Bab 3
Olahraga merupakan satu hal yang tak pernah kafi lewatkan setiap Minggu pagi. Walau hanya sekadar berjalan santai di area kompleks rumahnya. Kali ini, ia tak sendiri. Naufal dan Sintia sudah menunggu di halaman depan, ketika Kafi keluar.
"Tumben jam segini baru bangun, Mas?"
Kafi cengo untuk sesaat karena tak menyangka kedua orangtuanya sudah bersiap dan bahkan menunggunya untuk olahraga bersama. Ada beberapa perubahan sikap mereka yang membuatnya heran belakangan ini. Namun, tak dipungkiri bahwa hatinya menghangat dengan setiap perubahan yang terjadi.
"Ayah sama Bunda mau olahraga juga? Tumben, biasanya pagi-pagi udah pada nggak di rumah."
Naufal dan Sintia saling pandang, kemudian tersenyum tipis. Ada rasa bersalah yang menyelinap masuk ke dalam benak mereka. Menyesal karena selama ini terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing hingga melupakan buah hati mereka. Ketika tersadar, putranya telah tumbuh dewasa dan waktu tak akan pernah terulang lagi.
"Ayah sama Bunda sengaja libur buat nemenin kamu hari ini. Lagian udah lama banget kita nggak punya waktu buat kumpul-kumpul." Naufal angkat bicara.
"Kita jalan sekarang aja, keburu siang," ajak Sintia.
Ketiganya pun berlari kecil mengelilingi kompleks. Sesekali mereka berhenti dan menyapa tetangga yang ditemui. Mereka baru tiba kembali di rumah sekitar jam setengah delapan. Usai membersihkan diri, mereka berkumpul kembali di ruang makan untuk sarapan.
Menu hari itu tampak lengkap, mulai dari sup iga, cah kangkung, ayam goreng, ikan goreng, sambal terasi, cumi asam manis, tak lupa buah-buahan sebagai pelengkap. Kafi diam-diam merasa bersyukur,hal yang pernah ia harapkan ketika kecil dulu bisa terwujud. Meskipun ia harus menunggu selama 28 tahun untuk momen itu.
Kali ini, waktu yang tepat untuk berdiskusi tentang keputusannya. Selama ini ia tak pernah punya kesempatan untuk melakukan itu karena orang tuanya terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Setelah sarapan, ia mengajak orang tuanya berbincang di ruang keluarga.
"Yah, Bun, ada yang mau Kafi bicarakan." Kafi ragu.
Naufal dan Sintia saling pandang, kemudian mengangguk bersamaan. Hal ini memang yang mereka tunggu sejak kemarin.
"Kafi tahu bahwa Ayah dan Bunda pengin segera punya mantu dan nimang cucu. Hanya saja sekarang ini Kafi benar-benar belum siap untuk itu." Kafi tertunduk.
Naufal dan Sintia tak ada yang menyela, menunggu Kafi menyelesaikan pembicaraannya.
"Soal menikah, Kafi memang ada rencana. Meskipun tidak dalam waktu dekat ini. Namun, soal memiliki anak; aku sudah memutuskan untuk tidak memiliki anak sendiri."
Mendengar keputusan itu, Sintia hendak angkat bicara. Namun, tangannya langsung digenggam oleh sang suami. Mengisyaratkan agar tak berkomentar lebih dulu. Akhirnya, ibu satu anak itu menurut saja.
"Jika kalian ingin punya cucu, Kafi bisa adopsi anak. Di luar sana ada banyak anak yang tidak beruntung dan butuh orang tua asuh. Kafi pengen mereka juga bisa merasakan bagaimana memiliki orang tua. Itu sebabnya lebih memilih mengadopsi dibanding harus memiliki anak sendiri. Lagi pula, Kafi nggak mau membebani siapa pun pendampingku nanti untuk bisa punya momongan," lanjut Kafi.
"Bunda tahu maksudmu baik, Mas. Cuma Bunda minta untuk pertimbangkan lagi keputusanmu itu. Jangan sampai ada penyesalan nantinya. Mungkin Ayah dan Bunda bisa menerima keputusanmu, tetapi bagaimana dengan keluarga dan calon istrimu nanti?"
Kafi terdiam, ingatannya kembali pada kejadian beberapa bulan silam. Ia yang dianggap tak waras, bahkan dicaci-maki sesuka hati karena keputusannya untuk childfree dibahas bersama keluarga calon istrinya.
