Dua Belas

Tinggal beberapa hari ke depan ya, friends. Yuk, ikutan PO bukunya.

###

"Lah, Kamu kenapa wajahnya merah gitu, Pit?" Rajasa terkekeh saat menoleh dan melihat wajah Pita yang yang merona. "Sini kuenya, aku masih bisa makan kok. Kelihatannya enak banget. Sayang kalau dilewatkan," lanjut pria itu kemudian memperlambat laju kendaraannya. Ia kemudian menghentikan kendaraannya di pinggir jalan yang lumayan sepi.

"Berhenti dulu nggak apa-apa, kan?"

Pita mengangguk mengiyakan. Fiuh... Akhirnya Pita bernapas lega. Ia tak harus menyuapi pria di sampingnya itu. Hah, lagi pula Pita saja yang terlalu percaya diri. Baru juga disentil sedikit oleh Rajasa, wajahnya sudah memerah seketika. Yah maklumi saja jomlo menahun yang tak pernah sekali pun mendapatkan ungkapan cinta dari siapa pun.

Tangan Pita sigap membuka kotak kue dan menyodorkannya ke hadapan pria di sampingnya. Mereka menikmati kue-kue lezat yang Pita beli sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan menuju gudang tembakau.

Saat hendak meletakkan kotak pembungkus kue di bawah kaki. Tangan Pita tak sengaja menyentuh kotak berwarna hitam. Karena penasaran ia meraih benda itu dan membawanya ke pangkuan.

"Ini apa, Mas? Kok ada di bawah?" tanya Pita mengamati benda di pangkuannya. Ternyata sebuah tas berukuran sedang yang terasa cukup berat. Rajasa menoleh sejenak memastikan apa yang Pita tanyakan.

"Oh itu. Upah para pekerja."

"Maksudnya?" Pita masih tak mengerti maksud perkataan pria itu.

"Uang untuk membayar upah pekerja juga pembayaran tembakau dari petani." Rajasa menjawab santai.

"What! Uang? Sebanyak ini?" Pita dengan tak tahu malu membuka tas di pangkuannya dan matanya seketika membola. Ternyata lembaran uang kertas dengan jumlah nominal yang tak Pita tahu berapa. Uang dalam beragam pecahan itu tampak tertata rapi dalam tas berbahan kulit itu. Menelan ludah kasar, Pita kembali menutup risleting tas kemudian melemparkan tas yang terasa berat oleh uang tunai itu kembali ke tempatnya semula. Di bawah kakinya.

Rajasa yang melihat ulah Pita seketika keheranan. Kenapa gadis itu seolah-olah jijik memegang tas yang semula ia pangku itu.

"Ngapain dilempar ke bawah lagi, Pit?"

"Hiii.... Ngeri tahu, Mas. Hari gini bawa uang tunai segitu banyak. Nggak takut kerampokan, ya?" Pita berucap panik sambil menolehkan kepala ke sekeliling. Mengamati lalu lintas yang cukup sepi. Wajar saja mereka sudah mulai keluar area kota menuju gudang tembakau Rajasa di salah satu desa yang berjarak lumayan jauh dari kota.

"Sudah biasa kali, Pit. Semoga saja selalu aman. Kamu nggak usah panik kayak gitu." Rajasa terkekeh berusaha menenangkan.

"Kenapa bayar pekerjanya nggak ditranfer aja. Langsung masuk ke rekening para pekerja gitu. Lebih, aman juga praktis. Bayar tembakau petani juga bisa dengan cara yang sama. Jadi Mas Rajasa nggak usah ribet ke gudang tembakau atau juga gudang garam sambil bawa-bawa uang." Pita berucap dengan nada berapi-api. Yang hanya dihadiahi senyuman oleh pria yang masih fokus pada jalanan di depannya.

