Part 5 (Repost)

Chika nampaknya  terganggu dengan isakan ku,  dia terjaga. Mirna memberikan susu pada bayi itu. Ah di usianya  yang seharusnya menerima ASI dari Ibunya, bayi mungil ini harus menerima susu formula. Aku tersenyum menatap Chika. Dia begitu semangat  meminum susu dari botol yang di berikan Eyang nya. Tak lama dia kembali  tertidur.

"Jadi Mama setiap hari di sini merawat Chika? " tanyaku.

Mirna menggeleng, "Mama gantian sama Hanum, Mertua Jodi,"

Aku mengangguk mengerti. Merawat bayi bukan perkara yang  mudah. Aku tak yakin Jodi bisa merawat Chika sendiri, jika tak dibantu.

" Tapi sore nanti Mama harus ke Bandung, menemani  Papa ada urusan disana sekitar  satu minggu,"

"Berarti  Mama Hanum  yang disini Ma?"

"Mama Hanum  tadi telepon  ngga bisa, dia juga keluar kota, Arman adik bungsu Sandra menikah, acaranya  di tempat yang perempuan,  di Bali,"

" Jadi  Chika Ma? " tanya ku khawatir.

Mirna  tersenyum, " Kan ada Papanya, ada Mbok Sumi  juga,"

Aku bernafas lega.

"Kita ke ruang tamu yuk,"  ajak Mirna.

Aku menurut saja, melangkah  mengikutinya.

"Diminum  dulu Ras, "

" Iya Ma, "

"Kamu sudah punya calon suami?" 

"Uhukk," aku tersedak mendengar pertanyaan barusan.

"Eh, pelan-pelan aja minum nya," ujar Mirna.

Setelah  reda kembali  Mirna bertanya pertanyaan yang sama.

Aku tersenyum menggeleng.

"Syukurlah," gumam  Mirna. Aku menatap perempuan yang sudah aku anggap Ibu kandung ku itu.  "Itu artinya Mama ngga repot lagi nyari calon Mama buat Chika,"  sambung nya.

Aku terpaku mendengar ucapan Mirna. Jadi maksud Mirna dia ingin menjadikan aku Istri Jodi?. Oh tidak, lalu  apa iya Jodi mau?. Ah kenapa aku mendadak  gugup.

"Laras, kamu kan sudah kenal siapa Jodi, dan  keluarga kami sudah sangat mengenalmu, Mama ingin kamu  bisa menjadi pendamping Jodi, membesarkan Chika, dan tentunua juga memberikan Mama cucu,"

"Mama, bicaranya  udah jauh aja," aku  menyela. Jujur  ada bahagia  ketika Mama bicara tentang aku dan Jodi. Namun tentu  saja aku tak tau apa Jodi juga seperti aku,  bahagia?. Bahkan sudah satu jam aku disini dia sama sekali  tak menampakkan batang hidungnya. Seberapa besar rasa benci nya padaku?, tidakkah  dia mau memaafkan aku?, terlalu sakitkah hatinya pada perbuatan ku?. Jika iya kenapa dia tidak mencoba berempati  pada perasaan ku?,agar dia tau seperti apa rasanya hidup dalam posisi ku.

"Mama hanya menyampaikan keinginan Mama, berharap kamu setuju,"  ujar Mirna lagi.
Aku diam, kupilin ujung pashmina ku menghilangkan rasa tak menentu dihatiku.

"Tapi Mama ngga minta jawaban kamu sekarang, kamu boleh pikirkan dulu Ras,"

Aku tersenyum mengangguk.  "Ma, Laras mau ke butik dulu,"

"Oh oke, tadi kesini naik__"

"Taksi online, Laras mau pesan dulu Ma,"

"Eeh, ngga usah, ada Jodi kok, biar dia antar kamu ya,"

"Tapi Ma__"

"Jodi, tolong antar Laras ke Butik nya," suara Mirna memanggil putranya.

Jodi keluar dari ruangan, entah mungkin  itu ruang kerjanya aku tak tau.

"Iya Ma, " ucapnya seraya menatapku sekilas. Aku pun  tak sanggup menatapnya. Dia masih tampan seperti dulu, bahkan tak terlihat dia seorang bapak beranak satu.

" Tuh Laras, Jodi antar kamu ke butik," suara Mirna menyadarkan ku dari lamunan.

