Sebelas

"Itu si Dian kenapa sih, Mas? Aneh banget lo. Ngapain juga coba, dia pakai berhenti di situ." Pita masih keheranan dengan sikap Dian baru saja. Gadis itu masih terus menerus menoleh ke belakang di mana Dian meminta diturunkan.

"Kok malah nanya aku, Pit. Yang dari tadi sama Dian kan kamu. Masak nggak tahu Dian mau ngapain." Rajasa membalik pertanyaan Pita. 

"Tadi Dian nggak bilang apa-apa kalau mau turun di kafe itu tadi. Waktu bangun tidur tadi, dia cuma bilang disuruh nyusul ibu yang katanya datang ke acara tujuh bulanan keluarganya teman ayah. Terus yang jemput Mas Ical, eh ternyata Mas Rajasa yang datang." Pita memang memanggil ayah dan ibu Dian dengan panggilan yang sama seperti Dian. Rajasa sontak menoleh. Pria itu terlihat kebingungan.

"Dian bilang gitu?"

"Iya."

Terdengar helaan napas Rajasa.

"Emang kenapa, Mas? Jauh nggak tempat acaranya diadakan?" Pita melanjutkan.

"Kamu tahu siapa nama teman Om Dibyo?" Rajasa menyebut nama ayah Dian.

"Enggak," jawab Pita dengan wajah bloon.

"Pit, yang namanya undangan tujuh bulanan itu yang diundang biasanya ibu-ibu atau setidaknya wanita. Kecuali keluarga dekat. Misalnya sepupuan seperti Dian dan aku baru seluruh keluarga hadir. Ini aja aku malah nggak tahu siapa yang ngundang. Ibu memang bilang kalau sore ini beliau diundang salah satu temannya yang sedang merayakan tujuh bulan kehamilan anaknya. Tapi cuma ibu aja yang diundang. Bahkan Mbak Tari aja nggak ikut. waktu aku berangkat jemput kamu, dia malah masih tidur."

Alis Pita menukik, ini sebenarnya apa sih yang telah terjadi? Kenapa semuanya begitu membingungkan? Siapa yang telah berbohong diantara mereka?

"Coba kamu ceritain yang jelas dari awal. Kenapa kok kamu bilang disuruh nyusul Tante Laily." Sepertinya hanya itu solusi agar benang kusut di antara mereka terurai.

Pita pun bercerita, dimulai dari ia bangun tidur tadi dan kemudian Dian memintanya bergegas mandi karena mereka disuruh menyusul ibu Dian dan seluruh keluarga yang menghadiri acara tujuh bulanan anak salah satu teman ayah Dian. Gadis itu bercerita panjang lebar hingga sampai pada kedatangan Rajasa yang tiba-tiba. Padahal Dian mengatakan Icallah yang akan menjemput mereka.

Hening cukup lama setelah Pita bercerita. Rajasa diam tak menanggapi. Pria itu tampak berpikir. Pita yang tak mendapat respons akhirnya kembali membuka mulut.

"Mas, gima---"

"Dian sudah ngerjain kita," ucap Rajasa pelan nyaris tak terdengar.

"Apa?" Pita tak yakin dengan apa yang telinganya dengar.

"Dian sepertinya berniat ngerjain kita. Dia tadi menghubungiku dan memintaku mengantarkan kalian berkeliling. Awalnya aku menolak karena sore ini seharusnya aku ke gudang tembakau dan ke tambak garam untuk membayar upah pekerja. Namun, Dian memaksa, jadi yah aku pikir kalian bisa aku bawa mampir untuk membayar upah pekerja terlebih dahulu sebelum berkeliling."

Pita semakin tak mengerti.

"Mas Rajasa ngomong apa sih, aku jadi tambah bingung. Dian nggak mungkin bohong deh. Mungkin kalian kurang komunikasi saja." Pita masih berusaha membela sahabatnya.

"Entahlah, tapi yang pasti Dian ngomong ke kamu dan ke aku beda. Pasti ada sesuatu yang disembunyikan. Terus tadi kenapa dia berhenti di kafe? Sebelumnya kalian tidak membahasnya, kan?"

Pita mengangguk. Benar juga apa yang Rajasa ucapkan. Dian sama sekali tak mengatakan jika ia akan turun di kafe yang telah mereka lewati tadi.

"Oke aku jadi penasaran. Kita balik aja ngecek ke kafe. Siapa tahu kita dapat jawabannya." 

"Masak sampai balik lagi, Mas. Ntar undangannya telat dong kita." Pita berucap dengan wajah bodohnya. Rajasa seketika berdecak.

"Pita kado yang cantik. Kan tadi sudah jelas tidak ada acara susul menyusul ke acara tujuh bulanan fiktif itu. Lagi pula kita harus datang ke mana? Tempat acaranya aja kita nggak tahu."

Pita kembali mengangguk. Benar juga yang Rajasa katakan. Bukankah Dian sudah membohongi mereka.

"Kalau aku hubungi dia aja kenapa, dari pada kita harus putar balik. Takutnya lama, arahnya ke kafe tadi kayaknya muter-muter deh." Tentu saja berputar-putar bagi Pita karena ia belum hafal jalanan yang dilaluinya.

