Episode 5. Di Toko Buku
31 OKTOBER 2014
Setiap hari, Lily selalu berharap bertemu kembali dengan pria yang sanggup mengubah pendiriannya. Ia menunggu dan menunggu. Rasa kecewa muncul. Pria itu tidak pernah datang lagi. Di mana pria tampan misterius itu? Rasa rindu menyergapnya. Keinginan untuk bertemu dengan pria itu begitu kuat. Ia tidak mengerti, mengapa ini bisa terjadi. Ia yang selama ini ia tidak pernah peduli dengan yang namanya laki-laki, kini begitu peduli dan merindukannya.
Tiap hari ia bolak-balik ke perpustakaan, berharap kejadian kemarin terulang lagi. Namun itu tidak pernah terjadi.
Baru saja ia dari perpustakaan, seseorang berteriak memanggilnya, "Hei, Lily!" Kevin, teman sekelasnya yang membuatnya selalu sebal, mengiringi langkahnya.
"Aaah! Dia lagi! Dia lagi! Bikin bete aja!" Ia memaki-maki dalam hati.
"Kok, dari tadi diem aja?"
"Hmmm ...." Ia hanya mendengus. Mengapa harus ada makhluk-makhluk menyebalkan macam Kevin ini muncul di dunia ini? Mengapa bukan si pria tampan itu?
Eh? Ia merasa terkejut! Betapa ia mengharap pria itu hadir lagi.
"Li ...." Kevin meraih tangan Lily.
Lily menepisnya. "Apaan, sih! Jangan pegang-pegang, napa?!"
Ia merasa jijik dengan cowok playboy yang sok kegantengan, macam Kevin ini. Bolak-balik ganti pacar. Menyebalkan! Memangnya cewek itu bola, apa? Lempar sana-sini seenaknya.
"Lily!" Angel--sahabatnya--berlarian ke arahnya.
Untung saja ada Angel. Hh! Ia bernapas lega. Ia bisa terbebas juga dari cowok yang menyebalkan itu.
"Li, waktu itu kan, kita enggak jadi ke toko buku. Hari ini aja ya, ke toko bukunya?" Angel merengkuh bahu Lily.
"Ya, udah. Kebetulan ada beberapa buku yang mau kubeli. Nanti aku SMS Pak Dadang supaya enggak jemput aku,"
"Oke."
Dengan cepat, ia menarik tangan Angel. Tanpa memedulikan Kevin, cowok yang sok kegantengan menurut dirinya, mereka berjalan beriringan menuju kelas.
Kevin berlarian mengejar mereka. "Eit!" Dihalanginya langkah mereka. "Aku boleh ikut, gak?"
"Bo--." Ucapan Angel terpotong.
Lily mencubit lengan Angel.
"Auw!" teriak Angel. Dikibaskan lengannya yang kesakitan.
"Enggak boleh! Ngapain kamu ikut?" Lily menarik tangan Angel berjalan melintasi Kevin dengan tergesa.
"Ngapain ngajak cowok playboy itu? Aku enggak ikut, kalo dia ikut,"omelnya tidak senang. Entah mengapa ia sebal dengan Si Kevin ini. Tindakan cowok satu itu selalu membuatnya mual dan ingin muntah. Cowok satu itu selalu saja mencari-cari perhatiannya dan selalu bertindak berlebihan.
"Iya, deh. Tapi ... kenapa sih, kamu kok, sebel banget sama dia?"
"Au, ah!" jawab Lily setengah hati.
"Dia kan, ganteng, Li. Banyak loh, gadis-gadis di sekolah ini yang naksir dia." Angel mengikuti langkah Lily yang melangkah dengan terburu-buru.
"Masak bodo! A-ku eng-gak ter-ta-rik!" ucapnya sewot. Dipercepat langkahnya, hingga Angel berlarian kecil mengikutinya.
"Kamu kok anti banget, sama yang namanya cowok, sih?" Angel mengiringi langkah Lily.
"Males ngeladeninnya. Aku di sini mau sekolah, bukan pacaran."
"Tapi apa salahnya kalo kita bersahabat sama mereka." Angel menarik tangan Lily. "Pelan sedikit jalannya, Li."
"Halah! Mereka tuh, kalo dibaikin, minta lebih. Maleslah!" Lily memperlambat jalannya. Diputar kepalanya ke belakang. Kevin sudah tidak mengikuti mereka lagi.
"Kok, gitu sih, Li."
"Biarin aja! Aku enggak mau deket, sama makhluk yang bernama cowok," jawab Lily. "Karena aku, enggak mau kayak kakakku," lanjutnya dalam hati. "Persetan dengan yang namanya cowok! Hanya akan menimbulkan penderitaan!"
