sebelas

Makasih buat kasih sayang kalian, Uci seksoy sekarang udah 70K views dalam 1 minggu dan hampir enam ribu komen, Uwaaaaaw..Mariah hepi sekali.
*buruburu kasih piso santoku buat Uni, ups.. buru-buru kasih seset piso buat uni, yang suka dipake motong anu yang bikin anu
🙊🙊






***

Galang Jingga Hutama tidak sadar berapa lama waktu yang dihabiskannya di bagian alat-alat otomotif kala sadar, selain sarung tangan, dia telah berhasil memasukkan pembersih jamur kaca mobil, pengharum ruangan aroma baru yang dia kira tidak akan membuat Seruni muntah-muntah seperti tadi. Seingatnya, wanita itu suka pewangi beraroma apel atau jeruk, dulu waktu SMA, ketika masuk ruang laboratorium bahasa, Seruni akan memejamkan mata, seolah menikmati bau yang sebenarnya biasa saja di hidung anak-anak lain.

"Eh, bukan gitu, Ga. Bau apelnya enak banget, daripada bau bunga atau bau ketek, gue seneng banget ada bau begini. Ntar kalau kuliah, mau masuk jurusan farmasi, terua nyiptain aroma apel segar buat parfum anak muda. Pasti laku."

Setelah Jingga protes dan mengatakan bahwa tidak seharusnya wanita berbau pengharum ruangan, melainkan beraroma sensual yang bisa membangkitkan gairah, mereka kemudian bertengkar hebat. Pertengkaran tersebut biasanya dinikmati oleh Lusiana yang memandangi mereka berdua dari balik meja. Sesekali Jingga melempar kedip genit yang membuat gadis itu tersipu, lalu kembali menimpali Seruni yang menurutnya terlalu banyak bicara hal yang kurang penting.

"Apel tu ya, buat dimakan, bukan dijadiin minyak wangi. Kurang kerjaan buang-buang makanan."

Seolah tersadar bahwa saat ini ia tengah sendirian, seraya mendorong keranjang belanjaan, Jingga menjulurkan kepala pada setiap lorong yang dilewatinya. Beberapa menit lalu dirinya ingat bahwa Seruni sedang berdiri di bagian pembalut. Jilbabnya yang menjulur hingga perut berwarna lavender itu seharusnya mudah saja dikenali, hanya saja, setelah beberapa lorong tidak nampak batang hidung wanita yang ketika ia nikahi dengan menyebut nama Tuhan tersebut, Jingga mulai merasa was was.

Dia menyimpan nomor ponsel Seruni, tapi selama ini belum pernah dia menghubungi wanita itu. Belum perlu, begitulah pikirnya. Lagipula, mereka kan setiap hari bertemu.

Tetapi, mau tidak mau, ia merasa cemas. Jika dia menjauh dari tempat itu dan tiba-tiba saja istrinya muncul, bisa-bisa ia kena maki Chandrasukma lantaran nekat meninggalkan Seruni begitu saja. Karenanya, Jingga kemudian meninggalkan troli dan berjalan cepat menyusuri lorong-lorong demi menemukan si penggugup yang selalu menolak menatap matanya lama-lama itu.

"Jangan bikin pusing deh, Ni." Ia bicara pada diri sendiri, lalu kilasan sosok wanita yang sebelum ini ia ingat dengan jelas, muncul begitu saja di depan kasir, sedang mengamati mesin pembeku es merk terkenal yang iklannya sering muncul di televisi. Melihatnya, Jingga mendesah lega. Dia seharusnya sadar, seperti Lusiana, Seruni adalah wanita normal. Es krim dan cokelat adalah hal yang kadang sulit dipisahkan terutama jika hati mereka sedang tidak baik.

"Gelato yang deket eskalator ya, Ga. Rasa red velvet dua scoop."

Dia ingat kesukaan Lusiana yang selalu bergelayut manja di lengannya ketika mereka mengunjungi mal langganan di bilangan Senayan. Si cantik yang seksi dan montok itu akan merajuk apabila Jingga
lupa memenuhi keinginannya, termasuk bila ia melupakan makanan kegemaran wanita itu.

"Kamu lupa terus kalo aku seneng rasa Red Velvet, Ga."

