Enam

Pengumuman-pengumuman.
Bagi teman-teman yang beberapa waktu lalu pengin mengoleksi dan peluk-peluk versi cetak Pita kado, siap-siap, ya. Kemungkinan awal bulan depan bakal mulai open PO.

Untuk harga, tebal buku dll, akan diinformasikan nanti ya karena saat ini naskah masih dlm proses editing di tangan editor. Jadi belum ketahuan akan jadi berapa halaman.

Sebagai tambahan informasi, cerita si pita naskah mentahnya sekitar 80k kata. Lebih banyak dari pada lima buku saya yg pernah cetak sebelumnya yang ada di kisaran 30-50k.

So, mulai nabung untuk bulan depan ya.😘😘😘

###

"Heh, itu kalian ngapain kok pakai acara pandang memandang segala? Ada listriknya ya? Nyetrum nih?" Ucapan Dian seketika menyentak lamunan Pita yang masih menautkan pandangannya pada sosok menjulang di depannya.

Segera saja Pita menarik tangannya yang masih berada dalam genggaman Rajasa. Dan yang membuat Pita membelalak adalah tangan pria itu ternyata masih begitu erat menggenggamnya. Setelah mencoba untuk kedua kalinya akhirnya Pita mengembuskan napas lega. Pria itu melepas genggamannya meskipun diiringi seringai yang bagi Pita terlihat begitu mengerikan.

"Kenapa, Mas? Kejatuhan tanda hati nih?" tambah Dian sambil menaik turunkan alisnya, kedua lengannya terangkat ke atas kepala membentuk tanda hati.

"Itulah efek si Pita. Sekali lihat langsung bikin cowok-cowok ngiler sampai netes." Ucapan Dian seketika membuat Pita salah tingkah. Diraihnya lengan Dian dan memberikan cubitan kecil yang cukup pedih hingga gadis itu mengaduh kesakitan.

"Ayo kalian makan dulu, nanti dingin jadi nggak enak lo." Suara Rini tiba-tiba terdengar yang membuat semua orang akhirnya melanjutkan aktivitasnya. Wanita itu segera memanggil salah satu asisten rumah tangga untuk menyajikan puding untuk Pita dan Dian.

Sedangkan Rajasa, Indra, dan Tari mulai menikmati hidangan di depan mereka. Perbincangan akrab segera saja terjadi. Tak lama kemudian Ical bergabung dengan mereka keriuhan pun semakin menjadi.

Usai menikmati makanan masing-masing, mereka kembali berkumpul bersama para kerabat di ruang tamu. Dian yang tidak setiap hari berada di rumah mau tak mau berkeliling menyapa keluarga besar ayahnya itu.

Bagaimana dengan Pita. Gadis itu sudah seperti lintah. Kemana pun kaki Dian melangkah ia pun menempel di sebelah Dian meskipun gadis itu terlihat canggung menghadapi sapaan demi sapaan dari setiap orang yang menyapanya.

Saat jam menunjukkan pukul sembilan malam, para tamu sudah mulai berpamitan. Menyisakan Keluarga Dian yang masih betah berlama-lama di rumah megah itu.

Beberapa petugas catering tampak hilir mudik membersihkan sisa-sisa kekacauan yang tertinggal. Akhirnya semua orang berkumpul di halaman belakang rumah yang terbebas dari semua hal sisa acara pertemuan keluarga beberapa saat yang lalu.

"Di, nanti kamu tidur sini aja, ya. Mbak Tari kasihan tuh sendirian. Nanti aku akan berangkat ke Bandung, diutus kantor untuk diklat selama tiga hari." Indra, si sulung, kakak Rajasa berucap setelah keriuhan berlalu akibat gurauan para sepupunya.

"Emang Mas naik apa ke Bandung. Kok malam-malam berangkatnya?" Dian bertanya.

"Ke Surabayanya sih naik mobil, kalau ke Bandung jelas pakai pesawat lah. Bisa linu tulangku kalau pakai jalur darat," jawab Indra terbahak.

"Kenapa nggak berangkat subuh-subuh aja sih, Mas. Aku kan baru datang, belum tidur di rumah. Masak sudah disuruh tidur di sini? Kasihan ayah sama ibu, dong. Lagian Pitanya gimana?"

