Lima
Hai, mulai bab empat, setting Mature Content diaktifkan, atas saran pembaca akak napasbayi kalau ga salah. Hahah..keren amat namanya, coba kalo napasnaga bah, pingsan kita se-RT.
Oh iya, kayak Bebih Bulan, Seruni juga pakai jilbab, tapi plis jangan ada komen nanti kayak Bulan yang bilang, "Uni kan udah pake jilbab, rajin sholat, harusnya dia tahu dosa kalo silet2 badan." Well, nggak semua orang berjilbab itu kuat. Jilbab cuma penutup tubuh, kewajiban yang ga ada hubungan ama mental orang, di dalam hati insannya, kita ga pernah bisa tahu. Jangan pernah menjudge orang berjilbab itu harus alim dan ingat akhirat. Ini salah, makanya banyak yang keblinger.
Work ini juga berisiko, ya. Nggak semua orang hidupnya senang, tapi model-model seperti Uni ada banyak di dunia dan nyaris nggak keliatan. Ada banyak artis depresi dan berakhir dengan bunuh diri. Untuk tahap seperti Uni, dia sudah banyak mengalami kejadian sulit dan banyak yang pinter akting biar nggak ketauan.
Terima kasih sudah mau baca dan mampir, work ini nggak sekeren thor favorit kalian yang rame komen atau vote, tapi work ini sebagai jurnal kalau banyak dari kita masih butuh dukungan dan sahabat, bahwa kita selalu pakai topeng buat terlihat "sedang baik-baik saja."
If you love me, klik vote ama ketik komen yang banyak yak. Jangan sampe eke depresi, yak..🤣🤣🤣
Yang ga komen, besok bisulan.
***
Seruni Rindu Rahayu tidak tahu berapa lama dia tertidur dengan posisi terduduk, kepala bersandar pada pintu kamar dan tetesan darah yang telah mengering sepanjang lengannya. Yang dia tahu, suasana kamar suram karena jendela masih tertutup gorden tebal. Tertatih dia bangkit dan memutuskan untuk mencari tahu sudah jam berapa saat ini. Ketika bangun, pandangannya berkunang-kunang hingga dia harus berpegangan pada pintu agar mampu berdiri tegak.
Pandangannya lalu terarah pada tetesan darah dan pisau dengan ujung berwarna kemerahan akibat perbuatannya tadi. Dia tampak tidak peduli dan memutuskan untuk bergerak ke arah jendela, lalu menyibak tirainya dan memandang ke arah luar.
Rupa-rupanya, kamar Seruni mengarah ke bagian belakang rumah. Dari situ juga, ia bisa melihat kamar sebelah yang letaknya lebih menjorok dibanding kamar yang saat ini dia tempati. Tentu saja, kamar utama biasanya berukuran lebih besar dan lebih lengkap. Dia pernah menonton di televisi, kamar selebriti terkenal kadang dilengkapi ruang khusus untuk pakaian dan kamar mandi di dalam.
Pikiran bahwa Jingga dan Lusiana bergumul mesra di ruang sebelah, membuat Seruni menggelengkan kepala kuat-kuat. Dia tidak sanggup membayangkannya, akan tetapi, seperti menonton tayangan langsung, gambaran jelas berputar dalam kepala dan seketika ia kembali lemas. Ingin rasanya dia membenturkan kepala ke tembok kamar hingga kepalanya sakit. Dengan begitu, rasa nyeri akan menggantikan semua kecemasan dalam kepalanya dan dia tidak perlu lagi memikirkan tentang suami dan kekasihnya.
Seruni berjalan menjauhi jendela lalu menoleh ke arah sebuah lemari pakaian berukuran besar dan tinggi nyaris mencapai langit-langit rumah yang dicat duco warna putih. Terdapat empat pintu yang salah satunya dipasangi kaca seukuran dua meter. Seruni bisa melihat pantulan tubuhnya sendiri berbalut gamis model payung yang mengembang indah membentuk huruf A. Meski tidak seseksi Lusiana yang lekuk tubuhnya terlihat jelas, kulit Seruni yang putih tampak serasi dengan gamis warna cokelat susu tersebut, begitu juga dengan setelan jilbab syari yang dipakainya.
Pemberian Zam yang selalu suka melihatnya terlindungi dari pandangan pria-pria nakal yang kadang mampir ke ruko hanya untuk menggodanya.
"Pake, ya. Ini model paling baru. Se-Tanah Abang, baru gue yang beli, Aliong baru buka bal-an. Belom dipajang malah, langsung gue ambil."
Di bagian perut sebelah kiri tampak jejak darah yang dia tahu, berasal dari luka yang dibuatnya tadi. Karenanya, Seruni kemudian memutuskan untuk membuka koper, mencari-cari handuk dan baju ganti.