Angel menggeleng-gelengkan kepalanya melihat sikap sahabatnya yang anti makhluk yang bernama lelaki itu. Padahal menurutnya, bergaul dengan para cowok itu suatu kesenangan. Mereka tuh, lebih bisa menyimpan rahasia, dan tidak comel, seperti kebanyakan cewek.
Mereka masuk ke kelas, dan duduk di bangku mereka yang bersebelahan dan satu meja. "Oya, ngomong-ngomong sejak kejadian Pak Peter, kamu selalu murung. Kamu marah sama aku?"
"Apa aku keliatan marah sama kamu?" Ditatapnya Angel sahabatnya dengan senyum. Sahabatnya yang sedikit tomboy, iseng, namun selalu mengerti dirinya. Mana mungkin ia marah pada sahabatnya yang satu ini?
"Enggak, sih. Tapi aku takut kamu marah sama aku."
"Aku enggak mungkin marah sama kamu, Angel sayang." Lily mencubit hidung Angel. Cepat sekali ia akrab dengan sahabatnya yang satu ini. Padahal baru saja mereka berkenalan beberapa bulan.
"Bener, nih?"
"Iya, sayaaaang...."
Angel memeluk Lily dan mencium pipinya. Si tomboy satu ini, selalu saja bersikap mesra dengan Lily. "Maafkan aku, sayang. Aku udah iseng sama kamu. Sebenarnya aku cuma mau dekat sama Pak Peter aja."
"Terus... cari-cari perhatiannya, kan?" goda Lily.
"Hihi...." Angel terkikik sambil menutup mulutnya.
"Terus... aku yang jadi korban?" Dengan gemas, Lily mencubit pipi Angel.
"Auw!" Angel meraba pipinya. "kamu, aaah ... atiiit!" rajuk Angel dibuat-buat.
"Rasain! makanya jangan iseng!" Lily memajukan dagunya. "Kamu yang naksir Pak Peter, aku yang dikorbanin!" omelnya dengan nada bercanda. "Lagian kamu, kecentilan banget. Pake acara naksir guru segala!"
Ia menyimpan semua kejadian Pak Peter bersamanya di perpustakaan. Ia tidak mau menceritakannya pada Angel. Ia tidak ingin menyakiti hati sahabatnya ini.
"Abis, dia ganteng banget, sih."
"Makan tuh, ganteng!"
"Uuuh! Bukannya ngedukung sahabatnya, malah ngejek mulu, nih!" Dijawilnya pipi Lily.
"Aku dukung! Seratus persen! Tapi... jangan bawa-bawa aku!"
"Iya, iya. Enggak lagi-lagi!" ucap Angel dengan wajah memelas
***
Di toko buku....
Lily sedang asyik memilih-milih buku, tiba-tiba ekor matanya menangkap bayangan seseorang yang tiap hari ada di pikirannya. Diangkat kepalanya. Rio! Hampir saja ia berteriak. Namun suara itu tercekat di tenggorokannya. Hanya mulutnya sedikit ternganga.
Dilihatnya Rio tengah berjalan mesra sekali dengan seorang wanita yang lumayan dewasa. Mungkin usianya 20 tahun lebih. Rasa kecewa tiba-tiba hadir.
Wanita itu sangat cantik! Rambutnya panjang terurai, kecoklatan. Kulitnya putih mulus. Tubuhnya tinggi tidak berbeda jauh dengan Rio. Hidungnya mancung, bibirnya dioles lipstik warna senada dengan bibir. Matanya tidak sedang, dengan bulu mata yang lentik dan alis yang tertata rapi. Wajahnya seperti orang-orang Indo.
Hh! Lily menarik napas panjang. "Siapa dia? Pacarnyakah? Atau isterinya? Pria berumur sepertinya pasti sudah punya pacar atau mungkin isteri." Pikirannya sibuk menebak-nebak sendiri. "Kenapa aku terlalu bodoh? Bukannya selama ini aku enggak pernah mikirin pacar?" Dadanya terasa ditusuk-tusuk. Ia merasa seperti orang yang patah hati, sebelum bercinta. "Aku memang bodoh! ngarepin orang yang baru aja kukenal." Ia memaki dirinya sendiri.
"Li, kamu udah selesai milih buku?" tanya Angel.
Lily terdiam.
"Kamu kenapa?" Angel mengikuti arah tatapan mata Lily. Matanya langsung berbinar melihat pemandangan indah di hadapannya. "Wow ...! ganteng banget, tuh orang! Kumisnya, jenggotnya, jambangnya... wooow... seksi banget! Aaah! Tapi udah ketuaan!" Ia mengibaskan tangannya.
Saat sadar, ia merasa seperti orang yang tidak waras saja, bicara sendirian. Lily entah sudah pergi ke mana. "Li...! Li...!" Ia menengok kesana kemari, saat menyadari Lily sudah tidak ada di sampingnya.