"Iya Ma, Laras pergi dulu, makasih ya Ma,"

"Mama yang harusnya mengucap terimakasih sayang, kami sudah mau kesini apalagi bawain kado cantik buat  Chika,"

"Oh iya, Mama mau minta tolong kamu bisa?" wajah Mirna memohon.

"Ada apa Ma?."

"Selama  Mama tinggal  ke Bandung, kamu bisa kan tengokin Chika tiap hari sebelum  ke butik?"

Deg, itu artinya aku akn sering bertemu Jodi. Aku ingin menolak tapi aku tidak menemukan alasan.

"Tolong Mama ya, kasian Chika jika  harus sepanjang hari bersama Mbok Sumi," ucap Mirna  memegang ke dua tanganku.

Terpaksa aku mengangguk dan mencoba tersenyum.

"Baiklah Ma, jika tidak ada yang keberatan, " ucapku melirik ke arah Jodi yang sejak tadi diam membuka majalah.

" Tentu  saja tidak ada yang keberatan, ya kan Jodi?,"

Jodi tersenyum datar  sambil mengangguk, matanya masih terpaku pada majalah.
Aku menelan saliva pelan seraya tersenyum.

"Sekarang?" tanya nya tanpa menatap ku.

"Iya,"

Jodi berjalan didepan ku dan aku mengekor dibelakangnya.

"Hati - hati Jodi," suara Mirna  terdengar.

Jodi membukakan pintu mobilnya untuk ku,  canggung  aku menatapnya. "Aku,  aku di belakang aja Jo,"

"Terserah kamu," dia kembali  menutup pintu mobilnya kemudian  masuk  dan duduk di belakang kemudi. Aku  tersenyum  masam. Sakit rasanya di perlakukan  seperti ini.

"Kenapa masih berdiri di situ?, masuk! " ujar nya.

Aku menurut  saja. Mobil meluncur menuju  butik. Selama dalam perjalanan  kami hanya  diam. Hingga  sampai di depan butik ku.

"Eum, terima kasih Jo, aku minta maaf jika aku selama ini__"

"Sudah aku maafkan," tukas nya. Aku mengangguk cepat. Bergegas turun.

"Tunggu," cegah nya.

"Ini milikmu bukan?, terima kasih sudah membohongi perasaan mu padaku," ujar nya memberikan diary  yang sudah lama aku cari.

"Kenapa ini ada di kamu?" tanya ku heran.

"Karena Tuhan menginginkan begitu," jawabnya  dingin.

"Jodi aku__

"Turunlah, aku masih ada perlu,"

Aku tercekat, mataku mendadak panas. Airmata ku jatuh begitu saja. "Kamu jahat Jodi,"  ucapku pelan namun aku yakin dia mendengar. Kemudian  aku segera turun.

Pov Jodi.

Ternyata  sahabat cantik yang dimaksud  Mama itu Laras. Mama dan Laras  memang mempunyai hubungan  sangat  dekat, seperti  Ibu kandung saja. Bahkan aku sering kena omel jika Laras  ngambek waktu itu. Terkadang  aku berfikir  sebenarnya aku anak siapa?  hehe.

Pagi ini Laras datang, dia ada di rumah ku. Penampilan nya semakin dewasa, jilbab  tak pernah lepas dari kepalanya. Jujur sampai saat ini i aku belum per ah melihat dia tanpa jilbab. Padahal aku pernah berangan-angan  menjadi  orang pertama yang membelai  rambutnya setelah Ibu dan Ayahnya tentunya. Tapi angan ku hanya tinggal angan. Mungkin kelak ada orang yang lebih berhak melakukannya. Ah aku bisa gila membayangkannya. Aku mendengar Mama dan dia bercerita,  jadi selama  ini dia di Jakarta. Dia memang berbakat. Tapi kenapa dia menangis ketika berada  di kamar Chika?, mungkinkah dia menyesal  karena meninggalkan aku?, entahlah. Sungguh  aku sebenarnya tidak tahan melihat  dia berderai airmata. Jujur  aku ingin mengusapnya dan membuat nya tersenyum, namun aku  tak bisa. Aku tak ingin dia merasa iba dengan keadaan ku saat ini, aku duda  beranak satu. Sedangkan dia masih gadis  dan aku berani  bertaruh ada lelaki yang singgah dihatinya.

Mama  menyuruh ku mengantar Laras  ke butik nya. Aku berharap dia duduk  disamping ku. Tapi dia menolak, dan memilih duduk di belakang, oke jelas kan, dia tak ingin dekat dengan ku lagi. Sengaja aku memberikan diarynya yang telah lama aku simpan. Dia meminta maaf sebelum turun dari mobil. Nampak di wajah ya ada kesedihan. Saat dia hendak turun aku mencegahnya dan memberikan diarynya. Dengan mata yang membulat dia bertanya.

