Lima
"Pit ayo turun." Kalimat itu sudah dua kali Dian ucapkan. Namun, si lawan bicara tak juga merespons. Setelah mendapat tepukan di pipinya Pita tergeragap. Ia memasang wajah bodoh memandang Dian yang mulai tak sabar.
"Ayo turun. Ayah sama ibu nungguin kamu ikut masuk," ulang Dian sekali lagi. Pita mengangguk kemudian menuruti perintah Dian.
Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Memindai apa saja yang tertangkap matanya. Hal pertama yang ia dapat adalah ia berada di halaman berpaving yang cukup luas yang sepertinya difungsikan sebagai carport. Halaman rumput hijau yang tampak temaram di bawah lampu-lampu taman yang menjulang di beberapa bagian halaman.
Beberapa tanaman juga pepohonan tampak menghiasi halaman berumput itu. Meskipun halaman itu cukup luas dan ditumbuhi pepohonan, tapi Pita tak melihat daun bertebaran di bawahnya. Mungkin sang pemilik rumah benar-benar tak ingin guguran daun terlihat di halaman rumahnya. Pasti mereka bekerja ekstra keras untuk melakukan hal itu mengingat saat ini adalah musim kemarau, di mana banyak pepohonan yang mulai rajin menjatuhkan daun-daunnya.
"Di, om kamu kerjanya apa sih, kok bisa punya rumah segede ini? Kamu juga gitu rumah kamu bikin lutut lemas kalau harus keliling cariin kamu." Dian berdecak. Pita terlalu menganggap semua hal di hadapannya berlebihan.
"Pit. Kamu biasa aja kali. Keluarga kami tuh bukan keluarga kaya raya yang sampai punya perusahaan yang cabangnya di mana-mana. Apa lagi sampai punya jet pribadi yang selalu siap mengantarkan kemanapun kami pergi. Kami keluarga biasa seperti keluarga lainnya. Kami keluarga pekerja keras yang kebetulan memiliki beberapa usaha. Hidup di sini tuh tidak sama seperti hidup di kota-kota besar. Semuanya serba murah. Bahkan satu porsi nasi pecel lengkap dengan lauknya untuk sarapan masih banyak yang menjual dengan harga lima ribu saja. Rumah besar tidak hanya di miliki oleh pengusaha berkantong tebal. Bahkan para Aparatur Sipil Negara saja bisa mempunyai rumah besar dengan mobil sebagai kendaraannya. Jadi stop menganga terus menerus seperti tadi. Oke?" Dian menutup penjelasannya yang dibalas Pita dengan anggukan disertai garukan di kepalanya yang tak terasa gatal.
"Yuk masuk. Tuh lihat semuanya nunggu di teras." Dian menunjuk seluruh anggota keluarganya yang masih belum memasuki rumah megah itu. Mau tak mau Pita segera melangkah menyusul mereka semua.
Suasana riuh seketika terdengar begitu keluarga Dian memasuki rumah itu. Rumah yang katanya milik kakak ayah Dian. Gadis itu menyebut om Suryo untuk memanggil kakak ayahnya itu. Sekilas sebelum memasuki halaman rumah besar itu tadi, mata Pita menangkap sebaris nama yang terpasang pada pilar pintu gerbang, 'R.B. Adi Suryo Natakusuma' nama belakang yang sama seperti yang Pita lihat tertera di papan nama rumah Dian. Tentu saja nama belakang mereka sama, ayah Dian kan adik si pemilik rumah yang Pita datangi saat ini. Dan gelar yang ada di depan nama itu adalah Raden Bagus. Begitu Dian tadi mengatakannya. Entah apa maknanya dan kenapa di zaman modern seperti saat ini masih ada gelar-gelar kebangsawanan seperti zaman dahulu, Pita tak tahu. Ia akan menanyakan nanti pada Dian begitu mereka sudah kembali pulang.
Semua orang menyambut mereka dengan suka cita. Senyum Pita tertarik seketika. Keluarga Dian benar-benar luar biasa. Mereka terlihat begitu menyenangkan saat Pita bergabung dengan keluarga besar itu. Pita membatin, pantas saja Dian begitu menyenangkan. Pasti sifat itu juga ia dapat dari keluarga besarnya.
Satu persatu, Pita dan Dian menyalami seluruh orang yang sudah berkumpul di rumah itu. Memperkenalkan diri dan ditanya ini-itu bukanlah hal yang membosankan. Apalagi jika si penanya begitu antusias saat mendengar jawaban Pita. Pita benar-benar merasa seperti pulang ke rumah. Rumah yang hangat dan semua orang menyayanginya.
"Pita. Kita ke dalam dulu, ya. Pita belum berkenalan dengan om dan tante Dian, kan? Ayo ibu kenalkan dulu, setelah itu baru kalian bisa makan." Laily mengajak Pita dan Dian mengikuti langkahnya memasuki rumah kakak iparnya itu lebih dalam.
Begitu kaki mereka sampai di sebuah ruangan yang Pita yakin adalah ruang makan, ternyata perkiraan Laily benar. Sang tuan rumah tampak sibuk mengatur hidangan untuk para tamu. Pasangan baya itu terlihat memberikan perintah kepada beberapa orang di hadapan mereka.
Laily seketika menyapa pasangan itu dan berbicara entah apa, Pita tak tahu. Mereka menggunakan bahasa Madura yang tentu saja tak Pita tahu artinya. Selang beberapa saat, Dian tampak menghampiri mereka diikuti kedua kakaknya yang bersalaman dan mencium punggung tangan pasangan baya itu.
