Episode 9. Lagi lagi De javu
O2 NOPEMBER 2014
PARA PEMBACA SEKALIAN, ANDA DAPAT MELIHAT PANTAI DI MEDIA SEBELAH KANAN, YANG SAYA GAMBARKAN SEBAGAI TEMPAT LILY DAN ONTARIO BERTEMU. INDAH, YA?
Pagi itu, matahari mulai menampakkan kekuasaannya. Angin laut sepoi-sepoi berembus membelai dedaunan nyiur di pantai. Lily berlarian di tepi pantai dengan pasir putihnya yang lembut. Ia memakai baju berlengan pendek dan celana pendek. Ombak laut terlihat begitu lembut dan indah.
Sepupunya Tommy dan Jerry-–si kembar-–yang tidak pernah akur, mengejarnya dari belakang. Lily mengajak mereka-–yang berumur 8 tahun dan masih duduk di kelas 2 SD-–duduk di atas pasir. Mereka membuat istana pasir. Sebentar saja, ombak menyapu istana pasir mereka hingga hancur. Mereka bertiga tertawa-tawa. Lily terlihat seperti anak kecil saja. Apalagi dengan tubuh mungilnya itu.
Selagi ia asyik membangun istana pasir bersama kedua sepupunya, seseorang menyapanya. Dekat sekali di telinganya. "Hai... sayang, kita ketemu lagi."
Jantungnya terasa berhenti berdetak. Ia kenal betul, orang yang memanggilnya 'sayang'. "Rio...?" Ia membalikkan wajahnya. Tanpa sengaja bibirnya menyentuh bibir Rio. Spontan, ia mendorong tubuh Rio. "Jauh-jauh sana!" Wajahnya memanas. "Makhluk alien ini kenap bisa ada di sini?" Ia memandang Rio yang tengah tersenyum menggodanya.
"Mengapa aku merasa pernah bertemu dengan makhluk aneh ini di pantai ini sebelumnya?" Ia mencoba mengingat kapan ia pernah mengenal Rio. Namun ia merasa belum pernah mengenalnya. "Aku deja vu lagi." Ia menggelengkan kepalanya. Dadanya berdebar-debar. "Mengapa aku sangat merindukannya? Hoho ... rindu? Aku merindukannya? Oh! Tidaaaak! Aku masih kecil, enggak boleh jatuh cinta! Enggak boleh!Enggak boleh!" Ia menundukkan kepala. Tidak berani menatap mata Rio yang tajam, setajam belati menikam jantungnya. Dadanya terasa sesak.
"Hai adik kecil. Siapa nama kalian?" Dengan suara renyah, Rio menyapa Tommy dan Jerry.
"Aku Tommy, Om. Dan ini Jerry!" Tommy menunjuk dadanya dan menunjuk dada Jerry.
"Oh! Nama kalian seperti--."
"Film kartun?!" tukas Lily.
"Aha! Iya, iya. Hihi...." Rio terkikik. "Lucu banget nama kalian! Kapan ya, aku punya anak-anak lucu seperti kalian?" Rio memeluk Tommy dan Jerry. Terbayang di pelupuk matanya, ia memiliki anak yang lucu-lucu.
Bola mata Lily bergerak ke atas menatap Rio malu-malu. "Isterimu enggak bisa kasih kamu anak?" tanya Lily penasaran. Ia ingin tahu, apakah Rio sudah beristeri atau belum.
"Isteri? Pacaran aja aku enggak pernah, bagaimana bisa punya isteri?" Rio tersenyum penuh arti.
"Hah! Memang usiamu berapa?" Lily mendongakkan kepalanya.
"32 tahun."
"Apa? Usia setua itu belum menikah? Belum punya pacar? Keburu karatan!" Ada rasa lega di hatinya. Ternyata Rio belum punya pacar, apalagi isteri. Ia membandingkan dengan dirinya. Selisih 17 tahun! "Hoho.... Jika aku nikah sama dia, berarti aku nikah sama om-om. Tapi ganteng, sih." Ia tersentak dan malu sendiri membayangkan hal yang selama ini dianggapnya menyeramkan. Bersanding dengan seorang lelaki.
"Aku sudah punya jodoh, sih. Aku sedang menunggunya." Rio melirik Lily dengan ekor matanya.
