4. Qalqalah Kubro
Afifah meneruskan langkah menuju kamar. Tepat di depan daun pintu, dia embuskan napas sejenak, sebelum membawa Adhista bertemu semua orang.
"Assalamualaikum...," ucapnya pelan. Adhista menjawab salam Afifah. Rautnya terlibat cemas, pun gestur tubuhnya isyaratkan gugup berlebihan. "Bismillah, Dhista, dibawa santai saja ya," sambungnya menenangkan Adhista. Padahal tidak ada yang tahu, bahwa dalam hatinya sendiri Afifah berusaha keras menahan nyeri.
"Ning, tunggu sebentar ya, saya masih gugup." Afifah mengangguk, mengambil posisi duduk di sofa tunggal tempat Adhista juga duduk saat ini.
"Saya nanti harus gimana, Ning?"
"Gimana apanya, Dhista?"
"Maksudnya, saya harus bilang apa di depan semua orang?"
"Kamu cuma harus bilang iya atau tidak, nanti saat ditanya Abbah dan..." Afifah menjeda kata-kata. Batinnya menyebut nama Resnu. "Dan calon suami kamu. Apapun keputusan kamu, Abbah dan ummah akan legowo menerima, dan keluarga calon mempelai laki-laki, saya kenal sekali dengan mereka, insyaallah Abi dan ummik pasti menghargai apapun yang menjadi pilihanmu, Dhista." Afifah memang pandai menyembunyikan luka. Lihat saja, menghadapi situasi inipun dia masih tetap tenang dan berkata lembut pada Adhista. Adhista mengangguk, memahami semua perkataan yang diucapkan Afifah. Gadis itu berulangkali merapal bismilah.
"Ning, boleh saya tanya satu hal?" Afifah kembali memberi jawaban dengan anggukan. "Kenapa Yai dan Bu Nyai tidak menjodohkan Gus Resnu dengan Ning Afifah? Kok, malah dengan saya yang bukan siapa-siapa ini?"
Telinga Afifah seperti mendengar Sambaran petir. Pertanyaan polos yang dilontarkan Dhista bagai hujaman kerikil tajam yang merobek hati. Afifah diam dalam jenaknya. Gadis itu mendongak, memandangi langit-langit kamar yang berwarna putih bersih. Sengaja Afifah lakukan untuk menghalau tangis yang ingin runtuh.
Siapa yang tidak ingin dijodohkan dengan Resnu? Afifah pun diam-diam mengharap hal tersebut. Apalagi dia dan Resnu telah akrab sejak kecil. Resnu yang sikapnya bijak, selalu mengayomi. Wajah rupawan hanya bonus, lebih dari itu, keshalihannya menjadi daya tarik utama. Apalagi kalau sedang tilawah. Bacaannya sangat merdu menyihir telinga siapa saja. Lantunan Kalam Allah yang dia baca sangat tartil dan enak didengar. Afifah haqqul yakin bahwa setiap gadis akan jatuh hati oleh suara Resnu saat bertilawah.
Afifah menggeleng merespon pertanyaan Dhista, "Wallahu'alam, saya tidak tahu, kenapa Abbah dan ummah menunjuk kamu. Yang saya tahu, pasti mereka punya alasan kuat untuk itu. Dhista lebih baik kita keluar sekarang, ya, semua orang sudah menunggu sejak tadi." Putus Afifah mengakhiri perbincangan.
Sepanjang langkah Afifah menuntun Adhista, batinnya merapal istighfar. Meminta dijauhkan dari segala prasangka buruk dan sakit hati.
Afifah bukanlah gadis lemah. Dia selalu menampakkan ceria sehari-hari. Pasrah bukan berarti lemah dan bisa tertindas, namun dalam situasi tertentu, mengalah menjadi pilihan untuk kebaikan banyak orang.
Pertanyaan Adhista sejak tadi membayangi benak Afifah. Tentang kenapa, Abbah dan ummah tidak memilihnya, dan malah menunjuk nama Adhista.
"Assalamualaikum..." Adhista mengucap salam saat sampai di ruang tamu. Semua mata menatap ke arahnya. Sedang Afifah membelakanginya.