Pita, satu-satunya yang tersisa akhirnya mengekori Dian dan melakukan hal yang sama seperti yang Dian dan kakaknya lakukan.
"Ma' raddin, ba'na ngiba anakna sapa riya?"¹ kalimat itu tertangkap telinga Pita. Namun, lagi-lagi ia tak tahu apa arti kalimat itu. Ia hanya mengulas senyum untuk menanggapi ucapan wanita yang memandangnya dengan tatapan takjub itu.
"Oh, ini Pitaloka. Teman kuliahnya Dian. Tadi siang mereka tiba di sini." Laily menjelaskan. Wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang tak lagi muda itu menganggukkan kepalanya.
"Jangan sungkan ya, anggap rumah sendiri." Perempuan itu berkata yang dijawab Pita dengan senyuman.
Mereka terlibat obrolan yang cukup menyenangkan sambil menikmati hidangan melimpah yang tertata di depan mereka. Sang tuan rumah, Rini dan Suryo benar-benar melayani Pita dan Dian sebagai tamu mereka. Sepertinya Dian adalah keponakan kesayangan mereka. Dapat Pita lihat, pasangan baya itu begitu perhatian pada Dian.
Pita menikmati sepiring Cake², makanan khas sumenep. Sepintas makanan ini mirip dengan Cap cay, makanan khas negeri Tiongkok meskipun tak sama persis. Cake sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Dahulu Cake hanya dihadirkan pada saat-saat penting saja misalnya pernikahan atau acara istimewa lainnya. Dan konon hanya kalangan tertentu saja yang bisa menikmati sajian lezat ini.
Begitu perut mereka telah begitu kenyang, Pita dan Dian beranjak kembali ke ruang tamu. Dan ternyata acara utama sudah berlalu beberapa menit yang lalu. Para tamu sudah menikmati makanan yang sama seperti yang baru saja Pita dan Dian tandaskan. Suryo dan Rini juga sudah menghilang sejak tadi. Pasti mereka melayani para tamu yang masih merupakan keluarga besar mereka itu.
"Dian, sini dulu, Nak. Pita juga. Nih masmu sudah turun. Tadi kalian kan belum ketemu." Suara Rini tiba-tiba terdengar di belakang kedua gadis yang hendak kembali ke ruang makan. Mereka pun segera berbalik dan mendapati bu Rini sudah berjalan mendekati mereka.
"Ayo, masmu ada dibelakang. Tadi dia sibuk membantu menata ruangan kemudian melayani tamu jadi belum sempat menyapa kalian. Sekalian temani dia makan, kalian kan belum menikmati pudingnya," lanjut wanita cantik itu mengulurkan tangan mengajak kedua gadis di hadapannya untuk mengikutinya kembali ke ruang makan.
Begitu langkah mereka mencapai ruang makan. Sosok yang Rini bicarakan sudah berdiri di ujung meja makan, tak hanya seorang tapi tiga. Seorang pria yang tampak sedang dilayani wanita cantik untuk mengambil makanannya. Dan seorang pria yang sepertinya hendak menarik kursi meja makan. Terlihat dari tangan pria itu yang sudah memegang sandaran kursi dan mulai menggerakkannya mundur. Namun, suara Rini kemudian menghentikan gerakannya demi melihat siapa yang datang memasuki meja makan.
"Ini nih yang ditunggu, Diannya sudah datang." Rini bersuara dengan nada bahagia. Segera saja ketiga sosok di ruang makan itu mengulas senyum tak kalah bahagianya dengan sang ibu.
"Akhirnya si calon sarjana datang juga. Sudah punya pacar ya di Malang. Kok sampai malas pulang," pria yang sedang dilayani oleh wanita cantik itu berucap."
"Mas Indra selalu gitu. Aku nih di Malang nggak ada yang mau. Jelek banget kali," gurau Dian sambil meraih punggung tangan Indra kakak sepupunya lalu menciumnya.
"Eh, ini teman Dian, ya?" Pria itu kembali berucap.
"Iya. Ini Pitaloka bisa dipanggil Pita. Cantik banget, kan? Dia bukan cuma teman aku lo, Mas. Soulmate banget kita." Dian terkikik.
"Oh ya, Pit. Ini kakak sepupuku Mas Indra dan ini istrinya, Mbak Tari." Pita mengulas senyum kemudian mengikuti gerakan Dian yang mencium punggung tangan pasangan suami istri itu.
"Nah, kalau ini Mas Rajasa. Dia maskot keluarga kami nih. Ya, nggak Mas?" Dian melanjutkan kalimatnya sambil meninju dada bidang pria di hadapannya. Ia pun melakukan hal yang sama seperti yang baru saja ia lakukan pada pasangan muda sebelumnya, mencium punggung tangan pria itu dan dengan gerakan canggung Pita pun mengikuti setelahnya.
Saat Pita akan melepaskan tautan tangannya, Pita merasakan genggaman erat pria itu. Mau tak mau, Pita mengangkat kepalanya. Dan tatapan mata pekat seketika ada di hadapan Pita. Tatapan yang entah mengapa membuat Pita tak bisa mengalihkan pandangannya.
Seketika hati Pita berdecak, kenapa seluruh anggota keluarga besar Dian begitu sayang dilewatkan untuk dipandang. Apalagi pria yang masih menggenggam tangannya ini. Dengan memandangnya saja sudah membuat Pita hampir kehabisan napas. Sesak seketika. Seseorang adakah yang bisa memberikan Pita napas buatan?
###
1 = Kok cantik, kamu bawa anaknya siapa ini?
2 = Makanan khas Sumenep. Cara membaca sesuai dengan ejaan bahasa Indonesia.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top