Deg! Ada rasa kecewa di hati Lily. "Hei! Ada apa denganku? Kenapa aku kecewa?"
"Kapan mau nikah?" tanya Lily dengan nada kecewa, yang tidak bisa ia tutupi.
"Menikah? Aku kan belum punya pacar. Kau saja yang menikah denganku!"
Deg! Tembakan tanpa basa-basi itu langsung menembus jantung Lily. "Mati, aku! Aku terjebak dengan pertanyaanku sendiri." Lily berusaha menutupi perasaannya dan mengelak, "Mana mungkin? Aku masih terlalu kecil." Hatinya kian berdebar-debar.
"Kau pasti akan menikah denganku, kau tidak akan bisa mengelaknya." Rio berguman.
Tapi Lily mendengarnya dengan sangat jelas. Tubuhnya bergidik membayangkan menikah dengan pria setua ini. Namun di sisi lain, ada kebahagiaan terselip di hatinya. Makhluk aneh ini terlalu tampan dan gagah. Ia suka. Wajahnya memerah, membayangkan semua itu.
"Aku sudah lama menantikanmu Reginaku sayang," bisik Rio di telinga Lily.
Lily terpaku! "Ia menyebutku Regina. Regina pacar Angga di dalam mimpiku. Berarti dia tau mimpi itu?"
"Kau pasti bermimpi tentang Angga dan Regina."
"Dari mana kau tahu?" Lily menatap Rio penuh tanda tanya.
"Kita pernah pergi berdua ke pantai ini sebelumnya." Rio menatap Lily dengan penuh kerinduan tanpa memedulikan pertanyaan Lily.
Lily tersentak! "Dia ngerasain apa yang aku rasa. Mungkinkah kami pernah bertemu sebelumnya? Kenapa aku ngerasa begitu deket sama makhluk aneh ini? Aah! Lagi-lagi aku mengalami deja vu." Lily hendak meminta penjelasan Rio. "A--."
Seakan tahu apa yang dipikirkan Lily, Rio berkata, "Nanti kau akan tahu sendiri." Rio menarik tangan Tommy dan Jerry bermain. "Ikut, Kakak, yuk!" Mereka mengikuti Rio dan meninggalkan Lily. Rio pandai mengambil hati mereka. Rio sangat suka dengan anak-anak. Sebentar saja, mereka sudah akrab.
Lily terdiam. Hatinya penuh tanda tanya mengalami kejadian aneh belakangan ini. Ia seperti terlempar ke dalam ruang dan waktu yang berbeda, yang ia sendiri tidak tahu. Ia merasa seperti begitu dekat dengan makhluk aneh itu. Sangat dekat! Ia seperti tidak asing dengan wajah, senyuman, dan tatapan matanya yang bening berpendar menghangatkan jiwanya.
Rio mengajak Tommy dan Jerry, berenang. Rio melambaikan tangan ke arah Lily untuk ikut bergabung. Sementara papa, mama, om dan tante asyik mengobrol di bawah sebuah pohon di atas selembar tikar.
Lily berlari mengejar mereka. Namun, langkahnya tertahan. Ia baru menyadari Rio bertelanjang dada. Tubuhnya sangat maskulin. Otot-otot tegas menonjol di lengan, dada dan perutnya yang membentuk enam kotak tonjolan indah. Dadanya dipenuhi bulu-bulu yang lebat. Wajah Lily memerah! Ia memalingkan wajah. "Oh! Tidaaaak! Aku masih kecil, belum boleh pacaran." Lily selalu menolak perasaan anehnya yang semakin tumbuh subur.
Rio berlarian menghampiri Lily, yang sedari tadi diam terpaku. Air laut merendam hingga di betisnya. "Ayo, sayang! Sini!" Rio menarik lengan Lily yang sedang sibuk dengan pikirannya sendiri.
Dada Lily semakin berdebar tidak menentu. Ia memalingkan wajahnya. Tidak berani menatap Rio.
Rio memegang dagu Lily. Tiba-tiba ia menempelkan tubuhnya ke tubuh Lily dan mencium bibirnya lembut.
Ciuman itu begitu hangat dan menggetarkan. Baru kali ini Lily merasakan bibirnya disentuh dengan bibir seorang pria. Jantungnya berdegup tidak normal. Darahnya mengalir lebih cepat. Napasnya terasa berhenti. "Woah! Mengapa seperti ini! Mama dan papa liat enggak apa yang dilakuin Rio?" Ia mendorong tubuh Rio. Ditundukkan wajahnya dalam-dalam, berusaha menenangkan perasaannya yang bergejolak.
