Empat
"Di, ibu ngomong apa?" Pita berbisik pelan setelah ibu Dian melepas kedua pundaknya dan mempersilakan mereka memasuki rumah yang terlihat begitu megah itu. Wanita baya itu memasuki rumah sambil memanggil entah siapa Pita tak tahu. Wanita itu juga tampak berbicara pada seorang wanita. Apa yang mereka bicarakan tak Pita ketahui karena mereka berkomunikasi dalam bahasa Madura.
"Kamu cantik," balas Dian cuek. Ia berjalan mendahului Pita. Ingin segera merebahkan dirinya. Berjam-jam duduk di bus membuat pantatnya terasa gepeng. Padahal Dian memiliki tubuh dengan pantat berisi. Apa kabar si Pita yang bertubuh langsing? Pasti tulang-tulangnya ngilu saking lamanya duduk di atas kursi yang tak begitu nyaman. Setidaknya mereka masih beruntung mendapatkan bus PATAS berpendingin udara. Bayangkan jika mereka harus menaiki bus ekonomi yang biasanya selalu penuh sesak ditambah lagi keriuhan penjaja makanan, obrolan sesama penumpang, bahkan aroma-aroma tak sedap dari tubuh penumpang yang berkeringat sering kali membuat Dian maupun Pita mual seketika.
"Ibu ngomongnya panjang gitu, Di. Masak cuma bilang cantik." Pita mempercepat langkahnya menyusul Dian. Ia penasaran dengan kalimat ibu Dian.
"Tanya aja langsung sama ibu," putus Dian.
"Kenapa nggak nanya sama aku aja, Pit?" Ical tiba-tiba sudah berada di samping mereka sambil mengulum senyum. Pria itu meletakkan travel bag sumber sengketa Pita dan Dian di atas meja ruang keluarga.
"Jangan percaya sama mulutnya Mas Ical, Pit. Sesat tahu nggak." Dian memelototkan matanya mengancam sang kakak.
"Awas kalau aneh-aneh." Dian bukannya tidak mau menjelaskan arti kalimat ibunya. Ia hanya tak ingin Pita merasa tak nyaman dengan kalimat itu. Ia tak ingin merusak suasana yang menyenangkan yang sudah ia rencanakan.
Sejak beberapa waktu yang lalu, ibu Dian memang sudah pernah mengatakan kenapa Dian tidak pulang ke rumah dengan mengajak Pita? Dian bisa mengenalkan sahabatnya itu pada sang kakak. Siapa tahu mereka cocok. Usia Ical sudah cukup untuk mulai merencanakan hidup berumah tangga. Apalagi si sulung, Raihan kakak Ical dan Dian dalam waktu dekat juga akan menempuh hidup baru.
Meskipun belum mengenal Pita. Namun, ibu Dian sudah terlanjur suka pada sahabat Dian itu melalui cerita-cerita yang sering Dian bagi pada ibunya. Bagaimana dekatnya ia dengan Pita. Pita si baik hati yang selalu membantunya, selalu ada kapan pun Dian membutuhkan.
Makanya tak jarang jika Laily, ibu Dian mengirimkan makanan atau juga camilan untuk anaknya, ia juga menyuruh Dian membaginya pada sahabatnya itu.
"Pita, istirahat dulu, Nak. Sambil ibu siapkan makan siang untuk kalian." suara Laily terdengar di seluruh ruang keluarga. Wanita itu mungkin baru saja dari dapur. Terlihat dari nampan yang ia bawa. Nampan berisi minuman dingin yang terlihat menggiurkan.
"Ibu buat apa itu?" Dian seketika menghempaskan tubuhnya di sofa diikuti Pita di sebelahnya.
"Yang pasti kamu tidak akan menolak." Laily membalas. Wanita itu meletakkan nampan yang ia bawa. Kemudian mengangsurkan mangkuk berisi sop buah yang langsung diterima Dian dengan suka rela.