Bukankah dia cuma manusia biasa yang tidak selalu ingat apa saja yang wanitanya sukai? Bukankah setiap rasa eskrim sama? Sama-sama dingin dan akan lumer begitu masuk mulut?

"Mau es krim?" Jingga menawari Seruni kala troli yang dia dorong telah memasuki lorong bagian pembayaran. Masih ada satu orang konsumen yang antre dan kesempatan itu ia pergunakan untuk membuat wanita yang satu ini mau tersenyum sedikit, akan tetapi, yang dia dapat adalah sebuah gelengan pelan, "nggak suka."

Oke, dia tidak ingat bahwa wanita yang kini berdiri gugup di sebelahnya saat ini pernah makan es krim semasa mereka kecil dulu, tapi wanita yang menolak es krim adalah hal yang amat aneh.

"Nggak lucu, Ni. Ambil aja satu, sekalian sama belanjaan ini."

Gelengan dia dapat dan Jingga pada akhirnya melakukan hal tersebut sendiri. Beberapa kali Seruni menolak ketika ia menawari sesuatu, jangan sampai yang satu ini juga, cuma es krim dan harganya tidak semahal yang sering dibeli oleh Lusiana.

"Nggak usah, nggak bakal kemakan, gue alergi laktosa."

Tangan Jingga yang sedang memegang es krim bentuk kerucut rasa cokelat mendadak berhenti dan dia menoleh pada istrinya dengan wajah bingung, "Alergi apa?"

"Susu dan turunannya. Nggak bisa makan, dari kecil. Paling cuma minum teh atau air putih."

Jingga berusaha mengingat lagi dan merasa amat menyesal kenapa tiba-tiba dia jadi dungu seperti ini? Mereka menghabiskan sekitar lima atau enam tahun sebagai teman satu sekolah, beberapa kali satu kelas dan sering mampir ke rumah gadis itu karena Chandra yang berteman dengan ibu Seruni sering memaksanya mengirimkan makanan hanya agar Seruni dan ibunya tidak kelaparan.

"Ini ada rasa matcha. Green tea, teh hijau, kamu bisa makan."

"Masih ada susunya." Seruni tetap menolak, lalu berbalik mendekat ke arah kasir sambil memeluk tas miliknya yang berwarna senada dengan gamis dengan tali kulit berwarna cokelat. Pada akhirnya Jingga mengambil es krim tersebut, dan langsung membuka pembungkusnya begitu kasir usai memindai kode baris yang terdapat di sisi kiri kemasan es. Tanpa ragu ia mengigiti ujung es yang lembut dan manis lalu pamer pada Seruni seolah benda tersebut adalah makanan paling nikmat di dunia, sayang, karena Seruni sudah terbiasa membiarkan perutnya melilit pedih akibat tidak makan selama berjam-jam, bahkan beberapa hari karena siksaan bapak, hanya memandangi kasir yang masih sibuk mengerjakan tugasnya.

Ia tidak berani berlama-lama menatap Jingga, terutama karena dirinya merasa, tiba-tiba saja terjadi keanehan pada sikap pria itu sejak dia muntah tadi. Menawari Seruni es krim setelah beberapa hari menikah mereka nyaris tidak bicara bukannya membuat wanita itu senang, melainkan jadi amat waspada.

"Nggak ada mama di sini, Ga. Lo nggak perlu pura-pura baik. Nanti kalau Uci tahu...."

"Uci nggak ada." Jingga dengan cepat memotong, masih melanjutkan makan dengan santai. Tinggal beberapa barang lagi yang harus dipindai dan dia sudah mengambil dompet yang Seruni tahu berharga amat mahal dari saku belakang celananya. Karena itu juga, dia lalu meraih sisa kembalian pembayaran pisau ukir tadi dan menyerahkannya pada Jingga yang makin bingung dengan sikapnya tersebut.

"Bayar pembalut tadi."

"Apaan, sih?"

Tahu Jingga tidak akan sudi menerima uangnya, Seruni lantas menyerahkan tersebut pada kasir yang sedang memindai pembalut milik Seruni, "Mbak, dipisah ya, ini uangnya."

