Sepuluh

Olaaah,

Yang nungguin Uci nan centong dan Yayang Aga siapose?

Eh, yang gerah ama A.N sila skip skip yak, kasian mata yey jadi jereng baca tulisan eke. Aslinya eke doyan merepet, jadi kalo cuma bikin cerita doang, dih, apalah-apalah, gitu. Hambar kayak sop kebanyakan aer.

Cast uni kaga usah ditanya, mukanya ga jauh-jauh dari Eriska Helmi kalo dideketin. 😅😂🤣

Eniwe, Uni ini penderita depresi, anxiety, Gerd akut, sama paranoia. Kalau terlalu panik, asam lambung naik dan dia bakal muntah. Biasanya penderita gerd panikan dan mudah baper. Sila kunjungi laman-laman yang sesuai atau paramedis yang kompeten buat bantu kalian. BPJS juga membantu pasien yang punya rasa cemas berlebihan. Semoga yang punya penyakit sama kayak Uni, diringankan bebannya dan bisa menatap dunia dengan lebih baik. You are the best thing the world's ever had.

Kapan penderitaan Uni selesai? Kalau udah bagi raport.

Jangan lagi bilang, Uni harusnya dekat ke Sang Pencipta.

Dia mati dong kalo gitu, karena hanya yang udah metong yang berada di sisi Sang Pencipta, jangan aneh-aneh ya, Ses.

Kapan Jingga sadar? Ya salam emangnya dese pingsan?

Ono ono wae. 😑😑😑

***
Motor matik warna merah marun yang dikendarai Jingga telah melewati jalan Cilandak selama lebih kurang lima menit dari kompleks perumahan yang mereka tinggali. Sepanjang perjalanan, dalam lima menit kebersamaan mereka, beberapa kali, Jingga menyuruh Seruni agar berpegangan pada pinggangnya, bahwa amat riskan sekali bagi wanita bergamis lembut dan melayang-layang tersebut bisa duduk nyaman sementara matahari sedang terik-teriknya. Jingga berseloroh bahwa bedak yang Seruni pakai bisa luntur dan wajahnya bakal gosong bila melepaa visor helm dan naik motor terus-terusan yang dibalas hanya dengan kalimat datar, "Nggak apa-apa, sudah biasa." dan penolakan halus bahwa wanita dua puluh enam tahun tersebut lebih nyaman berpegangan pada besi yang berada di belakang jok motor daripada memeluk Jingga.

"Ntar jatuh." Jingga memperingatkan. Tentu saja, bagi Seruni, adalah hal amat bagus apabila dia jatuh. Tapi, bijak baginya memilih bungkam dan tidak merespon lagi kecuali kata "iya" dan "tidak" yang seperlunya. Lagipula, kenapa sih, pria itu jadi sok peduli? Selama ini, dia kan nyaris menganggap Seruni tidak pernah jadi bagian dalam rumah mereka.

Yah, tentu saja itu tidak termasuk sendal jepit dan mukena yang dia beri beberapa hari lalu, tapi tetap saja, keanehan yang tampak di matanya saat ini, dia pikir bermula dari dirinya muntah-muntah tadi. Apakah Jingga takut kalau Chandrasukma tahu bahwa menantunya sakit?

Nggak masuk akal.

"Kuat jalan sampe dalem?" Suara Jingga yang entah kenapa sedang melepas helm yang Seruni kenakan membuat wanita itu sadar, mereka sudah tiba di parkiran mal. Seruni refleks mundur dan berusaha menepis tangan Jingga yang nyaris mengenai kulit pipinya.

"Bisa sendiri, nggak apa-apa " dia buru-buru melepas kaitan helm dan kemudian menyerahkan benda tersebut pada Jingga yang entah kenapa, menggaruk rambutnya dengan wajah bingung.