"Panas-panas gini mantap banget makan beginian. Habisin, Pit. Sumpah kamu pasti bakal nagih." Dian menyendokkan isi mangkuk ke dalam mulutnya. Pita hanya mengulum senyum. Menerima mangkuk yang di ulurkan Laily. Setelah mengucapkan terima kasih, gadis itu pun mengikuti Dian menikmati isi mangkuknya.
Benar kata Dian. Rasa sop buah yang ibu Dian buat memang luar biasa. Apa lagi dinikmati dalam suasana panas seperti saat ini.
Mereka berbincang akrab ditemani ayah Dian dan juga Ical. Namun, karena tak tega melihat wajah lelah Pita, akhirnya ayah Dian meminta Pita dan Dian beristirahat di kamar Pita sambil menunggu makan siang mereka siap.
"Di, kamu tuh pinter banget berkamuflase. Di Malang terlihat sok kere eh taunya...." Pita kembali mengulang kalimatnya.
"Ck... Kamu bisa nggak kalau diam dulu. Yang berlagak sok kere tuh siapa? Lagian kriteria tajir menurut kamu gimana? Biasa aja kali. Kamu aja yang berlebihan." Dian mendecak bosan. Yang dibalas Pita dengan menghentakkan kakinya di lantai kamar.
"Sana mandi dulu. Habis mandi kita makan. Asem banget tuh badan." Dian melanjutkan.
"Ih, aku nggak bau kali. Dua hari nggak mandi aja masih wangi." Pita menepuk dadanya bangga.
"Itu kalau kamu duduk diam di kamar kost kamu di Malang dan setiap hari hujan. Nah kalau di sini. Jangan coba-coba. Pingsan semua penghuni rumah ini." Lagi-lagi Pita mencebik mendengar ucapan Dian.
"Handuk, mana handuk." Pita tak ingin melanjutkan perdebatan mereka. Ia harus mandi untuk menyegarkan tubuh dan pikirannya.
"Kamar mandinya di situ," tunjuk Dian pada pintu di pojok kamarnya. "Di atas wastafel di kamar mandi ada tempat penyimpanan handuk, ambil aja di situ." Pita mengangguk kemudian berjalan ke kamar mandi.
"Bajunya aku ambilin, ya. Kamu mandi aja dulu," lanjut Dian begitu langkah Pita hampir memasuki kamar mandi. Selang beberapa detik kemudian pintu kamar mandi terbuka.
"Di, kamar mandimu kok kayak di hotel. Betah banget aku di sini."
"Cepat mandi, gantian. Lapar banget nih belum makan siang. Udah sore." Dian berteriak dari atas ranjangnya yang segera saja dibalas Pita dengan suara pintu kamar mandi yang berdebum keras.
Dian hanya menggelengkan kepala. Sahabatnya itu memang unik. Selalu mengungkapkan apa saja yang ada dalam pikirannya. Polos juga jujur lebih tepatnya. Makanya tak pernah sekali pun Dian berselisih dengan Pita. Perdebatan-perdebatan yang sering kali mereka lakukan adalah hal menyenangkan yang sama-sama mereka nikmati.
Tak sampai lima belas menit, Pita sudah keluar kamar mandi dalam balutan handuk yang melilit ditubuhnya. Dian segera memberikan baju yang telah ia siapkan untuk pita. Ibu Dian sudah menyediakan semuanya. Dian bahkan berdecak sebal pada kehebohan ibunya saat wanita itu mendapatkan kabar jika Dian akan pulang dengan membawa Pita bersamanya.
"Aku mandi dulu, ya. Kamu siap-siap. Habis ini kita turun makan." Dian bergantian memasuki kamar mandi. Tak berapa lama salah seorang asisten rumah tangga Dian mengetuk kamar dan memberitahu jika makan siang sudah siap.
Begitu Dian selesai merapikan diri setelah mandi. Mereka pun segera turun ke ruang makan.
Aroma yang menggugah selera seketika tercium begitu Pita dan Dian memasuki ruang makan. Pita tak mampu mengenali aroma apa yang ia cium. Ia hanya menurut saja saat ia digiring untuk duduk di kursi kayu berpelitur hitam mengkilat itu.