Dikejarnya Lily yang sudah berada di kassa. Ditepuknya pundak Lily. "Kamu kok, ninggalin aku, sih?" tanyannya kesal. Mengapa Lily pergi tanpa pamit.
"Cepetan! Kita mesti pulang." Lily berpikir ingin cepat-cepat pulang. Ia tidak ingin berhadapan langsung dengan Rio, cowok PHP. Hei! Kembali ia terkejut dengan pikirannya sendiri. Mengapa ia bisa berpikir Rio cowok PHP? Memberinya harapan pun belum pernah. Ia sendiri yang terlalu banyak berharap selama ini. Ia terlalu kege-eran selama ini. Tak dinyana pria itu sudah mempunyai seseorang. Ia sendirilah yang bodoh!
Dengan hati penuh tanda tanya Angel menatap Lily yang sedang membayar di kassa. Ia pun menyodorkan bukunya ke kassa. Tidak biasanya Lily terburu-buru pulang dari toko buku. Biasanya Lily betah berlama-lama di toko buku.
Baru saja mereka berjalan beberapa langkah meninggalkan kassa, langkahnya dihadang seseorang. Lily yang sedari tadi menunduk mengangkat kepalanya dan... pria yang selalu mengganggu pikirannya itu, sudah berdiri di depannya dengan senyuman yang menawan dan sanggup membuat jantungnya seperti mau copot.
"Hai! Apa kabar gadis mungilku?" sapanya ramah dan bersahabat. Senyuman indahnya tersungging lebar.
"Kamu kenal om-om ganteng ini?" Angel berbisik-bisik. "Kok, kamu enggak pernah cerita?"
Lily menyikut pinggang Angel agar mulutnya yang cerewet itu berhenti bicara.
"Auw! Sakit, tau!" Angel terpekik.
"Makanya, diem!" bentak Lily dengan suara ditahan.
"Apa kabar gadis mungilku?" Rio mengulurkan tangannya.
"Ba-ba-ik." Lily menyambut tangan Rio ragu-ragu. Dalam hati ia mengutuk dirinya, mengapa ia jadi se-nervous ini berhadapan dengan pria ini. Kata-kata yang keluar dari mulut pria tampan ini serasa menghangatkan jiwanya. Terasa tidak asing di telinganya.
"Kenalkan, adikku yang paling cantik di dunia." Rio menengok pada gadis yang berdiri di sampingnya.
"Jadi? Wanita yang sama dia adiknya! Wah! Aku sudah salah sangka." Wajah Lily memerah menyadari kecurigaannya yang salah.
Wanita itu mengulurkan tangannya. "Claudia."
"Lily. Water Lily." Lily menyambut mengulurkan tangannya.
"Oooo... jadi ini, gadis yang Kakak ceritain itu. Water Lily! Cantik! Cocok, Kak!" Claudia tersenyum penuh arti.
"Cocok? Apa-apaan ini!" Lily berdebar-debar dan bertanya-tanya dalam hati. "Apa aku mau dijadiin isterinya? Berhubung pria ini sudah tuir. Haha ...." Dalam hati ia tertawa sendiri membayangkan dirinya, gadis berumur 15 tahun menjadi isteri pria berumur 25 atau bahkan mungkin 30 tahun! "Apa kata dunia! Haha ... Impossible love." Ia senyum-senyum sendiri.
"Kamu kok, senyum-senyum gitu? Kamu naksir dia ya?" Angel kumat lagi cerewet dan kepo-nya.
"Ssst! Diem... napa?" Lily menekan kaki Angel dengan kakinya.
"Auw! Perasaan, kamu hari ini jadi galak, banget." Angel meringis.
"Sampai jumpa lain kali. Bye!" Rio melambaikan tangan dan pergi meninggalkan mereka.
"Gila! Ini bener-bener Gila! Ganteng banget! Pak Peter sih, putus! Kumisnya, jenggotnya dan jambangnya keren banget! Gagah!" Angel berdecak kagum. "Tapi sayang, ketuaan," ucap Angel sedikit kecewa.
"Ngel... Ngel, mata kamu tuh ya. Cowok aja cowok!" Lily menarik lengan Angel menuju tempat parkir.
***
"Itu tadi pacarmu, Kak?" tanya Claudia saat mereka tiba di tempat parkir.
"Iya. Cantik kan?" Rio memencet remote control dan membuka pintu mobilnya.
"Cantik banget. Wajah kalian juga mirip sekali. Kata orang, kalau mirip tandanya jodoh," ucap Claudia saat mereka duduk di mobil. Dia menatap Rio. Ia merasa senang, akhirnya kakaknya bisa mendapatkan seorang kekasih.
