Dua Puluh Delapan.

Versi lengkap bisa dibaca di karya karsa.

###

Hal yang sudah Pita dan orang tuanya rencanakan ternyata gagal. Kedua orang tua Pita dengan sangat terpaksa tidak dapat menghadiri resepsi pernikahan Raihan, kakak Ical. Mereka mendapat kabar mengejutkan. Rasti, istri kakak Pita mendapatkan musibah. Wanita itu tiba-tiba mengalami pendaraan di kehamilannya yang masih berjalan dua puluh minggu. Secara kebetulan Dimas, kakak Pita sedang dinas keluar kota selama seminggu.

Tentu saja kedua orang tua Pita harus membatalkan keberangkatan mereka ke Sumenep. Mereka harus menjaga menantu yang dirawat di rumah sakit ibu dan anak juga membantu mengasuh cucu mereka yang masih balita.

Pada akhirnya, sopir keluarga Ical yang menjemput Pita karena Ical harus membantu persiapan pesta pernikahan kakaknya.

Pukul tujuh malam Pita tiba di rumah Ical. Gadis itu disambut dengan suka cita oleh seluruh keluarga, tak terkecuali Dian. Pesta pernikahan Raihan masih akan dilaksanakan keesokan harinya setelah tiga hari sebelumnya akad nikah dilaksanakan di rumah mempelai wanita di Kediri.

"Pit, akhirnya ...," Dian memeluk Pita begitu gadis itu turun dari mobil. Ia bahkan tak membiarkan temannya itu hanya untuk sekedar bersalaman dengan orang tuanya.

"Di, lepas dulu Pitanya. Dia sampai nggak bisa napas tuh." Ical tiba-tiba sudah berucap di belakang Dian. Pria itu tampak mengulum senyum melihat ulah adiknya.

"Bilang aja kamu mau gantiin peluk Pita, Mas," balas Dian telak. Pita hanya meringis. Menunjukkan gigi-gigi putihnya. Gadis itu akhirnya melepaskan pelukan Dian lalu menghampiri kedua calon mertuanya. Setelah mencium punggung tangan kedua orang tua Ical, gadis itupun meraih punggung tangan Ical dan menciumnya.

"Duh, masih calon udah bikin adem kayak gini. Gimana nggak keburu dikawinin sama Mas Ical."

"Mulutnya, Di," tegur ibu Dian.

"Iya, Bu. Nikah bukan kawin." Dian tergelak.

Setelah mandi dan berganti baju di kamar Dian, Pita dibawa ke halaman belakang rumah untuk menikmati makan malam. Kenapa makan malam di halaman belakang? Jawabannya tentu karena mereka semua menikmati beraneka sea food yang masih segar.

Di sudut halaman, terlihat salah satu pekerja di rumah Dian yang sedang sibuk membakar beberapa jenis ikan, udang dan lobster yang mengepulkan asap di atas bara api.

Aroma lezat dari ikan segar yang dibakar seketika membuat air liur Pita nyaris menetes. Ia sudah begitu ingin mencicipi beraneka hidangan laut itu. Maka saat Dian mengajaknya mendekati kepulan asap di pojok halamannya Pita pun bergegas mempercepat langkahnya. Lagi pula perutnya juga sudah begitu lapar. Ia menikmati makan siangnya sebelum berangkat tadi siang dan saat ini hari sudah berganti malam.

"Kamu mau yang mana, Pit?" Tiba-tiba saja suara Ical sudah terdengar di belakangnya. Ia pun mengulas senyum lalu menunjuk seekor ikan kakap berukuran kecil yang baru saja diangkat dari bara api oleh pak Mannan, penjaga rumah Dian.

"Kok cuma pilih yang kecil. Banyak yang lebih besar tuh." Ical membuka kotak styrofoam berisi hewan-hewan laut segar di depannya.

"Dia mau diet, Mas. Calon pengantin harus mirip putri indonesia di hari pernikahannya." Dian menyahut yang seketika dihadiahi cubitan di pinggangnya. Gadis itu melotot tak terima.

"Kamu sekarang jadi pembelot gara-gara udah jadi calon kakak ipar. Huh! Sudah main tindas aja." Kalimat Dian justru mendapat balasan gelak tawa dari Pita dan Ical.

"Nggak ada istilah diet dalam hidupku, Di. Pengin makan ya makan aja."

"Cie, sombong mentang-mentang pantatnya gak makin semok saat makan banyak-banyak." Lagi-lagi Pita terbahak.

"Ini aku ambil kakap yang kecil soalnya masih pengin makan udang sama lobster. Pengin ngerasaain seafood yang beneran segar." Pita terkikik.

"Kalau urusan seafood segar sih Mas Rajasa bosnya. Ini aja dia yang ngirim." Sedetik setelah Dian menyelesaikan kalimatnya, Pita terdiam. Air mukanya seketika berubah.