"Bunda nggak bermaksud memberikan tekanan, tetapi kamu juga harus realistis. Setiap pasangan yang menikah selalu menantikan kehadiran buah hati. Buah hati bagi mereka seolah menjadi tujuan utama yang harus dicapai. Ada berapa banyak pernikahan yang hancur hanya karena tak ada kehadiran buah hati di rumah tangga mereka. Bunda nggak mau, kamu menjadi salah satunya."
Kafi masih tak menjawab, ia sibuk dengan pemikirannya sendiri. Sementara itu, Naufal memberi isyarat pada Sintia agar tak melanjutkan lagi. Melihat wajah putranya yang tampak tertekan, membuatnya tak tega.
"Yah, Bunda udah memikirkan ini sejak pembicaraan terakhir kita. Bunda tahu bahwa Kafi yang akan menjalani semuanya, tetapi sebagai orang tua kita punya kewajiban untuk mengingatkan. Ini juga demi kebaikan Kafi, kok."
Kafi menarik napas panjang, jemarinya saling meremas. Ia harus memikirkan jawaban yang tepat tanpa harus melukai perasaan sang ibu. Sebenarnya, juga membenarkan ucapan Sintia. Namun, keputusannya tak lagi bisa ia ubah.
"Apa aku harus jujur tentang alasan di balik childfree yang akhirnya kupilih. Namun, apakah itu tak akan menambah masalah baru lagi?" batinnya.
"Mas, kamu bisa jujur ke kami tentang alasanmu memilih pilihan itu? Mungkin dengan begitu Bunda bisa mengerti dan menerima semuanya," desak Sintia.
Kafi mengangkat wajah, pandangannya ia edarkan ke segala arah. Menghindari tatapan sang ayah maupun sang ibu.
"Kafi memilih childfree karena memiliki anak itu nggak mudah. Harus siap secara mental, ilmu, terutama finansial. Mungkin secara finansial, Kafi memang memenuhi syarat, tetapi untuk dua hal lainnya masih belum terpenuhi."
"Jika Ayah dan Bunda ingat, selama ini kalian selalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Hingga tak ada waktu untuk sekadar menemani berbincang ataupun menanyakan kabarku. Saat ini, aku memang sudah sangat memahami, tapi saat aku masih kecil dulu. Satu hal yang aku tahu, Ayah dan Bunda lebih cinta kerjaan dibanding aku."
Deg!
Naufal dan Sintia terdiam setelahnya, ekspresi keduanya sulit dijelaskan. Bola mata mereka tampak sayu dengan pandangan hampa.
"Aku nggak mau anakku kelak merasakan apa yang kurasakan, merasa kesepian dan terbuang karena orang tuanya lebih memilih sibuk dengan pekerjaan. Selain itu, di luar sana ada banyak anak terlantar yang butuh diperhatikan dan dicintai. Kafi ingin memberikan kesempatan itu untuk mereka."
Tubuh Naufal dan Sintia tampak terkulai lemas yang disandarkan di sofa. Sama sekali tak menyangka bahwa alasan Kafi untuk childfree salah satunya berasal dari mereka.
"Mas, kami minta maaf untuk semua itu. Saat itu kami baru saja merintis usaha, semua yang kami lakukan juga demi memenuhi kebutuhanmu. Kami nggak mau kamu merasa kekurangan suatu apa pun, itu saja." Naufal angkat bicara.
"Andai Ayah yang ada di posisi itu dengan usia yang masih belia, apa yang dipikirkan ketika menerima alasan itu?" Kafi menatap Naufal.
Naufal kehabisan kata, ia tak bisa menjawab pertanyaan itu. Betapa pun ia memikirkan jawaban yang tepat, tetap saja tak berhasil menemukan. Sintia di sebelahnya juga hanya menunduk, merasa bersalah atas semua hal yang terjadi.
"Mas, kami tahu bahwa kami salah saat itu. Apa pun alasannya, kami memang bersalah karena sering meninggalkanmu sendiri. Kami mengakui itu." Sintia turut buka suara.
"Kafi di sini sama sekali nggak bermaksud menyalahkan siapa pun. Cuma pengen Ayah dan Bunda ngerti, itu aja."
Kafi beranjak menuju kamar, meninggalkan Naufal dan Sintia yang masih terpaku di tempat. Saat ini, ia hanya butuh waktu untuk sendiri.
Jumlah kata: 1064
~To be continued~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top