Bab 4
Sejak pembicaraan terakhir kali, Kafi belum bertemu kembali dengan orang tuanya. Ia hanya tahu bahwa mereka tengah ada kerjaan di luar kota, setidaknya hingga minggu depan. Ada rasa bersalah yang bersarang di hatinya setelah mengungkapkan perasaannya hari itu. Namun, juga lega karena beban di hatinya telah sepenuhnya terangkat.
Pagi ini, ia telah rapi dengan setelan jas hitam serta dasi motif polkadot. Kafi akan menghadiri acara amal yang diselenggarakan oleh kantornya. Acara itu bertempat di Panti Asuhan Kasih Bunda. Acara itu memang rutin dilakukan setiap menjelang akhir tahun. Lokasinya memang selalu bertempat di panti asuhan karena di sana, Kafi bisa menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya.
Bagi pemuda 28 tahun itu, suara gelak tawa dari anak-anak panti merupakan obat paling mujarab untuk mengobati segala luka di hatinya. Ketika Kafi tiba, halaman panti asuhan itu telah ramai sejak pagi, beberapa orang tampak hilir-mudik di sana. Ia pun segera masuk dan duduk di tempat yang telah disediakan oleh panitia.
Bola mata hitamnya menyapu ke sekeliling, tak jauh darinya ada beberapa anak yang asyik berlarian kesana-kemari. Wajah-wajah mungil itu tampak gembira, terlepas dari kenyataan pahit yang harus mereka terima. Ditinggalkan dan ditelantarkan oleh orang tua kandungnya. Namun, mereka tetap saja masih anak-anak yang belum mampu memahami keadaan seutuhnya.
Kafi menghampiri dan menyapa anak-anak itu. Meskipun mereka tergolong banyak bicara, tetapi tak ada raut kesal di wajahnya. Hanya senyuman manis yang terpampang di wajah bulat itu. Hal yang membuat anak-anak panti merasa nyaman berada di dekatnya. Sesekali terdengar derai tawa dari bibir tipis Kafi ketika bercengkerama dengan anak-anak yang kurang beruntung itu.
"Mas Kafi sering-sering ke sini, ya. Biar kita bisa makan enak dan dapat tambahan uang saku. Kita juga seneng soalnya berasa punya orang tua yang sayang." Rasya memeluk lengan kekar Kafi.
Suasana hening sesaat, semua mata menatap Kafi dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Sementara itu, Kafi terdiam sejenak. Wajah sumringahnya seolah direnggut paksa terganti oleh awan mendung. Kedua mata hitam itu berkaca-kaca, ia tampak menarik napas panjang berkali-kali.
"Iya, Mas. Kalau Mas Kafi ke sini kita jadi merasa punya orang tua yang perhatian. Meskipun kita tahu kalau orang tua kita nggak tahu di mana. " Nadia menimpali.
Kafi tersenyum sendu, ada banyak kata yang ingin diucapkan. Namun, pada akhirnya hanya tertahan di tenggorokan. Dadanya tiba-tiba terasa sesak, seolah tak ada lagi oksigen yang bisa dihirup. Bagi anak-anak itu mungkin itu hanya sekadar permintaan sepele, tetapi tidak bagi pemuda itu.
Kafi mengedipkan mata, menghalau air mata yang siap tumpah membasah pipi. Hatinya tersentuh mendengar alasan di balik permintaan itu. Ia yang selalu merasa bahwa kasih sayang orang tuanya tak pernah sempurna, seolah ditampar dengan keras oleh ucapan Rasya dan Nadia.
"Sayang, orang tua kalian pasti juga sayang kok. Hanya saja mereka punya alasan kenapa memilih menitipkan kalian di sini. Meskipun nggak ada mereka, tapi ada Ibu Panti, Mas Kafi, teman yang banyak dan orang tua asuh lainnya. Jadi, kalian nggak perlu sedih lagi, oke?" Kafi mencoba menghibur.
Kafi mengucap syukur dalam hati karena dipertemukan dengan malaikat-malaikat kecil itu. Sejujurnya, ia merasa nelangsa melihat mereka harus tumbuh tanpa orang tua. Lebih menyakitkan lagi, mereka tak pernah tahu bagaimana rupa orang tuanya. Sama sekali tak ada memori tentang hal itu karena sejak mereka bisa mengingat hanya panti asuhan ini yang terekam jelas.
"Mas Kafi punya cokelat, siapa yang mau?" Kafi mengalihkan perhatian.
"Aku, Mas."
"Aku."