Rio mundur selangkah. "Regina, aku sudah lama menantikanmu. Aku sangat merindukanmu. Hampir mati rasanya aku mencari-carimu," gumam Rio sambil menatap Lily. Rindunya membengkak seperti abses. Terasa nyeri menekan dada dan seakan mau pecah. Kian hari, ia semakin tidak dapat menahan diri untuk selalu berdekatan dengan Lily. Menyatakan semua kerinduannya selama ini.
"Regina? Aku bukan Regina. Kau salah orang, Kak!" Untuk menghormati Rio, ia memanggilnya kakak. "Siapa sebenarnya Regina? Mengapa ia seperti diriku? Diriku seperti dirinya?"
"Aku tidak salah. Kaulah orangnya." Rio menatap tajam ke arah Lily, dadanya naik turun, menahan napasnya yang tersengal.
Tubuh Lily bergetar. Wajahnya memerah. Lily berlari ke arah mamanya menghindari Rio. Ia takut perasaan aneh yang menyelimutinya semakin berkembang. "Aku enggak boleh jatuh cinta padanya!" Ia bergegas mengambil pakaian ganti dan menggantinya di kamar mandi umum. Dan menghampiri kedua orang tuanya yang sedang duduk bersama om dan tantenya.
"Siapa lelaki yang sama Tommy dan Jerry itu?" Mama bertanya kepada Lily.
"Temen, Ma." Jawab Lily pendek. Pikirannya masih dipenuhi rasa aneh di bibirnya, yang masih terasa hangat.
"Papa seperti kenal. Kalian keliatan akrab." Papa ikut memberikan komentarnya.
Deg! "Apa mereka liat apa yang dilakuin Rio tadi? Gawat kalau mereka tahu." Dada Lily berdebar cemas. "Biasa aja kok, Pa."
"Sepertinya usianya sudah dewasa banget," kata mama. "Kamu kenal di mana."
"Di sekolah, Ma."
"Sekolah? Mama rasa ia bukan temen sekolah kamu. Apa dia guru kamu?" Mama mengernyitkan alisnya.
"Bukan." Lily menjawab pendek. "Gawat nih!" Mama sudah mulai menginterogasinya. Kebiasaan mamanya selalu menginterogasi setiap kali Lily dekat dengan cowok. Makanya Lily malas berteman dekat dengan cowok.
"Jadi siapa?"
"Lily juga enggak tau, Ma. Lily baru kenal kok." Hatinya kesal mama bertanya menyelidik seperti itu.
"Tapi akrab sekali."
"Tuhan. Apakah mama liat apa yang dilakuin Rio tadi?" Hati Lily menjadi semakin gelisah. "Dasar cowok kurang ajar, seenaknya aja mencium orang di tempat umum. Pacar bukan. Suami apalagi." Lily mengumpat-umpat dalam hati.
"Li! Kayaknya Tommy dan Jerry suka sama teman kamu itu." Tante Karen tersenyum melihat Rio dan kedua anaknya yang terlihat bermain air. "Siapa namanya?"
"Ontario, Tan."
"Nama yang bagus. Ganteng lagi. Boleh juga, tuh!" Tante Karen tersenyum menggoda.
Tante Karen belum terlalu tua. Masih cantik dan terlihat seperti masih gadis. Usianya 28 tahun. Ia menikah muda. Sedangkan Om Gerald usianya terpaut 10 tahun dari Tante Karen, maka dari itu mereka cepat menikah, karena usia Om Gerald yang sudah cukup dewasa. Om Gerald lumayan ganteng dan gagah, makanya tante Karen tergila-gila padanya. Namun Om Gerald terlalu pencemburu. Mungkin karena Tante Karen masih terlihat seperti ABG dengan tubuh sintalnya yang proporsional. Tingginya sekitar 155 cm dengan berat 45 kg. Tidak jauh beda dengan tinggi Lily dan mamanya. Mungkin mereka–-keluarga mama Lily–-masih keturunan liliput, karena dari 5 bersaudara-–semuanya perempuan-–termasuk mamanya yang tingginya hanya sekitar 150 cm, semua tingginya tidak ada yang lebih dari 155 cm.