"Di sini Sumenep, Pit. Nggak ada jalan membingungkan yang membuat kamu tersesat seperti halnya Surabaya, Malang, apalagi Jakarta. Tapi, Oke, kamu bisa hubungi dia sekarang. Nanti di depan aku bisa langsung putar balik." Rajasa masih tak akan puas jika belum mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang bersarang di kepalanya. Pasti ada sesuatu yang di sembunyikan sepupunya itu.

Pita mengeluarkan ponsel dari tas yang dibawanya. Begitu ponsel itu berada di tangannya ia pun segera menghubungi sahabatnya itu. Namun, kekecewaan yang justru ia dapat. Dian tak menjawab panggilannya. 

"Nggak diangkat sama Dian, Mas." Pita menoleh pada pria di sampingnya yang sudah membawa mobilnya memutar balik.

"Nah, kan. Semakin mencurigakan." Pita membenarkan ucapan Rajasa. Ia mencoba menebak-nebak. Apa gerangan yang terjadi pada Dian? Tak biasanya gadis itu menyembunyikan sesuatu darinya. Bahkan saat ini bisa dikatakan mereka sedang bermain petak umpet. Entah siapa nanti yang akan menemukan atau ditemukan.

Lima menit kemudian mobil mereka sudah tiba di depan kafe di mana beberapa saat yang lalu Dian minta diturunkan tiba-tiba. Setelah memarkir mobil, Rajasa dan Pita bergegas memasuki kafe yang terlihat tak begitu ramai itu. Mata mereka menyisir sudut-sudut kafe berharap sosok Dian akan ditemukan di sana. Namun, sepertinya harapan mereka tak akan terwujud. Dian tak ada di mana pun.

"Gimana nih, Mas. Dian nggak ada. Kita mau cari kemana? udah gitu malu nih, kita masuk tapi nggak pesan apa-apa." Pita mengerucut sebal akibat merasa tak nyaman saat beberapa pelayan kafe melihatnya.

"Kamu pesan minuman untuk kita berdua. Aku mau ngecek lantai dua siapa tahu Dian ada di atas." Tanpa menunggu jawaban Pita, pria itu segera menaiki lantai dua kafe. Meninggalkan Pita sendirian yang akhirnya beranjak untuk memesan minuman untuk mereka berdua. Beberapa jenis muffin juga beraneka cake yang terlihat menggiurkan tertangkap mata Pita. Ia pun segera menunjuk deretan cake di etalase dan memesannya.

Saat minuman yang Pita pesan sudah siap. Rajasa tiba-tiba sudah muncul di belakangnya. Pita menunjuk kue yang telah tertata rapi dalam kotak di hadapannya, bermaksud bahwa ia juga berniat membeli kue itu. Rajasa mengangguk kemudian mengeluarkan selembar uang dari dompetnya untuk membayar pesanan Pita dan beberapa saat kemudian mereka sudah berjalan meninggalkan tempat itu menuju mobil yang terparkir di depan kafe.

"Di atas nggak ada ya, Mas?" Pita bertanya saat Rajasa membukakan pintu mobil untuk Pita.

"Nggak ada." Rajasa mengitari mobil kemudian duduk di balik kemudi. Dengan sigap ia membawa mobilnya keluar area parkir kafe. Pria itu juga tampak menghubungi seseorang melalui ponselnya.

"Nggak diangkat juga," gerutunya saat panggilannya tak mendapatkan jawaban.

"Mas telpon siapa?"

"Ibu. Beliau dan tante Laily kan tadi kebetulan berangkat bersama. Siapa tahu mereka bisa memberikan informasi." Pita mengangguk mengerti.

"Terus sekarang kita kemana ni, Mas? Apa kita pulang aja?" Tak ada yang bisa mereka lakukan kan tanpa kehadiran Dian. Pulang menurut Pita akan jadi solusi yang baik.

"Nanggung, Pit. Lagipula kamu akan sendirian di rumah. Nggak ada siapa-siapa di sana." Rajasa merasa kasihan dengan gadis di sebelahnya ini yang sudah menjadi korban kebohongan sepupunya.

"Terus gimana dong?"

"Kamu ikut aku aja ya. Aku mau bayar upah para pekerja. Sambil lalu kita bisa berkeliling. Jadi kamu nggak sia-sia sudah keluar rumah." Solusi yang tepat bagi Rajasa. Pita berpikir sejenak sebelum akhirnya mengiyakan ajakan pria itu. Benar yang Rajasa sampaikan. Ia sudah keluar rumah. Ngapain harus balik lagi dan berdiam diri di rumah.

Pita yang sedang menyedot minumannya menghentikan gerakan, melepas sedotan di bibirnya. Ia hampir lupa jika pria di sebelahnya ini belum menikmati minuman yang tadi ia beli. Pita mengulurkan minuman Rajasa. Berharap pria itu meminumnya.

"Nggak bisa pegang, Pit. Lagi nyetir." Pita mengernyit. Eh benar juga yang pria itu bilang.

"Kamu yang pegangin aja ya," lanjut pria itu. "Kuenya juga boleh tuh." Rajasa menyembunyikan senyum jahilnya. Mau tak mau Pita mendesah dalam hati.

Pria ini sengaja atau gimana? Masak Pita harus memegang minumannya saat pria itu ingin minum. Dan apa tadi pria itu bilang? Ingin makan kue? Bagaimana caranya, minum saja dia minta dibantu. Apa Pita juga harus menyuapkan kue itu? Dengan tangannya? Oh, benar-benar cobaan. Apa Pita sanggup melakukannya?

###

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top