"Para pekerja tidak punya rekening di bank, Pit. Kalau pun punya mungkin hanya satu dua orang. Mereka adalah orang-orang bersahaja yang hidup sederhana. Justru kalau dikasih kartu debit atau kartu ATM mereka pasti kebingungan. Mau ngambil uangnya masih harus ke bank. Sedangkan bank milik pemerintah setidaknya hanya sampai di area kecamatan. Bagaimana dengan pekerja yang tinggal jauh di pelosok desa? Sudah pasti mereka akan semakin sulit menikmati hasil kerja keras mereka. Cara paling praktis bagi mereka tentu saja dengan menerima uang tunai. Mereka bisa langsung membelanjakan uang mereka saat mendapatkan upah dari pekerjaan mereka. Resiko membawa uang tunai dalam jumlah banyak memang besar tapi alhamdulilah sampai saat ini tidak pernah ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Aku lebih suka sedikit repot yang penting mereka semua merasa nyaman. Kerja mengurus tembakau atau juga garam itu cukup berat. Aku nggak mau mereka dibebani lagi dengan sulitnya mereka menikmati uang hasil kerja kerasnya." Pita mengangguk-angguk mengerti maksud Rajasa.

"Praktis menurut kita tapi belum tentu menurut orang lain sama, ya." Pita terkekeh dengan kesimpulannya.

"Ya seperti itulah. Namun, jika mereka kebetulan mempunyai anak yang menempuh pendidikan di luar kota dan berkeinginan untuk mengirim uang hasil kerja kepada anak-anak mereka, mereka bisa menitipkannya kepadaku. Aku sendiri yang akan membantu mengirimkan uang mereka. Hal seperti itu sudah sering kami lakukan di sini. Aku diberi kepercayaan, ya tentu saja aku laksanakan."

"Capek nggak Mas kerja lapangan kayak gitu? Nggak pengen tuh kerja kantoran yang memakai setelan rapi juga sepatu mengkilat."

"Namanya kerja mana ada yang nggak capek. Kerja kantoran atau juga turun ke lapangan kayak aku sama aja capeknya. Kalau passion aku sih emang di sini. Kerja kayak gini tuh tenang ke hati. Setiap hari kita berinteraksi dengan banyak orang. Melihat sesuatu bukan hanya dengan mendongak ke atas. Perhatikan aja para pekerja. Pola hidup mereka yang sederhana adalah hal yang luar biasa. Mereka tak terpengaruh dengan kehidupan serba canggih di luar sana. Mereka bekerja tanpa memikirkan ponsel, media sosial, atau juga memamerkan aktivitas keseharian mereka pada semua orang," jelas Rajasa yang mau tak mau membuat Pita melebarkan senyuman. Benar-benar luar biasa pria di sebelahnya ini. Sederhana. Namun, semakin lama membuat orang memandang takjub kepadanya.

Tiga puluh menit kemudian mereka tiba di gudang tembakau milik keluarga Rajasa. Setelah menyapa beberapa orang di sana, Rajasa terlihat berbicara serius dengan seorang pria yang Pita perkirakan berusia pertengahan empat puluh. Pria itu membawa lembaran-lembaran kertas yang diserahkan kepada Rajasa. Setelah membacanya Rajasa tampak menyerahkan uang dalam tas kulit yang ia bawa.

Tak berapa lama, tampak para pekerja berkumpul mengelilingi kedua pria itu. Dua orang wanita terlihat membantu pria yang sepertinya diberi tugas Rajasa untuk membayar upah pekerja.

Beberapa saat kemudian Rajasa keluar dari kerumunan pekerja yang mengantri upah mereka. Pria itu duduk di sebelah Pita yang sedari tadi tak melepas pandangan darinya.

"Nanti kita tidak usah ke gudang garam." Pria itu tiba-tiba berucap, Pita mengeryit sekilas kemudian paham dengan maksud pria itu.

"Lalu upah pekerjanya gimana?" Bukankah kalau mereka tidak mengantar uangnya maka para pekerja tidak akan mendapatkan upah? Pertanyaan itu hanya Pita simpan dalam hati.

"Sudah ada orang yang kebetulan akan mengambil uangnya ke sini." Pita hanya mengangguk. Ya, bukankah Rajasa memang memiliki para pekerja yang bisa diandalkan. Mereka adalah orang-orang kepercayaan ayah Rajasa sejak dulu.

Hening, Pita dan Rajasa hanya mengamati orang-orang yang berlalu lalang di hadapan mereka. Suka cita para pekerja yang mendapatkan upah mereka juga candaan-candaan khas yang jelas tak Pita tahu apa artinya. Mereka semua berkomunikasi dalam bahasa Madura yang begitu asing di telinga Pita.

