Lima Belas
Yang masih belum ikutan PO, yuk segera hubungi penerbit Samudra Printing. Bisa intip2 ig saya yusniaikawijaya atau langsung ke ig samudraprinting83, ya.
###
"Maaf. Gara-gara aku seharusnya Mas Rajasa masih di rumah karena masih berkabung." Lima menit setelah mobil Rajasa keluar dari halaman rumah Dian, Pita mengeluarkan kalimatnya.
"Nggak usah minta maaf, Pit. Tanpa ada kamu pun aku akan tetap pergi. Kebetulan saja kita harus berangkat di waktu yang sama. Lagi pula aku juga nggak bantu-bantu di acara pemakaman sepupu Tante Laily. Saudaranya ayah kan Om Dibyo, bukan Tante Laily."
Pita mengangguk.
"Kamu kalau mau nyemil, tuh di belakang ada makanan. Ibu tadi bawain lumayan banyak. Nggak tahu apa aja. Sudah dimasukin kotak-kotak kok. Minumannya juga ada." Pita seketika memutar kepalanya ke jok belakang. Benar yang Rajasa katakan. Ada beberapa kotak yang tersusun dalam plastik berukuran besar. Di sebelahnya tampak beberapa tumbler berukuran tak begitu besar. Mungkin terisi dengan beberapa jenis minuman.
"Bawa apa aja itu, Mas. Kok banyak."
"Kata ibu sih ada buah, cake, bahkan juga gorengan. Tapi jenisnya apa aja aku nggak tahu. Nggak buka. Keripik kayaknya juga ada. Ambil aja." Pita mengangguk dan mengulurkan tangan meraih bungkusan yang ternyata lumayan berat itu. Tangannya gesit membuka kotak-kotak yang sudah ada di pangkuannya satu persatu.
Namun, Pita mengernyit karena ada beberapa jenis kue yang tidak ia tahu. Sepertinya kue khas Sumenep. Ia pun menutup kembali kotak kue itu.
"Nggak dimakan?"
"Masih pagi. Masih kenyang barusan sarapan." Meskipun tak menampik makanan yang ia telan, tapi Pita tak suka melakukan perjalanan dengan perut terlalu kenyang. Ia takut mual dan merasa tak nyaman.
"Keripik aja kayaknya lebih oke." Pita meraih toples berukuran sedang. Ada beberapa toples kedap udara berisi beragam makanan kering. Ia membuka satu persatu. Aroma aneh, tapi juga gurih seketika tercium.
"Itu kripik paru sapi, coba aja. Enak kok."
Pita mengangguk lalu mengunyah makanan di pangkuannya. Benar yang Rajasa bilang. Kripik aneh itu terasa lezat juga gurih.
"Mas Rajasa sering ke Malang, ya? Kok aku nggak pernah ketemu." Pita memulai obrolan setelah menelan makanan di mulutnya. Ia juga memberikan kripik itu untuk Rajasa agar pria itu menemaninya menikmati makanan gurih itu.
"Lumayan sering sih. Kita emang belum pernah ketemu saat aku mengunjungi Dian. Tapi aku sudah sering lihat foto-foto kamu begitu Dian memosting foto-foto heboh kalian."
"Hah? Beneran, Mas? Ih malu banget aku." Pita menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangan.
"Aku salah satu follower kamu, lo," lanjut Rajasa menyeringai. "Fans kamu lumayan banyak, ya. Udah ribuan gitu. Lain kali jangan posting foto kamu yang lagi cantik-cantiknya."
Pita mengerutkan kening mendengar kalimat Rajasa. "Emang kenapa?"
Rajasa menoleh memandang gadis yang hari ini mengenakan kaus berwarna baby pink. Ia menarik napas sambil berucap, "Nanti jadi semakin banyak orang yang suka sama kamu."
Pita terbahak.
"Apaan sih, Mas. Receh banget."
Rajasa hanya mengulas senyum. Ia lalu melanjutkan, "Nanti kamu ada acara nggak?"
"Nanti kapan? Kan kita lagi di jalan nih."
"Setelah tiba di Malang, maksudku."
"Oh, itu. Nggak." Pita menggelengkan kepala.
"Kamu tidak keberatan kan kalau harus mnemaniku ke Surabaya terlebih dahulu?"
"Emang Mas mau ngapain?"
Lagi-lagi Rajasa mengulas senyum. "Ada salah satu teman yang kebetulan bertunangan, dia mengundangku untuk datang ke acara pertunangannya."
Pita seketika memutar otak. Ia berangkat ke rumah Dian hanya membawa satu stel baju ganti dan itu pun sedang ia kenakan saat ini. Hanya celana berbahan denim juga kaus yang ia lapisi cardigan. Lalu jika Rajasa mengajaknya ke sebuah pesta, lalu baju apa yang akan ia kenakan?
"Gimana, Pita?" Rajasa mengulang pertanyaannya.
"Emm... Gimana ya, Mas. Aku nggak keberatan sih. Tapi aku kan nggak bawa baju ganti. Waktu berangkat ke rumah Dian aku cuma bawa satu stel baju ganti. Dian meminjami baju untuk aku pakai. Ada juga baju yang dibeliin Tante Laily. Tapi kan tetap saja nggak cocok dipakai ke pesta."