Afifah duduk bersisihan dengan Dhista. Di seberang mereka ada Resnu dan kedua orangtuanya. Dalam geming Afifah mengamati polah Resnu dan Dhista secara bergantian. Nampak jelas keduanya sama-sama gugup.
"Nah, ini lho Resnu, insyaallah yang bakal jadi calonmu," ucap Abbah mencairkan suasana.
Tak ada jawaban dari bibir Resnu. Laki-laki itu hanya mengangguk sekilas tanpa mengangkat pandangan.
"Adhista, sebelumnya Abbah mohon maaf ya, belum menjelaskan secara detail. Tapi Abbah yakin pasti Afifah sudah menjelaskan semua, kan?"
"Iya Yai, Ning Afifah sudah memberitahu semuanya."
"Itu yang duduk di seberangmu, namanya Resnu. Gus Resnu itu putranya Yai Maksum pengasuh pondok pesantren Manba'ul Falah dari Kediri." Abbah menjabarkan tentang Resnu dan keluarganya.
"Bah, nuwunsewu, Resnu agak bingung sebenarnya, jadi yang mau di-nadzor-kan itu, bukan Resnu sama Dik Afifah?"
Afifah mengangkat wajah saat Resnu berbicara. Kalimat lelaki itu makin menambah sembilu di hati Afifah Hayya.
"Bukan, Gus. Lagipula Afifah ini kasih punya kewajiban yang harus diselesaikan, sebelum nanti ketemu jodoh dan menikah."
Afifah lebih bingung lagi dengan kata-kata Abbah. Kewajiban apa? Yang Afifah ingat dia tidak pernah memiliki kewajiban apapun.
"Adhista ini insyaallah gadis yang baik, sholeha, Abbah yang menjamin. Kalau hapaan Qur'an memang masih belum maksimal, nanti setelah menikah sama Gus, bisa dibimbing, apalagi Gus Resnu ini kan Hafizh, insyaallah gampang ngajarinnya nanti."
"Resnu, gimana?" Abi Maksum-ayah Resnu bersuara. "Kalau Abi serahkan keputusan sepenuhnya pada Resnu, toh rumah tangga yang menjalankan Resnu, Abi sama ummik cuma bisa mendukung dan mendoakan."
"Iya betul, pilihan tetap ada di tangan Resnu. Ummik dan Abi memang ingin Resnu cepat menikah, tapi kami tidak punya hak untuk memaksakan kehendak." Ummik menimpali. Perempuan berwajah teduh itu mengulas senyum. Afifah merasa ummik sudah seperti ibunya sendiri, ummik itu orangnya lembut, tutur katanya sangat menyejukkan. Sungguh beruntung perempuan yang akan menjadi istri Resnu kelak, karena memiliki ibu mertua seperti ummik.
Afifah sejak tadi memilih bungkam dan menjadi pendengar setia. Matanya sesekali melirik ke arah Resnu guna memindai airmuka lelaki itu.
"Bismillahirrahmanirrahim, Resnu minta waktu Bah, Abi, Adhista sungguh gadis yang baik, tetapi untuk mengambil keputusan besar menyangkut masa depan, dan tidak hanya untuk urusan dunia, tetapi juga akhirat kelak, Resnu ingin istikharah dulu." Lugas Resnu utarakan isi hati. "Adhista, tidak keberatan, kan? Kalau kita sama-sama ber-muhasabah diri lebih dulu?" Sambungnya menoleh pada Adhista saat berbicara.
"Insyaallah tidak, justeru tadi saya juga ingin berkata seperti Mas Resnu."
Afifah reflek menoleh Adhista. Hatinya terasa dicubit. Nyeri saat rungunya mendengar Dhista memanggil Resnu dengan sebutan yang biasanya dia gunakan memanggil Resnu.
Acara ditutup dengan doa yang dibacakan Abbah, dilanjut makan malam dan ngobrol santai. Adhista pamit undur diri, Afifah mengantarnya kembali ke asrama santri putri.
Afifah memilih tidak kembali ke ruang tamu, dia melengang ke kamarnya. Memilih merebahkan diri di ranjangnya. Afifah berbaring miring. Di sebelahnya ponsel pintarnya memutar audio salah satu lagu kesukaannya.