Gue masih pake gamis kan, kalau di sini? Dia juga nggak mau liat badan gue, kalau dipaksain juga paling nanti kena ejek lagi.
Seruni berhasil mengambil satu stel gamis rumahan warna navy dan jilbab instan cantik yang menutupi hingga dada. Selain pakaian, dia juga mengambil wadah P3K mungil yang sengaja disimpannya dalam jaring-jaring bawah penutup koper yang tak pernah alpa dia bawa. Di wadah tersebut terdapat segala kebutuhan untuk membersihkan dan menutup luka dia simpan dengan apik.
Selama bertahun-tahun, tidak ada yang mengetahui kebiasaan Seruni, hanya Zam yang sadar bahwa adik tirinya punya kelakuan aneh. Itu pun terjadi tidak lama setelah ayah gadis itu meninggal dunia. Dia telah melakukan segala cara agar adik tirinya tersebut pulih, sayang, dia tidak punya dua puluh empat jam waktu agar bisa selalu berada di sisi Seruni. Realita, kewajiban dan keras kepala wanita tersebut membuatnya harus banyak mengalah. Bersyukur bahwa sesekali Seruni tidak menolak kala Zam mengajaknya ke dokter secara berkala, walau kemudian Seruni merasa, menenggak obat malah membuatnya makin gila.
"Nah gitu, cakep banget kalo pake jilbab. Kayak bininya Aladdin yang punya jin itu, siapa, sih, namanya?"
"Jasmine? Bukannya dia malah udelnya ke mana-mana?"
Seruni menghela napas. Satu tahun sebelum kepergian ayahnya, dia mulai berhalusinasi, merasa selalu ketakutan, dan hanya sembuh bila tubuhnya terluka. Mulanya hanya kakinya yang terbentur, rasanya amat menyenangkan walau nyeri terasa. Perasaan tersebut mengingatkannya kala disiksa oleh ayah kandungnya.
"Ampun, Bapak... sakit. Uni sakit, Bapak."
"Nangis lagi lo gue matiin! Gue matiin lo biar busuk di neraka. Lo anak anjing, anak najis."
Luka baru yang Seruni buat dekat siku tangan kirinya berdarah lagi. Kenangan masa lalu membuatnya gemetar hingga tanpa sadar ia kembali menekan luka tersebut hingga nyeri-nyeri kembali datang. Keringat dingin menetes-netes membasahi punggung dan pelipisnya. Entah karena sedang ketakutan atau karena darahnya terus menetes, dia tidak tahu. Yang pasti, ketika menatap pantulan wajahnya di cermin, ia mendesah. Wajahnya yang putih tampak pucat. Dua lingkaran hitam bertengger di bawah mata dan dia ingin tertawa kala menyadari bahwa ia mirip sekali dengan mayat hidup.
Nggak heran Aga benci.
Padahal dia amat yakin, ketika pertama kali dipertemukan usai akad nikah, mata pria itu seakan tidak berkedip kala melihatnya. Toh, Zam yang selalu berada di sampingnya terus berbisik bahwa ia amat cantik, ia begitu indah, ia begitu memesona hingga nyaris membuat pria itu menangis kala saksi mengucap sah.
Seruni menghela napas. Zam jadi begitu sensitif sejak dia mengatakan bahwa Chandrasukma Hutama mendatanginya dan meminta gadis itu jadi istri putranya. Sementara, dua hari kemudian, Jingga yang baru tahu dengan siapa ia akan dinikahkan, nyaris mengamuk di depan ruko KiKi, hingga menyebabkan Zam naik darah dan mereka berdua hampir berkelahi.
Butuh kepala amat dingin dan perdebatan panjang antara dua saudara itu untuk memutuskan masa depan Seruni. Zam tidak setuju, tapi Seruni sadar, mereka butuh banyak bantuan demi menyokong usaha kecil yang baru dirintis. Selama bertahun-tahun, Zam yang menjadi kaki, tangan, benteng, dan pelindung Seruni. Tidak peduli fakta bahwa dia hanyalah seorang adik tiri yang terus menyusahkan pria itu selama bertahun-tahun.
"Kita bakal dapet mobil, dapet modal buat tambah dana, nggak perlu ngutang di bank. Abang dengar, kan, Aga bilang apa? Dia setuju nikah, tapi cuma buat beberapa bulan, buat nyenengin hati mamanya doang."
