Dua Puluh Dua
Ebook sudah bisa diakses di google playstore, ya. Kl yg suka baca di karyakarsa juga masih bisa diakses. Verdi cetak bisa dipesan di penerbit samudra printing
###
"Saat ini memang bukanlah waktu yang tepat juga tidak sopan jika kami mengutarakan hal tersebut. Maka dari itu kami meminta izin untuk bersilaturahmi ke kediaman Bapak dan Ibu," tutup ayah Dian setelah pria baya itu berbicara panjang lebar mengenai permintaannya untuk melamar Pita menjadi calon menantu untuk anak keduanya, Haikal atau yang biasa ia panggil Ical itu.
Pita membelalak, hal yang sama juga dirasakan Rajasa. Pria itu demikian terkejut. Awalnya ia mengira pamannya akan mewakili sang ayah untuk meminta izin melamar Pita. Namun, ternyata ia salah. Adik ayahnya itu justru meminta izin untuk melamar Pita untuk Ical.
Bagaimana mungkin ada kesalahan yang begitu fatal seperti ini? Apakah ada sesuatu yang tak ia ketahui? Pita pun terlihat tak kalah panik dari dirinya.
Keringat dingin seketika mengalir dari pelipis juga dahi Pita. Kesalah pahaman jelas telah terjadi. Ia seketika sadar, betapa bodoh dirinya. Semua kekacauan ini bermula dari dirinya. Kenapa ia begitu mudah mengiyakan permintaan Dian tanpa bertanya apapun tentang siapa yang ingin mendekatinya? Hal remeh, tapi berujung petaka. Kurangnya komunikasi yang menjadi penyebabnya.
Pita dan Dian ternyata membahas sosok yang berbeda. Dian membahas Ical, kakaknya. Sedangkan Pita mengira pria yang menjadi topik bahasannya adalah Rajasa. Jika sudah seperti ini ia tak mungkin mempermalukan keluarga Dian di depan keluarganya juga keluarga besar mereka, kan?
Lagi pula, kenapa Rajasa hanya membisu di depan sana. Pria itu terlihat gusar dengan wajah memerah tapi tak mengucap sepatah kata pun. Rasa kecewa seketika menyelinap dalam hati Pita. Apa benar Rajasa serius dengan apa yang pria itu katakan? Kenapa tidak ada usaha yang pria itu tunjukkan untuk mengurai kesalah pahaman ini?
Pita menarik napas berat. Pandangannya menyorot tajam sekali lagi pada pria di ujung meja panjang itu. Mencoba meminta pria itu mengatasi semua kerumitan yang telah terjadi. Pria itu tampak mengangguk pelan, mulutnya terbuka hendak melontarkan kalimat. Namun, gerakan wanita di sebelahnya, Rini, ibu Rajasa seketika menahan kalimat yang hendak terucap dari mulut pria itu. Wanita anggun itu tampak menggelengkan kepalanya pelan. Dan bisa Pita lihat kata 'Jangan' terlontar dari bibirnya.
Pita membelalak tak percaya. Apa lagi ini? Kenapa ibu Rajasa justru melarang putranya untuk berbicara? Ada apa? Hampir saja Pita meneteskan air matanya kalau saja tak merasakan tubuhnya ditarik dari samping. Sebuah pelukan erat ia rasakan.
"Mau, ya, Pit? Kemarin-kemarin kan sudah bilang 'iya'. Pasti seru kalau kita ntar saudaraan." Kalimat antusias Dian mau tak mau menarik perhatian Pita dari masalah yang masih belum terurai saat ini.
Pita tak tahu harus berucap apa. Ada rasa berat saat bibirnya hendak mengucap 'iya'. Perasaan Rajasa juga dirinya yang menjadi pertimbangannya. Meskipun hatinya belum benar-benar mencintai pria itu. Namun, rasa sayang tentu saja sudah ada. Tinggal memupuk saja. Jika ia mengucap 'tidak' ia tak bisa membayangkan bagaimana malu dan kecewanya Dian dan keluarganya.