"Nanti gigiku bolong kalau makan cokelat."
"Gigiku udah sakit, nanti tambah sakit kalau makan cokelat."
Beragam jawaban Kafi dapatkan, membuatnya tersenyum tipis sebagai tanggapan. Ia pun membagikan cokelat yang ada di dalam tas hitamnya. Jumlahnya memang tak terlalu banyak, tetapi cukup untuk menghibur anak-anak itu.
Interaksi mereka membuat beberapa orang yang melihatnya turut tersenyum lebar. Siapa sangka bahwa Kafi sang pemilik Ibrahim Grup akan begitu dekat dengan anak-anak panti yang notabene dari kalangan rendah. Tak terlihat ada kecanggungan di antara mereka, justru mereka tampak seperti kerabat dekat yang lama tak bertemu.
Tak jauh dari lelaki itu, ada sepasang mata yang mengamati dengan takjub. Hatinya berdesir setiap kali melihat dan mendengar tawa anak-anak. Tak dipungkiri di usianya yang sudah matang untuk berumah tangga, ia mendambakan jodoh dan buah hati. Namun, doanya masih belum dikabulkan.
Desakan demi desakan telah didapatkan hampir setiap hari oleh orang tua, bahkan teman-teman kantornya. Maklum saja, semua saudaranya sudah berumah tangga dan dikarunia momongan. Begitu pula dengan teman-teman dekatnya. Hanya ia sendiri yang masih melajang hingga detik ini. Melihat interaksi anak-anak panti dan Kafi, membuat hatinya yang telah gersang bersemi kembali.
Perempuan itu adalah Quenna, ia merupakan salah satu karyawan di Ibrahim Grup. Hanya saja ia tak ditempatkan di kantor pusat, tetapi di kantor cabang. Tentu ia sangat tahu siapa pemuda yang saat ini ada dalam angannya itu, sosok yang sangat sempurna dan terlalu sulit digapai. Hanya saja, hati tak pernah punya kuasa untuk memilih kepada siapa akan jatuh pada akhirnya. Rasa itu hadir begitu saja di hatinya.
Sebuah tepukan lembut di pundak membuyarkan lamunan Quenna, pelakunya adalah Bu Arumi-salah satu pengasuh di panti.
"Nak Ratu kenapa senyum-senyum sendiri sambil lihatin Nak Kafi? Pasti naksir, ya?" goda Bu Arumi.
Quenna dan Bu Arumi memang sudah sangat akrab karena ini bukan pertemuan pertama mereka. Perempuan itu juga merupakan salah satu donatur di sana. Wanita paruh baya itu memang lebih suka memanggil Quenna dengan sebutan Ratu. Menurutnya, itu lebih mudah diucapkan oleh lidah. Toh, beliau tak mengubah makna dari nama itu sendiri.
Seketika pipi Quenna memerah, salah tingkah karena tebakan itu tepat sasaran. Hal yang membuat Bu Arumi tersenyum tipis sembari mengusap rambut hitam perempuan itu.
"Nggak ada yang salah kok, Nak. Perasaan itu wajar saja, Ibu juga pernah muda kok. Kalau kamu mau, Ibu bisa kenalkan ke Nak Kafi. Ibunya Nak Kafi, sahabat ibu. Kemarin sempat bilang kalau lagi nyari calon mantu."
"Ibu mah bisa aja, saya yang minder duluan, Bu. Lagian Mas Kafi belum tentu mau, yang jauh lebih segalanya dibandingkan saya banyak. Ibaratnya nih kalau pakai nomor antrian, bisa mencapai ratusan ribu," kekeh Quenna.
"Nggak usah minder, kalau jodoh mah nggak kemana. Kalau kamu mau, ibu bisa bantu. Nanti ibu rekomendasikan ke ibunya Nak Kafi atau kamu aja yang deketin anaknya langsung." Bu Arumi terkekeh.
Mendengar itu, Quenna menautkan kedua tangannya. Telapak tangannya terasa basah karena keringat, salah satu tanda ketika ia tengah gugup.
"Nggak usah, Bu. Biar takdir aja yang memberi jalan. Saya beneran nggak tau harus gimana." Quenna menutup wajahnya dengan telapak tangan.
Hal yang membuat Bu Arumi tertawa nyaring, hingga membuat Kafi yang tengah berbincang menoleh. Ia mengernyitkan dahi ketika melihat Quenna yang menutupi wajah, tetapi segera mengalihkan pandangannya.
"Gadis yang lucu," gumamnya.
~To be continued~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top