Om Gerald yang sedari tadi diam saja, mendelikkan matanya menatap isterinya. Wajahnya tampak tidak senang.
"Tenang, Pa. Maksud Mama boleh untuk Lily. Mama kan sudah punya Papa. Mama kan, cuma cinta sama Papa." Tante Karen memeluk suaminya. Berusaha menghiburnya dan menenangkannya.
Lily dan orang tuanya senyum-senyum saja melihat tingkah keduanya. Walau sudah punya anak, mereka berdua masih saja terlihat mesra seperti pasangan ABG yang sedang dimabuk cinta.
Rio, Tommy dan Jerry berlari ke arah mereka. "Mama, Mama, Om Rio lucu, deh. Katanya sebentar lagi Om Rio bakal jadi kakaknya Tommy dan Jerry. Tommy enggak boleh panggil om. Panggilnya harus kakak." Kata Tommy dengan nada suara yang menggemaskan.
"Iya ni, Ma. Om Rio lucu. Seneng main sama Om Rio." Si kecil Jerry menimpali. "Kapan-kapan main ke rumah ya, Om." Jerry sangat berharap dapat bermain bersama dengan Rio lagi.
Deg! "Makhluk alien ini kok bisa-bisanya bicara seperti itu?" Lily gelisah di tempat duduknya. Ia menatap Rio. Tubuh itu begitu besar dan kokoh dan ... alamak! Matanya tetumbuk dengan tatapan Rio. Lily kembali memalingkan wajahnya.
"Selamat sore, Om-om dan Tante-tante, kenalkan nama saya Rio. Saya pacarnya Lily." Rio menjabat tangan orang tua, om dan tantenya Lily.
"Busyet, dah! Kenapa dia seenaknya aja ngaku pacarku. Gila banget!" Wajah Lily merah padam. "Bohong, Ma, Pa. Dia bukan pacar Lily." Lily takut kalau orang tuanya nanti di rumah menginterogasinya dan bertanya macam-macam.
"Halaaah! Lily, ngaku aja. Punya pacar ganteng gitu kok, di simpen enggak dikenalin ke Tante," goda tante Karen.
"Bukan, Tan. Beneran, bukan pacar Li."
"Duduk sini." Papa meminta Rio duduk bersama mereka dengan suara yang ramah.
"Waduh! Kenapa Papa menyuruhnya duduk di sini?" Lily tidak sanggup melihat tubuh Rio yang masih setengah telanjang itu. Dadanya itu.... Hh! Sangat bidang dan dipenuhi bulu-bulu yang menambah kegagahannya. Ingin rasanya ia berlari menghindari Rio.
"Kamu anak siapa?"
"Papa saya Julian Harry, Om."
"Apa?" Kamu anak sulungnya yang pernah bersekolah di Amerika itu? Yang sampai sekarang belum juga mau menikah? Pantas saja Om seperti mengenalmu." Budi Segara, Ayah Lily mengikuti gaya bicara Rio yang formal.
"Iya, Om. Om kenal dengan papa saya?"
"Sangat mengenalnya. Papa kamu langganan di restoran kami. Beliau sering memesan tempat kami untuk meeting atau menjamu para kliennya. Bukankah kamu juga pernah ke restoran, Om? Teratai di Tengah Kolam."
"Iya, iya. Oooo... jadi Om pemilik restoran Teratai di Tengah Kolam, itu?" Mata Rio terbelalak. Ternyata orang tua Lily pemilik restoran langganan keluarganya. Dan orang tua Lily benar-benar penggila bunga teratai. Sampai-sampai restorannya saja dinamai seperti itu.
"Iya." Budi Segara menepuk-nepuk bahu Rio. "Apa sekarang kamu belum juga menikah?"
"Hampir, Om." Rio tersenyum penuh arti sambil melirik Lily dengan ekor matanya.
Lily mendengus menangkap lirikan Rio.
"Papamu sampai pusing memikirkan anaknya yang satu ini belum juga dapat pendamping. Dilangkahi oleh kedua adik perempuan kamu yang semuanya sudah menikah. Hehe...." Budi Segara terkekeh-kekeh. "Ma, ini anak Mas Julian, customer terbaik kita."
Ayu Dewi kartini Mama Lily tersenyum manis.