"Kita akan beli dulu sebelum ke pesta itu."
Seketika mata Pita membelalak. "Ih jangan dong, Mas. Masak sampai beli sih."
"Anggap saja oleh-oleh dari aku."
Lagi-lagi Pita membelalak, jadi maksud Rajasa, pria itu yang akan membelikan baju untuknya? Ia kira tadi dirinya sendiri yang harus membeli.
"Eh, jangan dong." Pita seketika ingat sesuatu. "Eh tunggu, tunggu. Aku baru ingat, kan Tante Laily ngasih dress batik. Cocok banget tuh dipakai untuk pesta."
"Bisa juga tuh ide kamu. Nanti kita tinggal cari sepatu dan tas kamu." Pita menolehkan kepalanya memandang Rajasa. Nih orang niat banget untuk membawa dirinya ke pesta pertunangan temannya. Penting banget, ya? Pita mulai membatin.
"Nggak usah sampai repot-repot gitulah, Mas." Pita mencoba berbasa-basi. Memang sedikit tak nyaman jika pria itu harus membelikannya seauatu yang bagi Pita tidak terlalu penting.
"Nyantai aja, Pit. Kan aku sudah bilang tadi, anggap aja oleh-oleh." Senyum Rajasa lagi-lagi terulas.
"Oke lah. Nurut aja sama juragan tembakau dan garam. Maklum kan sekarang lagi panen tuh. Pasti banyak uang recehan yang perlu dibelanjakan. Apalagi sekarang harga tembakau dan garam lagi bagus-bagusnya. Apalah arti diriku yang rakyat jelata ini, hanya tinggal menuruti titah paduka Raja-sa." Tak ayal kalimat Pita menimbulkan tawa lebar Rajasa. Benar-benar gadis menggemaskan.
Beberapa kali mereka sempat berhenti selama perjalanan. Alasannya tentu saja karena Pita ingin mengambil gambar dirinya di tempat-tempat yang bagi Pita begitu mengagumkan.
Apalagi saat mobil melewati area pesisir. Pemandangan laut yang dipenuhi perahu beraneka warna membuat Pita menjerit kegirangan. Mereka bahkan sempat menikmati makan siang di sebuah restoran pinggir pantai meskipun perut belum merasakan lapar. Maklum saja lagi-lagi pemandangan memukaulah yang membuat Rajasa dengan sabar menuruti kemauan Pita.
Menjelang sore mereka baru tiba di Surabaya. Perjalanan yang biasanya hanya butuh waktu sekitar tiga jam molor hingga enam jam akibat ulah Pita.
Rajasa mengarahkan mobilnya menuju salah satu pusat perbelanjaan yang dilewatinya begitu keluar dari gerbang tol Suramadu. Satu jam kemudian mereka kembali dengan beberapa barang belanjaan di tangan Pita.
Sepasang stiletto, clutch, juga dress sederhana, tapi terlihat elegan berada di tangan Pita. Pria itu tetap membelikan dress untuk Pita meskipun Pita sudah mengatakan membawa dress batik pembelian ibu Dian.
Begitu selesai berbelanja mereka menuju salah hotel tempat pertunangan teman Rajasa diadakan. Tujuannya bukan untuk menghadiri pesta pertunangan karena acara itu masih akan berlangsung nanti malam. Rajasa hanya ingin memesan kamar untuk ia dan Pita beristirahat juga mandi sebelum nanti malam mereka menghadiri pesta pertunangan.
"Masak harus pesan dua kamar sih, Mas? Kan kita nggak tidur juga. Cuma dipakai ganti baju sama mandi aja. Sayang banget tuh uangnya dibuang-buang. Lagian ntar malam kita juga sudah balik ke Malang," ucap Pita begitu mereka tiba di hotel.
"Kalau sayang sama uangnya, emang kamu mau nginap satu kamar sama aku, Pit? Kalau itu sih aku nggak nolak. Senang banget malah. Kita bisa jadi pasangan pengantin baru yang sedang menikmati honeymoon."
Pita seketika memutar bola matanya. Namun, tak urung wajahnya bersemu merah mendengar kalimat dengan nada menggoda Rajasa.
"Kamu jangan sembarangan mengundang pria masuk kamar. Apa lagi masih belum kenal. Nih contohnya aku. Kamu kan baru satu minggu ini kenal aku. Belum tahu seperti apa sifatku."
"Kan Mas sepupunya Dian. Aku bisa lapor sama Dian dan keluarganya kalau Mas Rajasa berani macam-macam sama aku."
Rajasa tersenyum tipis. Gadis ini masih belum tahu arti bahaya sesungguhnya.
"Siapapun itu intinya jangan pernah membiarkan dirimu dalam satu ruangan dengan seorang pria. Jaga diri baik-baik. Jangan mudah percaya dengan orang asing. Kamu cantik, Pit. Pasti banyak yang ingin mendapatkan kamu. Dan tentu saja ada yang dengan cara yang baik atau juga sebaliknya," jelas Rajasa panjang lebar.
Pita mengulas senyum, "Lalu, Mas berada di kubu mana?"
###
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top