. Dian hanya melengos bersungut sebal.

"Kita lihat aja nanti." Dian membalas tak mau kalah.

"Ntar kalau sudah ketemu tambatan hati di Malang, aku jamin kamu bakal enggan pulang. Kayak Mas Raihan nih, pulang nggak cuma bawa ijazah tapi juga bawa pasangan." Ical lagi-lagi mengejek membuat Dian semakin memberengut.

Raihan memang semenjak menempuh pendidikan di bangku kuliah sudah berhubungan dengan tunangannya saat ini. Ia bahkan kembali pulang ke kampung halamannya setelah bertunangan terlebih dahulu untuk mengikat hubungan mereka. Maka jadilah mereka menjalani hubungan jarak jauh. Untung saja setelah menikah nanti tunangannya bersedia pindah mengikuti Raihan.

Tak lama kemudian mobil yang mereka naiki berbelok menuju jalanan yang lebih sempit. Di depan sana hamparan berkilauan tampak jelas. Pantulan air yang tertimpa matahari terlihat menyilaukan mata. Bertumpuk-tumpuk benda berwarna putih tampak di sana.

Pita yang duduk di jok belakang ditemani Dian dan Ical sontak bangkit dari duduknya. Ia seketika menunjuk-nunjuk pemandangan di depannya.

"Itu, itu, itu garam semua?" pertanyaan yang tak perlu dijawab, ia menyadari kebodohannya.

"Iya, Pit." suara entah siapa yang menjawab Pita tak memperhatikan, matanya tertuju pada pemandangan asing yang bagi Pita menakjubkan di depannya.

"Ngapain kita jalan terus nggak berhenti di sini aja?"

"Ngapain kita berhenti di tambak garamnya orang?" sahut Dian.

Pita mengernyit dan detik berikutnya ia paham. Saking bersemangatnya ia sampai melupakan semua hal.

"Masih jauh ya?" lanjutnya.

"Sebentar lagi sampai." Dian lagi-lagi yang menjawab.

"Nanti di sana banyak orang-orang kayak gitu nggak?" tunjuk Pita lagi pada orang-orang yang sedang mengumpulkan garam menggunakan alat mirip pembersih lantai yang memanjang.

"Tenang Pita. Selain melihat orang-orang yang bekerja mengumpulkan butiran garam, kamu juga bisa ikut membantu mengumpulkannya kok. Itu pun kalau kamu mau dan tidak merasa jijik saat kaki kamu terbenam di tanah berlumpur yang kotor." Rajasa kali ini menanggapi dari balik kemudi. Sedari berangkat tadi pria itu tak henti-hentinya mengamati Pita dari balik kaca tengah mobil.

"Aku nggak pernah merasa jijik kok. Malah menyenangkan."

"Kita lihat saja pemirsa, apakah gadis di sebelah kita akan betah berpanas-panasan di terik matahari sana dengan kaki kotor menjijikkan," ejek Dian yang seketika dihadiahi cubitan yang cukup pedih pada paha gadis itu. Sontak keriuhan terjadi akibat teriakan Dian yang merasa kesakitan.

Hingga akhirnya mobil terparkir sempurna di depan sebuah rumah berarsitektur kuno, tapi terlihat cukup terawat.

"Ini kok kita parkirnya di sini? Garamnya mana?" Pita penasaran.

"Mobilnya nggak mungkin dibawa masuk ke tambak. Takut menghalangi mobil pengangkut garam. Jadi kita parkirnya di sini saja." Raihan menjawab.

"Ini rumah siapa?" Pita kembali bertanya meskipun semua orang sudah bergerak turun dari mobil kemudian mengeluarkan barang-barang yang mereka bawa di bagasi.

"Rumahnya si bos tuh. Tapi hanya digunakan untuk beristirahat pada siang hari saat bekerja mengawasi tambak seperti sekarang," tunjuk Dian pada Rajasa yang sudah bergerak memasuki teras rumah. Meletakkan entah apa di sana kemudian bergerak menuju sebuah rak sepatu di pojokan teras yang berisi kursi-kursi kayu ukir.

Pria itu meraih salah satu sepatu boots yang ada di sana dan langsung memakainya. Pita yang melihat pemandangan itu seketika melemparkan tanya.

"Ngapain pakai sepatu boots, Mas?"

"Agar lebih leluasa bergerak dan kaki kita tidak kotor."

Pita mengangguk mengerti.

"Maaf di sini tidak ada sepatu yang seukuran kamu. Jadi kamu dan Dian nggak bisa pakai sepatu kayak gini," tunjuk Rajasa pada sepatu yang telah ia pakai. Pita hanya mengangguk. Lagi pula ia kan hanya ingin melihat-lihat pemandangan saja. Sepatu boots tak mungkin ia butuhkan.

Tak lama berselang seorang pria berkulit sawo matang yang Pita duga adalah salah satu pekerja Rajasa datang. Pria itu berbicara dalam bahasa Madura---yang tak Pita pahami---kepada Rajasa. Rajasa tampak menjawab dengan ramah setiap kalimat yang dilontarkan pria itu. Dan setelahnya pria itu mengajak mereka semua berjalan mengikutinya.

Pita pasrah mengekor di belakang di samping Ical yang selalu siap menjawab apa pun pertanyaan Pita. Sedangkan di depan sana Rajasa masih terus berjalan sambil berbicara dengan pria yang mendatanginya itu. Raihan, jangan ditanya. Pria itu sudah menyumpal telinganya dengan head set untuk berkomunikasi dengan tunangan tercintanya.

Cinta. Apakah Pita nantinya juga akan melakukan hal yang sama bersama orang yang dicintainya kelak? Pita tak tahu.

###
Panjang kan? Tp Bab ini kayaknya membosankan deh😅😅.

Mampir juga ke lapak The pursuit of perfection yuk.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top