5. Kidung Cinta Ibn 'Arabi
Pekat malam yang menghampar di atas petala langit menjadi perhatian Afifah kini. Sunyi. Dingin embusan angin terasa menyapu kulit saat merasuk lewat kisi-kisi jendela yang terbuat dari besi. Dia duduk bersandar di sofa tunggal dengan jendela kamar yang setengah terbuka. Pikirannya terbang ke berbagai penjuru arah.
Usai menuntaskan tahajjud empat rakaat, mata Afifah sulit terpejam kembali. Benaknya banyak menampung pertanyaan yang ingin diutarakan pada abbah dan ummah, tapi masih tertahan.
Afifah ingin tahu kenapa saat Abi Maksum memintanya mencarikan jodoh untuk Resnu, bukan putrinya sendiri yang diajukan, malah gadis lain yang belum lama dikenal. Memang tidak ada yang salah dengan pengakuan orang lain, tetapi di antara banyaknya santriwati dan ustazah yang insyaallah sholihah, kenapa nama Adhista yang dipilih. Padahal Abbah dan ummah juga tahu jika Afifah sudah dekat dengan Resnu sejak mereka masih belia.
Afifah menguarkan desah.
Oh. Kata ikhlas seolah kamuflase semata, jika bibir berkata ikhlas, nyatanya hati tidak mudah menerima. Afifah tidak ingin jatuh ke dalam golongan munafik, yang hanya berjanji sebatas di ucapan belaka. Tetapi di sisi lain dia juga tidak kuasa membohongi perasaannya sendiri. Rasa itu tumbuh subur tanpa dipupuk. Mengakar kuat di dasar relung hati.
Apa Abbah dan ummah keberatan jika putri tunggalnya ingin cepat menikah dan berumah tangga?
Usia Afifah juga sudah bukan remaja lagi. Menginjak 23 tahun adalah usia yang lumayan matang untuk seseorang memaknai tentang sebuah perasaan. Bukan cinta monyet layaknya gadis abege yang akan bersemu merah kedua pipinya saat bertemu gebetan.
Cinta yang Afifah pendam adalah murni. Suci. Dia menyimpannya rapat dalam untaian doa. Tidak pernah mengumbar apalagi menyatakannya.
"Dik, bukanya nanti saja ya, kalau kamu udah di kamar."
Pesan Resnu merasuk ke dalam pikiran Afifah. Sontak kedua mata menguliti kotak yang masih terbungkus paper bag warna cokelat tersebut.
Afifah melangkah pelan menuju ranjang, tempat dia meletakkan hadiah dari Resnu. Duduk di pinggiran ranjang, Afifah baru menyadari satu hal, bahwa hanya dia yang mendapat oleh-oleh, tapi tidak dengan Adhista.
"Tolong, jika nanti kamu menemukan amplop di dalam kita, langsung buang saja ya, Dik."
Lagi, Afifah teringat pesan Resnu sesaat sebelum lelaki itu pamit pulang. Petuah Resnu dia abaikan. Afifah malah makin penasaran dengan isi dari amplop tersebut.
Bergegas dia membuka isi kotak. Retina Afifah membeliak ketika tahu isi buah tangan Resnu. Afifah terperanjat, bingung antara harus senang atau sedih.
Kotak persegi panjang saat dibuka berisi replika tongkat sihir Hermione Granger, karakter favoritnya dalam Harry Potter. Tidak hanya itu. Masih ada liontin berbentuk bulan separuh, Abaya dan kerudung khas Turki. Lalu, itu dia, yang membuat rasa penasaran Afifah memuncak. Amplop yang dikatakan Resnu.
Bergegas Afifah merobeknya pelan, ingin cepat mengetahui tentang apa yang tertulis di sana. Berdentum hebat dada Afifah saat tangannya membingkai selembar kertas yang penuh dengan goresan pena tangan Resnu.
Assalamualaikum, Dik Afifah Hayya.
Saat aku menulis ini, sungguh, hatiku berdentum-dentum tak karuan. Perasaan ini ibarat taman bunga yang bermekaran. Indah dan mewangi.
Afifah Hayya. Cantiknya di mataku mengalahkan putri raja-raja Persia.
Jika dulu, rasa itu sebatas kagum, namun kini asa itu berubah seiring waktu.
Taukah kau, Dik? Saat Abi dan ummik mengatakan bahwa mereka meminta Abbah yang mencari jodoh untukku, saat itu juga aku yakin, bahwa namamu pasti yang dipilih oleh Abbah untuk bersanding denganku.
Sungguh, aku laki-laki yang akan berbahagia saat Allah mengijabah doa-doaku saat di rantau sana. Apa kau mau tau, apa doa yang kulantunkan?
Iya, aku meminta jodoh terbaik menurutNya, tetapi satu nama selalu terselip di antara tengadah tangan. Afifah Hayyatul Fatma.
Berpisah selama beberapa waktu, nyatanya tak membuatku sedikitpun meng-alpakanmu dalam pikir.
Memang rahasia jodoh itu unik. Seperti syair-syair dalam kidung cinta Ibnu 'Arabi.