"Masa? Aku malah enggak memperhatikannya." Rio menyalakan mesin mobilnya dan menjalankan mobilnya.
"Iya. Tapi sepertinya masih kecil ya, Kak?" Claudia melirik Rio dengan ekor matanya.
"Memang."
"Umur berapa, Kak?"
"15 tahun, kelas 1 SMU."
"Gila! Kakakku pacaran dengan daun muda. Haha...." Claudia merasa lucu membayangkan kakaknya jika menikah dengan Lily yang masih ABG.
"Ada yang lucu?"
"Hm... enggak, sih. Cuma terlalu kecil kayaknya Kak. Bagaimana kamu bisa cepat menikah dengannya?"
"Itu bisa diatur, Claudi."
"Kapan kau mengenalnya? Sepertinya kau enggak pernah dekat dengan wanita mana pun."
"Sekitar seminggu yang lalu." Rio menatap Claudia sejenak dan kembali menatap jalan yang gemerlap disinari lampu jalanan.
"Seminggu? Dan kalian sudah pacaran? Mata Claudia terbelalak. "Kau yakin, Kak?" Claudia menggeser duduknya menghadap Rio.
"Yakin. Dia bukan pacarku, tapi calon isteriku."
"Ck-ck-ck. Kau yakin dia mau menikah denganmu? Sepertinya kalian masih terlihat belum terlalu akrab."
"Yakin sekali. Ngomong-ngomong, kapan kau akan mempunyai anak? Kau kan sudah menikah hampir 1 tahun."
"Sedang dalam proses. Hahaha ...."
"Sepertinya Frans suamimu itu sosok lelaki yang luar biasa."
"Tentu, dong. Siapa dulu isterinya? Haha...."
Kita ke rumah papi dulu ya? Mobilmu kan di sana." Rio mengarahkan mobilnya ke rumah papinya.
Begitu tiba di rumah mereka, Claudia berteriak-teriak, "Papiii...! Mamiii...!"
"Papi Mami di sini, Claudi." Julian dan Janet sedang duduk di ruang tengah sambil menonton TV.
"Pi... Mi... tau nggak?"
Claudia menghempaskan tubuhnya duduk di antara mami dan papinya yang sedang duduk berdampingan. Sementara Rio duduk di depan mereka.
"Ada apa, teriak-teriak gitu?" tanya Janet.
"Kak Rio, Mi!"
"Ada apa dengan kakakmu?" tanya Janet.
"Ternyata... diam-diam, dia sudah punya pacar!" Wajah Claudia nampak berseri.
"Papi sudah tau."
"Papi sudah tau?" Claudia mengernyitkan alisnya.
"Iya. Florence kan?" Julian menatap Rio. Ia pikir Rio menyetujui calon yang ia carikan.
Rio hanya diam sambil tersenyum. Ia membiarkan adiknya yang masih manja itu menjelaskan pada orang tuanya. Ia yakin! Satu saat, ia pasti akan mendapatkan Lily, dan mengajaknya untuk menemui kedua orang tuanya.
"Florence? Siapa dia?"
"Sekretaris barunya Rio, yang baru beberapa hari Papi pekerjakan di perusahaannya."
"Bukan Papiii.... Papi sok tau. Huu...!" Claudia mengerucutkan bibirnya.
"Jadi? Siapa?" tanya Julian heran. Alisnya berkernyit. Ditatapnya Rio heran. Ia tidak percaya, Rio yang selama ini dingin, bisa mendapatkan jodoh?
"Namanya Water Lily. Cantiiiik... banget, loh Pi, Mi. Trus wajah mereka juga mirip banget."
"Haaah?!" Julian dan Janet berseru bersamaan, dengan mata yang membesar. Mereka menatap Rio tajam meminta penjelasan.
"Kapan kau mengenalnya? Sepertinya kau belum pernah dekat dengan wanita pun," ucap Julian heran.
"Iya, nih Rio. Buat Mami kaget aja."
"Sudahlah, Pi. Tenang saja! Yang penting sekarang Papi dan Mami akan mempunyai menantu dari aku."
"Kenalkan pada kami, Rio. Secepatnya! Papi sudah tidak sabar ingin melihat calon menantu Papi." Ini adalah saat-saat yang ditunggu Julian.
"Iya, Rio. Mami juga enggak sabar ingin mengenalnya."
"Sabar, Mi, Pi. Nanti kalau ada kesempatan, pasti akan Rio kenalkan.
"Florence bagaimana?" tanya Julian
"Aku tidak tertarik padanya. Tapi aku suka karena dia pandai dan cekatan dalam bekerja."
"Hm ... terserah kamu, Rio. Papi percaya kamu akan memilih jodoh yang terbaik.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top