"Kenapa ini ada di kamu?"

"Karena Tuhan menginginkan  begitu," aku menjawab seadanya.

Nampak mata beningnya berkaca-kaca  ketika  hendak menjelaskan isi diary nya. Aku segera menyuruh nya turun, karena aku harus segera  pulang.

"Kamu  jahat Jodi," ujarnya  seraya turun dan pergi.

Aku memukul  kemudi kesal. Aku kesal telah membuat nya menangis. Sungguh aku dikuasai ego ku.

"Laras," aku mencoba memanggilnya. Dia menoleh sebentar kemudian kembali berjalan cepat menuju butik nya.

"Shit! " Aku memaki diriku sendiri seraya mengacak kasar rambutku. Lalu kembali  mengemudikan mobil pulang.

*******

Aku menunda  hunting  kain hari ini. Mood ku  sedang kacau. Aku membuka diary ku, lembar demi lembar kembali ku baca. Betapa  aku sangat mencintai nya, namun yang kudapat  hanya luka. Dan Jodi sudah tau. Dia sudah membaca semuanya. Ponselku berbunyi, Deni menelepon.

"Hai Cantik, apa kabar."

"Baik Den, eum maaf  aku belum kasi kabar,  sebab__"

"It's oke Laras, yang penting kamu baik-baik aja,"

"Terimakasih Deni,"

"Aku minggu depan ada jadwal ke Surabaya, kurang lebih tiga hari  disana, aku mau kita ketemu,"

"Oke, kabari aja ya,"

"Oke Ras, see you,"

Aku menutup  telepon. Deni, lelaki tampan  dan humble itu memang sangat memikat, tapi aku masih belum bisa membuka hati untuk nya. Sementara Jodi, lelaki yang sangat ku cintai entah apa yang ada dalam pikirannya  ketika membaca diary ku. Aku mendesah jengah.
.
.
.
.
.
.
Sore menjelang, aku berkemas, ketika  hendak  menelepon Risa,  panggilan masuk dari Mama Mirna.

"Assalamualaikum Ma,"

"____ "

" Di butik,  mau pulang Ma,"

"____"

"Chika panas lagi?,"

"____ "

" Eum tapi Ma,"

"____"

"Iya Ma, Laras  ngerti,  baik Ma, waalaikum salam,"

Chika demam lagi. Aku diminta Mirna datang ke rumah Jodi. Mama berpesan agar mengajak Jodi  membawa Chika ke rumah sakit.
Dan aku akan kembali  bertemu dengan lelaki  angkuh itu.

"Mba, di tunggu  didepan sama Mas Jodi," kata Alin salah satu karyawan ku.. Dadaku bergemuruh.  Setelah merapikan Pashmina dan memoles  tipis bibirku aku keluar.

Jodi ada di depan butik.

"Aku__"

"Aku tau, ayo cepat pulang kita bawa Chika ke dokter," ucapku berjalan cepat menuju  mobilnya. Aku melirik Jodi yang sekilas melihatku duduk di kursi  depan disampingnya. Ada sedikit  senyuman di bibirnya. Tuhan sungguh  aku  sangat  merindukan senyum itu. Sepanjang  jalan kami saling diam.

"Aku harap kamu ngga keberatan menolong ku," ucapnya  memecah kebisuan.

Aku mengangguk tersenyum tanpa melihat ke arahnya.

Dirumah Jodi, nampak Mbok  Sumi menggendong Chika dengan wajah resah.

"Mba Laras, Chika rewel. Badannya panas lagi," ujarnya ketika aku mendekat. Perlahan  aku mengambil Chika dari gendongan Mbok Sumi.

"Kita ke dokter ya sayang," bisik ku pada bayi mungil itu.

Tangisnya reda,  "Kita bawa ke Dokter  sekarang?"  Jodi  muncul disamping ku.  Aku mengangguk.

"Mbok, saya bawa Chika ke dokter, " pamit ku pada mbok Sumi.

Perempuan itu mengangguk.

Chika tertidur pulas di gendongan ku. Aku menatap bayi cantik, benar kata Ibu, aku jatuh cinta padanya. Ku cium kening mungil nya dengan  perasaan sayang. Kemudian aku tersenyum dan merapatkan gendongan ku.

