Satu
Panggil dia Pita. Bukan pita yang biasa dipakai pada rambut apa lagi pita kado. Ya, namanya memang menggemaskan, sama dengan sang pemiliknya. Sebenarnya ia tak menginginkan nama panggilan itu. Semasa Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas, ia selalu diolok-olok dengan nama itu. Padahal orang tuanya sudah memberikan nama yang cukup indah, Pitaloka Ayunda. Namun entah kenapa teman-temannya selalu memotong nama panggilannya.
Bahkan tak jarang orang-orang juga memanggilnya Pipit. Entah ide dari mana yang mereka dapatkan. Setelah ia berubah menjadi pita kado akhirnya bertranformasi menjadi burung mungil musuh petani itu. Oke abaikan kerumitan tentang nama panggilan itu.
Pagi ini tak seperti pagi-pagi biasanya. Begitu bangun tidur saat hari masih gelap tadi, Pita segera membereskan kamar juga barang-barangnya. Sebuah tas punggung cantik juga telah tertata manis di atas meja kamar kostnya. Isinya tentu saja peralatan tempur andalannya. Peralatan make up, dompet, ponsel, juga charger.
Hari ini ia berencana ikut sahabatnya pulang ke kampung halamannya. Hampir empat tahun ini mereka bersahabat sejak memasuki semester satu. Namun tak sekalipun Pita pernah berkunjung ke rumah sahabatnya. Padahal Dian, sahabat Pita sudah berkali-kali mengunjungi rumahnya. Bahkan Dian sudah begitu akrab dengan keluarga Pita.
Kini giliran Pita yang harus berkunjung ke rumah Dian. Kenapa ada kata harus, karena beberapa bulan kedepan mereka akan diwisuda. Setelah itu tentu saja mereka akan pulang ke kampung halaman masing-masing dan pasti akan jarang bertemu kembali.
"Mbak Pita ada tamu!" Suara teriakan dari lantai satu terdengar di telinga Pita. Pasti Dian yang datang menjemputnya. Ia pun membalas dengan suara yang tak kalah keras.
"Suruh langsung naik!" teriakan-teriakan lantang seperti itu sudah bukan hal asing di indekost Pita. Maklum saja, interkom yang di sediakan sang induk semang sudah tak lagi berfungsi sejak beberapa tahun yang lalu. Pita bahkan tak mengingat kapan lebih tepatnya. Akhirnya teriakan-teriakan untuk memanggil penghuni kost dari lantai satu sudah bukan hal yang aneh lagi. Bahkan mungkin karena saking banyaknya tamu yang berkunjung ke indekost Pita, tetangga sebelah kost Pita pernah melapor ke ketua RT karena merasa terganggu dengan teriakan-teriakan yang berasal dari indekost di sebelahnya.
"Ta, kamu sudah siap kan?" Benar dugaan Pita. Dianlah yang datang. Gadis itu begitu tiba di kamar Pita seketika merebahkan tubuhnya di kasur yang telah Pita rapikan sebelumnya.
"Capek banget. Bawaanku aku taruh dibawah."
"Heh! Teko-teko malah turu. Gak duwe sopan santun¹. Cepet bangun. Udah capek-capek rapiiin kasur dari pagi, eh main gulung-gulung aja," Pita menarik kaki sahabatnya yang malah berguling di atas kasur empuknya itu.
"Kasurnya empuk banget, Pit. Harum lagi." jawab Dian tanpa rasa bersalah.
"Ya jelas wangi dong. Baru aja aku ganti biar nanti sepulang dari rumah kamu aku nggak capek-capek ganti seprei. Sana bangun. Mau aku rapiin lagi. Kamu bikin aku tambah kurus aja. Mana lapar lagi, masih belum sarapan. Pasti cadangan lemak di tubuhku semakin menipis," Dian yang mendengarkan gerutuan Pita seketika terbahak.
Sahabatnya ini memang cukup berbeda dengan kebanyakan gadis lainnya. Di saat para gadis muda melakukan program diet untuk menjaga dan menurunkan berat badannya, Pita justru sebaliknya. Ia mati-matian menjaga berat badannya agar tidak turun dari angka yang diinginkannya. Ia bahkan melahap apapun di depan matanya agar bisa menaikkan berat badannya. Yah berkah menurut sebagian orang. Bisa makan apa saja tanpa merasa takut akan kegemukan.
Hal yang jauh berbeda Dian alami. Jangankan makan makanan sesuai keinginannya, minum air putih saja dia sudah gemuk. Berisi lebih tepatnya. Dian tak penah menyukai kata gemuk dalam hidupnya.
"Habis ini kita sarapan Pit, tenang aja. Aku yang bayarin. Ongkos ke rumah juga jadi tanggunganku jadi stop mengeluh cuma karena aku begitu menikmati kasur empuk kamu. Itu harga yang setimpal, cong." Jawab Dian pongah.
"Jangan panggil Cong aku ini perempuan tulen," Pita bersungut sebal mendapatkan panggilan itu. Panggilan untuk pemuda dari kampung halaman Dian.
"Iya deh. Gitu aja ngambek. Eh kamu sudah siap kan? Kita langsung cabut aja sekarang. Alat-alat tempur sudah masuk semua kan?" Dian mengarahkan dagunya pada tas punggung Pita. Pita hanya mengangguk mengiyakan.