Seruni menyimpulkan, dia mungkin belum terbiasa dengan penutup kepala tersebut hingga menyebabkan kepalanya gatal. Beda dengan dirinya yang telah bertahun-tahun menutup aurat. Atau karena dia selalu menggunakan mobil jadi kurang terbiasa memakai helm. Entahlah, bertahun-tahun telah lewat, dia bukan lagi Jingga badung yang pernah dikenal oleh Seruni. Kini, untuk bicara satu kalimat lengkap saja, wanita itu mesti berpikir panjang lebar. Pada pagi pertama mereka sebagai suami istri, dia sudah kena semprot pria itu. Tak heran, kemudian Seruni lebih memilih kabur dan naik ojek menuju Tanah Abang.

"Gue gak usah jawab kalo orang-orang nanyain malam pertama, ya? Mana gue tahu, ntah kalo lo, udah khatam soal begituan, kan?"

Saat itu ternyata ada Lusiana sedang menunggu di depan pintu ketika Seruni berjalan keluar kamar. Wajah wanita bertubuh sintal itu merah padam dan melihatnya, Jingga tidak segan-segan menyemburkan kalimat pedas, "Nggak bisa jaga mulut? Dari dulu sampe sekarang, kamu nggak berubah. Ngomong asal jeplak, nggak mikir perasaan orang...."

Mereka berdua menuju ke dalam pusat perbelanjaan dan bergerak ke arah swalayan. Walau tidak selengkap pasar yang notabene lebih murah dan lengkap, Seruni tidak bisa berkutik karena Jingga lebih suka ke sana. Mungkin, setelah bertahun-tahun, wanita itu kemudian berpikir bahwa gaya hidup dan pergaulan telah merubah Jingga jadi lebih ekslusif. Gaya berpakaiannya saat ini yang modis, walau hanya kaos oblong dan celana jin, tapi nampak jauh berbeda dari kebanyakan orang. Secara kasat mata, kaos bermerk original tersebut membuat penampilan suaminya jadi modis. Tentu saja kualitas dan harganya bisa ditebak. Sebuah kaus yang dipakai Jingga bisa berkali-kali lipat harganya dibanding dengan kelas KW di pasar Tanah Abang yang telah jadi santapan Seruni sehari-hari.

Jaman sekarang, siapa saja bisa membeli barang bermerk, walau kemudian, bagi mata penikmat fashion asli, selalu ada cara untuk membedakan mana yang asli mana yang palsu. Walau merupakan penyalahgunaan, barang-barang KW itu sudah mampu membuat senyum mengembang di wajah rakyat +62 alias rakyat Ibu Pertiwi. Seruni, walau kurang suka hal semacam itu, tidak pernah bisa menolak, terutama bila Zam yang turun tangan membelikan tas atau dompet kelas "bajakan" yang bila dipakai mengunjungi beberapa negara, bakal kena sita dan dihukum buang oleh pihak imigrasi. Alasannya jelas negara melindungi kekayaan intelektual para pencipta produk-produk fashion tersebut.

Karena perbedaan itu juga, dia makin gugup jika harus berjalan beriringan dengan Jingga.

"Masih mual, kah? Aku bakal jalan pelan kalau kamu nggak kuat." Jingga menoleh cemas seraya mendorong troli yang sudah dia isi dengan beragam isi dapur dan kamar mandi. Ada sekarung beras berukuran lima kilo, beberapa botol yang terdiri dari kecap, saos tomat dan sambal, dan minyak wijen yang dia masukkan sendiri karena Seruni hanya melihat-lihat isi rak toko tanpa ada keinginan untuk melempar benda tersebut dalam keranjang.

"Nggak apa, terus aja."

Jingga yang merasa keberatan pada akhirnya memutuskan untuk bergerak lebih dulu karena matanya menangkap bahwa kini, Seruni yang mengendap-endap, sedang berdiri di depan rak yang berisi barisan pembalut dan menatap benda-benda tersebut dengan tampang amat serius. Sesekali, Jingga memperhatikan, Seruni mengambil sebuah pembalut, membaca kemasannya selama satu atau dua menit, lalu mengembalikannya lagi ke rak. Begitu terus hingga lima atau enam pembalut selanjutnya, dan baru berhenti kala matanya bertumbukan dengan pembalut yang bertuliskan 42 sentimeter berukuran besar.

