Bab 2

Rumah dua lantai itu tampak sepi ketika Kafi kembali. Di garasi, fortuner putih milik sang ayah telah terparkir rapi, begitu pun dengan range rover merah milik sang ibu. "Semoga aja udah pada tidur," batinnya.

Kafi sengaja pulang lebih malam agar pembahasan tadi siang tak berlanjut. Fosil di pergelangan tangan kirinya telah menunjukkan jam sembilan malam. Sejak sore, ia sengaja mematikan ponselnya agar Sintia tak bisa menghubungi. Bukan apa-apa, hanya sedang butuh ruang untuk sendiri.

Pemuda 28 tahun itu tak lantas masuk, melainkan justru melipir ke halaman belakang dan duduk di tepi kolam renang. Ia masih belum siap andai pembahasan tentang keputusannya kembali diangkat. Apalagi berpotensi memupuskan harapan orang tuanya untuk segera menimang cucu.

Kedua kaki jenjang Kafi dimasukkan ke dalam air, pandangannya mengarah ke langit malam. Malam terasa begitu sunyi dan gelap, bahkan tak satu pun gemintang menghias di langit. Embusan napasnya terdengar kasar, seolah ada beban berat yang menyumbat paru-paru. Ia asyik berdebat hebat dengan dirinya sendiri. Wajahnya tampak sendu dengan kedua mata terpejam. 

Tanpa Kafi sadari, sedari tadi ada dua pasang mata yang mengawasi dari balik jendela. Ekspresi mereka pun sulit diartikan, hanya bisa dimengerti oleh tuannya.

"Bunda bahas soal perjodohan lagi ke Kafi?" Naufal melirik Sintia. 

"Ya gimana, Yah? Bunda itu cuma pengen anak kita segera berumah tangga dan kita bisa secepatnya nimang cucu. Emang Ayah nggak khawatir?"

Naufal menggeleng sembari tersenyum tipis, hal yang membuat Sintia memberengut sebal karena reaksi sang suami yang di luar ekspektasi.

"Yah, anak kita itu bentar lagi udah kepala tiga, lho! Itu si Reza, anak tetangga sebelah yang baru 23 tahun aja udah punya anak satu. Emang mau anaknya jadi perja.... ?"

Naufal meletakkan jari telunjuk di bibir Sintia, membuatnya seketika terdiam dan langsung beristighfar. 

"Bun, kita nggak bisa memaksa Kafi untuk selalu menjadi seperti yang kita mau. Putra kita sekarang udah dewasa, dia berhak menentukan jalan mana yang ingin dipilih. Bagaimanapun yang akan menjalani tetaplah Kafi, bukan kita."

Sintia terdiam untuk beberapa saat, mencoba mencerna setiap kata yang terlontar dari bibir sang suami.

"Coba kamu lihat wajahnya Kafi, dia kayak tertekan gitu. Mungkin selama ini dia emang menuruti semua yang kita mau. Hanya saja, apa kamu pernah berpikir tentang gimana perasaan Kafi yang sebernarnya? Dia melakukan itu secara suka rela atau karena terpaksa."

Sintia mengulang beberapa memori
tentang gerak-gerik Kafi setiap kali terlibat pembahasan tentang masa depannya. Ia mengakui bahwa ada beberapa momen, Kafi hanya mengiakan tanpa membantah.  Namun, setelahnya ia tampak begitu tertutup.

"Bunda sadar, nggak? Setiap kali kita tak sepaham, Kafi selalu menghindar. Ini sudah sering terjadi, dan hari ini terjadi lagi, kan?" Naufal mengusap pundak Sintia.

"Apa bunda terlalu memaksakan kehendak pada Kafi, Yah? Bunda cuma pengen yang terbaik untuk putra kita, apa salah?"

Naufal menggeleng, kemudian meraih tubuh mungil sang istri ke dalam dekapan. Ia tak berniat menyalahkan, hanya mencoba memberi pengertian. 

"Terbaik menurut kita, belum tentu terbaik menurut putra kita. Terkadang kita juga salah, Ayah cuma khawatir kalau ternyata justru memberi tekanan lebih ke Kafi. Ayah nggak mau, Kafi justru semakin jauh dari jangkauan dan tertutup. Rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyaman, justru berubah menjadi sebaliknya. Bunda ngerti maksud Ayah, kan?"

Sintia mengangguk pelan, ia bergegas menyusul Kafi yang masih merenung di tepi kolam. Tak lupa mengambil selimut dari lemari untuk putranya.

"Angin malam nggak bagus buat tubuhmu, Mas. Apalagi malah ongkang-ongkang kaki dalam air gini." Sintia menyampirkan selimut ke pundak Kafi. 

Kafi terperangah untuk sesaat, terkejut dengan kehadiran Sintia.

"Bunda belum tidur? Ini udah malam lho, Bun. Udara di luar juga dingin gini, kita masuk aja, yuk!" Kafi segera beranjak dan merangkul tubuh Sintia.