"Oya, apa benar kamu pacarnya Lily?" Budi Segara mengernyitkan alisnya.
"Iya, Om." Jawab Rio mantap.
"Pacar kamu ganteng banget," bisik tante Karen di telinga Lily. "Kalo Tante masih gadis, Tante bakalan tergila-gila sama dia," goda Tante Karen.
"Tante apaan, sih? Aku kan masih kecil." Wajah Lily memerah.
"Enggak usah malu-malu, ngaku aja." Tante Karen terus menggoda Lily.
"Sejak kapan, kalian saling mengenal?" tanya Budi Segara.
"Sejak masa lampau Om. Mmmm... maksudnya sudah lama, Om."
Mata Lily mendelik. "Baru saja kenalan sudah ngaku-ngaku kenal lama. Dasar manusia aneh!" Lily mengomel dalam hati.
"Kok, Lily enggak pernah cerita ya?"ucap Budi Segara heran. Ia memandangi Lily.
"Mungkin dia malu, Om."
"Pa... dia ini bohong!" Lily tidak tahan lagi.
"Lily, kalau emang dia pacar kamu, kenapa ditutupi?" Budi Segara tersenyum menatap Lily.
Deg! Jantung Lily serasa berhenti. Ia menatap papanya tidak percaya! "Dulu Kak Lotus waktu SMU, dilarang habis-habisan untuk pacaran, sampai mereka backstreet dan hamil. Sekarang kenapa papa seperti memberiku lampu hijau?" Ia tidak mengerti sikap papanya.
"Papa mengenal baik orang tua Rio. Mereka keluarga baik-baik dan terhormat. Papa percaya pada Rio." Budi Segara menatap Lily seperti tahu apa yang ada dalam pikiran anaknya.
"Papa kenapa percaya dengan makhluk alien ini?" tanya Lily dengan suara ketus.
"Kamu mau tahu?"
Lily terdiam.
"Di umurnya yang sudah dewasa ini, apakah kamu tahu, Rio enggak pernah kenal yang namanya pacaran. Dua adik perempuannya semua sudah nikah. Orang tuanya aja sampe bingung."
"Papa kok, tau?" tanya Lily penasaran.
"Loh, papanya Rio kan sering makan siang di restoran kita. Kami juga sering berkumpul dan saling bercerita. Kami berteman baik, sayang."
Rio menyeringai penuh kemenangan. Sebentar lagi ia akan mendapatkan gadis yang sudah lama ia nantikan ini.
"Om, Boleh gak saya akan memperkenalkan Lily pada orang tua saya? Papi-mami ingin bertemu Lily."
" Tentu saja, boleh. Kapan?"
"Bagaimana kalau nanti malam?"
Mata Lily terbelalak. "Kak, aku ini masih kecil. Aku belum mau nikah."
"Siapa bilang aku mau menikahi kamu? Aku cuma ingin mengenalkan kamu ke orang tuaku. Belum tentu langsung menikah, kan?"
Wajah Lily memerah. "Sialan ni cowok!"
"Oke, kalau begitu. Kalian sekeluarga datang saja ke restoran kami nanti malam jam 8. Bagaimana? Sekalian Om undang kalian makan malam."
"Wah! Makasih banyak, Om." Rio berdiri dan menyalami Budi Segara.
"Ngomong-ngomong, kamu ke sini dengan siapa?" Budi Segara menengok ke sana kemari seperti mencari seseorang.
"Sendirian, Om. Saya mau mandi dan ganti pakaian dulu, Om. Sudah sore, nanti telat datang ke restoran, Om."
"O... iya. Silakan."
Rio bangkit dari duduknya. "Bye, gadis mungilku." Sekilas mencium pipi Lily yang duduk tidak jauh dari dirinya. "Sampai jumpa nanti malam Om, Tante! Jerry, Tommy, Bye bye!"Rio melambaikan tangan pada Tommy dan Jerry.
Wajah Lily memerah. "Enggak tau malu banget tuh makhluk alien cium-cium di depan papa, mama, tante dan om." Lily mengusap pipinya.
***
JIKA KAMU-KAMU MAU NGERTI ALUR CERITANYA COBALAH RANGKAI MIMPI-MIMPI DARI WATER LILY. ANTARA MIMPI DAN KISAH WATER LILY DENGAN ONTARIO MEMPUNYAI KAITAN YANG SANGAT ERAT.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top