"Eh beneran nih aku nggak perlu bawa baju?" Kemarin Dian memang melarang Pita membawa baju ganti. Gadis itu bisa memakai baju-bajunya saat mereka di rumah Dian nantinya.
"Iya. Aku kan sudah bilang kemarin. Baju dalam juga nggak usah. Aku sudah bilang ibu untuk ngambilin di toko." Dian memang pernah bercerita jika ibunya memiliki toko busana di daerahnya.
"Masak aku nggak bawa baju sehelai pun, Di?"
"Ya udah kalau kamu merasa tak nyaman, bawa satu stel aja. Kamu nyantai aja kalau sama aku. Pernah nggak sih aku itung-itungan sama kamu? Apapun itu aku kasih," Lagi-lagi Dian berkata dengan pongahnya.
"Huh dasar, sombong. Mentang-mentang jadi anak bungsu. Asal tunjuk langsung dapat ACC dari orang tua," Dian memang anak bungsu dan perempuan satu-satunya. Apapun keinginannya pasti langsung dikabulkan dan hal itu juga berefek pada Pita.
Gadis itu dengan mudah memanjakan sahabatnya. Tak jarang Pita mendapatkan traktiran bahkan membelikan apa saja untuk Pita. Pita yang tahu diri tak serta merta memanfaatkan sifat dermawan temannya. Ia selalu menjadi pengontrol yang baik atas kecerobohan temannya dalam mengelola keuangannya. Ia tak mau temannya menghamburkan uang untuk hal-hal yang tak berguna.
"Kan mumpung masih punya uang. Ntar kalau nggak punya kan nggak bisa traktir teman." balas Dian cuek.
"Ya udah ayo cepat. Kalau emang sudah lapar. Baju yang mau kamu bawa taruh aja di travel bagku di bawah tadi." lanjut Dian.
"Ayo, ayo tapi kamu masih ogah bangun dari kasur. Gimana aku bisa rapiinnya," Pita mengambil penebah untuk merapikan kasurnya yang telah kusut akibat ulah Dian. Dimanfaatkannya kesempatan untuk memukul pantat seksi sahabatnya itu yang dihadiahi teriakan sebal dari sang pemilik. Dianpun segera bangkit dari kasur dan merapikan baju juga rambutnya yang sedikit kusut di depan meja rias kamar Pita.
Sepuluh menit kemudian mereka sudah meninggalkan kamar kost Pita setelah memastikan pintunya terkunci sempurna. Bisa ludes jika kamarnya tak dikunci dengan baik. Kejahatan ada di mana-mana. Beberapa hari yang lalu penghuni kamar di lantai satu kebobolan. Sebuah laptop dan juga printer lenyap entah dibawa siapa. Penyebabnya sudah pasti karena kecerobohan si pemilik kamar yang terburu-buru berangkat kuliah namun lupa mengunci pintu kamarnya. Pita menyebutnya sedekah. Sedekah pada maling yang begitu tak berbelas kasihan pada mahasiswa perantauan yang biasanya berkantong pas-pasan.
"Kita mau makan di mana nih? Jangan jauh-jauh, berat banget tas kamu. Kamu bawa apa sih?" baru berjalan sekitar lima puluh meter Pita sudah mengeluh kecapekan. Bagaimana tidak capek jika ia harus membantu membawa travel bag Dian yang beratnya sudah sama seperti membawa beban pikiran karena di PHPin gebetan.
"Ada deh pokoknya. Itu isinya untuk orang-orang di rumah sama baju kamu tadi," jawab Dian ringan.
"Bajuku cuma satu stel aja, kali. Kalau tahu gini mending aku keluarin lagi deh bajuku. Travel bagnya kamu aja yang bawa. Gila banget. Berat tau." Mereka memang bergantian membawa travel bag Dian yang lumayan berat itu.
"Ssttt... Sudah tuh kita sudah sampai, makan di situ aja ya?" Dian menghentikan keluhan Pita. Gadis itu menunjuk sebuah restoran tak jauh dari hadapan mereka.
"Aku belum pernah makan di situ. Mehong cyin. Sayang banget sama duit,"
"Kamu cuma untuk dimakan aja pelit. Jatah dari mama kamu dibuat apa?" Dian mencibir.
"Yeyy... Emang kamu yang asal nunjuk langsung dikasih. Kamu juga jatahnya dari kiri kanan. Udah dikasih ayahnya masih juga minta ke kakak-kakakmu itu." Dian hanya meringis menyadari ucapan Pita yang sepenuhnya benar.
Akhirnya mereka menghentikan perdebatan konyol itu. Perut kosong mereka jauh lebih penting. Mereka harus mengisinya segera agar di perjalanan pulang ke rumah Dian nanti tak meraung-raung akibat kelaparan.
***
1 = Datang-datang malah tidur. Tidak punya sopan santun.
###
Masih belum terlihat apapun ya friends wkwkwkwk.... Yg penting tekan bintangnya ya.
Baru dua hari saya udah nongol lagi. Padahal kemarin bilang bakal update sebulan sekali. Ternyata tangan udah gatel ngetik2 cerita ini. Murahan banget ya diriku wkwkwkkwkw....
Oh ya, kritik n sarannya jangan lupa ya friends😄😄
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top