Tapi baru lewat dua puluh empat jam, menjadi pengantin dari pria yang dia kira tidak akan pernah jadi suaminya itu ternyata telah membuatnya menyiksa diri lebih dari sebelumnya. Lusiana yang nekat datang di hari akad dengan air mata bercucuran dan penampilan amat seksi dan membuat mata semua orang memandang, perlahan telah menghancurkan rasa bahagia di hati Seruni hingga tidak berbekas. Tidak sedikit pun pandangan Jingga lepas memperhatikannya meski ia dapat mengelabui ibu dan para tamu
Seruni kemudian menyentuh dadanya sendiri, memukul bagian dekat jantung dan kerongkongan beberapa kali supaya nyeri dan sensasi menyangkut di tempat tersebut segera lenyap. Sayang, perasaan sesak itu tetap ada dan yang bisa dia lakukan adalah bergegas keluar kamar, mencari kamar mandi dan membiarkan air mengguyur tubuh dan rasa penatnya hingga tidak ada lagi yang bisa ia cemaskan sama sekali.
***
Sudah lewat waktu Isya dan Jingga belum juga menampakkan diri. Diliriknya layar ponsel yang kembali, belum tersentuh sama sekali olehnya. Tak satu pun pesan dari pria itu dan ia yakin, jikalau saat ini ada gempa atau serangan teroris yang mengancam keselamatannya, Jingga tidak akan datang.
Pada akhirnya, dia memutuskan untuk ke dapur. Perutnya sedikit melilit dan dia belum tahu daerah ini. Membeli makanan lewat aplikasi bukanlah kesukaannya, jadi yang bisa dia lakukan adalah memeriksa apa yang bisa dia masak.
Tidak peduli apakah yang dia lakukan saat ini adalah hal yang lancang karena begitu berani mengacak-acak dapur yang dia tahu tidak berhak dia ganggu, dia bersyukur kala menemukan beberapa butir bawang, cabe, telur dan beras dalam kontainer khusus.
Menu sederhana buatan Seruni pada akhirnya dia tandaskan dalam beberapa menit dan sisanya ia letakkan di atas meja makan. Siapa tahu saat pulang nanti, suaminya berniat makan, walau tahu, mustahil Jingga tidak mengisi perut di hari semalam itu. Lusiana pasti tidak akan membiarkannya kelaparan. Hubungan mereka yang Seruni tahu sudah berlangsung sejak bertahun-tahun lalu pastilah berada dalam tahap amat serius hingga hal sekecil apapun bukanlah hal yang aneh.
Dia saja tahu kalau Jingga suka makan telur dadar yang ditumis dengan sambal balado, seperti yang saat ini telah tersaji di atas meja, walau sangsi, pria itu akan menyentuhnya.
Seruni melirik jam di dinding dan menemukan kalau sudah jam setengah sembilan sehingga ia memutuskan untuk menunggu dengan duduk di sofa empuk berwarna hitam, depan ruang menonton televisi, berharap akan kepulangan Jingga. Cuma, kala bokongnya menyentuh jok kursi empuk tersebut, matanya terpaku pada foto Jingga dan Lusiana yang berpelukan.
Dalam hati, bukan main ia merasa iri. Sejak masih SMA, bukan rahasia lagi Jingga terang-terangan mengejar teman sebangkunya itu. Kini, bertahun-tahun kemudian, seperti halnya Jingga, Lusiana seakan menganggapnya mahluk asing yang menjijikkan.
"Mama Chandra hebat banget bisa nemuin kamu, bukannya dulu kalian pindah gara-gara rumah kalian disita bank. Kok bisa ketemu, sih? Iya Jakarta nggak gede, tapi kayak kebetulan aja, kan? Atau kalian udah ngatur karena tahu, Aga belum bisa nikahin aku? Kamu emang sengaja kan, Ni? Ngancurin semua mimpi indah kami."
Sembari memandangi foto dalam pigura berwarna emas, Seruni merasa bagai menyaksikan lagi semua hal yang terjadi beberapa hari sebelum pernikahan mereka. Lusiana tiba-tiba datang ke ruko dan seperti yang Jingga lakukan, dia marah-marah pada dirinya yang tidak tahu malu telah merebut pria itu.
Dia menundukkan kepala, memejamkan mata selama beberapa detik lalu menggumam, "Iya, gue kayak ngerebut dia dari lo, Ci. Tapi, waktu kita SMA, nggak sekali dua lo ngambil bekal makanan buatan gue, terus lo kasih ke Aga, dan ngaku itu buatan lo...."
***
Sampe sini dulu ya. Kalau ada empat ribu votes, ntar malem Mariah up lagi. Yang ngeri2, nggak usah baca, dah. Kasian jantung kalian wkwkw..
Mau ga sih Up 2 kali?
Eh, kan ga ada yang baca ini..🤣🤣🤣
Bhay
Mariah lagi kutekan.💅💅💅💅
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top