Kata-kata cinta terucap indah, mengalir berdzikir di kidung doaku. Sakit yang kurasa biar jadi penawar dosaku ...
Butir-butir cinta airmataku mengingat semua yang Kau beri untukkku, ampuni khilaf dan salah, selama ini .... Ya Ilahi .... Muhasabah Cintaku ....
Intro lagu Muhasabah Cinta yang dibawakan grub nasyid Edcoustic mengalun merdu menemani malam Afifah. Liriknya yang lirih ibarat korelasi perasaan Afifah Hayya saat ini.
Benak Afifah kembali terbang dan masih menawan situasi yang baru dilewati beberapa waktu lalu. Di mana saat Abbah dengan gamblang mempertemukan Resnu dan Adhista. Ingatan Afifah mencetak jelas bagaimana reaksi Resnu. Lelaki itu tidak berkutik. Pun dengan Dhista.
"Ndhuk, ummik sama Abi mau pamit, ayok temui dulu sebentar." Suara ketukan pintu disertai kalimat ummah dari depan kamar Afifah.
"Iya Ummah, sebentar."
Afifah membuka engsel pintu, sejurus meneruskan langkah diiringi dentum hebat irama jantungnya sendiri. Bagaimana saat bertatap muka dengan Resnu nanti. Pasti akan ada rasa canggung.
"Dik, kok nggak ikut makan malam?" Resnu langsung memberondong dengan pertanyaan.
"Oh, iya tadi sudah makan duluan, Mas." Afifah tidak berani mengangkat wajah.
"Dik, aku nggak nyangka, ternyata bukan kamu---"
"Mas, Adhista gadis yang baik, insyaallah sholehah." Potong Afifah ketika Resnu belum selesai berbicara.
"Aku tahu. Tetapi..." Jeda. Resnu menggantung kalimat. "Sudahlah, lupakan. Jangan lupa dibuka ya oleh-olehnya tadi, semoga kamu suka ya," sambungnya.
"Insyaallah, pasti suka, Mas."
"Oh iya, boleh aku minta satu hal?" Ujar Resnu lagi.
"Apa, Mas?" Afifah amati Resnu seperti orang bingung.
"Itu, di dalam kotak oleh-oleh tadi. Ada sesuatu yang kamu ga perlu buka. Kamu buang aja ya. Amplop warna biru. Tolong jangan dibuka, Dik!"
Afifah tercenung, "Memangnya apa itu, Mas?"
"Nggak penting kok. Pokoknya kamu jangan sampai buka ya. Janji?"
Afifah bertambah bingung dengan reaksi Resnu, "Iya, insyaallah," sahutnya singkat. Tapi nggak janji. Afifah menambahi dalam hati.
Justeru dia semakin dibuat penasaran dengan isi yang dimaksud Resnu.
"Abi dan ummik sudah di mobil, aku pamit dulu ya, Dik. Terima kasih untuk makanannya, aku suka." Resnu berkata sembari mengulas senyum. Afifah jadi salah tingkah. Pasti ummah yang cerita kalau menu makan malam hari ini hasil olahan tangan Afifah.
"Fii amanilah, Mas." Seiring kalimat Afifah, Resnu melengang, memasuki mobilnya. Lelaki itu melambaikan tangan saat mobi yang dikendarai akan meninggalkan pelataran ndalem, dan menghilang dari pandangan Afifah.
"Fah, kata Ummik tadi masakanmu enak tenan, Ndhuk." Ummah hampiri anak gadisnya di teras depan.
"Iya Ummah, Alhamdulilah kalau semuanya suka." Afifah tidak tahu harus senang atau getir mendapat pujian ummik dan Resnu tadi. Oh Ya Allah, bagaimana caranya Afifah harus menghapus nama Resnu? Sedang ingatan tentang laki-laki itu tertanam kuat, seolah memantul-mantul dengan sangat keras di dasar hati Afifah, layaknya hukum Qalqalah Kubro.
*************CinTajwid
22-10-2020
Chan
Hmmm, apa ya kira-kira yang dimaksud Mas Resnu tadi? Kok disuruh buang sih?! 😯
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top