"Pesawatnya pagi banget, Di. Nggak mungkin kalau berangkat subuh atau bahkan dini hari. Pita ajak tidur sini juga," tambah Indra.

"Nggak ah, nggak mau. Besok-besok aja. Mbak Tari tidur aja sama tante Rini atau ajak aja tuh para dayang-dayang di rumah ini. Kan sama aja." Dian terkikik, ia sering menggunakan istilah dayang-dayang untuk semua asisten rumah tangga di rumah ini.

"Tuh, Mbak Tarimu nggak mau," tunjuk Indra yang dijawab decakan istrinya.

"Sungkan kalau tidur sama mertua, Di. Kalau sama para dayang aku nggak nyaman. Ayolah, Pita juga ajak. Mau ya, Pita?" Tari ganti menatap Pita dengan wajah memelas. Pita hanya tersenyum canggung tak tahu harus mengatakan apa.

"Pita tuh ngikut aku, Mbak. Mbak bilang sama ayah-ibu sana. Ntar kalau boleh aku nginep di sini. Tapi inget kalau nggak dikasih izin sama mereka jangan maksa. Terus kalau tidur, aku nggak mau di kamar. Aku maunya di luar aja di ruang tengah. Kita tidur ramai-ramai di sofa sama karpet aja. Terus aku nggak mau langsung tidur. Kita nonton, ngobrol, atau apa ajalah sampai kita nggak kuat melek. Terus Mas Ical juga harus ikut. Aku belum ngobrol banyak sama dia. Kalau Mas Raihan mau juga boleh gabung." Dian mengajukan syarat terlebih dahulu.

"Ck... Kamu nih banyak mintanya, Di." Indra berdecak. "Kenapa nggak buat tenda aja sekalian, biar bisa camping seperti jaman kamu sekolah dulu."

"Nah itu bagus, tuh." Tiba-tiba Rajasa sudah menimpali. "Semuanya nginep sini aja. Ayo, Mas. Sana cepat minta izin ke tante Laily. Anaknya kita culik malam ini," lanjut Rajasa, tapi matanya tak berhenti menatap Pita yang tak menyadari jika dirinya sedang diperhatikan.

"Ini kalian lo yang camping-campingan, kenapa aku yang disuruh izin." Indra bangkit sambil mendengus hendak menemui orang tua Dian.

"Eh, eh, eh... Sudah amnesia dia. Tadi yang nyuruh menemani paduka permaisuri siapa?" Dian membantah ucapan Indra yang disambut tawa keras semua orang yang duduk di sana. Indra tak memedulikan ucapan Dian, pria itu berlalu menemui paman dan bibinya.

Tak lebih dari sepuluh menit kemudian Indra kembali dengan wajah cerah. Dan benar saja saat para sepupunya bertanya tentang keputusan orang tua Dian, pria itu mengatakan jika apa yang ia minta telah dikabulkan oleh paman dan bibinya.

Akhirnya Dian, Pita, juga kedua kakak Dian, Ical dan Raihan sepakat menginap di rumah Rajasa. Kedua orang tua Rajasa menyambut gembira hal itu. Sudah cukup lama rumah mereka terasa sepi. Apalagi semenjak anak perempuan mereka, Irda menikah dan ikut suaminya tinggal di luar kota.

Dulu, saat ketiga anaknya masih duduk di bangku sekolah hingga kuliah, hampir tiap akhir pekan rumah mereka pasti akan selalu ramai oleh para keponakan yang menginap.

Rumah yang megah disertai halaman yang luas membuat semua orang betah berlama-lama untuk tinggal. Bahkan akhir pekan menjadi hal yang paling ditunggu bagi keluarga mereka. Kegiatan yang dilakukan pun cukup beragam mulai dari hanya sekadar menonton pertandingan sepak bola dan film, bermain kartu hingga hari nyaris pagi, atau juga kegiatan yang nyaris tanpa jeda yaitu membakar berbagai jenis ikan laut dan udang.