Andai kalian tahu, betapa kami berdua saling menghidangkan cawan-cawan cinta, meski tanpa jari-jemari....
Apakah kalian tahu, wahai Tuan, dua tubuh yang berbeda dapat bersatu....
Cinta kami berdua, yang menuntun kami bicara....
Dengan manis, dengan indah, meski tanpa kata-kata....
Penggalan syair kidung cinta karya sang sufi tersohor, Ibn 'Arabi menari-nari dalam batok kepala Afifah saat ini. Oh. Kiranya cinta yang dirasa dalam gebu ini hanya miliknya seorang, biarlah dia akan lapang dada menerima kalau Resnu memang tidak ditakdirkan untuknya. Namun, nyatanya Resnu juga rasakan hal uang sama. Afifah tidak sanggup meneruskan bacaannya. Dadanya nyeri. Seperti disayat sembilu.
Cinta tak harus memiliki. Begitu kan, pepatah mengatakan.
Teringat bagaimana tadi saat pertemuan, Resnu banyak bercerita pengalamannya selama di negeri orang. Afifah menyimak dengan tadzim. Otaknya merekam polah Resnu saat antusias menceritakan pengalamannya selama di Kairo.
Tentang indahnya pemandangan sore hari di tepi Nile River atau yang terkenal dengan nama sungai Nil, cantiknya taman terluas di kawasan Al Azhar, atau Al Azhar Park.
Resnu juga membelikan oleh-oleh untuk Abbah sebuah tasbih etnik yang dia dapatkan di Khan El Kaili Market, sebuah tempat yang banyak menjual cindera mata khas Mesir. Di ujung kisahnya Resnu menuturkan kalau dia sempat melancong ke Turki saat liburan, lalu buah tangan yang diberikan pada Afifah secara khusus dia bawakan dari negeri Turki Usmani tersebut.
Afifah terisak-isak kala teringat bahwa asanya tak akan tersampaikan. Perasaan ini selamanya akan menjadi miliknya sendiri tanpa bisa dia ungkapkan. Oh, beruntungnya perempuan yang kelak menjadi pendamping seorang Resnu Respati. Siapakah gadis beruntung itu, yang mendapat lelaki sholeh, baik, bertanggung jawab, yang akan menuntun anak-istrinya ke JannaNya.
***
Di tempat lain. Resnu duduk di sofa rumah tamu. Sengaja saat tadi perjalanan mengatakan pada Abi dan ummik jika ingin berbincang sebentar. Abi dan ummik mengiyakan.
"Apa ada yang menganggu pikiran Ananda?" Ummik lebih dulu bertanya. Sebagai seorang ibu mungkin ummik bisa membaca raut tidak biasa dari airmuka sang putra.
Resnu Hela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan ummik, "Ananda hanya sedang bingung, Mik."
"Bingung tentang apa, Le?" Abi menimpali.
"Ananda kira yang akan di-nadzor tadi adalah Dik Afifah, tapi ternyata bukan." Resnu tidak berani menatap wajah Abi saat berucap. Abi itu orangnya pandai membaca ekspresi seseorang. Abi yang lulusan fakultas psikologi memang lumayan sering menebak isi hati atau perasaan yang dirasakan lawan bicaranya.
"Abi juga kaget tadi. Abi juga mengira begitu. Tetapi siapapun pilihan Yai, kamu harus legowo, Abi yakin itu yang terbaik. Abi tidak enak kalau harus protes dan segala macam, takut kurang ajar sama Yai, sudah minta tolong, kok ngelunjak dan pilih-pilih."
"Apa Ananda keberatan dengan pilihan Yai?" Ummik bertanya dengan bahasa yang sangat lembut.
"Apa Ananda masih punya hak untuk protes, Mik? Sebagai putra Abi dan ummik satu-satunya, Ananda akan ikut saja apapun pilihan Abi dan ummik." Resnu cukup tahu diri. Sudah untung memiliki orangtua yang sangat mencintai dan mencurahkan segala kasih-sayang untuknya. Sekarang gilirannya membalas semua yang telah Abi dan ummik berikan.
Hening sesaat. Abi dan ummik saling pandang saksikan putranya yang nampak lesu. Seolah hilang gairah hidup.
"Tapi, Abi rasa, jika Ananda sendiri yang sampaikan keberatan pada Yai, itu tidak masalah. Toh ini menyangkut masa depan Ananda, meski menurut Abi, witing tresno, jalaran Soko kulino, pribahasa Jawa, orang jatuh cinta karena terbiasa. Tetap, kembali lagi, pilihan ada di tangan Ananda. Abi dan ummik ridho keputusanmu, Le." Lugas dan bijak Abi sampaikan prolognya. Senyum tipis terbit di wajah Resnu. Itu sudah cukup sebagai dukungan atas pilihannya nanti.
"Kalau yakin, lanjutkan. Kalau tidak yakin, segera akhiri sebelum terlalu dalam," tutur Abi menambahi. "Abi dan ummik mau istirahat duluan, Ananda jangan begadang," sambung Abi sekaligus pamit pada putranya.
**************CinTajwid
28-10-2020
Chan 💙
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top