Tak berapa lama seorang wanita berbusana tradisional dengan atasan kebaya dan kain sarung wanita khas Madura datang menghampiri mereka. Di tangannya tampak sebuah nampan lebar yang terisi dua buah cangkir juga dua buah piring yang tampak penuh.

"Ngireng aatore pasaeyagi, namong ka'dhinto badhana." (Silakan dinikmati makanannya. Mohon maaf, adanya cuma ini). Wanita itu berucap setelah meletakkan makanan dan minuman di meja kecil di hadapan Pita dan Rajasa.

"Mator sakalangkong, ja' pot-repot. Ka' dinto pasera se amassa'?  Ebu dibi' enggi?" (Terima kasih. Jangan repot-repot. Ini siapa yang masak? Ibu sendiri, ya?)

"Enggi, daggi' malem bada kompolan RT. Bakalla Mas Rajasa kasokan enggi  ka massa'an ka'dhinto?" (Iya, nanti malam di rumah ada acara pertemuan RT. Tunangan Mas Rajasa mau kan sama makanan ini?) tunjuk wanita itu pada makanan yang ia letakkan di meja.

"Ta' oning, ka' dinto buru dha' adha',"
(Belum tahu, ini pertama kalinya) balas Rajasa. Ia tak tahu Pita mau atau tidak dengan makanan yang terhidang di hadapan mereka itu.

Wanita itu kemudian mengulurkan tangan untuk bersalaman pada Pita. Pita mengulas senyum menyambut uluran tangan itu. "Duuuu ce' raddinna. Mas Rajasa ce' penterra nyare bakal se raddin, malar moga duluye apangantan,  judu baris dunnya akhirat." (Duh, cantiknya. Mas Rajasa pinter banget cari calon istri. Semoga segera naik pelaminan. Berjodoh dunia akhirat) Wanita itu kembali melontarkan kalimatnya.

"Aamiin mator sakalangkong, Bu," (Aamiin, terima kasih, Bu) balas Rajasa sambil menatap Pita yang sudah pasti tak tahu apa yang sedang ia bicarakan.

"Ngireng eatore pasaeyagi, pong-pong gi' anga'." (Ayo silakan dinikmati mumpung masih hangat). Setelah mengucapkan kalimat itu, wanita baya itu meninggalkan Rajasa dan Pita. Rajasa mengambil piring yang berisi makanan beraroma menggiurkan itu memberikannya pada Pita.

"Ibu tadi ngomong apa, Mas? Kok pakai ada dunia akhiratnya?" Pita penasaran dengan perbincangan Rajasa baru saja.

"Oh, ibu tadi, Bu Fatimah mengatakan semoga kita secepatnya menikah, berjodoh dunia akhirat."

"What! Demi apa coba, cepat menikah? Jodoh dunia akhirat? Pacaran aja enggak. Kenal juga baru kemarin." Pita berkata pelan namun tetap bisa Rajasa dengar.

"Kamu nggak mau nih kalau berjodoh dengan aku? Tersinggung nih aku." Pita membelalak seketika. Nih orang kesambet atau apa ya? Disodori pria sandarable seperti Rajasa, siapa sih yang mampu menolak.

"Ih, bukan, bukannya gitu, Mas." Pita berucap canggung meralat kalimatnya.

"Berarti mau dong?" Lagi-lagi Pita membelalak tak mampu mengeluarkan kalimat apa pun. Wajahnya seketika bersemu merah.

"Sudah, nggak usah dipikirin. Bercanda, Pit." Rajasa tiba-tiba menepuk pelan kepala Pita. Pita menunduk, seketika tersenyum masam.

Sialan! Cakep-cakep ternyata suka bikin baper anak orang. Pita mengelus dadanya.

Ya Allah, kuatkan hati hamba dari pesona makhluk berdada bidang di sebelahnya ini, Pita berucap dalam hati.

###
Bab ini adalah bab yang banyak bahasa asingnya wkekkekwk....😂😂😂. Anggap saja memperbanyak kosakata baru. Iye kan?

Thanks buat mama syantiek IndraWahyuni6 atas bantuan mentranslate dialognya. Jujur aja meskipun sudah belasan tahun menikah dg orang Madura, tapi penguasaan bahasa Madura saya masih minim 😝😝

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top