Hanya Rajasa yang bisa mengatasi ini semua dan menjelaskan kesalahpahaman yang telah mengungkung mereka. Ya, hanya pria itu.
Pita akhirnya hanya melempar senyum pada sahabatnya, ia tak tahu apakah senyumannya terlihat mengerikan ataukah tidak.
"Jika Bapak dan Ibu berniat silaturahmi ke rumah kami. Tentu saja kami persilakan ...," kalimat yang terlontar dari mulut ayahnya tak bisa lagi Pita dengar kelanjutannya. Kepalanya pening. Ia benar-benar sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi di depan.
Pandangannya sekali lagi beradu pada sosok Rajasa tapi yang ia dapat tetap sama. Pria itu menatapnya sendu tanpa mengucap sepatah kata pun. Apakah ini akhir dari semuanya? Apakah Rajasa telah membohonginya?
***
Makan siang yang berlangsung hampir dua jam itu akhirnya menyisakan kesepakatan. Keluarga Dian akan bertandang ke rumah Pita dalam waktu dekat. Semua orang terlihat bahagia kecuali Pita dan Rajasa.
Pita bahkan sudah menempelkan kertas tisu di ujung matanya agar air matanya tak meleleh. Hanya Rajasa yang bisa melihatnya. Pria itu tak sedikit pun meninggalkan pandangannya dari Pita.
Sebelum keluarga besar Dian dan Rajasa berpisah, Ical sempat menghampiri Pita. Dengan senyum teduhnya pria itu berucap, "Terima kasih banyak ya, Pita. Terima kasih sudah mau memberiku kesempatan. Meskipun saat ini kita belum terlalu dekat dan mengenal satu sama lain, aku harap kita akan saling membuka diri. Semoga kelak hati dan diri kamu menjadi milikku, kita saling memiliki. Dan semoga saja ini adalah awal dari hubungan kita yang nantinya membawa kebaikan dan kebahagiaan kita bersama. Jaga diri baik-baik, jangan sungkan untuk menghubungiku atau pun Dian. Kamu sudah tidak sendiri lagi sekarang." Ucapan Ical seketika membuat Pita tak mampu menahan lelehan air matanya. Isakan pelan lolos diiringi cairan yang bergerak menuruni pipinya. Rasa bersalah, takut, kecewa, was-was dan entah apa lagi bercampur menjadi satu.
Rasa bersalah kepada pria baik hati di depannya ini juga keluarganya karena hati Pita bukan untuknya.
Takut jika suatu saat apa yang telah menjadi kesepakatan keluarga mereka akan membuat banyak pihak tersakiti.
Kecewa karena kenyataan yang ia dapatkan saat ini tidak seperti apa yang sudah ia rencanakan.
"Pita, aku minta maaf. Aku mohon jangan jadikan hal ini sebagai beban. Aku memberanikan diri melakukan ini semua setelah Dian menyampaikan bahwa kamu bersedia untuk aku dekati."
Pita menggeleng pelan. Dihapusnya air matanya sebelum berucap, "Mas Ical nggak usah khawatir. Aku nggak apa-apa kok. Hanya sedikit gugup aja. Maaf sudah membuat Mas Ical khawatir." Pita berusaha memberikan senyuman terbaiknya agar pria di depannya ini tak memikirkan apa yang baru saja dilihatnya.
Setelah berpesan beberapa hal, akhirnya mereka berpisah. Pertemuan berikutnya tentu saja akan dilakukan di rumah Pita beberapa waktu ke depan.
Dian tak henti-hentinya bersorak gembira. Gadis itu seolah tak menyadari wajah sahabatnya yang tidak seceria biasanya. Kebahagiaan akibat keinginannya untuk selalu bisa berdekatan dengan sahabatnya yang akan segera terwujud membuatnya begitu tak bisa menahan luapan kegembiraannya. Jika sudah seperti itu, apa Pita tega merusaknya? Apalagi raut bahagia yang sama juga tercetak di wajah kedua orang tua Dian dan orang tua Pita sendiri. Mampukah Pita menghapus wajah-wajah berbinar itu? Tentu ia tak akan mampu.
###
Nah... Nah... Nah.... Siapa yang salah?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top