Akhirnya  kami tiba di dokter. Setelah mengantre giliran kami tiba.

"Silahkan duduk,"  dokter mempersiapkan kami duduk.

"Anaknya kenapa Bu?," tanyanya ramah. Aku merasa kikuk dipanggil Ibu oleh  dokter didepan ku.

"Eum, demam dokter." jawab Jodi cepat  mengetahui kecanggungan ku.

"Saya periksa dulu ya,  mari," aku berdiri  mengikuti dokter, aku membaringkan Chika. Bayi itu masih terlelap. Aku gemas melihat nya.

"Anak  pertama ya Bu? " tanya dokter sambil memeriksa perlahan. Aku terdiam tak tau harus menjawab apa. Jodi masih duduk, dia tidak ikut melihat Chika di periksa. Cepat  aku mengangguk menanggapi pertanyaan dokter. Dia tersenyum.

" Putrinya demam biasa Bu,  ini saya  beri resep ya,"

Setelah  sedikit  berkonsultasi dengan  dokter, kami  keluar ruangan praktik.

"Aku beli obat dulu, kamu tunggu  di mobil atau ikut?" tanya Jodi kali ini namanya tak lagi canggung.

"Aku, aku di mobil aja,"

"Oke, "

Jodi  menuju Apotek, dan aku didalam menunggu nya bersama Chika. Aku berusaha  menghubungi Ibu di rumah, maghrib sudah menjelang. Aku tak mau Ibu khawatir.

" Assalamualaikum Bu,"

"_____"

"Maaf Bu, Laras telat pulangnya ya, nanti Laras cerita,"

"_____"

"Laras baik-baik aja bu,Assalamualaikum,"
Aku memasukkan ponsel ke dalam tas.

.
.
.
.
.
.
.
"Aku pulang Jo, mudah mudahan demam nya turun," ujar ku  setelah  meletakkan Chika di box nya.

"Aku antar," kali  ini dia tidak sedang menawarkan jasa, namun  nadanya seolah menekankan bahwa aku harus mau di antar pulang olehnya.

"Tapi Chika?,"

"Ada Mbok Sumi, lagian ini sudah malam. Kamu perempuan sendirian naik taksi online, terlalu riskan," ujarnya seraya mengambil kunci mobil dan melangkah  keluar. Jam sudah menunjukkan pukul 21.30.
Aku duduk di depan, kali ini mencoba menata hati.

Jodi  melajukan kendaraan nya.  "Kamu ngga  ingin membeli sesuatu?"  tanyanya datar.

Aku menggeleng. "Maafkan aku sudah buat kamu capek,"  ujar Jodi.

"Ngga  perlu minta maaf, that's what friends are for," timpal ku.

Dia mengangguk, nampak tersenyum  kecil.

"Apa  kabar Laras?," tanyanya tanpa menoleh. Aku memicingkan mataku menatap nya.
Lelaki aneh, kita sudah dari  kemarin  bertemu kenapa baru tanya kabar malam ini?.

Aku mengulum senyum.
Namun tetap menjawab.

"Aku baik." Lagi-lagi dia tersenyum. Terdengar dia membuang nafas pelan.

Setelah itu kami hanya diam hingga  sampai di depan rumahku.

"Terimakasih Jo, eum aku ngga suruh kamu mampir ya, sudah malam. Kasian Chika dirumah," ujar ku  menatapnya sekilas. Ternyata dia tengah menatap ku intens. Itu membuat wajah ku terasa hangat. Dia mengangguk.  "Salam ku buat Ibu juga Ayah ya,"  ujarnya.

Aku mengangguk, dan  turun dari mobil.

Jodi menyalakan mobilnya,  "Aku balik dulu Ras,"

Aku mengangguk cepat,  "Eum, Jodi,"  panggil ku sebelum dia melaju.

"Ya?" tanya nya menatap ku.

"Hati - hati," ucapku pelan. Senyumnya melebar, wajah itu nampak bahagia.
Jodi mengangguk dan berlalu.

Segini dulu.

Teman boleh  dong kasi pendapat. Di sini ada dua pov. Menurut teman teman  apa itu membingungkan? Seperti sinetron gitu kah?.  Jika iya saya akan fokus pada satu pov saja. Pov Laras.

Saya  minta votenya. Bagaimana, apa dihilangkan saja salah satu pov nya? Sbb ada yg bilang bertele tele  dan membingungkan. Saya tunggu komentar nya ya.

Maafkan typo bertebaran. Sambil ngedit  nih, hehe

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #cinta#laras