Apakah Seruni sedang datang bulan? Jingga tidak tahu. Ada banyak hal yang dia lupakan tentang wanita yang telah ia nikahi walau hatinya tidak ikhlas tersebut. Yang pasti, ketika Seruni mendekat dan memasukkan pembalut miliknya ke dalam keranjang dan bergumam, "Nitip, ya. Ntar gue bayar sendiri di konter." Dia merasa amat tidak setuju.

Meski begitu, usai diskusi pelan soal sayur, bumbu masak, dan mi instan, pada akhirnya, Jingga minta izin untuk menuju bagian alat-alat mobil dan motor. Dia ingin membeli sarung tangan karena barusan, tangannya jadi belang karena tidak memakai pelindung yang dibalas anggukan pelan oleh Seruni sebelum dirinya sendiri memutuskan untuk melihat-lihat bagian dapur.

Ia ingin melihat pisau-pisau yang di jual di tempat itu. Entah merupakan suatu keanehan, sejak tahu bahwa Zam sering menyingkirkan pisau, gunting dan cutter dari ruko, dia selalu mencari cara agar bisa mendapatkan "senjata" yang tidak akan membuatnya repot bila dibawa ke mana-mana.

Jantung Seruni berdegup kencang kala kakinya berhasil menemukan rak berisi macam-macam pisau, mulai dari yang berkualitas paling rendah dengan harga paling murah, hingga berkualitas paling bagus, dengan harga paling mahal.

Pisau keramik dengan motif bunga di sepanjang lidahnya langsung menggoda mata Seruni. Warnanya indah, dengan dasar putih, hijau, dan biru. Sementara "chef's knife tampak gagah dan dia tahu jelas, benda itu dapat memotong apa saja. Tapi ukurannya yang bisa mencapai tiga puluh sentimeter bakal membuat Zam jantungan bila melihatnya, begitu juga pisau buah walau agak lebih kecil, dia tahu, benda tersebut bisa membuat kakak tirinya bagai kebakaran jenggot.

Seruni sempat mencoba ketajaman beberapa ujing mata pisau menggunakan ibu jari kanannya. Ia jatuh cinta dengan pisau boning alias pemisah daging dari tulang. Bentuknya yang ramping dan amat tajam membuat Seruni berpikir seperti apa rasanya bila lengannya disayat-sayat oleh benda setajam itu. Tapi, seperti sebelum ini, dia yakin, Zam bakal ngamuk dan menggeretnya ke dokter jiwa.

Lalu seolah berjodoh, ketika Seruni pada akhirnya memutuskan untuk menuju bagian alat kerajinan, matanya menangkap suatu alat paling unik, perpaduan balpoin, cutter dan pisau tajam di saat bersamaan. Ukurannya mengingatkan seruni pada alat tulis yang sering ia gunakan kala menulis resi pelanggan.

Benda itu bisa jadi alat pertolongan paling praktis yang pernah dia beli. Zam tidak akan curiga dan Jingga tidak akan repot-repot peduli bila benda tersebut tergeletak di mana saja.

Seruni menoleh ke segala penjuru, berusaha memastikan keberadaan Jingga dan merasa bersyukur, pria itu memang sedang berada depan rak alat-alat bermotor. Ketik memperhatikan bahwa Jingga sedang menelepon seseorang dan dia tahu siapa, Seruni lalu menggenggam pisau ukir berwarna perak dan mengendap-endap menuju kasir dan bersyukur, ketika ia telah menyelesaikan transaksi dan memasukkan belanjaannya dalam tas crossbody miliknya barulah Jingga muncul. Ia lalu tersenyum tipis pada si tampan yang kelihatannya tidak malu sedang mendorong troli ke arahnya tanpa curiga.

Aga sama Bang Zam ga bakal tahu kalo lo diam dan bertingkah kayak ga ada apa-apa Ni.

Jaga rahasia kecil kita.

***

Siapa yang senang ada apdet?

Besok lanjut?

Tolong kasih tau yg typo ya, mata Mariah dah kriyeb2.
Jadi pengen beli ah kayak uni.

Bhay.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top