"Pita nggak masalah kan makan itu?" Laily menunjuk sebuah piring yang terisi makanan entah apa. Dari aromanya sepertinya Pita akan menyukainya.
"Ini makanan apa ya, Bu? Kok kayak ada bumbu kacangnya." Pita menunjuk makanan di depannya yang terlihat aneh.
"Itu namanya soto babat, Pit. Khas daerah sini. Sotonya nggak pakai kunyit jadi nggak kuning. Isinya babat sama usus sapi. Yang paling bawah itu lontong terus dikasih bihun, sambal kacang yang dibubuhi petis Madura. Nah baru di atasnya dikasih babat sama usus. Taburan di atasnya ada taoge goreng dan irisan daun bawang segar. Jeruk nipisnya jangan lupa di bubuhkan biar semakin harum," jelas Laily.
Pita mengacak-acak makanan di depannya. "Nah ini kok ada singkongnya? Masak soto dikasih singkong?" Pita terkikik mendapati ada potongan singkong berbentuk dadu pada makanan di hadapannya.
"Makanan di sini kebanyakan pakai singkong, Pit. Soto dikasih singkong, rujak juga, bahkan singkong rebus juga dimakan pakai sambal. Ntar besok-besok kita berwisata kuliner biar kamu tahu." Dian menambahi.
Pita hanya menganggukkan kepala meskipun masih tak mengerti. Biarlah besok atau lusa ia juga akan tahu sendiri jika Dian sudah mengajaknya berkeliling menikmati sajian khas daerah ini.
Pita segera menyantap makanan di hadapannya. Setelah merasakan beberapa kali suapan. Pita lantas memastikan jika ia akan seterusnya menyukai soto babat aneh di hadapannya ini. Perpaduan antara bawang putih dan entah apa yang begitu khas juga rasa pedas dan harum jeruk nipis benar-benar membangkitkan selera makanannya. Jika dipikir lagi, kapan sih Pita tak menyukai makanan yang ia telan. Semua makanan yang disodorkan di hadapannya pasti akan ia lahap sampai ludes tak bersisa.
"Nanti malam Pita ikut juga ya." Suara Laily menginterupsi keasyikan Pita yang menekuri isi piring yang nyaris tandas. Gadis itu seketika mendongak memandang wanita yang duduk di hadapannya.
"Ikut kemana ya, Bu? Kalau saya sih terserah Dian." Pita melirik sahabat yang duduk di sebelahnya. Dian hanya mengangguk tanpa bersuara. Mulutnya penuh makanan yang sedang ia kunyah.
"Acara pertemuan rutin keluarga besar ayah Pita. Dian juga ikut kok. Kan mumpung pulang. Mas Ical dan Mas Raihan juga ikut. Oh ya Mas Raihannya sebentar lagi datang. Mas Raihan itu kakak sulung Dian." Laily menjelaskan meskipun wanita itu yakin Dian pasti sudah bercerita banyak tentang keluarganya.
***
Pukul tujuh malam Pita dan seluruh keluarga Dian meninggalkan rumah menuju rumah salah satu kakak ayah Dian. Perjalanan yang mereka lalui cukup singkat karena tak ada yang namanya kemacetan ditambah lagi jarak tempuh yang lumayan dekat.
Ya, itulah nikmatnya tinggal di kota kecil. Tak ada hiruk pikuk kemacetan dan lalu lalang kendaraan. Tanpa memanfaatkan google map pun kita akan sampai tempat tujuan tanpa tersesat. Benar-benar menyenangkan.
Begitu mobil memasuki sebuah rumah megah berhalaman luas, mata Pita lagi-lagi terbelalak. "Di, iki omah opo istana negara? Aku wedi kate mlebu. Ayok mulih ae.¹"
Suara tawa Dian dan kedua kakaknya sontak memenuhi mobil. Mereka bertiga memang cukup paham dengan kalimat bernada lucu yang baru saja keluar dari mulut Pita.
***
1 = Di, ini rumah apa istana negara? Aku takut kalau masuk. Ayo pulang saja.
###
Ketik langsung publish friends. Sorry kl banyak typo. Bintangnya sudah ditabur kan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top