"Bunda nungguin kamu pulang, mana ponselmu nggak bisa dihubungi sejak sore. Bunda khawatir kalau kamu kenapa-kenapa. Eh, yang ditungguin dari tadi malah asyik melamun di kolam." Sintia berdecak pelan. 
 
Kafi meringis pelan, merasa bersalah pada Sintia. Bagaiamanapun seharusnya ia memang memberi kabar bahwa akan pulang lebih malam.

"Maafkan Kafi karena udah bikin Bunda Khawatir, lain kali nggak akan ngulangin lagi."

"Kafi udah makan, Sayang? Bunda tadi masak sop iga kesukaanmu."

Kafi menggeleng pelan sembari tersenyum, hal yang membuat Sintia turut tersenyum tipis.

"Ya udah, sekarang kamu bersih-bersih. Bunda panasin sopnya dulu, kalau udah selesai langsung ke meja makan."

"Siap, Komandan!" Kafi memberi hormat. 

Kafi berlalu menuju kamar, tapi tak segera membersihkan diri. Ia justru kembali asyik dengan pikirannya sendiri. Sebenarnya ia sudah makan malam, tetapi tak tega jika harus menolak makan malam di rumah. Sementara ia tahu bahwa sang bunda sudah susah payah memasak makanan favoritnya. 

Butuh waktu hampir setengah jam bagi Sintia dan Naufal untuk menunggu putra semata wayangnya di meja makan. Padahal jam di dinding sudah menunjukkan angka sepuluh. Keduanya tampak sudah mengantuk, tetapi tetap memilih menunggu.

Mereka sadar bahwa belakangan ini terlalu sibuk dengan urusan masing-masing, hingga melupakan kehadiran Kafi. Jarang berada di rumah, bahkan bertatap muka dengan putranya saja bisa dihitung jari dalam tiga bulan terakhir ini.

Kafi yang baru menginjak ruang makan, terkejut ketika mendapati kedua orang tuanya yang duduk di sana. Ia mengernyitkan dahi, tetapi kemudian duduk di hadapan Sintia.

"Ayah sama Bunda belum makan malam?"

"Kita udah makan, tapi lapar lagi. Lagian kayaknya udah lama banget kita nggak makan bareng kayak gini," jawab Naufal. 

Kafi tercengang untuk sesaat, merasa heran dengan sikap orang tuanya yang agak berbeda dari biasanya. Namun, ia juga merasa senang atas kebersamaan yang ada. Mereka pun akhirnya makan malam bersama. Selama makan, tak ada percakapan.  Hanya suara sendok berdenting yang mengisi keheningan. 

Usai makan malam selesai, Naufal mengajak Kafi menuju ruang keluarga. Hal yang membuat pemuda itu dilanda was-was secara tiba-tiba. Ia bisa menebak ke arah mana percakapan malam itu akan dibawa. Meskipun senyum tipis terukir di bibirnya, tetapi kedua telapak tangannya berkeringat.

"Rasanya baru kemarin kamu Ayah azankan, sekarang udah hampir kepala tiga. Gimana, jadi dewasa itu enak nggak?" Naufal membuka percakapan.

Kafi terdiam sesaat, matanya menerawang jauh. Entah, memori mana yang berusaha diingat. Ia tersenyum tipis sembari memejamkan kedua mata dan mengembuskan napas pelan. Semua gerak-geriknya tak lepas dari pengawasan sang ayah. 

"Jadi dewasa itu capek, Yah. Kalau bisa, Kafi pengen jadi anak kecil lagi yang cuma tau bermain dan bermain.  Nggak harus mikir segala hal yang kadang terasa rumit," keluh Kafi. 

Naufal terkekeh mendengar penuturan putranya, tetapi juga merasa lega karena jarak yang dikhawatirkan sama sekali tak ada. Kafi masih terbuka padanya, itu saja sudah cukup.

"Sesuatu yang belum dijalani itu sering kali emang terasa sulit dan rumit. Kamu cuma perlu yakin bahwa  semua tak serumit yang kamu bayangkan. Kalau merasa nggak bisa, coba diskusikan dengan orang yang kamu percaya. Cari solusinya sama-sama, ambil jalan tengah."

Naufal menepuk pundak Kafi, kemudian berlalu menuju kamar. Sementara itu, Sintia yang sejak tadi memperhatikan dari jauh turut menyusul sang suami. Meninggalkan Kafi yang masih bergulat dengan pikirannya.

Kafi menarik napas panjang, kepalanya disandarkan di sandaran sofa. Ucapan sang ayah membuatnya kembali berpikir panjang.

"Ayah benar, semua kerumitan itu aku ciptakan sendiri. Selama ini aku hanya terpaku pada dugaan-dugaan yang kuciptakan sendiri, sehingga membuat semuanya terasa rumit. Aku  memang harus berdiskusi pada Ayah dan Bunda soal ini."

Jumlah kata:1173

~To be coontinued~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top