Sang kasir mengangguk. Belum sempat ia menerima uang tersebut, Jingga melotot dengan garang dan menarik uang Seruni dan menyerahkan kartu debit pada wanita tersebut.

"Suami kamu masih sanggup bayar pembalut, ngapain sih."

Melihat sepasang sejoli yang di matanya saat ini amat serasi, sedang berdebat, kasir wanita tersebut jadi salah tingkah. Ia pada akhirnya menuntaskan urusan memindai dan memasukkan semua belanjaan dalam kantung plastik berbayar. Setelah pentotalan dan urusan pencet PIN kelar, barulah ia menyerahkan struk belanjaan sambil mengucapkan terima kasih.

"Harusnya nggak usah bayarin." Seruni menggumam, tanpa melepaskan pegangan pada tasnya saat ini. Dalam benaknya berputar keinginan untuk mencoba menggoreskan mata pisau ukir yang baru dibelinya tadi ke arah nadi. Pisau baru biasanya lebig tajam dan saat digunakan untuk mengiris hanya akan menimbulkan sedikit perasaan terkejut. Pada akhirnya, ketika sadar, biasanya luka yang dia dapat lebih dalam dan lebih panjang. Aroma darah yang menetes, selalu membuatnya merasa lebih baik.

"Ibu udah nyuruh buat ngurus kamu, bukan ditelantarin, nggak peduli kamu atau aku nggak suka, selama kita terikat dalam satu perni...."

"Seharusnya, nggak perlu repot." Seruni memotong tidak lama setelah troli mereka berada agak sedikit jauh dari pintu supermarket, lalu melanjutkan, "Cukup biarin gue selama tiga bulan, jangan kasih apa-apa, entah duit atau apapun, maka lo akan bebas kembali sama Uci. Dan sebelum lo sadar, gue juga bakal usahain bikin mama benci. Ntah gue mesti selingkuh atau melakukan sesuatu yang bikin beliau jijik."

"Jangan mimpi." Jingga membalas, sengaja berhenti demi mendapat seluruh perhatian Seruni yang di matanya agak sedikit gemetar, "aku memang nggak setuju dipaksa menikah dengan orang yang nggak aku cintai sama sekali. Tapi itu bukan berarti aku boleh menelantarkan dia, membiarkan dia kelaparan, terus sakit. Aku nggak sejahat itu, Ni."

Seruni memandangi Jingga yang bicara bagai tidak terjadi apa-apa di antara mereka sejak beberapa minggu lalu. Ia lalu menghela napas, seperti sedang memaksa batinnya agar tidak meledak atau bahkan marah-marah bahwa pria itu telah memperlakukannya dengan baik dan amat buruk pada saat yang bersamaan.

Benar-benar pengendalian diri yang amat baik.

"Lo bakal menyesal kalau sia-siain hidup cuma buat nyenengin orang macam gue, Ga." Seruni menggeleng pelan, lalu berbalik dan berjalan menjauhi suaminya. Dadanya kembali sesak dan dirinya mulau merasa bahwa setelah bertahun-tahun, setuju menikah dengan Jingga yang sangat membingungkan, telah membuatnya jadi kacau balau pada saar yang bersamaan.

***

Alurnya lambat?

Ish, baru juga bab 11. Briziiik amat.

Apakah kita harus lanjut besok, Beb?

Ngacung lagi yang tinggi dan komen "lanjut dooong, Mariaah 💅💅💅💅🔪🔪🔪"

Eh cucok ga kali jadi Uni? Tapi centongnya kebangetan ih. Berasa kaga cucok.


Yang ga cucok, ganti poto di atas ama poto Eriska Helmi 😂😂😅

Silahkan follow Ig eke Eriska Helmi dan IG offisial. Siap-siap bakal ada Giveaway jelang 2 tahun offisial kita..yeaaayy...🎉🎉🎉🎉

Ajak teman-temanmu yak, siapa tau dapet bonus kiss dari Abang Aga alias Pak Jing

Lahdalah..dese mo kiss Uci centong rupanya..😍😍💞💞😘


Pas ketauan Uni, tangannya digebuq pake gayung..😅😂


Ini cerita sedih apa lawak, sih?😂😂😂😂

Mariah Cinta Kutek  💅💅💅💅

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top