"Kamu nggak apa-apa kan Pit kalau kita nginep di sini? Aku jamin pasti menyenangkan. Dulu aku dan semua sepupu sering menginap di sini jika akhir pekan. Kami bahkan pernah beberapa kali membuat tenda di halaman belakang. Yah mau bagaimana lagi. Saat itu kami semua ingin camping menikmati alam bebas, bisa ke pantai atau ke gunung. Tapi para orang tua melarang. Mereka bilang hal itu tidak aman, berbahaya. Lagi pula kebersihan kamar mandi di tempat-tempat umum biasanya masih minim. Dan akhirnya kami harus cukup puas dengan camping di halaman belakang rumah ini. Tapi ternyata justru seru lo. Kami bisa menikmati alam bebas tapi keamanan juga kenyaman kami tetap terjamin." Dian terkekeh membayangkan pengalamannya beberapa tahun silam saat ia masih duduk dibangku sekolah menengah pertama.

"Ya, terserah kamu sih. Di mana aja yang penting kamu ikut. Tapi, kita kan nggak bawa baju ganti. Terus gimana? Masak mau tidur pakai baju seperti ini," tunjuk Pita pada dirinya sendiri yang mengenakan dress beberapa centi di bawah lututnya.

"Kita pulang dulu ambil barang-barang dan ganti baju, setelah itu balik lagi ke sini." Pita mengangguk mengiyakan.

Tiga puluh menit kemudian Dian dan seluruh keluarganya pulang ke rumah. Dengan gerakan cepat, Pita dan Dian berkemas mengambil barang yang akan mereka bawa untuk menginap. Tentu saja mereka melakukannya setelah mengganti baju dengan baju yang lebih nyaman. Dan begitu mereka selesai berkemas segera saja Dian dan Pita berhambur untuk berpamitan pada kedua orang tua Dian yang sudah bersiap untuk tidur.

Kedua kakak Dian sudah siap di teras rumah saat akhirnya Dian dan Pita keluar. Ical segera saja menuju mobil dan duduk di kursi kemudi. Raihan justru sebaliknya. Pria itu terlihat enggan berdiri dari kursi teras sambil terus berbicara pada entah siapa di seberang sana. Dian mengatakan jika kakak sulungnya itu sedang berbincang dengan tunangannya. Yah, efek berhubungan jarak jauh membuat mereka selalu bergantung pada benda persegi itu. Setidaknya pasangan itu patut bersyukur. Meskipun menjalani hubungan jarak jauh tapi komunikasi mereka tetap lancar akibat adanya teknologi yang mendukung.

Setelah dipanggil berulang-ulang akhirnya Raihan dengan berat hati menyudahi sambungan teleponnya dan memasuki mobil yang telah menunggunya.

"Mas tahu kan efek jahat benda yang Mas puja-puja itu? Lama-lama otak kamu muncrat berhamburan karena saking seringnya benda itu nempel di telinga. Setidaknya aku jamin bakal ada lelehan yang keluar dari telinga Mas Raihan. Hii... Jijik banget." Suara Dian membuat seisi mobil terbahak. Gadis itu sudah terbiasa mengolok kakak sulungnya itu. Bagaimana tidak, setiap waktu yang Dian lihat adalah pemandangan sang kakak menggenggam ponsel dan menempelkannya di telinga. Bahkan pria itu tak jarang juga menggunakan headset untuk mempermudah komunikasinya.

Wajah Raihan yang terbahak atau tersenyum menatap ponselnya bukanlah hal yang aneh bagi orang-orang di sekitarnya. Pria itu tak sekalipun lepas komunikasi dengan tunangannya.

"Kamu sekarang cuma jadi penonton, Di. Suatu hari kamu bakal jadi pemain, mengalami juga yang namanya jatuh cinta. Aku akan menunggu saat itu dan jadi orang yang pertama kali menertawakan kamu," balas Raihan puas yang seketika membuat bibir Dian mengerucut.

Pita membenarkan dalam hati ucapan kakak Dian. Ya, siapa saja akan melakukan apapun untuk dekat dengan orang yang dia cinta. Dan tentu saja Pita tak tahu. Apakah nanti dia akan lakukan hal sama pada orang yang dicintainya?

###

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top