"Eh, Mas Ical mau makan apa? Aku ambilin sekalian ya," ucap Pita segera untuk mengalihkan topik pembicaraan. Baginya, topik pembicaraan tentang Rajasa bukanlah hal yang tepat untuknya saat ini yang sudah mulai merasa nyaman dengan kehadiran Ical. Ia tak mau kehadiran pria itu---meskipun hanya namanya saja yang disebut---menjadikannya begitu kacau seperti hari-hari sebelumnya.

Meskipun tak pernah terjadi kedekatan yang begitu intens dengan Rajasa namun bagi Pita yang sebelumnya tak pernah dekat dengan lawan jenis, hal itu adalah hal baru. Hal yang mampu membuat dadanya sempat berteriak penuh keceriaan meskipun hanya sesaat.

"Samain kayak kamu aja, Pit. Aku ambil nasinya ya?" Ical meraih dua buah piring di meja tak jauh dari tempat ia berdiri. Mengisinya dengan nasi dan membawanya duduk di gazebo tak jauh darinya. Pita menyusul setelah mengambil sambal, ikan bakar, udang, dan lobster untuk dirinya dan Ical. Meninggalkan Dian yang mematung sendirian keheranan. Apa ia salah bicara? Kenapa Pita tak menanggapi kalimatnya?

Ah biarlah. Itu hanya perasaan Dian saja. Gadis itupun akhirnya menyusul sahabat dan kakaknya setelah mengambil makan malamnya. Bergabung dengan mereka sambil terus berbincang hingga makan malam mereka usai lalu berlanjut berkumpul dengan keluarga besarnya yang malam ini hampir semuanya hadir untuk membicarakan kematangan persiapan pesta pernikahan Raihan esok hari.

***

Pita memandang takjub pantulan dirinya di cermin setinggi tubuhnya di kamar Dian. Tubuh rampingnya terbungkus dengan begitu sempurna oleh sehelai kebaya modern berwarna merah muda yang terlihat begitu indah. Kebaya yang berbeda seperti yang ia peroleh beberapa waktu lalu dari ibu Dian. Pita pikir kebaya itu nantinya akan ia kenakan saat pesta pernikahan Raihan namun ia salah. Kebaya yang ia terima beberapa waktu lalu ternyata seharusnya dipakai dalam acara akad nikah Raihan. Sedangkan untuk pesta pernikahan, mereka semua menggunakan kebaya yang berbeda. Kebaya yang saat ini Pita pakai.

"Sudah cantik, nggak usah dilihatin terus." Suara Dian membuat Pita berhenti mengagumi pantulan dirinya di cermin. Ia bahkan tak menyangka dirinya akan berubah begitu mengagumkan seperti saat ini. Ia harus berterima kasih pada siapapun yang telah menjahit kebayanya dengan begitu indah dan juga dengan ukuran yang begitu pas di tubuhnya. Tak ketinggalan mekap sempurna yang melengkapi penampilannya. Mekap yang terlihat natural namun membuat Pita lagi-lagi tak berhenti mengagumi keluwesan jari jemari penata rias yang bekerja dengan begitu sempurna mempercantik wajahnya.

"Mekap sama kebayanya bagus banget, Di. Rambutnya juga aku suka. Semuanya benar-benar sempurna."

Dian berdecak. Gadis itu menggeser sedikit tubuh sahabatnya di depan cermin lalu mengarahkan ponsel yang sejak tadi ada dalam genggamannya ke arah kaca. Mengambil gambarnya dan Pita.

"Ntar kita bakalan foto-foto jadi kamu nggak usah takut wajah ala Putri Indonesia kamu ini nggak terdokumentasi. Yuk, ah! Kita keluar sekarang. Sudah waktunya kita berangkat ke gedung nih. Tuan rumah harus datang lebih awal dari para tamu dong," ajak Dian. Gadis itu meraih clutch cantik senada dengan kebaya yang ia pakai dan Pita. Memasukkan ponselnya di sana. Hal yang sama dilakukan Pita sebelum menyusul Dian meninggalkan kamarnya.

Di ruang keluarga, Ical tak berhenti memandang Pita dengan pandangan memuja begitu gadis itu berada di hadapannya. Gadis itu terlihat berkali-kali lipat begitu mempesona. Bukan berarti sehari-harinya gadis itu tak mempesona,tak ada kata tak mempesona untuk Pita dan semakin hari Ical semakin tak kuasa menahan kekagumannya pada tunanganya itu.

Baginya, Pita layaknya bintang yang begitu sulit ia gapai dilangit sana. Keberuntungan baginya karena bisa mendapatkan gadis itu. Ia terus menerus berharap dan berdoa, semoga gadis cantik dan juga lemah lembut itu akan segera menjadi miliknya seutuhnya. Semoga dirinya berjodoh dunia akhirat dengan gadis itu dan menjadikan dirinya sebagai masa depannya. Menjadi satu-satunya pria beruntung yang mendapatkan cinta dan kasih sayang Pita. Ya, semoga saja.

###
Nia Andhika
03012021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top